Menilik Sejarah Hari Ibu

Menilik Sejarah Hari Ibu

Hari ibu kini senantiasa diperingati dengan berbagai cara, berbagai kreatifitas, mulai dari kata-kata romantis penuh cinta buat sang ibu, sampai acara-acara yang diperuntukkan untuk kaum ibu-ibu. Tapi mirisnya, kebanyakan dari perayaan itu tidak ada yang berhubungan dengan tema-tema yang disampaikan pada Kongres Perempuan dulu, yaitu sebuah kongres yang menjadi titik awal lahirnya hari ibu.

Di sebuah Pendopo Dhalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero, sabtu malam, 22 Desember 1928, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak pukul 19.00 WIB, dimulai dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu.

Para tamu juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri, Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul 21.00 WIB hingga 23.00 WIB, para tamu saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk mengurai problem perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).

Kongres ini dihadiri juga wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani (Walfadjri).

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, hadir juga dalam acara itu. Setelah acara itu usai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini.

Esok harinya, acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB. Setelah acara dibuka dengan pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampai asas kongres tersebut. Ternyata, pada pertemuan hari kedua kongres ini juga ada bahasan perkawinan anak yang disampaikan oleh Moega Roemah.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—tentu saja istri dari Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.

Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan.

Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Tempat perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesa, akhirnya tak jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan tak dianggap penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur juga?

Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk ukuran zaman itu.

“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” katanya.

Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya sebetulnya terancam. Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”

Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini juga Dewi Sartika begitu penting perannya. Ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Anak-anak yang pandai di masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat akan lebih baik. Pergerakan Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-ibu yang pandai juga.

Dalam Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari yang belakangan menjadi istri dari Muhammad Yamin juga hadir. Siti yang seorang guru juga memberikan pidatonya. Dia memakai bahasa Indonesia, meski Nyonya Toemenggoeng berpendapat bahasa Indonesianya tidak pas dan agak berlebihan.

Ketika itu bahasa Indonesia, yang sebetulnya bahasa Melayu pasar, baru saja disepakati sebagai bahasa persatuan Indonesia dua bulan sebelumnya pada 28 Oktober 1928.

Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi Perserikatan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, pada 1929, mereka berganti nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.

Menurut Slamet Muljana, dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka, perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.

Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan ini juga menekankan pentingnya persatuan. Mereka tak ingin dipecah belah dengan apapun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan, tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi ketua.

Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis dan agama di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa.

Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.

Acara ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi Indonesia. Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang Eropa.

Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial itu.

Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai: Hari Ibu.

Penulis : Muhammad Lutfi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Iboe

Iboe

           Ia peluk tubuh dingin itu sangat erat. Sembari menangis, Anna Marie Jarvis masih belum bisa menerima kepergian ibunya. Sampai pipinya basah, air matanya berurai disertai isak yang dalam. Anna tak percaya ibunya benar-benar telah tiada.

            Namun apalah daya, Anna bukan Nabi Isa, utusan Tuhan yang dikaruniai mukjizat bisa mehidupkan orang mati. Ia hanya manusia biasa yang mencintai ibunya. Cinta yang tak pernah ia bagi dengan lelaki manapun, kecuali Ayah dan Tuhannya.

            Sebelum ibunya meninggal, Anna teringat pada suatu hari, di taman kawasan Philadelphia, ia mengajak ibunya yang sakit jantung itu menghirup udara segar pagi musim semi. Dengan suara lirih dan napas sengal, ibunya berpesan pada Anna, “kelak ketika aku tiada, aku berharap manusia menghargai pelayanan tanpa batas yang diberikan ibu mereka. Dan Negara memperingati hari ibu sebagai sebuah memorial, karena seorang ibu berhak atas itu.”

            Pesan itu terekam jelas. Anna kembali menatap wajah ibunya yang layu, sekujur tubuhnya yang kaku. Ia pegang erat-erat tangan ibunya lalu kemudian berjanji di dalam hati, “harapanmu harus dibayar tuntas.” Ann Reeves Jarvis (baca: Ibu Anna Marie Jarvis) meninggal pada 9 Mei 1905.

            Tiga tahun setelah kematian ibunya, tahun 1908, Anna mengadakan peringatan untuk menghormati ibunya dan semua kaum ibu di Gereja Episcopal Methodist Andrews, Grafton, West Virginia. Sebelum seluruh negara bagian di Amerika Serikat menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur pada tahun 1911. Lalu diresmikan oleh Woodrow Wilson dengan menandatangi Deklarasi Hari Ibu sebagai hari libur nasional yang jatuh pada hari minggu kedua bulan Mei.

            Hari Ibu yang digagas Anna Marie Jarvis semakin populer. Meski di sebagian besar dunia, Hari Ibu dirayakan dengan cara, hari, dan tanggal yang berbeda. Ia merasa sedikit lega, cita-cita ibunya telah tertunaikan.

Tapi sore itu, ditengah senja tertutup salju, Anna merasa ganjal. Hari Ibu yang masyhur itu ia anggap gagal karena dijadikan ‘tambang mas’ sebagian korporat. Baginya Hari Ibu telah kehilangan makna akibat dilindas mesin konsumerisme buatan tangan kaum kapitalis.

Anna tak ingin Hari Ibu sekejadar jadi tren, yang dilakukan tapi tak membekas. Karena menurutnya kasih sayang seorang ibu tak sebanding dengan pembelian dan pemeberian bunga, permen, dan kartu ucapan. Ia mengutuk keras formalitas itu, meski tak seluruhnya menyalahkan. Ia ingin lebih, Hari Ibu harus sakral.

Bersama asosiasi the Mother Day Internasional Association, Anna berusaha mengembalikan makna asli Hari Ibu. Hari yang sepatutnya dijadikan momentum untuk menghargai jasa seorang ibu bagi keluarganya; anak dan suaminya ataupun lingkungan sosialnya. Ia mengajak kita tenggelam dalam lautan kasih sayang ibu yang tanpa parih dan tak lekang. Dengan sadar sepenuhnya, bukan sebutuhnya.

Dalam buku Memorirializing Motherhood: Anna Jarvis and the Defense of Her Mother’s Day, sejarawan Katharine Antilini dari West Virginia Wesleyan College menyitir perkataan Anna soal kasih sayang ibu yang ia lambangkan seperti White Dianthus Caryophyllus:

“Warna putihnya adalah untuk melambangkan kebenaran, kemurnian dan kasih sayang yang luas dari cinta ibu; aroma, ingatannya, dan do’anya. Anyelir tidak menjatuhkan kelopkanya, tetapi memeluk mereka sampai ke jantung ketika mati, dan demikian juga, ibu-ibu memeluk anak-anak mereka ke hati mereka, cinta ibu mereka tidak pernah mati. Ketika saya memilih bunga ini, saya teringat tempat tidur ibu saya yang berwarna merah muda.”

            Usaha ulet Anna untuk mereformasi Hari Ibu terus berlanjut sampai tahun 1940an. Pada tahun 1948 ia meninggal di usia 84 tahun di Philadelphia’s Marshall Square Sanitarium. Ia tak meninggalakan apa-apa. Ia tak pernah jadi seorang ibu bagi anaknya, kecuali memantaskan diri jadi anak untuk ibunya. Anna Marie Jarvis bukan seorang ibu, ia lebih dari itu, yaitu Ibu dari Hari Ibu (The Mother of Mother’s Day).

            Kurang lebih dua dekade sebelum Anna Marie Javis meninggal, di belahan dunia lainnya; Nusantara hidup seorang Djami. Perempuan keturunan Pribumi totok yang nyaris tak ada dalam catatan sejarah, selain sebagai salah satu aktifis organisasi Darmo Laksmi.

Djami bingung, kenapa takdir lahir sebagai perempuan dianggap inferior. Padahal ia tak pernah minta dilahirkan sebagai perempuan. Namun ia yakin sepenuh iman, Tuhan menciptakan perempuan tak untuk direndahkan. Baginya, lelaki atau siapapun yang mencela kodrat perempuan, sama juga menistakan kuasa Tuhan.

Ingatan itu masih terasa segar. Pada masa Djami kecil, perempuan bukan hanya direndahkan oleh Kolonial Belanda dengan membatasi partisipasi perempuan dalam domain publik. Namun masyarakat Pribumi pun demikian, stigma perempuan begitu mengakar. Djami paham betul, ia tak bisa merubah sejarah masa lalu. Namun ibarat kapal, sejarah bisa berganti arah haluan. Djami punya harapan, percaya masa depan.

Maka dalam Deklarasi Perempuan Indonesia di Yogyakarta tahun 1928, Djami berpidato dengan judul “Iboe”. Dalam pidatonya ia melampiaskan sesuatu yang tertahan; menuntut keadilan gender. Meminta kesamaan hak termasuk dalam ranah pendidikan. Agar definisi perempuan tidak sebatas urusan sumur, kasur, dan dapur.

Akses pendidikan bagi perempuan menurut Djami sangat penting. Sebab perempuan adalah calon ibu, yaitu madrasah pertama bagi anaknya. “Tak ada seorangpun akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya kalau bukan karena ibu atau istrinya yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” kata Djami dalam pidatonya di depan peserta Kongres..

Membaca kembali pidato Djami adalah mengikuti alur cerita yang alot, penuh sarkastik, dan lugas. Campur aduk antara kepedihan atas ke-peremupuan-nya dan optimisme yang memuncak. Waktu itu bicara status perempuan dan ibu masih tabu. Namun ia menyusun teks itu dengan semangat perubahan paradigma berpikir dan rasionalitas pemikiran yang memadai.

Kesedihan saya membacanya lagi pidato Djami bukan karena atas segala kisah pilu seorang Djami. Tapi karena pidato Djami adalah puncak dari gunung es di permukaan air laut. Ada yang lebih makro dari Djami, yakni pengebirian perempuan secara sosial tanpa mengingat jasa-jasa mereka (baca: perempuan), lebih-lebih seorang ibu.

Dalam penutup pidatonya sekali lagi ia tegaskan bagaiaman seorang perempuan harus mendapat kelas sosial dan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Karena bagaimanapun kata Djami, dalam buku Lady Emilly Lutyans yang ia kutip: Ibu akan mengajarkan anaknya sejak dalam kandungan. Pidato Djami usai.

Sedasawarsa kemudian, pada Kongres Perempuan Indonesia III. Peserta Kongres menyepakati tangal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Mereka turut andil pula dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perbaikan keadaan perempuan Indonesia. Misalnya perbaikan gizi ibu dan anak balita, menghentikan pernikahan dini, apalagi perdagangan perempuan dan anak.

Indonesia pun telah merdeka. Mereka terus mengambil peran dalam pembangunan negara. Maka pada tanggal 22 Desember 1953, dalam peringatan Kongres Perempuan Indonesia yang ke-25, Presiden Soekarno mentapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati Hari Ibu, melalui Dekrit Presiden RI No. 316 Tahun 1953.

Mungkin dua kisah di atas sedikit cukup menggambarkan sejarah lahir Hari Ibu. Tinggal bagaimana kita, khusunya saya pribadi, dapat menangkap pesan tersirat dari peringatan ini. Tentu bukan sekedar membuat ucapan “Selamat Hari Ibu” yang mewarnai media sosial, melainkan rasa terima kasih yang sangat mendalam atas jasa dan kasih sayang tanpa pamrih mereka.

Dalam Islam, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda ketika memandang perayaan Hari Ibu. Diskursus kajian hukum ini memang sudah dibahas oleh sejumlah pakar. Antara lain ulama Al-Ahzar Mesir, sedikitnya ada empat ulama yang mengatakan Hari Ibu haram di lakukan oleh umat Islam. Sebut saja misalkan Syekh Mutawalli as-Sya’rawi dan Syehk Ali Mahfudh serta sejumlah cendekiawan seperti Musthafa al-Adawi dan Abdul Hamid Kisyk.

Mereka beranggapan bahwa dalam syariat Islam tradisi demikian tak pernah ada. Lebih pada itu dalam pandangan mereka, mengapa perayaan ini tidak dibolehkan karena taklid buta terhadap tradisi Barat. Barat menciptakan peringatan ini sebagai bentuk hipokrit. Perayaan demikian merupakan instrumen menebus abai yang sudah mereka lakukan akibat terlalu materialistik. Kendati demikian, para ulama tersebut tak memvonis kafir bagi Muslim yang melakukan perayaan dimaksud.

Di sisi lain, Syehk Yusuf al-Qaradhawi menilai peringatan Hari Ibu bukan termasuk perkara yang haram karena syariat tidak melarang. Meski ia sendiri tak terlalu tertarik untuk melakukan perayaan tersebut. Asal menurutnya jangan sampai disamakan dengan menggunakan istilah I’d (hari raya) yang korelasinya sangat dekat dengan agama.

Beliau menambahkan, jangan sampai perayaan ini malah menyinggung perasaan anak yatim piatu. Jika beliau harus memilih antara merayakan Hari Ibu dengan memperhatikan nasib dan kondisi anak yatim piatu, beliau cenderung pada pilihan yang kedua. Meski beliau mengakui dengan perayaan ini dapat membahagiaka ibu, namun dalam Islam kewajiban membahagiakan ibu tak dibatasi waktu, sesuai prinsip Surat Luqman Ayat 14.

Terlepas dari itu semua, sudahkah kita berbuat baik pada orang tua, terutama ibu kita? Atau malah terjebak pada tren dan formalitas belaka? Anda sekalian lebih tau menjawabnya.

Sepekan yang lalu, pada tanggal 13 Desember lalu, salah satu media massa mengabarkan pembunuhan. Kabar mirisnya adalah orang tua yang dibunuh anak kandungnya. Sebelum ibunya dibunuh, anak bengal itu menyeret ibunya yang kemudian berakhir dibacok dengan golok. Perempuan setengah baya itu meregang nyawa. Anak itu jadi durhaka.

Saya tidak mengatakan anak jaman now lupa suatu tempat yang kata Zawawi Imron dalam puisi Ibunya ‘gua pertapaan yang kasih sayangnya seluas samudera’. Biarlah sabda Nabi Muhammad membuktikan bahwa salah satu tanda akhir zaman ialah ketika ibu melahirkan majikannya.

Selamat Hari Ibu…

Penulis : Rahmat Hidayat (santri aktif di Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Ibu, Sang Altruis Abadi

Ibu, Sang Altruis Abadi

“Sebagai seorang wanita, saya memasuki rumah politik dengan dimensi tambahan – Seorang Ibu”. Benazir Bhutto

Ibu (Maha Karya Allah Azza Wa jalla) yang altruis biasanya bersikap untuk tidak mementingkan kepentingan dirinya pribadi. Tindakan-tindakan yang ia lakukan bisa berpusat pada alasan ingin selalu memajukan keluarga, dan ia sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa pun untuk dirinya sendiri sehingga tidak terjebak pada “pengabdi amatiran”. Telah sekian lama perilaku “Altruis” menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan baik yang beragama maupun tak beragama bahkan yang memiliki prinsip tak bertuhan, oleh karena inilah sebuah tauladan sikap yang mulia. Perlu dicamkan, altruis bukanlah sebuah sikap yang mengorbankan diri sendiri ibarat lilin rela terbakar demi menerangi sekelilingnya namun rela berkorban, peduli, dan ikhlas. Sikap altruis mementingkan kesejahteraan keluarga dan kebersamaan.

Bukanlah Ibu altruis jika mengasumsikan dirinya sebagai obyek pasif dan tak berdaya bahkan terjerumus pada sikap inferior terhadap dirinya sendiri, manipulatif, dan tidak melakukan sebuah kebaikan dengan motivasi tersembunyi yang hanya bersumber kepada kepentingan pribadi. Altruis merupakan sikap positif yang juga berkaitan erat dengan integritas, kejujuran, dan rendah hati. Tanpa disadari ada peran Ilahiyyat dibalik sikap altruistik.

Ibu dalam bahasa arab disebut dengan ummun, ia terambil dari kata amma yaummu “sesuatu yang banyak dituju”. Bukankah seorang anak jika membutuhkan dan meminta sesuatu tanpa disadari dia akan menghampiri ibunya ?. ketergantungan seorang anak begitu besar pada ibu, sebab seorang anak pernah menjadi “alaqoh” segumpal darah yang kemudian berlanjut pada fase-fase berikutnya hingga tiba sembilan bulan. Oleh karenanya begitu besar keterikatan seorang anak pada ibunya.

Dalam Islam telah dijelaskan terang benderang betapa ibu memiliki dimensi menciptakan atau khaliqiyat atau mampu menciptakan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang yang dominan pada seorang ibu ini menjadi potensi besar untuk mendidik generasi, oleh karena itu awal dan permulaan  pendidikan dalam sebuah masyarakat dimulai dari pernikahan dan keluarga bahkan jauh sebelum melangkahkan kaki menuju lorong penikahan, dengan demikian ibu memiliki tanggung jawab sentral (subjek) dalam keluarga bahkan masyarakat yaitu pertama, mendidik dirinya sendiri, kedua, mendidik anak-anaknya, dan ketiga jika perlu mendidik suaminya. Betapa besar peran ibu dalam mendidik sehingga Rasulullah tidak sedang menggombal saat beliau bersabda “Syurga berada di bawah telapak kaki ibu”. Tak diragukan lagi bahwa generasi-generasi brilian dalam semua dimensi kehidupan lahir dari ibu yang sukses mendidik penuh cinta dan kasih sayang, inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah bersabda demikian, Menakjubkan.

Betapapun kelamnya keadaan keluarga, lingkungan sekitar, dan semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat dunia dari masalah nasional, regional, dan internasional yang harus diselesaikan dengan bijaksana. Seorang ibu masih saja mampu menciptakan atmosfer surgawi bagi suami dan anak-anaknya hingga anak cucunya bahwa dunia masih anggun semampai sampai saat ini. Penulis tidak berlebihan mengasumsikan bahwa alam raya ini juga memiliki ketergantungan pada seorang ibu, ibu lebih istimewa dari pada surga dan seisinya. Tak dapat dibayangkan porak-porandanya alam raya bila ibu alpa akan peran luar biasanya.

Terlepas dari kelompok misoginis-sentimental, keberlangsungan konflik struktural-kultural dalam kehidupan sistem sosial antara Patriarkhi dan Matriarkhi, Feminin dan Maskulin genting untuk dibahas ulang di hari nan mulia – hari Ibu, sehingga tidak sebatas menjadi perayaan simbolis dan fiktif, nyatanya seorang ibu di abad milenial berada di persimpangan jalan kebebasan dan pengekangan, ketaatan dan kenikmatan. Konflik dominasi tak ada ujungnya selama kedua sistem sosial enggan mengekang hasrat merepresi lawan jenis, baik Ptriarkhi maupun Matriakhi dapat dengan mudah diterapkan seadil-adilnya di suatu wilayah selagi rasa mengayomi dan rela untuk tidak membangkang ataupun bertindak sewenang-wenang demi tercapainya cita-cita memuliakan Sang Ibu. Seperti fenomena Matriarkhisme di tanah Minangkabau atau fenomena Patriarkhisme ekstrim di Pulau dewata.

Persaingan saling mendominasi memaksakan para ibu-ibu turut andil demi menunjukkan status sosial. Alih-alih memuntut kebebasan dan HAK,  ibu-ibu yang memiliki kesibukan di dunia kerja dan disibukkan oleh situasi yang memperalat di segala bidang justru jauh lebih tersiksa kendatipun mereka seringkali nyaman dan tenteram mendapatkan perlakuan tidak berprikemanusiaan dari masalah  pelecehan, hak cuti hamil dan melahirkan hingga nekat melakukan tindakan aborsi demi mematuhi peraturan kerja di perusahaan manapun. Moral ibu-ibu kini telah terpeleset dalam jurang “komodifikasi kaum hawa”. Cobalah para boss pemimpin perusahaan sesekali membasuh akal hingga jernih sebelum mengenakannya sebagai kacamata pandang, barangkali cara memandangi kaum ibu-ibu telah begitu teruk.

Di hari ibu, ada beberapa hal yang perlu dihayati kembali bahwa ibu atau istri merupakan pasangan hidup dengan kemampuan multitasking bahkan polymath dan jika tidak berlebihan mereka lebih hebat dari revolusi 4.0, istimewa, bukan ?. jadi sudahkah papa layak dan pantas mengampanyekan poligami, hak madu, hak pelakor, serta jajan-jajan yang papa simpan dibalik kantong celana. Papa seringkali khilaf tak tahu membedakan rasa nyaman dan rasa kagum dan papa terjebak pada permainan meninggalkan yang nyaman demi ia yang dikagumi. Papa egois tidak sayang mama pasti berdalih “Surga di bawah telapak kaki Ibu, Tuhan di bawah telapak sabda Papa”. Bisa jadi kejantanan, kekuatan, dan penyematan gelar imam pada-mu sebatas ilusi. jangan mudah ngiler, ingat ibu, Papa. Dampingi ibu menjadi altruis sejati. Hubungan kalian saling mempengaruhi, saling melindungi, dan menghormati serta setara dalam kebersamaan yang sempurna. Langit itu maskulin dan bumi adalah wanita; apapun yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah”. Pesan Rumi.

Emak-emak rempong, kini ada gelagat yang mendiskreditkan para ibu, memojokkannya menjadi manusia menyebalkan, menyusahkan, dan membuat anak pusing kepala karna ulah emak-emak rempong berdaster. Saat di jalan tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, ceriwis, shopaholic, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, emak-emak gemar mengadakan pengajian atau muslimatan di kampung-kampung bahkan nekat menaiki kendaraan/mobil tak beratap sembari mengadakan arisan dan saling adu fashion agar tak kalah gengsi walaupun dengan berhutang tanpa sepengetahuan suami. Sebaliknya, jika acara rutinan sekaliber muslimatan yang super-religius yang dihadiri mereka dengan hijabnya menyentuh mata kaki ditelisik secara sosioantropologis maka akan ditemukan titik optimistis dengan syarat acara muslimatan juga diiringi dengan penggalangan dana (fundraising) dengan tujuan terciptanya rasa empati dan berbelas kasihan kepada para anak jalanan baik yatim maupun diyatimkan, ibu-ibu yang berada di luar komunitasnya seperti, ibu-ibu janda single-parent, ibu-ibu buruh, ibu-ibu pelakor, dan bahkan ibu-ibu di pinggiran pelayan hidung belang.

 Memberdayakan, memberi modal dari hasil penggalangan dana di kegiatan muslimatan, dan keterampilan kepada mereka tentu lebih bermakna dari pada sebatas arisan, pamer fashion, dan make up. Setidaknya, acara muslimatan dapat membangkitkan semangat ibu-ibu di luat lingkaran muslimatan membangun ekonomi mandiri serta bermartabat. Tidak mengapa hidup kere/ngere (ngebangun ekonomi diri sendiri) gaya hidup tidak umum dan biasa-biasa saja justru lebih istimewa, Asal urusan finansial tidak menggantungkan pada suami orang atau menormalkan larangan Tuhan.  Sehingga, cita-cita menjadi ibu altruis abadi bukan sekedar cita-cita utopia dan mimpi siang bolong.

Terakhir, para ustadzah calon ibu (mahasiswi/non-mahasiswi) pengurus pesantren dimanapun berada. Dewasa ini, khalayak di luar sana berada pada titik nadir kedahagaan hendak meneguk bimbingan dari kalangan ustadzah yang sedang menempa diri, mengolah hati, dan dididik langsung (face to face) oleh kalangan Ning dan Bu Nyai keluarga para Kiai. Membentengi emak-emak muslimatan dari radiasi paham sektarian, komoditas empuk para politisi, adu domba media dakwah Ustadzah google, ustadzah Youtube, Ustadzah instagram, dan mendidik generasi muda. Sudah sepatutnya para Ustadzah berada di garda depan menegakkan, membela, melawan atau merayu seperti rayuan Syahrazad pada Sang raja mahajana Syahrazar mejadi kemayu dan urung membunuh dalam hikayat seribu satu malam.

Adakalanya, Ustadzah pengurus pesantren perlu lebih memfokuskan diri untuk mewaqafkan masa mudanya, kecantikannya, bersenang-senangnya, dan hasrat hidup glamournya demi ilmu dan mengayomi anak didik. Jangan sampai enggan membaca dan membeli buku namun merunduk dibawah melangitnya bandrol pakaian branded sekelas tuneeca terbaru, tas kosmopolitan, sepatu high heels, dan sebagainya.

 Bagai dua perempuan bersaudara dalam sejarah berdirinya Universitas pertama di dunia Al Qurawiyyin – pada masa dinasti Idrisiyah – oleh Fatimah Al Fihri, wanita bergelimang harta warisan dari mendiang ayahnya lebih tertarik mendedikasikan dirinya dengan cara gemilang mendirikan Unversitas beserta rekan adiknya Maryam Al Fihri. Beliau, fatimah dan maryam patut dijadikan tauladan di era milenial bersama perempuan hebat lainnya seperti Sya’wanah guru para Ulama’ di masanya, Benazir Bhutto, Cut Nyak Dien, dan Rahmah El Yunusiyah pejuang yang terlahir dari keluarga bersistem sosial Matriarkhat. Begitu banyak wanita muslim “Altruis” patut dijadikan suri tauladan bagi para Ustadzah kekinian dari Negri Andalusia hingga Negri Andalas.

Kalau boleh memberi saran. Menulislah. Jika tidak, menikahlah bagaimanapun keadaannya dan siapapun suami anda kelak. Anda akan segera menjadi seorang salik dan altruis abadi dadakan. Mohon, selamatkan hari ibu 22 Desember 2018, Ustadzah !

Ibu altruis, nyata ada di sekeliling kita, di rumah kita masing-masing.

Penulis : Salman Al-farisi (Pengurus aktif LPBA Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Maskulinitas (keheroikan) Sosok Ibu

Maskulinitas (Keheroikan) Sosok Ibu

Bertepatan tanggal 22 Desember, adalah tanggal diperingatinya hari ibu di Indonesia, Hari dimana Pahlawan yang jejaknya tak direkam sejarah, perjuangannya tak diabadikan buku-buku sekolah, dan namanya tak disejajarkan dengan deretan para pahlawan-pahlawan negara, ya beliaulah ibu kita tercinta, beliau adalah simbol nyata dari pengejawantahan cinta yang sebenarnya, beliau membuktikannya, bahwa cinta sejati tak lekang oleh masa itu benar adanya, teruntuk anak tercinta, asahnya seikhlas hujan, asihnya seluas lautan, asuhnya tak bisa di nominalkan, bahkan nyawanya sekalipun rela digadaikan demi kebahagian anak tersayang, tidak berlebihan kiranya kalimat diatas kami narasikan untuk menggambarkan kisah kasih sayangnya yang setara luas jagat raya.

Menjadi sebuah paradigma yang kurang pas ditengah peradaban kita hari ini, ada simplifikasi makna antara maskulin dan feminim, dimana kesalahfahaman pemaknaan istilah maskulin yang disamakan dengan makna lelaki dan juga istilah feminim yang diartikan sebagai perempuan, sebelum memahami dua variabel kata maskulin dan feminim tersebut kita harus terlebih dahulu bisa membedakan pengertian antara arti gender dan arti kelamin, karena secara terminologi keduanya sudah sangat jauh berbeda, secara sederhana kelamin adalah pembagiaan antara jantan (lelaki) dan betina (perempuan) yang ditentukan secara biologis oleh Allah dan tidak dapat diubah keberadaanya, berbeda dengan gender, gender sendiri merupakan tipologi karakter yang melekat pada lelaki dan perempuan serta di konstruk secara sosial maupun kultural, misalnya: ada gender maskulin (tegas, kuat dll) yang selalu identik dengan laki-laki dan ada yang feminim (lembut, halus, melayani dll) selalu identik dengan tipologi karakter perempuan.

Berlandaskan pengertian maskulin dan feminim diatas, kurang pas kiranya ketika kata feminim disamakan dan digelarkan kepada perempuan saja juga kata maskulin yang esensi terminologinya hanya dipersempit untuk lelaki saja, bukankah beratnya perjuangan seorang ibu untuk anaknya juga masuk dalam kategori tipologi karakter maskulin?. Serta apakah tidak masuk kategori feminim?, sifat mengayominya seorang bapak terhadap keluarga dan anak, serta tak jarang bapak yang tipologi karakternya penyabar. Kita sebagai manusia entah lelaki atau perempuan harus punya dua kualitas tipologi karakter sekaligus (maskulin dan feminim) agar hidup kita indah dan berirama, bayangkan saja jika semua manusia di dunia memiliki sifat feminim semua, pasti dunia akan sepi, sebaliknya jika semua manusia punya sifat maskulin semua, pasti dunia akan rusak dan hancur.

 

Sejarah Hari Ibu

Hampir semua Negara di belahan dunia mempunyai hari spesial untuk menghormati perjuangan mulia seorang ibu, hanya saja tiap Negara berbeda dalam hal tanggal pelaksanaannya, karena beberapa faktor historis yang melatar belakanginya. di negara-negara Eropa misalnya, hari ibu dilaksanakan pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, peringatan hari ibu jatuh pada pertengahan bulan Mei.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Hari Ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional, sejarah Hari Ibu di Indonesia dilatar belakangi dari pertemuan para pejuang wanita, dengan mengadakan Kongres Perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan (didirikan tahun 1912 yang diprakarsai oleh para pahlawan wanita abad-19 seperti Cut Nyak Dien, Cut  Mutiah, R.A Kartini, dkk), membentuk Kongres Perempuan yang dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres ini bisa dikatakan merupakan dampak dari peristiwa Sumpah Pemuda kepada kalangan wanita, Ada semacam semangat dan tanggung jawab untuk menyamakan derap dan tekad agar dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negara.  Presiden Soekarno kemudian menetapkannya melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga sekarang.

 

Keheorikan Perjuangannya

Tugas domestik ibu adalah sebagai istri dari suaminya dan juga sebagai ibu untuk anak-anaknya, jika kita mau sedikit mengingat, begitu sangat militan perjuangan, pengorbanan seorang ibu untuk buah hatinya, sedari mengandung, beliau menanggung berat beban bayi selama sembilan bulan diperutnya, susah dan tersiksa mau beraktivitas karena terganggu oleh perut buncitnya, belum lagi menahan sakitnya proses melahirkan yang sangat luar biasa bahkan bisa nyawa seorang ibu jadi taruhannya, saat sang bayi sudah lahir beliau dengan sabar mengurus, menyusui dari pagi, siang dan malam, mengasuh dan membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Beliau orang yang pertama kali mengajarkan kita berbicara, menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, dari rahimnya lahir penerus bangsa, dari didikannya ditentukan nasib bangsa dan negara.

Selain melaksanakan tugas domestiknya, tak jarang seorang ibu merangkap peran ganda dengan bekerja layaknya seorang ayah, karena berbagai faktor yang memaksanya, mayoritas realita ibu yang hidup di desa dengan kondisi ekonomi keluarga lemah dan berbagai faktor yang melatar  belakanginya, dengan penuh sukacita dan terpaksa, tak jarang seorang ibu yang bekerja menjadi petani, menjadi buruh bahkan tidak sedikit yang menjadi kuli, membantu suami untuk mencukupi nafkah anak-anaknya, sungguh heroik perjuangannya, hanya demi kebahagian dan kecerahan nasib anak-anaknya dimasa depan, beliau berani mengorbankan apa saja sekalipun nyawanya.

Jauh sebelum dunia menetapkan betapa pentingya menghargai jasa-jasanya, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik RA : الجنة تحت اقدام الامهات   yang artinya : “surga dibawah telapak kaki ibu”, Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia hingga seolah-olah surga yang begitu indah nan agung saja tidak lebih tinggi daripada seorang ibu, karena diibaratkan berada dibawah telapak kakinya. Kita semua tahu bahwa telapak kaki adalah bagian paling bawah atau rendah dari organ tubuh manusia. Namun maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak mungkin seorang anak bisa masuk surga tanpa ketundukan dan kepatuhan kepada ibunya. Sebagaimana Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah RA :

مَنْ أحَقُّ الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك

“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu  bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi,  siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi. Nabi kemudian menjawab, kemudian ayahmu.”

Bahkan dari saking harus dihormatinya seorang ibu, jika di ranking ibu menempati ranking satu sampai tiga (berdasarkan hadits diatas) dalam kategori manusia yang paling berhak dihormati, baru setelah itu bapak menempati harapan satu. tidakkah cukup untuk meyakinkan diri kita seorang uwais Al-Qarni, Syekh Abdul Qadir Al-jaelani dan ulama lainnya, yang diangkat derajatnya karena hormat dan takdzimnya kepada ibunya, Sudah selayaknya kita sebagai anak tidak perlu berpikir dua kali dan terlalu banyak teori untuk menghormatinya, melihat keheroikan perjuangannya yang tak bisa di angka, semua murni berlandaskan relasi cinta, serta ikhlas hanya demi anak-anaknya.

 

Penulis : Hamdan Mufidi (Pengurus Asrama Diniyah PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Kontribusi Besar Seorang Ibu bagi Kemajuan Bangsa

Kontribusi Besar Seorang Ibu bagi Kemajuan Bangsa

73 tahun telah berlalu sejak Founding Father kita, bapak Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Selama itu pulalah bangsa kita telah berusaha membangun peradabannya secara mandiri tanpa harus dicekal oleh bangsa asing yang sempat hinggap menjadi benalu di tubuh bangsa kita yang tercinta ini.

Akan tetapi, dalam kurun waktu yang lebih dari setengah abad ini, negara kita masih tetap berstatus sebagai negara berkembang. Bahkan, negara kita masih jauh tertinggal oleh Malaysia, negara yang baru merdeka sekian tahun setelah negara kita merdeka, dan itupun berkat bantuan dari negara kita.

Lalu apa yang salah dengan bangsa kita sehingga tak mampu bersaing di kancah global dengan negara-negara lain ? padahal, negeri kita memiliki julukan “tanah surga” karena kekayaan alamnya yang melimpah ruah tak terkira jumlahnya. Sebut saja gunung emas yang berada di Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB), gas bumi yang terdapat di beberapa tempat tertentu seperi kawah Ijen, dan tanah yang begitu subur sehingga mampu membuat batang pohon tumbuh cukup dengan menancapkannya di tanah.

Hal ini seakan menunjukkan betapa mirisnya keadaan bangsa kita hingga tak mampu memaksimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Oleh karena itu, merupakan sebuah keniscayaan bagi kita untuk mencetak generasi emas yang mampu memanfaatkan kekayaan alam yang ada dengan signifikan sehingga mampu membawa bangsa kita bersaing dengan bangsa-bangsa lain di kancah internasional.

Terdapat beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap suksesnya pembentukan kader bangsa yang brilian ini. Diantaranya lingkungan, pergaulan, dan terutama orang tua. Tak dapat dipungkiri bahwa orang tua memiliki kontribusi besar dalam membentuk insan kamil yang nantinya akan meneruskan tongkat estafet perjuangan bangsa kita kedepannya.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, dapat ditemukan bahwa ibu memiliki peranan yang lebih besar ketimbang ayah. Karena ibu merupakan orang pertama yang mampu berinteraksi dangan seorang anak ketika baru lahir. Bahkan, kondisi seorang ibu sangat berpengaruh terhadap kondisi seorang anak, terutama ketika dalam masa kehamilan hingga si anak berhenti menyusu kepada si ibu.

Diantara peranan yang mampu disumbangkan seorang ibu dalam mencetak penerus bangsa kita yang cemerlang adalah :

  1. Menanamkan akhlak mulia. Akhlak atau tatakrama yang baik sangatlah penting untuk diajarkan sejak dini. Karena ilmu meski tak terhingga banyaknya jika tak diiringi dengan dengan akhlak yang baik bisa mengantarkan empunya kedalam perbuatan-perbuatan yang tak layak dilakukan, apalagi oleh orang dengan tingkat intelektualitas yang tinggi.

Hal ini sesuai dengan perkataan seorang ulama ternama Islam Abu Hamid Al-Ghazali yang bunyinya “حركات الناس بحسب عقيدتهم” dengan arti “gerak-gerik seseorang sesuai dengan apa yang diyakini olehnya”.

Oleh karena itu, seorang ibu yang memiliki kasih sayang begitu besar terhadap seorang anak seyogyanya menanamkan tatakrama yang baik dalam diri anaknya sejak masa balita, agar anak tersebut dapat tumbuh menjadi manusia yang baik dalam berinteraksi dengan sesamanya.

Karena seorang anak pada umumnya akan menirukan apapun yang dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri dan tumbuh sesuai dengan apa-apa yang telah menjadi asupannya sehari-hari. Hal itu secara tidak langsung masuk kedalam alam bawah sadarnya dan menjadi keyakinan yang ia pegang teguh dalam hidupnya.

Terbukti ada seorang anak keturunan raja pada masa dahulu yang terbiasa menyaksikan proses eksekusi mati di kerajaannya sejak kecil tumbuh menjadi pribadi yang sangat suka membunuh, dan bahkan jika tak menemukan orang yang bersalah untuk dibunuh dia akan membunuh warganya secara acak.

Selain itu, jika akhlak suatu bangsa telah rusak, maka bisa dipastikan bahwa tak lama lagi bangsa tersebut akan binasa. Karena, meski bangsa tersebut dipenuhi oleh orang-orang yang tak diragukan lagi keilmuannya akan tetapi akhlak mereka buruk, maka tak menutup kemungkinan mereka akan menggerogoti bangsa mereka sendiri.  Baik dengan mengorupsi keuangan negara, mengedarkan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) kemana-mana, maupun mengorbankan orang banyak demi merealisasikan keinginan pribadi.

Kita tentunya tak ingin bangsa kita hancur disebabkan oleh masyarakatnya sendiri, seperti halnya yang telah menimpa bangsa Yunani yang dulunya merupakan bangsa yang adidaya akan ilmu pengetahuan dengan filsafatnya.

  1. Menanamkan mindset Salah seorang ilmuwan besar Amerika, Carol S. Dweck P.hD mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Mindset : The New Psychology of Success” bahwa pola pikir (mindset) setiap orang terbagi menjadi dua, yaitu :
  2. Mindset tumbuh (growth mindset). Orang dengan pola pikir seperti ini cenderung pantang menyerah dan menghargai usaha serta tak bergantung terhadap hasil tes. Orang seperti ini pada umumnya akan merasa tertantang ketika tak dapat menyelesaikan suatu hal dengan baik. Dan ia akan terus berusaha serta meningkatkan usahanya untuk dapat menaklukkan sesuatu yang tak dapat ia taklukkan dan meneruskannya hingga ke tingkat yang lebih tinggi.

Dan pada umumnya orang seperti inilah yang pada akhirnya mampu meraih kesuksesan yang cemerlang dalam hidupnya meski ia memulai usahanya dengan hasil yang begitu buruk.

  1. Mindset tetap (fixed mindset). Orang dengan pola pikir seperti ini biasanya bergantung terhadap hasil tes dan potensi bawaan sejak lahir. Ketika ia menjalani sebuah tes dalam bidang tertentu dan mendapatkan hasil yang buruk, ia akan menganggap bahwa dirinya memang tak berbakat dalam bidang tersebut dan menganggap orang yang mendapat hasil baik merupakan orang yang memang berbakat sejak lahir sehingga tak perlu usaha untuk mendapatkan hasil yang baik.

Orang seperti ini pada umumnya ketika sukses dalam suatu bidang akan berusaha mempertahankannya dan tak memberi peluang kepada orang lain untuk merebutnya. Bahkan walaupun dia harus berbuat curang untuk mewujudkan hal tersebut.

Dalam hal ini, merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang ibu untuk menanamkan mindset tumbuh dalam diri anaknya sejak kecil dengan cara memberikannya tantangan-tantangan kecil kepadanya. Ketika si anak gagal, maka si ibu terus memberinya semangat agar terus berusaha untuk menaklukkan tantangan tersebut. Dan hal ini dilakukan terus menerus dengan menaikkan tingkat kesulitan tiap kali sebuah tantangan berhasil ditaklukkan.

  1. Memberikan pendidikan yang berkualitas. Merupakan sebuah keniscayaan bahwa salah satu faktor yang urgen dalam membangun negara yang maju adalah tingginya kualitas pendidikan negara tersebut. Ketika penduduk suatu negara memiliki intelektualitas yang tinggi, maka negara tersebut akan menemukan berbagai inovasi-inovasi baru yang mampu membuat negara tersebut bersaing dengan negara-negara lain di dunia.

Untuk mewujudkan masyarakat yang intelek, peran orang tua sangatlah berpengaruh, karena seorang anak dapat mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang tinggi bila dibiayai oleh kedua orang tuanya.

Dan dalam memilih suatu instansi pendidikan, orang tua tak bisa sembarangan memilih. Karena harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang disenangi dan diminati oleh sang anak. Karena jika tidak, maka anak tersebut akan menjalani hari-harinya dengan keterpaksaan. Dengan demikian pembelajaran yang dikenyam oleh sang anak-pun tak akan berjalan kondusif.

Selain itu, instansi yang dipilih seyogyanya juga merupakan instansi yang memiliki kualitas tinggi dalam mendidik peserta didiknya serta kurikulum yang sudah teruji. Karena dengan demikian, seorang anak dapat tumbuh menjadi seorang yang melek pengetahuan dan menjadi ahli dalam bidang tertentu yang dia kehendaki.

Ketika hal ini sudah tercapai, maka tak menutup kemungkinan seorang anak akan menjadi ilmuwan ternama yang dapat menemukan berbagai penemuan terbaru yang kreatif serta inovatif.

 Ketiga hal inilah, yang menurut hemat penulis dapat dilakukan oleh para ibu di seantero negara Indonesia agar dapat memberikan sumbangsih yang besar demi kemajuan negara kita kedepannya.

Dan ketika ketiga hal tersebut telah mampu dilakukan oleh mayoritas ibu di negara kita yang tercinta ini, dalam beberapa tahun kedepan negara kita pastinya dapat mengejar ketertinggalan dan pada akhirnya mampu bersaing dengan negara-negara lain di kancah internasional. wassalam

Penulis : Ali Hasan Sholeh (Santri Aktif MAPK Nurul Jadid)

For you mom

For you mom

For all the merits exposed

For lovely affection devoted

For every life meaning acquainted

And for each tear fallen down

Mom, I’m sorry

I don’t posses a powerfull body to reply all your merits

My heart is too weak to affect you as deep as you do

My mind is very simple-minded even just to utter beautiful words for

Your smile, even just to raise your pride on everybody’s eyes, even

Just to reach the dream you exprct me to br, even just to do and

Behave like what you always remind me about

I’m just kinda hell for u

Mortifying you in often

Hurting your heart as always

I just bring nothing but cries

I disappoint you even for today

In this day to commemorate

I could not say anything but I love you so

Penulis :  Amirul Wahid (Peserta Didik Aktif LPBA, Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Pilpres dan Fenomena Post Truth

Pilpres dan Fenomena Post Truth

Di tengah maraknya berita-berita hoax, diperparah lagi dengan makin leluasanya setiap pengguna media sosial (Medsos) mengupload, mengolah, menggoreng, mempublikasikan informasi seenaknya sendiri seolah-seolah makin membuat kabur mana kebenaran dan mana kebohongan. Kebenaran dan kebohongan seperti menjadi satu, membaur saling menerima sekaligus menegasi, menolak sebagian sekaligus menerima bagian yang lain. Bahkan yang lebih ekstrim, sebuah kebohongan dibalik seolah sebuah kebenaran, dan diterima sebagai kebenaran, sementara kebenaran tenggelam dianggap sebuah kebohongan. Setiap orang memiliki kuasa untuk mengatur kebenarannya sendiri sehingga apa yang diinformasikan di tengah-tengah publik diyakini sebuah kebenaran. Persoalannya kemudian bagaimana kebenaran dan kebohongan bekerja di tengah-tengah publik sehingga ia menguasai setiap orang. Konsumen informasi medsos seakan tidak perlu lagi menelusuri dan mengidentifikasi lebih jauh kebenaran atau kebohongan yang sesungguhnya?.

Era Pasca Kebenaran

Menurut teori korespondensi, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang sesuai dan berkorespondensi dengan kenyataan (reality). Sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebuah kebohongan. Artinya kebenaran merupakan sebuah realita, ia bukan anggapan, opini, isu dan bukan pula wacana. Ia adalah kenyataan sejarah, bukan impian dan bukan pula masa depan. Ia memiliki landasan empirik, sebuah perjalanan masa lalu yang berangkat dari fakta-fakta emperis. Oleh karenanya kebenaran dapat diukur, diuji, diverifikasi karena sifatnya objekif. Sebaliknya jika sesuatunya tidak memiliki landasan empirik, hanya berupa informasi-informasi liar yang tidak mempunyai sejarah, maka ia dapat dipahami sebagai kebohongan. Keduanya, kebenaran dan kebohongan, belakangan saling menguat dan mengklaim dirinya sebagai kebenaran.

Ajang pilkada, pilgub, pilpres dan pil-pil yang lain menemukan momentumnya untuk bertarung di tengah semrawutnya kebenaran dan kebohongan. Masing-masing Pasangan Calon (Paslon) mendapatkan angin segar untuk membuat kebenarannya masing-masing. Antara satu dengan yang lain saling mengklaim sebagai yang benar. Serang-menyerang, mencemooh, membuli, bahkan mengakfirkan antar Paslon menjadi sebuah pemandangan dan suguhan sehari-sehari. Masyarakat pun semakin bingung mana sebenarnya informasi yang benar dan yang bohong tentang masing-masing Paslon. Di tengah sulitnya membedakan keduaya (kebenaran dan kebohongan), pada akhirnya “kebenaran semu” dalam menjadi sebuah proyek. Artinya setiap paslon berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan masyarakat meyakini apa yang diinformasikan dan apa yang dilakukan adalah sebuah kebenaran. Akhirnya citra positif di depan publik menjadi proyek utama untuk mempengaruhi dan menyakinkan publik bahwa ia sebagai yang benar, yang lain adalah salah. Sekalipun kerja-kerja pencitraan juga merupakan kebohongan yang dibungkus seolah sebagai kebenaran.

Dalam momentum seperti ini fakta senyatanya tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding dengan emosi dan keyakinan personal, itulah yang disebut fenomena post truth. Sebuah era pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing sedemikian rupa dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus bersaing dengan media sosial yang semakin mengaburkan antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan non fiksi.

Oleh karenanya, yang diperebutkan oleh Paslon adalah hati masyarakat dengan pendekatan yang bersifat primordial-emosional dari pada pendekatan yang rasional. Sehingga menjadi wajar kemudian jika penggunaan isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagai instrumen politik yang paling ampuh untuk menjual serta meningkatkan elektabilitas Paslon tertentu. Sebab isu tersebut sangat dekat dengan emosi setiap orang dan sangat sensistif karena bersentuhan langsung dengan personal seseorang. Sehingga isu SARA tetap menjadi alat politik yang paling seksi yang dapat memancing hati calon pemilih. Lihat saja misalnya sejak terjadinya Pilpres 2014 hingga sekarang isu yang paling seksi dan trend adalah isu yang berkaitan dengan SARA.

Maka dari itu, penggunaan media sosial dirasa memiliki  efektif untuk menggerakkan, mengarahkan seseorang pada pilihan Paslon tertentu. Makanya tidak heran jika Medsos menjadi makhluk baru yang paling berkuasa belakangan. Kebebasan menyampaikan opini, informasi dan berita dan sebagainya satu sisi bernilai positif untuk mengawal kekuasaan dan proses demokrasi, tapi pada sisi lain sangat merusak dan mengganggu stabilitas kekuasaan. Berangkat dari hal itu, Jurgen Habermas, Filsuf Jerman, pernah mengatakan bahwa konektifitas media sosial (Medsos) akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Medsos bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global serta menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Sebaliknya medsos juga bisa menjadi ancaman bagi tegaknya demokrasi dan pluralisme.

Di Rusia misalnya, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukhraina, Perancis dan Jerman. Bahkan kemenangan Donal Trump disinyalir karena kampanye hitam lewat medsos. Termasuk kemenangan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte yang disinyalir membuat keyboard army untuk menyebarluaskan narasi palsu dan lain sebagainya. Pada posisi ini, orang tidak lagi melihat kebenaran dengan mengonfirmasi fakta, tapi lebih dipengaruhi opini yang berkembang. Pada akhirnya siapa yang mampu memerankan dan mengendalikan opini publik ia akan menjadi penguasa bahkan menentukan kebenaran. kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta-fakta, melainkan ditentukan oleh siapa media sosial digerakkan dan dikuasai. Ujungnya masyarakat akan tersegmentasi pada kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan kecendrungan dan kedekatan emosionalnya. Kedekatan emosional biasanya ditentukan oleh hal-hal primordial seperti paham keagamaan atau agama, golongan, daerah, ras dan suku bangsa. Dengan demikian ancaman berikutnya adalah pluralsime. Yakni, perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masyarakat tidak lagi dipelihara dan dijaga sebagai kekayaan dengan membangun toleransi dan kesalingpengertian tapi dibikin ektrim agar saling memisah dan berhadap-hadapan hanya untuk merebut suara masyarakat. Atara satu golongan dibenturkan dengan golongan yang lain, dengan memperuncing perbedaan dari pada mencari persamaan.

Pada level ini, informasi yang diolah dan dikemas sedemikan rupa lambat laun mengikis kesadaran dan daya kritis masyarakat. Opini publik yang menguasai masyarakat apakah berupa kebenaran atau sebaliknya kebohongan, penipuan maupun fiktif dengan tanpa sadar diterima dan dipercaya sebagai kebenaran. Hilangnya kesadaran dan daya kritis inilah sebagai penanda keberhasilan medsos yang menyebarkan berita propaganda dalam mengontrol pikiran bahkan kesadaran seseorang. Inilah era post truth, sebuah fase pasca kebenaran.

Penulis: Ainul Yakin, Dosen UNUJA, Pegiat di Community of Critical Sosial Research (Commics) Probolinggo.

Terorsime dan Bahaya Laten Korupsi

Terorsime dan Bahaya Laten Korupsi

Ada yang luput dari perhatian kita tentang munculnya terorisme. Selama ini kita teralalu fokus pada kejahatan terorisme dengan pendekatan logika hukum yang sifatnya represif. Hingga seolah-seolah perlu hukuman dan penanggulangan terorisme ektraketat. Dengan bangunan logika tersebut terorismedi bayangkan akan musnah. Sementara pada sisi lain tidakan korupsi makin merajalela dan menjadi-jadi bahkan pola tindakan koruptor pun semakin canggih. Jika kita konsisten dengan asumsi dan logika yang dibangun sejak awal, bahwa munculnya terorisme adalah akibat terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial di masyarakat.  Singkatnya terorisme lahir akibat dari ketikdakadilan social. Sebenarnya yang tidak kalah bahayanya adalah tidakan korupsi. Korupsi yang hanya menguntungkan pihak tertentu setidaknya  telah  berkontribusi besar adanya ketimpangan di masyarakat.

Sebagaimana kita disadari bersama bahawa korupsi merupakan  tindakan yang sudah membudaya dan mendarah daging di negeri ini. Bahkan di semua lapisan dan instasi pemerintah pernah tersandung yang namanya kejahatan korupsi. Kejahatan tersebut seolah menjadi lingakran setan yang sangat sulit dicari pangkal dan ujungnya. Antara satu bagian berjalin kelindan dengan bagian yang lain. Hingga mencari akarnya pun perkara yang tidak mudah. Hingga yang terjadi bukan menyembuhkan penyakit korupsi tapi meraba-meraba mencoba mencari obat yang ampuh untuk mengobati penyakit tersebut. Akhirnya yang terjadi bukan memulihkan tapi asal tebang.

Bahaya Korupsi

Sepintas, seolah-seolah bahaya korupsi tidak sejahat terorisme. Hanya karena korban kejatan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan fisik atau nyawa seseorang. Beda halnya dengan teroris yang korbannya langsung besentuhan dengan fisik dan  nyawa. Secara manefes hal tersebut bisa dibenarkan.  Namun secara laten koruspsi lebih berbahaya dan labih menyikasa  sebab korbannya dibunuh secara pelan-pelan, semacam pembuhuna secara mutilasi. Korban korupsi dibunuh organ-orannya sedikit demi sedikit dan satu persatu, tidak dibunuh sekaligus. Beda dengan korban terorisme yang langsung menghilangkan nyawa sesorang.

Sebut saja misalnya, korupsi di bindang anggaran pendidikan, yang mestinya anggaran tersebut jatahnya untuk masyarakat miskin, tapi karena dikorupsi maka anggaran tersebut tidak sampai kepada yang berhak. Hingga yang terjadi adalah hilangnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Maka jangan heran, jika banyak orang yang tidak mampu secara ekonomi akhirnya  putus sekolah, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak seperti yang dinikmati oleh orang yang berada. Akibat  putus sekolah, tentu saja tidak punya wawasan dan keterampilan, sehingga menjadi pengangguran di masyarakat.  Jika pengangguran makin banyak maka kemiskinan menjadi meningkat. Walhasil, akibatnya banyak kemiskinan, maka kejahatan sosial dan tindakan kriminal pun meningkat misalnya tindakan terorisme, perampukan dan kejahatan sosial yang lain.

Mereka yang terpinggirkan di masyarakat sejatinya bukan cita-citanya menjadi orang yang terbelakang, menjadi orang jahat dan seterusnya. Tapi harus dipahami bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari adanya desakan situasi dan kondisi yang menyelimutinya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Sebuah analogi lain, tindakan korupsi di pembangunan infrastrukur jalan desa  akan melahirkan  transportasi perjalan desa yang sulit, biaya mahal, akses ke luar tertutup dan setersunya.  Infrastrukutur desa yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, akhirnya melahirkan biaya akomodasi yang mahal dan  tinggi. Sehingga ujung-ujungnya yang jadi korban tetap masyarakat miskin. Semestinya masyarakat menikamati  fasilitas desa, pendidikan, infras yang layak tapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Akhirnya mencari jalan pintas “alternative” untuk bertahan hidup salah satunya dengan cara melawan norma dan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Lebih jauh,  internalisasi nilai-nilai kebangsaan lewat pendidikan pun akhirnya terhambat bahkan terancam gagal. Akibat tertutupnya akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang unggul, mereka berpeluang untuk diisi dengan ideologi baru yang mungkin saja berbahaya bagi keutuhan bangsa oleh pihak yang berkepentingan. Celah dan ruang akibat adanya kesenjangan sosial di masyarakat lambat laun akan menjadi bom waktu yang berbahaya bagi keutuhan bangsa. Itu bahaya laten dan jangka panjang maraknya tindakan korupsi. Demikian juga misalnya korupsi yang terjadi di bidang pembangunan infrastrukur, politik, keuangan dan lain-lain. Akan menimbulkan biaya hidup yang makin mahal, maka mereka yang jadi korban  lebih memilih bertahan dengan jalan pintas dan jalan alternative dari pada harus terbebani biaya hidup yang tidak terjangkau.

Selain itu,  hasil korupsi yang hanya dimonopoli dan dinikmati segelintir orang, sementara yang lain adalah korban. Setiap kali ada tindak pidana korupsi setiap kali itu pula bibit terorisme muncul. Dan, semakin tinggi angka korupsi dalam sebuah Negara maka semakin tinggi pula angka teror yang terjadi di masyarakat, apa pun bentuknya. Artinnya, kejahatan terorisme tidak bisa hanya dilihat sebagai kejahatan otonom-independen. Ia memiliki keterkaitan dengan kejatahan yang lain, utamanya tindakan korupsi yang sudah mendarah daging dan menbudaya yang dilakukan secara terus menerus oleh oktom elit politik tanpa menghiraukan kepentingan rakyat banyak.  Walhasil, kejahatan tindak pidana korupi secara laten telah menyumbang lahirnya teroris dan terorisme gaya baru.

Lalu, Siapa yang paling bertanggungjawab mengatasi kejahatan tersebut, dan menanggung dosa terorisme. Secara kelembagaan tentu pemerintah, pemegang kebijakan, dan mereka yang mendapatkan amanah menjalankan roda pemerintahan dalam sebuah Negara. Secara teologis, dalam ajaran Islam disebukan dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Pemimpin rakyat adalah pemerintah. Pemimpinan keluarga adalah orang tua, pemimpin siswa adalah guru, peminpin desa adalah kepala desa, pemimpin pesantren adalah pengasuh / kiyai    dan seterusnya. Aritnya dalam konteks terjadinya terorisme dalam sebuah Negara yang paling bertanggungajwab sekaligus menangung dosanya adalah Negara dalam hal ini dalam pemerintah. Jadi, dapat dihami bahwa munculnya kejahatan terorisme adalah kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya menciptakan kemakmuran dan keadilan hukum dalam masyarakat.

Sejatinya terorisme sama saja dengan kejahatan yang lain, seperti separatsime, perampokan, penjamretan, pencabulan, pencurian dan pemerkosaan. Namun dinggap lebih parah karena  korbannya bukan hanya satu dua orang tapi banyak orang yang diiringi dengan ancaman yang terorganisir. Namun kejahatan yang tidak kalah parah dan bahayanya adalah  tindakan korupsi. Ia adalah kejahatan terselubung, rapi dan sistematis. Kejahatan korupsi sama halnya dengan menabung kerusuhan sosial. Ia membunuh warga dengan cara pelan-pelan, sedikit demi sedikit dengan cara memutilasi. Ia telah membunuh kreatifitas warga, mematikan akses masa depan dan kehidupannya. Akhirnya, akibat  kejahatan yang berlangsung cukup lama tersebut menimbulkan akumulasi  kekecewaan massal yang berkelanjutan. Kekecewaan yang mengkristal dalam tubuh masyarakat  akibat ketidakadilan hukum maka akan menimbulkan kejahatan sosial seprti perampukan, pencurian dan lain-lain.  Sebenarnya kebodohan,  keterbelakangan, kemiskinan dan terorisme adalah buah dari pohon yang namanya korupsi. Itulah bahaya laten  exsta ordinary crime yang bernama korupsi.

Penulis: Ainul Yakin, Dosen Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, E-mail: [email protected]

20181028_sumpah pemuda

Hari Sumpah Pemuda | Pendidikan Berkarakter Pemuda Masa Kini Khalifah Masa Depan

Hari sumpah pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober menjadi momentum untuk kembali membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan yang terasa semakin luntur di hati rakyat Indonesia khususnya pemuda. Perbedaan yang diperinci telah membuat rasa persatuan dan kesatuan yang dulu pernah membuat bangsa Indonesia merdeka, saat ini seolah berbalik menjadi sarana pemecah persatuan bangsa. Tidak sedikit kasus yang menyebabkan nyawa pemuda melayang hanya karena secuil perbedaan pendapat dan dukungan. Rusuh karena berbeda tim sepak bola, berbeda sekolah, berbeda organisasi, berbeda pilihan pemimpin, berbeda agama dan perbedaan-perbedaan lain yang seharusnya membuat kita semakin dewasa terhadap keberagaman, justru menjadi bibit permusuhan. Bukankah dari dulu perbedaan itu telah ada dan kita tidak pernah terusik dengan perbedaan tersebut, kenapa sekarang hal tersebut seolah menjadi halangan utama dalam bersatu?

Jawaban sederhana dari pertanyaan itu adalah karena semakin lunturnya rasa saling menghormati, menghargai, kerja sama, cinta tanah air, dan berbagai hal yang berkaitan dengan persatuan. Untungnya, pemerintah telah menyadari betul penyebab masalah tersebut dan telah mengambil langkah konkret penanganan yaitu penanaman dan penguatan pendidikan karakter sejak dini, khususnya pada pendidikan formal.

Penguatan Pendidikan Berkarakter

Pendidikan menjadi sarana strategis dalam implementasi pendidikan karakter bangsa mengingat telah memiliki struktur, sistem dan perangkat yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dari pusat hingga daerah. Melalui dunia pendidikan maka pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan secara masif dan sistematis khususnya melalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program PPK diharapkan dapat menumbuhkan semangat peserta didik dalam belajar karena sekolah akan mengkondisikan diri sebagai rumah yang ramah bagi peserta didik sebagai tempat tumbuh dan berkembang. Tujuan program PPK adalah menanamkan nilai-nilai pembentukan karakter bangsa secara masif dan efektif melalui implementasi nilai-nilai utama gerakan nasional revolusi mental (religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas) yang menjadi fokus pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan, sehingga pendidikan karakter bangsa benar-benar dapat memperbaiki perilaku, cara berpikir dan bertindak seluruh bangsa Indonesia.

Sekolah sebagai wadah proses peserta didik harus memiliki program untuk dapat melaksanakan kegiatan yang ber-orientasi kepada ketercapaian nilai utama Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)  yang harus ditanamkan kepada peserta didik, baik itu dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun pembiasaan budaya sekolah. Guru sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas juga harus mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang berorientasi kepada PPK khususnya pada lima nilai utama yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas.

Lima Nilai Karakter Utama

Menurut Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Sekretariat Jenderal Kemendikbud (2017: 8 – 9) menyebutkan bahwa dimensi nilai religius meliputi tiga relasi sekaligus yaitu hubungan antara individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan), ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai religius antara lain: damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan dan melindungi yang kecil dan tersisih.

Nilai karakter Nasionalis merupakan cara Berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Adapun subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri menjaga kekayaan bangsa sendiri, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku dan agama. Contoh konkrit, sekolah dapat menerapkannya dengan membiasakan siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza setiap pagi sebelum memulai pembelajaran, hal ini sangat baik untuk membangkitkan rasa cinta tanah air terhadap diri siswa.

Nilai Karakter Mandiri merupakan Sikap dan Perilaku yang tidak bergantung dengan orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu, untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Sedangkan subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh dan tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Nilai karakter Gotong-royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu-membahu dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Adapun subnilai gotong-royong antara lain saling menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas putusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan dan sikap kerelawanan.

Nilai karakter Integritas merupakan nilai yang melandasi perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral).

Karakter Integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, mellaui konsistensi tindakan dan perbuatan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan dan menghargai martabat individu (terutama kepada penyandang disabilitas)

Kelima nilai utama karakter tersebut bukanlah nilai yang dapat berdiri sendiri, melainkan nilai yang berinteraksi satu dengan yang lain dan berkembang secara dinamis membentuk keutuhan pribadi. Oleh karena itu, guru dalam membelajarkan siswa harus mau dan mampu memberikan prioritas pada penanaman kelima karakter tersebut.

Presiden ke-1 RI, Ir Soekarno pernah berkata, “Beri aku 10 pemuda niscaya  akan ku guncang dunia”. Hal tersebut jelas mengisyaratakan bagaimana kedahsyatan atas kemampuan yang dimiliki pemuda jika dibina dengan benar. Untuk itu, sekolah sebagai tempat utama penanaman dan penguatan karakter, harus rela sedikit bekerja lebih keras demi tumbuhnya pemuda tangguh dan berkarakter untuk Indonesia yang semakin Super.

Penulis : Muhammad Nuris

Editor : Ponirin Mika

Hari Asyura’, Satu Hari Seperti Satu tahun

Balik sebuah nama.

Bulan Muharram merupakan salah satu dari bulan yang dimuliakan (Al-syuharu al-hurum) oleh Allah SWT. Dengan kemuliaanya itu tentunya didalamnya terdapat banyak fadilah-fadilah dan keutamaan yang tidak ada di dalam bulan lainya. Selain doa awal dan akhir tahun, puasa, bersedekah dan sholat sunnah, di dalamnya ada keistimewaan yang lebih dari semua itu, yaitu adanya Yaumul asyura’ atau hari ke 10 di bulan Muharram.

Di dalam bulam Muharram sendiri ada istilah Yaumul asyri (hari sepuluh) da nada istilah yaumul ‘asyir (hari kesepuluh). Dua kalimat tersebut walaupun mirip dan terbentuk dari akar kata yang sama tetapi memiliki maksud dan pengertian yang berbeda. Yaumul asyri artinya hari kesepuluh atau hari saat itu tanggal 10 Muharram yang biasanya disebut hari Asyura’. Sedangkan asyura’ sendiri berasal dari kata asyrun yang artinya sepuluh. Ada pendapat lain mengapa dinamakan asyura’ karena pada hari itu Allah SWT telah memulyakan sepuluh nabinya dengan sepuluh keistimewaan.

  1. Allah telah menerimanya taubatnya Nabi Adam as.
  2. Allah telah mengangkat Nabi Idris as. ke tempat yang mulia.
  3. Allah telah menyelamat Nabi Nuh as. dan kaumnya dari banjir bandang.
  4. Allah telah menyelamatkan Nabi Ibrahim atas api yang membara dari pembakaran Raja Namrudz, kemudian diangkat menjadi Khalilullah (kekasih allah).
  5. Allah telah menerimanya taubatnya Nabi Dawud as.
  6. Allah telah menyelamatkan Nabi Musa as. dan umatnya dari kejaran Raja Fira’un. Pada hari itu juga Fir’aun ditelenggelamkan Allah ke dalam laut merah.
  7. Allah telah menyelmatkan Nabi Yunus as. dan mengeluarkanya dari perut ikan.
  8. Allah telah mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman as.
  9. Allah telah mengangkat Nabi Isa ke langit.
  10. Allah memberikan jaminan pengampunan pada Nabi Muhammad Saw baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi.

Selain yang disebutkan diatas ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama asyura’ disematkan karena menjadi urutan ke-10 dari 10 keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad Saw. Sepuluh keistimewaan itu antara lain:

  1. Bulan Rajab.
  2. Bulan Sya’ban.
  3. Bulan Ramadhan.
  4. Malam lailatul qodar.
  5. Hari Raya Idul Fitri.
  6. Ayyamul asyr atau hari sepuluh.
  7. Hari arofah.
  8. Hari Raya Idul Adha.
  9. Hari Jum’at .
  10. Yaumul asyura’.

Tradisi di Yaumul Asyura’ (Puasa Asyura’)

Dalam kitab irsyadul ibad syekh zainuddin al-Malibari menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Syaikhan (Bukhari dan Muslim). Dari Ibnu Abbas ra berkata pada saat Rasulullah datang ke Madinah beliau menemui orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari asyura’, Rasulullah berkata “hari apa ini ..?” Orang Yahudi menjawab ini hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Nabi Muhammad Saw bersabda:

“Kita lebih benar dan lebih utama dari Musa dari kalian. Maka Musa puasa pada hari itu, dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk puasa.”

Dalam hadits lain berbunyi:

“Aisyah ra. berkata Dahulu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka”. (HR. Al Bukhari No 1897)

Melihat beberapa keistimewaan dari puasa asyura’ di atas, sudah sepatutnya kita sebagai orang muslim yang beriman bisa melakukan apa yang sudah dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw , walapun secara hukum puasa tersebut termasuk kategori puasa sunnah. Bagaimana dengan puasa tasu’a? Tidak hanya puasa pada hari kesepuluh saja, alangkah baiknya jika diikuti dengan puasa pada hari sebelumya (tasu’a) hari kesembilan atau sesudahnya dihari kesebelas.

Ibnu abbas berkata “Berpuasalah pada hari asyura’ dan berbedalah dengan orang yahudi. Berpuasalah sehari sebelum asyura’ dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).

Penulis : Muhammad Nuris.

20180827_artikel-islam-nusantara

Islam Nusantara Sebagai Payung Bangsa

Agama Islam hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai agama untuk memberi kedamaian, kesejahteraan dan perlindungan hidup bagi seluruh manusia. Sebagian besar ajaran-ajarannya membahas tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kehidupan baik berkait kehidupan di dunia dan juga kehiduapan akhirat. Dibawa tangan Rasululllah Islam datang untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, bahwa segala tindak tanduk yang merugikan terhadap diri sendiri dan orang lain merupakan prilaku yang tidak terpuji. Dan islam dengan tegas tidak membenarkannya. Terlebih tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran prnsip-prinsip agama dan keberagamaan. Diakui atau tidak, setelah wafatnya Rasulullah ajaran islam mulai banyak ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politik, sehingga disana sini ada perpecahan. Politik akan lebih mementingkan aku bukan kita dan mementingkan kami bukan kita, sedangkan ajaran islam lebih banyak berbicara tentang kita dari pada semua itu. Pembahasan ajaran islam tentang kita biasanya menyangkut persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan tidak berbicara tentang persoalan-persoalan hubungan individu dengan Tuhannya, karena persoalan individu dengan Tuhannya merupakan kewajiban personal. Mengapa islam lebih banyak menyinggung persoalan kita, karena islam bukan agama individualistik yang terpaku pada pembahasan holistik. Islam adalah agama sosial, ajaran-ajarannya adalah refresentasi dari gejala-gejala sosial.

Rasulullah sangat memahami akan hal ini, sehingga dalam perjalanan kehidupan rasul selalu mededikasikan dirinya sebagai pelayan ummat dan bangsa untuk kemaslahatan ammah dan menghindarkan diri dalam mengambil kesempatan untuk kemaslahatan diri, keluarga dan bahkan kelompoknya. Tauladan yang dilakukan Rasulullah seyogyanya menjadi cermin bagi masyarakat, terutama masyarakat muslim dalam berfikir dan beramal. Dalam pribadi Rasulullah berisi ajaran islam kaffah dan terwujud secara komprehensif. Maka dengan memahami ajaran islam secarah utuh yang dipraktikkan oleh rasulullah ini, akan membawa kepada islam yang mernafas nilai-nilai universal bukan partikular atau sektoral.

Mengapa Harus Islam Nusantara

Islam Nusantara seringkali dipahami sebagai islam yang keluar dari ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah. Pandangan seperti ini mengira bahwa Islam Nusantara, ajaran baru yang dibuat oleh ulama nusantara, dan dipandang telah menciderai ajaran-ajaran isalam sebagai  wahyu Tuhan. Dan bahkan ada yang mengklaim bahwa yang membuat istilah Islam Nusantara adalah orang yang akan mengkaburkan antara ajaran yang dibawa olen Nabi Muhammad dengan ajaran yang dibawa oleh ulama nusantara. Padahal Islam Nusantara itu ya Islam NU, Islam Ahlusunnah wal Jmaahan-Nahdhiyah. Isinya lama dalam botol baru. Tidak ada yang berubah basis teologinya asy’ari dan almaturidi, basis fiqhnya syafi’i, maliki, hanafi dan hambali dan basis tasawufnya junaid albagdhadi dan imam al-ghazali. Sederhananya adalah islam Nusantara adalah ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah yang di amalkan dalam wadah Nusantara, sebagimana sudah dijalankan oleh NU selama ini. Islam itu agama, yang memiliki nilai-nilai universal tidak terikat ruang dan waktu. Sementara manusia bersifat temporal-partikular, terikat dengan situasi dan kondisi. Dan manusia merupakan mahluk yang berbudaya. Setelah agama yang ajarannya bersifat universal masuk kedalam diri manusia maka ekspresinya beragam sesuai dengan budaya setempat. Islam yang diamalkan oleh bangsa-bangsa lain, baik bangsa yang ada di Timur Tengah dan di Barat, tentu mempunyai karakterstik yang berbeda. Perbedannya ditingkat cabang (furu’) bukan pokok (ushul). Yang pokok bersifat universal dan tidak akan berubah selama-lamanya.

Islam Nusantara bukanlah hal baru (bid’ah) Islam Nusantara adalah pandangan politik yang ber-sintesis Islam dan Kebangsaan. NKRI harga final tidak ada khilafah sebagai sistem politik kebangsaan. NKRI cerminan dari keutuhan ajaran islam yang sebenarnya dan itu harus di jaga oleh anak bangsa yang peduli terhadap keislaman dan kebangsaan. Tidak ada lagi upaya membentuk Negara Islam, walaupun itu bersifat opurtunis. Gerakan Islam Nusantara itu bukan hanya dalam pandangan agama, tetapi juga dalam persoalan sosial-ekonomi (asiyasah wal iqtishadiyah) sehingga fikroh siyasah NU dalam menjaga keutuhan NKRI dari segala ancaman-ancaman ajaran transnasinal adalah Islam Nusantara. Kita tidak menyalahkan islam arab itu keliru, itu benar karena budayanya akan tetapi menjadi kurang tepat apabila meng-arabi-sasi Islam Indonesia. Sebab, kultur Indonesia dan Arab sangat berbeda dan Islam menghargai budaya yang berbeda dimanapun.

Islam Nusantara : Milik Kita bukan Kami

Islam Nusantara adalah nama baru bukan soal isi baru, isinya sudah berpuluh-puluh tahun dipakai sejak puluhan tahun. Bahwa, kontroversi Islam Nusantara terletak pada muatan isi, berarti Islam Nusantara dipakai oleh sebagian orang yang mempunyai kepentingan pragmatis. Islam Nusantara cara menyelamatkan bangsa dari segala sektor, baik berkait sektor agama, politik, sosial dan budaya. Islam Nusantara milik kita bukan kami, kita yang dimaksud adalah masyarakat nusantara tanpa melihat ras, suku dan agama. Karena mision dari Islam Nusantara adalah meneguhkan Islam Nusantara sebagai payung bangsa. Wallahu’alam

 

Oleh : Ponirin Mika, Pengurus Sekretariat PP. Nurul Jadid dan Anggota Community Of Critical Social Research (Commics) Paiton Probolinggo

Santri dan Kaidah Na’at Man’ut Dalam Nahwu

Tepat pada malam senin kemarin (22/06/2018), Pondok Pesantren Nurul Jadid mengadakan agenda yang dilaksanakan tiap tahun dalam rangka menyambut kedatangan Santri baru atau yang biasa kita kenal dengan OSABAR (Orientasi Santri Baru), pada acara tersebut dihadiri oleh beberapa dewan pengasuh dan jajaran pengurus pondok pesantren Nurul Jadid.

Acara tersebut berjalan sangat khidmat dan tertib mulai dari penampilan keempat MC nya yang  memadukan 4 bahasa yang menjadi keunggulan pondok pesantren Nurul Jadid yaitu Arab, Inggris, Mandarin dan juga Indonesia. Begitulah Nurul Jadid dari tahun ke tahun selalu berbenah dan selalu memunculkan inovasi-inovasi baru sehingga menambah daya tarik para calon Santri yang ingin mondok.

Ada beberapa inti dari acara OSABAR tersebut salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh KH Najiburrahman Wahid yang merupakan perwakilan dari Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadidi, Beliau berdawuh bahwa “adanya OSABAR sebagai wujud dari upaya pondok pesantren Nurul jadid yang ingin memberikan karakter selayaknya orang tua kepada anaknya sesuai dengan tuntunan Trilogi Santri, panca kesadaran Santri, yang intinya adalah mengaji dan membina akhlakul karimah.”

Menjadi Santri tentunya menjadi pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penyandang gelar tersebut, setiap Santri tentu memiliki kesan dan pesan selama ia mondok, lebih-lebih bagi Santri baru tentunya akan merasa asing bahkan tidak nyaman pada kesan pertamanya di pesantren. Ada yang masih belum kerasan karena biasanya hidup dengan orang tuanya kini sendiri dan harus mampu hidup mandiri, disatu sisi ada yang merasa senang karena memiliki teman baru yang datang dari berbagai daerah.

Mondok adalah suatu tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur kita, para kyai, walisongo dan para ulama. Dimana mereka menuntut ilmu dengan pergi ke berbagai daerah yang jauh, bahkan ada yang sampai berjalan kaki. Hal itu tiada lain karena sebatas ghirah untuk tafaqquh fi ddin (memperdalam ilmu agama). Bagaimana dengan kita?

Di salah satu ungkapan Rais Am syuriah NU KH Ma’ruf Amin  beliau mengungkapkan bahwa “Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut pada kiai, itu dianggap sebagai Santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para Santri”. Dengan kata lain bahwa seorang Santri adalah penerus perjuangan para Kyai, Masyaikh, dan Guru serta orang-orang yang berjasa dalam mendakwahkan agama Islam.

Dalam salah satu bait alfiyah dikatakan yang namanya na’at adalah pengikut yang menyempurnakan lafaz sebelumnya.

فالنَّعْتُ تَابعٌ مُتِمٌّ مَا سَبَقْ  ¤ بِوَسْمِهِ أوْ وَسْمِ مَا بِهِ اعْتَلَقْ

Artinya: Adapun Na’at adalah Tabi’ penyempurna lafazh sebelumnya dengan sebab menyifatinya (Na’at Haqiqi) atau menyifati lafazh hubungannya (Na’at Sababi). 

Begitupun seorang Santri Ia adalah orang-orang yang ikut sebagai penerus yang menyempurnakan perjuangan para leluhur  dalam mendakwahkan ajaran Islam. Tidak habis sampai disitu seorang Santri harusnya memiliki sifat dan kesamaan dengan para Kyai baik dari aqidah, akhlak, dan pengetahuannya dalam hal ini Kyai adalah man’utnya (yang harus diikuti).

Bagaimana dakwah yang selayaknya untuk diterapkan dan dipraktikkan oleh seorang Santri, dalam salah satu artikel yang dikuip dari website NU Online Ketua umum PBNU Kiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa dakwah yang bagus adalah dakwah yang seperti diajarkan oleh walisongo dengan jalan akulturasi budaya.

“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Wali Songo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh dan efektif,” tegas Kiai Said Aqil Siradj.  Dakwah dengan cara seperti itu terbukti di dalam sejarah berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Bahkan raja-raja Nusantara itu menjadi Islam.

“Kita saksikan sekarang, dakwah yang manfaat, dakwah yang lestari, masuk sampai dalam hati, adalah dakwah yang dilakukan secara budaya, bukan dengan teror dan menakut-nakuti. Islam diajarkan dengan menakut-nakuti tidak akan masuk ke dalam hati. Imannya hanya pengakuan bibir belaka sehingga menjadikan potensi munafik, tapi kalau berdakwah dengan budaya, iman masuk ke dalam hati, sehingga akan menjadi mukmin kholis (ikhlas),” pungkasnya.

Begitulah peran Santri yang harus selalu tertanam dalam dirinya (pemilik gelar tersebut), agar gelar bukan hanya sebatas gelar yang sifatnya temporal dan mengedepankan formalitas saja, melainkan gelar yang harusnya berada pada tempat dan koridor yang sesuai, yaitu harus mampu menjadi calon pemimpin, penerus, dan penyempurna para leluhur kita dan tentunya dalam tujuan untuk dakwah ajaran Islam yang digariskan dari al-Quran maupun Hadis Nabi Muhammad SAW.

Terakhir penulis mengucapkan ahlan wasahlan, welcome, dan selamat datang bagi para santri baru dan sudah menjadi bagian keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Jadid, semoga mendapatkan ilmu yang barakah fi ad-din, wa ad-dunya, wa al-akhirah,  dan tentunya bermanfaat bagi diri sendiri lebih-lebih bagi orang lain.

Aku Bangga Menjadi Santri!!!

Oleh: Andy Rosyidin
Penulis adalah alumni MAPK Nurul Jadid yang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

 

Wali Tanpa Nama, Tanpa Gelar

Suatu hari, aku bertemu dengan orang gila. ia berbecira tidak  jelas seperti sedang bicara dengan seseorang, dia berbicara dengan lantang. Andaikan mereka tahu bahwa ada wali ‘tanpa nama tanpa gelar’ yang memiliki kemampuan seperti Wali Quthb niscaya mereka akan datang berbondong-bondong mencium tangannya.

Mengais Do’a akan semua masalah dan hajat. Jika Wali tanpa nama tanpa gelar itu telah wafat niscaya mereka akan berlama-lama di makbarohnya, berdzikir, berdo’a dan bermuhasabah diri meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosa mereka selama ini. Andaikan mereka tahu jika mereka sami’na wa atho’na kepada wali tanpa nama tanpa gelar niscaya Allah SWT akan angkat derajatnya. Namun sayang sekali, karena wali tersebut tanpa nama dan tanpa gelar kewalian, ia seringkali dilupakan dan diabaikan.

Aku yang dengar suaranya kaget dan bergumam “hahhh? Memang ada ya, wali tanpa nama tanpa gelar yang kemampuannya seperti Wali Quthb? Siapakah wali tersebut? Dengan sedikit rasa takut aku dekati orang tersebut.

Maaf mbah, tadi saya dengar mbah sedang berbicara panjang lebar dan berbicara tentang wali tanpa nama tanpa gelar, siapakah sebenarnya wali tersebut mbah? Mengapa sedemikian hebatnya wali tanpa nama tanpa gelar tersebut hingga kemampuan dan derajatnya hampir menyamai Wali Quthb? Tanyaku kepadanya.

Orang gila tersebut menoleh kearahku dengan mata sedikit melotot lalu berkata, kamu siapa? kamu mendengar perkataanku? Apa pentingnya buatmu tau tentang wali tanpa nama? Jawabnya dengan nada sedikit membentak.

Mendengar suaranya yang bernada tinggi, membuat aku sedikit takut dan gemetar. Maaf mbah, bukan maksud saya menyinggung mbah, nama saya Rizky Firdaus saya seorang muhibbun pecinta para wali-wali Allah. Aku ingin mengetahui siapa wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah sebut tadi. Ungkapku dengan sopan dan santun.

Orang gila itu tertawa terbahak-bahak, “ hahahaha dasar bocah dungu, namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, tentu saja aku tidak tahu nama wali itu dan apa gelar kewaliannya. Kamu ini hanya tampangnya saja kelihatan pintar”. Sindirnya dengan nada mengejek.

JLEEB, terasa menusuk sekali perkataannya dia menyebut aku anak dungu, wajahku merah padam menahan sedikit emosi. Sepertinya aku salah sangka, kukira orang gila tersebut orang yang bisa diajak bicara. Tapi nyatanya dia sebut aku bocah dungu. Lagian siapa yang tahu gelar wali tersebut. Sedangkan wali tersebut tanpa gelar? Sudahlah, sebaiknya kutinggalkan saja dia, akupun mulai membalikkan badan dan membuang muka dengan wajah masam hendak meninggalkan orang gila tersebut.

“Hey Rizky Firdaus” mau kemana?, kamu ini, sudah datang tidak mengucapkan salam, malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Baru diejek begitu saja sudah bermuka masam, apakah gurumu tidak mengajarkanmu untuk mengucapkan salam saat datang dan pergi? apakah orang tuamu tidak mengajarkanmu untuk bisa bersabar menahan celaan dan hinaan?”

Langkahku terhenti, astaghfirullah betul sekali, aku tadi lupa mengucapkan salam sebelum memulai obrolan dan aku juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Kemudian aku kembali menghampirinya kembali, “Assalammu’ alaikum wr.wb. mbah, mohon maaf mbah atas kelancangan saya karena datang dan pergi tanpa mengucapkan salam, sekali lagi saya mohon maaf” (sambil mencoba meraih tangannya untuk menyalami dan mencium tangannya)”, orang gila itu menepis tanganku seraya berkata “wiss sudah, cukup bilang minta maaf dan tak perlu cium tangan segala”.

Aku hanya ingin tau siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah katakan mbah tadi? Orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata, Sebenarnya wali tersebut begitu dekat denganmu. Aku mulai kebingungan, apaaa?? Aku mengenal wali tersebut? Ia dekat denganku? Lantas  siapa dia?

Orang gila tersebut menjawab, wali tanpa nama dan tanpa gelar itu adalah orangtuamu sendiri. Nah sekarang aku tanya kamu memangnya aku kenal siapa nama orangtuamu dan gelar orangtuamu? yah mana ku tau. aku jadi tambah bingung lalu semakin bertanya-tanya, Orangtuaku? maksud mbah orangtuaku adalah wali tanpa nama dan tanpa gelar? mengapa bisa begitu mbah?. Tanyaku dengan heran.

Oang gila itu mulai menatap mataku dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya lalu menjawab, Apakah kau tidak tahu tentang Uwaisy al Qorni? Salah satu sahabat yang tidak pernah bertemu nabi secara fisik? apa yang menyebabkan dia memiliki derajat yang begitu agung hingga namanya terkenal di langit walau dibumi tak ada seorangpun mengenalnya? kau tahu??!!

Sahabat Uwaisy al Qorni berkata bahwa ibunya pernah berkata dan mendo’akannya seperti ini. Anakku Uwaisy, aku tahu hatimu begitu sangat mencintai dan menginginkan bertemu Nabi Muhammad SAW. Namun kini kau datang padaku dengan wajah dirundung sedih karena tak berhasil menemuinya dan kau memilih segera pulang karena memikirkan dan mengkhawatirkan aku ibumu ini nak, dan aku ridho padamu. “Ya Allah kau maha tahu, saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah ridho pada anakku, maka terimalah ridho ku ya Allah  dan ridhoilah anakku Uwaisy“.

Dan apa kau tidak tahu bahwa Shultonul Auliya’ Syeikh Abdul Qodir A–Jailani? Dimasa kecilnya ketika dirampok. Ia berkata jujur tentang kantung emas yang ia bawa, perampok itu heran mengapa ia malah jujur mengatakan kantung emas yang dibawanya padahal setiap orang yang mereka rampok selalu berbohong tentang bawaannya dan berusaha menyembunyikannya dari  dari mereka. lalu kau tahu apa kata Syeikh Abdul Qodir Jailani katakan?

Ketika aku hendak bepergian menuntut ilmu, ibuku berpesan “Wahai anakku. Bila engkau bertemu dengan siapapun maka jujurlah jangan berbohong, sungguh ibu lebih ridho bila engkau jujur sekalipun engkau harus kehilangan harta dan perbekalanmu daripada kau harus kehilangan kejujuranmu.

Lihatlah ibumu, berapa lama dia mengandung dirimu dalam rahimnya? apakah kau sanggup menahan perih dan pedih seperti dirinya. Hanya karena menginginkan kau lahir di dunia, ia  rela bertaruh nyawa agar kau terlahir sehat dan selamat?? apakah kau pernah memikirkan hal ini ?? Itu kuasa Allah SWT yang dianugerahkan kepada ibumu

Sontak diriku terdiam seribu bahasa. Rasanya hati ini ingin menangis sejadi-jadinya. Lalu orang gila itu melanjutkan, kau bangga dan takjub dengan karomah para wali yang kau ketahui tapi, pernakah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang telah Allah SWT anugerahkan kepadanya? Dan pernakah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang sebagai madrasah pertama dalam hidupmu? Bahkan ia rela meluangkan waktu tidurnya karena kau selalu menangis dan rewel sebagaimana para Auliya’ yang tidurnya sedikit karena memikirkan ummat Nabi Muhammad SAW yang banyak berkeluh kesah.

Apakah kau tak tahu kalau itu adalah bukti karomah ibumu? Tidakkah kau pernah mendengar sabda nabi kita? “Ridho orangtua adalah ridho nya Allah SWT, dan murka mereka adalah murkanya Allah”. Para auliya’, mereka menjadi Wali Quthb dikarenakan ridho dari orangtua mereka, tidakkah kau sadar bahwa do’a dan harapan kedua orangtuamu hampir setara dengan Wali Quthb?”

Astaghfirullooh, mendengar penjelasan orang gila tersebut, tubuhku seakan disambar petir, batinku seakan hancur dan seketika itu aku ingin bertiak sekuat-kuatnya. Orang gila itu berdiri lalu berkata sambil menunjuk kearahku. Lihat dirimu, kelak kau akan jadi seorang bapak, apakah kau tahu karomah bapakmu selama ini? lihat tangannya, lihat punggungnya lihat kulitnya, setiap hari ia membanting tulang agar kau tetap bisa makan, tetap bisa tertawa, tetap tersenyum, ia bekerja siang dan malam hanya untuk mengabulkan segala macam pinta dan rengekmu.

Ketika dirimu kecil sering melakukan kesalahan, dialah orang pertama yang membelamu, ketika kau dalam bahaya dia rela menghadapi bahaya itu untuk menyelamatkanmu. Dia tanggung semua bebanmu dan ibumu dipundaknya. Tidakkah kau sadari bahwa bapakmu itu seorang mujahid fli sablllllah? yang setiap hari dia berjuang menafkahi kehidupanmu bertahun-tahun lamanya, dia bapakmu merupakan sang mujahid kebanggaanmu.

Ya Robb, aku seperti hancur lebur mendengar perkataan orang gila tersebut. Ternyata selama ini  aku yang gila bukan dia, aku melupakan siapa sesungguhnya orangtuaku sendiri, aku melupakan semua yang mereka berikan padaku. Bahkan, aku sering takjub akan pesona dan karomah wali tapi aku tak pernah sadar dengan orangtuaku sendiri yang merupakan wali tanpa nama dan tanpa gelar kewalian.

Sesaat kemudian orang gila itu berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun aku mengikuti dia dari belakang ingin tahu kemana dia pergi ternyata dia mendatangi 2 gundukan tanah. Dia duduk disana, seperti orang yang berdialog dan berbicara, namun karena dia menggunakan bahasa daerah yang tidak kumengerti aku tidak tahu apa yang dia ucapkan.

Sesaat kemudian dia tertawa kebahak-bahak sambil senyam senyum dihadapan 2 gundukan tanah yang ternyata itu tanah kuburan, tapi aku tidak tau kuburan siapa itu namun aku berhusnudzon mungkin itu kuburan seorang wali besar, karena dari celoteh orang gila itu sepertinya dia tahu betul tentang wali jadi aku pikir itu kuburan seorang wali.

Begitu mengharukan, sehingga membuatku turut menangis. Aku tak tahu apa yang diucapkannya dalam logat daerah, sambil tangannya mengelus elus kuburan itu, tangisan kian jadi menjadi. Aku sedih bercampur bingung karena tak mengerti dengan bahasa yang diucapkannya. Namun akhirnya aku mengerti mengapa dia menangis dikuburan yang kusangkakan seorang wali, ditengah isak tangisnya aku mendengar dia mengucapkan kalimat “mbok”, lalu pada kuburan yang sebelahnya dia berkata “mbah”, aku jadi ingin menangis sejadi-jadinya ternyata itu kuburan orangtuanya, ternyata itu kuburan seorang wali tanpa nama tanpa gelar.

Kini aku baru faham mengapa orang-orang mulai menganggap gila, sebab dia sering tertawa, menangis meraung, dan bercakap cakap sendiri di kuburan seandainya aku jadi dia mungkin aku akan sama dengannya menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kedua orang tunya yang paling ia sayangi.

Aku membalikkan badanku bergegas ingin pulang kerumah untuk menemui kedua orangtuaku yang masih hidup. Dan merasa beruntung masih memiliki wali tanpa nama tanpa gelar yang masih hidup. Sepanjang jalan aku berdoa, “robbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shoghiroo..

Muhassabah diri dari : RIZKY FIRDAUS, SJ

Valentine Day, Semoga Kita Tidak Salah Meletakkan ‘Cinta’

Mafhum sebagaimana yang kita ketahui bahwa besok, tanggal 14 Februari 2018 Masehi. kebanyakan anak-anak muda seluruh dunia akan merayakan Hari Kasih Sayang atau yang lebih tenar distilahkan dengan Valentine Day.  Momentum yang sangat di gandrungi oleh para remaja tersebut, nyatanya berawal dari kisah seorang pemuda yang penuh dengan ‘kepedihan’ dan ‘penderitaan’ yang amat sangat memilukan

Namanya Valentine Day ada untuk menghormati Saint Valentine, santo pelindung pecinta yang diyakini, dibunuh pada Februari 14 AD 270. Selama waktu itu, Kaisar Romawi Claudius II membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Roma, Claudius II mengalami kesulitan mendapatkan orang-orang terbaik untuk bergabung dengan militer, Karena percaya pria yang sudah menikah tidak bisa menjadi prajurit yang baik.

Namun, Saint Valentine diam-diam menikahi pasangannya hingga ia tertangkap dan tetap menolak untuk meninggalkan kepercayaan Kristennya, divonis dipukuli sampai mati dengan klub dan akhirnya kepalanya dipotong.

Kisah cinta kasih yang mengalami ‘kepedihan’ dan ‘penderitaan’  yang berujung kematian hampir kita temui dalam setiap kisah mashur. Pertama sebut saja, pasangan kekasih yang legendaris Laila Majnun  kisah yang menceritakan seorang pemuda tampan, gagah dan penuh wibawa yang terkenal di kawasan kabilah bani amir, jazirah Arab,yang bernama Qais. Ia mencintai seorang wanita dari kabilah lain yang tak kalah terkenalnya, yang bernama Laila. Mereka menjalani kisah yang memilukan karena tak di restui oleh orang tuanya, dan pada akhirnya pun berujung pada kepastian hidup yakni kematian

Yang kedua, kisah yang berasal dari daratan Italia Romeo dan Juliet, kisah sepasang kekasih yang penuh dengan lika liku Asmara yang mengharu biru, permusuhan antar kedua orangtu dan pertentangan hubungan asmara yang terjalin. Sampai sang malaikatul maut datang menjemput kedua sejoli, rela mati demi sang kekasih, darinya romansa cinta sejati terdengar, karena hanya maut yang sanggup memisahkan.

Dalam kebanyakan pandangan kita, kisah tiga Romansa di atas (Saint Valentino, Lala Mjnun dan Romeo Juliet) tersebut sudah menjadi barometer bahwa kisah cinta mereka adalah kisah cinta suci yang abadi. Nyatanya tidak demikian, Sebab Rasa cinta merupakan bagian dari pekerjaan hati, dan perasaan tersebut adalah anugerah yang hakikatnya datang dari sang maha luhur Allah Swt, dalam permasalahan cinta, terutama rasa cinta yang timbul antara peria dan wanita, syariat memberikan solusi berupa pernikahan sebagai penyalurnya.

Oleh karenanya perlu kiranya kita cerdas membaca kisah dan mengaplikasikannya, karena ada sabda nabi Seseorang akan di kumpulkan bersama orang yang ia cintai” Dengan meminjam klasifikasi Syahid dalam termenologi Islam, bolehlah kalau kita bagi Cinta itu ke dalam tiga  kategori:

Pertama : syahid/ cinta  fidunya ialah, cinta yang lebih menuruti hawa nafsunya, clubing, perzinaan cinta macam ini lebih kepada kenikmatan duniawi

Kedua : Syahid / Cinta Fil Akhirat ialah Cinta yang di jaga kesuciannya di dunia ini,sampai ia mati. Sebagai mana hadist nabi “Barang siapa jatuh cinta Lantas iya menahannya, hingga ia mati, maka dia mati syahid

Ketiga : syahid / Cinta fidunya wal akhirat ialah, cinta Yang murni dalam hal ini adalah cinta sang manusia Agung, Nabi Muhammad SAW Bin Abdullah Bin Abdullah Muttalib , hal ini di tunjukkan dalam pelbagai kisah tentang kecintaan beliau kepada Ummatnya salah satunya: saat detik detik kewafatan beliau Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

“Ya Allah, dahsyat sekali maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali mendekatkan telinganya.

“Uushiikum bis-shalaati, wamaa malakat aimaanukum (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang Lemah di antaramu) . Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii! (Umatku, umatku, umatku)”

Dalam momentum kasih sayang 14 Februari 2018 Masehi, semoga kita tidak salah meletakkan cinta.

Penulis: Qowi Alaska

Penulis adalah Anggota KKPS Angkatan 2011. Kini tinggal di Bali.

Pelantikan Pengurus Pesantren Masa Bakti 2018 - 2022

Sang Pengabdi

Bersama ribuan para mahluk suci,

Sabdamu kau untai dalam bait bait,

Merangkai kata sejuta makna,

Menghujam kalbu.

Malam bersejarah di rumah Tuhan,

kau baca janji setia,  dengan khidmat,

Para bibir bibir bergetar,  mengikuti sepatah dua patah,

Bagai Tuhan mengikrarkan pada adam sebagai khalifah bumi.

Kini,  janji itu Ter-amanahkan,

Dalam pundak mereka,  para  khalifah bumi ma’had Nurul Jadid.

Raihlah shirad Tuhan,

Meski gelombang ombak memutar kehidupan,

Bismillah, Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula, Wani’nal nashir. La haula walakuwwata illa billah.

Oleh : Ponirin Mika Sang Pujangga Pesisir, Kepala Sub Bagian Protokuler Nurul Jadid (Panji Pelopor NJ)