Ketika Muharram Jadi Ruang Ekspresi Santri Putri Dalbar
berita.nuruljadid.net – Di bawah lampu-lampu taman yang temaram, selepas Isya, halaman wilayah Az-Zainiyah (Dalbar) Pondok Pesantren Nurul Jadid berangsur dipadati ribuan santri putri. Mereka datang membawa buku catatan kecil dan sebatang pulpen untuk mengikuti acara inti Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram yang bertajuk “Bersatu dalam Iman, Bergerak Bersama dalam Kebaikan”, Kamis (26/06/25).
Di panggung sederhana yang dihias ornamen kuning-putih, sekelompok santri melantunkan salawat bergantian sembari menunggu kehadiran peserta komplit. Di sisi depan panggung, deretan hantaran warna-warni terpajang rapi, hasil kreativitas para santri dari berbagai daerah dalam wilayah Az-Zainiyah.
“Ini momen kami. Bukan hanya duduk mendengarkan, tapi kami yang menyiapkan, memimpin, dan mengekspresikan diri,” kata Dewi Putri Maharani, santri kelas akhir yang tahun ini didapuk menjadi ketua panitia.
Selama dua pekan sebelum acara, Dewi dan tim kepanitiaan berjibaku merancang konsep peringatan Muharram. Dari tema, susunan acara, hingga komunikasi antardaerah. Semuanya ditangani oleh kepanitiaan yang keseluruhan adalah santri putri.
Malam itu, di balik panggung, santri seperti Qorirotul Bisyaroh, bercerita dengan sangat semangat kepada tim jurnalis nuruljadid.net, seperti ekspresi anak kecil yang menemukan hal baru pertamakali dalam hidupnya. Qori ikut dalam tim lomba hantaran untuk Daerah Halimatus Sa’diyah, yang malam itu diumumkan sebagai juara satu. Bukan kemenangan yang paling ia ingat.
“Saya baru sadar, ternyata bikin hantaran itu bukan cuma soal estetika. Tapi proses kami diskusi, saling menghargai ide, belajar mendengarkan,” ujarnya. Kelompoknya membuat hantaran dari rangkaian buah, bunga, dan miniatur lentera.
Puncak acara malam itu ditandai dengan tausiyah dari Ummi Mahmudah, seorang guru senior yang dikenal dengan wejangan-wejangannya yang mengena. Dalam ceramahnya, beliau tidak bicara panjang soal sejarah hijrah, tapi lebih menyoroti maknanya dalam kehidupan santri hari ini.
“Kita bukan hanya memperingati perpindahan Nabi dari Mekkah ke Madinah,” ucapnya lirih, “tetapi berpindah dari kelalaian menuju kesadaran. Dari stagnan menuju kemajuan iman.”
Di antara ribuan santri yang menyimak tausiyah, tampak Nabila Kamalia Putri, santri baru berusia 13 tahun, duduk dengan mata berkaca. Ini tahun pertamanya merayakan Muharram jauh dari keluarga. Tapi ia merasa tenang. “Ternyata persaudaraan (ukhuwah) itu bisa tumbuh cepat, asal kita saling terbuka,” katanya.
Meski kegiatan ini hanya berlangsung beberapa jam, dampaknya terasa lebih lama. Setiap santri tidak hanya menjadi peserta, tapi juga diberi kesempatan untuk berekspresi dalam lomba membuat hantaran.
Bagi Dewi Putri Maharani, ini adalah momen ekspresi. “Pesantren sering dilihat sebagai ruang tafakur dan sunyi,” ujarnya, “padahal kami di sini berekspresi untuk belajar kepemimpinan, kerja tim, dan menyampaikan ide.”
Dan ketika Muharram berjalan, para santri tahu bahwa hijrah bukan sekedar momen tahunan. Ia adalah panggilan untuk bertumbuh tiap detiknya. Dalam doa, dalam aksi, dan dalam kreativitas yang terus mereka asah.
Pewarta: Isfahany Marsha Surya
Editor: Ahmad Zainul Khofi