Curahan Hati Seorang Santri
penasantri.nuruljadid.net- Saya memulai perjalanan saya di pesantren tanpa pemahaman yang jelas tentang arti hati dan pikiran. Baru pada saat kelas 3 SLTA, saya mulai menyadari bahwa hati yang baik akan selalu menghasilkan kebaikan, sementara hati yang buruk akan menuntun pada kesalahan. Kesimpulannya, antara hati dan pikiran, hati adalah tempat yang menerima baik dan buruknya pikiran. Sementara itu, pikiran sering memperdebatkan apa yang diterima oleh hati.
Mengapa demikian? Karena jika hati dan pikiran bertentangan, maka permasalahan yang ada akan sulit untuk menemukan solusi. Sebelum memulai kehidupan di pesantren, saya merasa bingung mengenai jurusan yang ingin saya pilih. Saya berkeinginan untuk masuk jurusan RPL SMK yang kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Al-Qur’an. Itu adalah niat tulus dari hati saya. Namun, takdir berkata lain, saya justru diterima di program UI MANJ.
Saat memasuki kelas 1, saya sering mendengar sebuah kata motivasi yang berbunyi: “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Pada awalnya, saya merasa bingung dan tidak sepenuhnya memahami maksud dari kalimat tersebut, karena tidak dijelaskan secara rinci. Namun, saat memasuki kelas 3, saya mulai bisa menangkap makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
Pemahaman saya terhadap kalimat tersebut datang dengan menghubungkan konsep agama dan ilmu pengetahuan. Ketika dilihat dari perspektif agama, kalimat itu terasa lebih mudah dipahami dibandingkan jika dianalisis hanya dengan pendekatan ilmu alam. Sebagai contoh, ketika guru saya menjelaskan kalimat ini, beliau menekankan pentingnya usaha dan doa yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Salah satu bukti nyata dari usaha dan doa adalah ketika kita berusaha untuk rutin melaksanakan shalat tahajjud. Pada saat itu, kita akan diuji dengan kesulitan untuk menjaga keistiqomahan, karena iman kita kepada Tuhan mungkin masih belum cukup kuat.
Saya ingin menekankan pada kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong” yang mengandung makna bahwa jika usaha kita tidak disertai dengan doa, maka kita seakan tidak percaya kepada Tuhan. Sebaliknya, doa tanpa usaha adalah sia-sia, karena doa yang dilakukan tanpa keyakinan pada kekuasaan Tuhan juga tidak akan membuahkan hasil. Ini adalah pandangan saya dalam perspektif agama.
Selanjutnya, saya mencoba melihat kalimat tersebut dari sudut pandang ilmiah. Sebagai seorang murid, akan sulit bagi kita untuk memahami kalimat tersebut tanpa adanya kepercayaan yang kuat. Misalnya, dalam konteks pembelajaran, seorang guru harus terlebih dahulu memastikan bahwa muridnya memiliki pemahaman yang baik mengenai keyakinan agama. Jika tidak, maka penjelasan tentang usaha dan doa hanya akan terasa kosong. Dengan kata lain, guru harus memberikan pemahaman agama yang kuat sebelum membahas konsep-konsep lain yang berhubungan dengan kehidupan, termasuk usaha dan doa.
Jika seorang murid tidak yakin dengan keesaan Tuhan, maka ia akan kesulitan dalam mengamalkan doa dan usaha dengan konsisten. Dalam hal ini, peran guru sangat penting untuk memastikan bahwa pemahaman agama yang benar diterima dengan baik oleh setiap santri. Tanpa itu, murid akan merasa kebingungan dalam mengamalkan apa yang telah diajarkan.
Sekarang, izinkan saya berbagi pengalaman pribadi terkait kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Saat saya memasuki kelas 1 UI MANJ, saya merasa tertekan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Namun, saya tetap menjalankan rutinitas tersebut. Saya sempat heran mengapa beberapa teman seangkatan saya tampak tidur saat pelajaran berlangsung. Meski demikian, saya berusaha untuk tidak mengikuti mereka dan terus berusaha untuk tetap fokus. Alhamdulillah, saya berhasil bertahan selama satu tahun.
Saat memasuki kelas 2, saya merasa tidak konsisten dalam melaksanakan shalat tahajjud, meskipun saya telah berniat untuk menjaga istiqomah. Banyak cobaan yang datang, membuat saya merasa kesulitan untuk tetap istiqomah. Hingga pada akhirnya, di kelas 3, saya merasa mulai menyerah untuk melaksanakan tahajjud secara rutin dan ingin merasa bebas. Oleh karena itu, saya berhenti melaksanakan tahajjud. Saya merasa bahwa kebebasan yang saya rasakan justru semakin menguatkan rasa keinginan untuk lepas dari kewajiban tersebut.
Namun, saya segera menyadari bahwa kebebasan yang saya nikmati di akhir masa pondok adalah suatu kesalahan besar. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk kembali kepada niat awal saya, yaitu berusaha menjaga istiqomah dalam menjalankan ibadah. Dalam sebulan terakhir, saya memohon agar diberikan petunjuk oleh Allah, dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Dengan petunjuk-Nya, saya kembali berada di jalan yang benar.
Setelah berkonsultasi dengan salah satu guru MANJ, beliau menyampaikan pesan yang sangat berarti. Beliau mengatakan bahwa pada akhir tahun, banyak santri yang bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuhah), tetapi tidak semua orang bisa menyadari kesalahan mereka. Kelas 3 merupakan waktu yang tepat untuk bertaubat dengan sepenuh hati. Taubat ini akan membawa efek positif, yakni mengingatkan kembali niat yang telah diikrarkan saat masih berada di kelas 1.
Kini, saya menyadari kesalahan saya di masa lalu, yaitu tidak sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Namun, dengan bimbingan dan petunjuk Allah, saya kembali ke jalan yang benar. Saya berharap agar pengalaman ini dapat menjadi pembelajaran bagi saya dan orang lain, serta menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri.
Sebagai solusi, saya ingin memberikan saran kepada para guru dan pengurus pesantren untuk lebih menekankan pentingnya kepercayaan terhadap keesaan Allah dan pemahaman yang benar tentang taubat nasuhah. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kyai Imdad Rabbani, “Jika kita mengutamakan kehidupan duniawi, maka kita akan kesulitan dalam mencapainya. Namun, jika kita mengutamakan kehidupan akhirat, dunia akan mengikuti dengan sendirinya.”
Semoga pesan ini dapat memberikan motivasi kepada semua santri dan guru untuk lebih giat dalam berusaha dan berdoa, serta menjadikan taubat nasuhah sebagai bagian dari perjalanan spiritual yang lebih baik di masa depan.
Penulis : Dimas Fajrul Falaq
Editor : Ponirin Mika
*) Siswa Unggulan IPA (UI) Madrasah Aliyah Nurul Jadid sekaligus santri asrama daerah Sunan Giri (M) wilayah Syeikh Jumadil Kubro (01) pusat