Kiai Zuhri Zaini: Hikmah Nuzulul Qur’an dan Pentingnya Istiqamah dalam Ibadah

berita.nuruljadid.net- Peringatan Nuzulul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Jadid (PPNJ) berlangsung dengan penuh kekhidmatan. Pada Sabtu (15/03), majelis dzikir watta’lim Ahbabul Musthofa hadir sebagai tamu istimewa untuk menggelar Khotmil Qur’an di Masjid Jami’ Nurul Jadid. Kedatangan mereka disambut langsung oleh Pengasuh PPNJ, KH. Moh. Zuhri Zaini, yang memberikan pesan mendalam tentang hikmah turunnya Al-Qur’an dan pentingnya istiqamah dalam menjalankan ibadah.

Sebagai bagian dari agenda tahunan, Ahbabul Musthofa rutin mengadakan rangkaian kegiatan mulai tanggal 10 hingga malam 28 Ramadhan di berbagai wilayah Kraksaan dan sekitarnya. Kehadiran mereka di PPNJ menjadi momen spesial yang bertepatan dengan penutupan Semarak Ramadhan, yang senantiasa dinanti oleh para santri dan masyarakat.

Dalam sambutannya, Kiai Zuhri Zaini mengungkapkan bahwa Khotmil Qur’an bukan sekadar tradisi, tetapi juga sarana untuk memperkuat hubungan dengan Al-Qur’an. “Acara ini adalah bentuk rasa syukur kita atas nikmat besar yang Allah berikan, yaitu turunnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia,” tuturnya.

Beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an memiliki peran utama dalam membimbing umat menuju kebahagiaan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. “Siapa yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, niscaya hidupnya akan penuh keberkahan dan jauh dari kesesatan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kiai Zuhri menekankan bahwa salah satu bentuk syukur atas turunnya Al-Qur’an adalah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sarana untuk melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu serta memperbaiki akhlak.

“Tanda keberhasilan puasa bukan hanya saat Ramadhan, tetapi terlihat dari perubahan perilaku kita di bulan-bulan berikutnya. Amal ibadah yang diterima adalah yang membawa kita pada kebaikan yang semakin meningkat, hingga akhirnya kita menghadap Allah dalam keadaan husnul khotimah,” pungkas beliau.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Perjalanan Mencari Pemahaman: Antara Hati, Pikiran, dan Iman

Curahan Hati Seorang Santri

penasantri.nuruljadid.net- Saya memulai perjalanan saya di pesantren tanpa pemahaman yang jelas tentang arti hati dan pikiran. Baru pada saat kelas 3 SLTA, saya mulai menyadari bahwa hati yang baik akan selalu menghasilkan kebaikan, sementara hati yang buruk akan menuntun pada kesalahan. Kesimpulannya, antara hati dan pikiran, hati adalah tempat yang menerima baik dan buruknya pikiran. Sementara itu, pikiran sering memperdebatkan apa yang diterima oleh hati.

Mengapa demikian? Karena jika hati dan pikiran bertentangan, maka permasalahan yang ada akan sulit untuk menemukan solusi. Sebelum memulai kehidupan di pesantren, saya merasa bingung mengenai jurusan yang ingin saya pilih. Saya berkeinginan untuk masuk jurusan RPL SMK yang kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Al-Qur’an. Itu adalah niat tulus dari hati saya. Namun, takdir berkata lain, saya justru diterima di program UI MANJ.

Saat memasuki kelas 1, saya sering mendengar sebuah kata motivasi yang berbunyi: “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Pada awalnya, saya merasa bingung dan tidak sepenuhnya memahami maksud dari kalimat tersebut, karena tidak dijelaskan secara rinci. Namun, saat memasuki kelas 3, saya mulai bisa menangkap makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut.

Pemahaman saya terhadap kalimat tersebut datang dengan menghubungkan konsep agama dan ilmu pengetahuan. Ketika dilihat dari perspektif agama, kalimat itu terasa lebih mudah dipahami dibandingkan jika dianalisis hanya dengan pendekatan ilmu alam. Sebagai contoh, ketika guru saya menjelaskan kalimat ini, beliau menekankan pentingnya usaha dan doa yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Salah satu bukti nyata dari usaha dan doa adalah ketika kita berusaha untuk rutin melaksanakan shalat tahajjud. Pada saat itu, kita akan diuji dengan kesulitan untuk menjaga keistiqomahan, karena iman kita kepada Tuhan mungkin masih belum cukup kuat.

Saya ingin menekankan pada kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong” yang mengandung makna bahwa jika usaha kita tidak disertai dengan doa, maka kita seakan tidak percaya kepada Tuhan. Sebaliknya, doa tanpa usaha adalah sia-sia, karena doa yang dilakukan tanpa keyakinan pada kekuasaan Tuhan juga tidak akan membuahkan hasil. Ini adalah pandangan saya dalam perspektif agama.

Selanjutnya, saya mencoba melihat kalimat tersebut dari sudut pandang ilmiah. Sebagai seorang murid, akan sulit bagi kita untuk memahami kalimat tersebut tanpa adanya kepercayaan yang kuat. Misalnya, dalam konteks pembelajaran, seorang guru harus terlebih dahulu memastikan bahwa muridnya memiliki pemahaman yang baik mengenai keyakinan agama. Jika tidak, maka penjelasan tentang usaha dan doa hanya akan terasa kosong. Dengan kata lain, guru harus memberikan pemahaman agama yang kuat sebelum membahas konsep-konsep lain yang berhubungan dengan kehidupan, termasuk usaha dan doa.

Jika seorang murid tidak yakin dengan keesaan Tuhan, maka ia akan kesulitan dalam mengamalkan doa dan usaha dengan konsisten. Dalam hal ini, peran guru sangat penting untuk memastikan bahwa pemahaman agama yang benar diterima dengan baik oleh setiap santri. Tanpa itu, murid akan merasa kebingungan dalam mengamalkan apa yang telah diajarkan.

Sekarang, izinkan saya berbagi pengalaman pribadi terkait kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Saat saya memasuki kelas 1 UI MANJ, saya merasa tertekan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Namun, saya tetap menjalankan rutinitas tersebut. Saya sempat heran mengapa beberapa teman seangkatan saya tampak tidur saat pelajaran berlangsung. Meski demikian, saya berusaha untuk tidak mengikuti mereka dan terus berusaha untuk tetap fokus. Alhamdulillah, saya berhasil bertahan selama satu tahun.

Saat memasuki kelas 2, saya merasa tidak konsisten dalam melaksanakan shalat tahajjud, meskipun saya telah berniat untuk menjaga istiqomah. Banyak cobaan yang datang, membuat saya merasa kesulitan untuk tetap istiqomah. Hingga pada akhirnya, di kelas 3, saya merasa mulai menyerah untuk melaksanakan tahajjud secara rutin dan ingin merasa bebas. Oleh karena itu, saya berhenti melaksanakan tahajjud. Saya merasa bahwa kebebasan yang saya rasakan justru semakin menguatkan rasa keinginan untuk lepas dari kewajiban tersebut.

Namun, saya segera menyadari bahwa kebebasan yang saya nikmati di akhir masa pondok adalah suatu kesalahan besar. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk kembali kepada niat awal saya, yaitu berusaha menjaga istiqomah dalam menjalankan ibadah. Dalam sebulan terakhir, saya memohon agar diberikan petunjuk oleh Allah, dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Dengan petunjuk-Nya, saya kembali berada di jalan yang benar.

Setelah berkonsultasi dengan salah satu guru MANJ, beliau menyampaikan pesan yang sangat berarti. Beliau mengatakan bahwa pada akhir tahun, banyak santri yang bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuhah), tetapi tidak semua orang bisa menyadari kesalahan mereka. Kelas 3 merupakan waktu yang tepat untuk bertaubat dengan sepenuh hati. Taubat ini akan membawa efek positif, yakni mengingatkan kembali niat yang telah diikrarkan saat masih berada di kelas 1.

Kini, saya menyadari kesalahan saya di masa lalu, yaitu tidak sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Namun, dengan bimbingan dan petunjuk Allah, saya kembali ke jalan yang benar. Saya berharap agar pengalaman ini dapat menjadi pembelajaran bagi saya dan orang lain, serta menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri.

Sebagai solusi, saya ingin memberikan saran kepada para guru dan pengurus pesantren untuk lebih menekankan pentingnya kepercayaan terhadap keesaan Allah dan pemahaman yang benar tentang taubat nasuhah. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kyai Imdad Rabbani, “Jika kita mengutamakan kehidupan duniawi, maka kita akan kesulitan dalam mencapainya. Namun, jika kita mengutamakan kehidupan akhirat, dunia akan mengikuti dengan sendirinya.”

Semoga pesan ini dapat memberikan motivasi kepada semua santri dan guru untuk lebih giat dalam berusaha dan berdoa, serta menjadikan taubat nasuhah sebagai bagian dari perjalanan spiritual yang lebih baik di masa depan.

Penulis  : Dimas Fajrul Falaq
Editor    : Ponirin Mika

*) Siswa Unggulan IPA (UI) Madrasah Aliyah Nurul Jadid sekaligus santri asrama daerah Sunan Giri (M) wilayah Syeikh Jumadil Kubro (01) pusat 

Kiai Zuhri: Liburan Bukan Pembebasan Kewajiban

berita.nuruljadid.net- Setelah melaksanakan sholat taraweh, para santri di Pesantren Nurul Jadid tidak langsung meninggalkan masjid. Mereka menunggu pengarahan terkait liburan santri sekaligus tausiyah dari Pengasuh Pesantren, Kiai Zuhri, yang berlangsung di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Jumat malam (14/03).

Dalam sambutannya, Kiai Zuhri menegaskan agar para santri tidak mengartikan liburan sebagai waktu pembebasan dari kewajiban. Sebaliknya, beliau mengingatkan agar liburan dipandang sebagai waktu istirahat untuk melepaskan penat setelah menjalani rutinitas padat di pesantren.

“Liburan bukanlah pembebasan kewajiban, tetapi waktu untuk beristirahat dan merenungkan sejauh mana pesantren telah mengubah diri kita,” ujar Kiai Zuhri.

Lebih lanjut, beliau berpesan agar santri memanfaatkan waktu liburan di rumah untuk mengevaluasi diri. Menurutnya, liburan adalah kesempatan untuk membuktikan pada orang tua dengan berbakti dan menunjukkan akhlak yang baik.

“Keberhasilan yang sejati bukan hanya dari ilmu yang diamalkan, tetapi juga dari akhlak yang baik,” pesan Kiai Zuhri.

Selain itu, Kiai Zuhri juga mengingatkan agar para santri tidak hanya fokus pada kehidupan saat ini, tetapi juga mempersiapkan diri untuk masa depan, baik di masyarakat maupun di hadapan Allah. Beliau juga mengingatkan agar santri tidak terjerumus pada nafsu yang dapat menghalangi perkembangan diri.

Kiai Zuhri juga memberikan pesan kepada santri yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi untuk tetap menjaga nama baik pesantren dan tidak lupa akan status mereka sebagai santri.

“Selain mencari pengalaman, kita harus bijak dalam memilih lingkungan dan teman. Jangan sampai terpengaruh pada hal-hal yang tidak baik,” tegas beliau.

Kiai Zuhri juga memberikan petuah kepada pengurus pesantren untuk senantiasa mendahulukan tugas daripada kepentingan pribadi. “Jika kita sudah dilatih untuk mengabdi di pesantren, kita akan terbiasa memberikan manfaat kepada masyarakat,” imbuhnya.

Mengakhiri tausiyahnya, Kiai Zuhri mengingatkan bahwa segala usaha yang dilakukan tanpa pertolongan Allah akan menemui kegagalan. Oleh karena itu, setelah berusaha, hendaknya selalu bertawakal kepada-Nya.

Setelah tausiyah selesai, Sekretaris Biro Kepesantrenan, Alief Hidayatullah, memberikan pengarahan terkait jadwal liburan Ramadhan santri. Liburan untuk santri puteri dimulai pada 16 Maret/16 Ramadhan hingga 13 April/11 Syawal. Sementara liburan santri putera dimulai pada 17 Maret/17 Ramadhan hingga 14 April/12 Syawal.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Halaqah Alumni Nasional: Merajut Kebersamaan dan Menguatkan Sanad Perjuangan

berita.nuruljadid.net– Dalam upaya mempererat tali silaturahmi dan memperkuat sanad perjuangan, Pengurus Pembantu Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) menggelar Halaqah Alumni Nasional di Aula 1 PPNJ pada Jumat (14/03). Acara yang dihadiri lebih dari 150 alumni ini tidak hanya menjadi ajang temu kangen, tetapi juga menjadi forum strategis untuk membahas berbagai persoalan yang tengah dihadapi para alumni, terutama yang bergerak di bidang politik.

Ketua P4NJ Pusat, Kiai Junaidi Mu’ti, dalam sambutannya menyoroti fenomena perpecahan di kalangan alumni akibat perbedaan pandangan, khususnya di dunia politik. Ia menilai bahwa konflik yang kerap terjadi harus segera diselesaikan agar tetap terjalin ukhuwah Islamiyah di antara sesama alumni.

“Kami ingin membentuk komunitas alumni, terutama bagi mereka yang bergerak di dunia politik, agar tidak lagi terjadi perpecahan akibat perbedaan pandangan. Setiap tahun, kita menyaksikan konflik yang berulang di kalangan alumni, dan ini harus kita akhiri dengan kebersamaan,” ujarnya.

Menurutnya, musibah terbesar bagi umat Islam bukanlah kebencian dari kaum non-Muslim, melainkan permusuhan di antara sesama Muslim. Oleh karena itu, ia mendorong terbentuknya komunitas alumni berbasis profesi yang saat ini telah memiliki delapan asosiasi. Komunitas tersebut diharapkan dapat menjadi kekuatan besar dalam memajukan pesantren dan memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat.

Kiai Zuhri Zaini: Dakwah Harus Ditegakkan dengan Akhlakul Karimah

Dalam kesempatan yang sama, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Zuhri Zaini, menyampaikan arahan kepada para alumni yang hadir. Ia menegaskan pentingnya silaturahmi sebagai jalan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup.

“Silaturahmi adalah kunci keberkahan. Jika ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya terus menjalin silaturahmi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Kiai Zuhri menyoroti citra Islam yang kerap mendapat stigma negatif di mata dunia. Menurutnya, Islam adalah agama yang mulia, namun pandangan buruk yang berkembang di Barat muncul akibat perilaku sebagian umat Islam yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri.

“Tugas kita adalah mengamalkan Islam dengan benar, khususnya dalam menjunjung tinggi akhlakul karimah. Keindahan Islam harus tercermin dalam perilaku kita, bukan hanya dalam ucapan,” tegasnya.

Kiai Zuhri juga mengingatkan alumni bahwa tugas dakwah tidak hanya menjadi kewajiban para kiai atau muballigh, tetapi juga dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

“Dakwah bukan hanya dengan lisan, tetapi juga melalui tindakan dan keteladanan. Seorang santri harus mampu melanjutkan perjuangan para masyayikh dengan menyebarkan ilmu dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya.

Halaqah Alumni Nasional ini diharapkan menjadi momentum bagi para alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid untuk merajut kembali kebersamaan, memperkuat peran di masyarakat, serta melanjutkan perjuangan para ulama dengan semangat persatuan dan persaudaraan.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Sebut Akhlak Sebagai Tolak Ukur Derajat Manusia

berita.nuruljadid.net- Di waktu senja, para santri tampak berjalan menuju Masjid Jami’ Nurul Jadid untuk mengikuti pengajian sore pada hari Jum’at (07/03), dengan menenteng kitab dan berbincang bersama teman-teman seperjuangan. Dalam kesempatan tersebut, Kiai Imdad memulai tausiyahnya dengan menekankan bahwa akhlak adalah tolak ukur utama dalam menilai derajat seseorang.

“Keagungan manusia tergantung pada akhlaknya,” ujar Kiai Imdad di hadapan para santri.

Kiai Imdad menjelaskan bahwa tujuan manusia diberikan akal adalah untuk mengenal dan menyembah Allah, serta memahami sifat-Nya. Ia juga menyampaikan pentingnya menyerahkan segala urusan kepada Allah, karena dengan begitu Allah akan selalu menemani hamba-Nya.

Kiai Imdad mengingatkan agar tidak menyalahkan takdir dalam menghadapi setiap peristiwa hidup. “Jika belum terjadi, maka maksimalkan waktu dengan berusaha menjadi lebih baik dan jangan lupa untuk bertawakal kepada Allah,” tuturnya.

Dalam pengajian tersebut, Kiai Imdad juga mengingatkan kepada para santri untuk tidak berbangga dengan amal yang telah dikerjakan.

“Sebetulnya, meskipun kita beribadah dan berbuat baik sepanjang hidup, itu bukanlah sebab utama kita masuk surga. Sebab utama adalah kasih sayang dan anugerah Allah yang tiada tara,” lanjutnya.

Lebih jauh, Kiai Imdad mengungkapkan bahwa ada amal yang pahalanya tidak terukur, seperti orang yang memaafkan, bersabar, dan berpuasa. Menurut beliau, semakin baik amal seseorang, semakin banyak pula fasilitas yang diberikan oleh Allah.

Sebagai penutup, Kiai Imdad berpesan kepada para santri untuk terus menggali ilmu yang mereka tekuni. “Semakin dalam kita menggali ilmu, maka kita akan semakin yakin bahwa semua ilmu itu berasal dari Allah dan memiliki hikmahnya masing-masing,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Najib: Kalimat Syahadat, Kunci Masuk Islam

berita.nuruljadid.net- Kunci untuk menjadi umat Islam adalah dengan mengucapkan syahadat. Hal ini disampaikan oleh Kiai Najiburrahman Wahid saat memberikan pengajian kepada santri di Masjid Jami’ Nurul Jadid, Jum’at (07/03).

“Kunci umat Islam itu adalah syahadat yang harus dipahami dan diyakini. Jika seseorang belum meyakini syahadat, maka dia belum dikatakan masuk Islam,” ujar Kiai Najib di hadapan para santri.

Kiai Najib menjelaskan bahwa sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, seluruh keyakinan yang diajarkan adalah satu, yaitu agama tauhid (mengesakan Allah). Perbedaan yang ada terletak pada tatanan ajarannya.

Beliau juga menguraikan dua macam hadis. Pertama, hadis Tauqifi, yaitu isi yang diterima oleh Rasulullah melalui wahyu yang kemudian beliau sampaikan kepada umat dengan menggunakan bahasa beliau sendiri. Meskipun isinya disandarkan kepada Allah, perkataan tersebut lebih tepat dinisbatkan kepada Rasulullah.

Kedua, hadis Taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah berdasarkan pemahaman terhadap Al-Quran. Rasulullah memiliki tugas untuk menjelaskan dan menerangkan isi Al-Quran melalui perenungan dan ijtihad. Wahyu akan membenarkan pemahaman yang benar, namun jika ada kesalahan, wahyu akan turun untuk membenarkannya.

Mengutip Imam Ghazali, Kiai Najib menjelaskan bahwa wahyu dan akal akan terus berkaitan selama keduanya sama-sama benar dan tidak menyimpang. Wahyu dan akal bekerja sama dalam mencari kebenaran.

“Wahyu bagaikan sinar matahari, sedangkan akal adalah mata manusia. Mata tidak akan dapat melihat sekitarnya tanpa adanya seberkas sinar yang membantu penglihatannya,” tutur beliau.

Imam Ghazali juga pernah mengatakan bahwa agama dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. Kekuasaan dapat mendukung ajaran agama, sementara agama membimbing kekuasaan menuju jalan kebenaran.

Terakhir, Kiai Najib menegaskan bahwa merupakan kewajiban seorang Muslim untuk mempersiapkan kekuatan guna melawan orang kafir.

“Setelah kita menjadi kuat, kita akan memiliki kesempatan untuk berjihad di jalan Allah. Dalam menyusun kekuatan, para santri cukup dengan belajar dengan tekun,” tegasnya kepada seluruh santri.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Imdad Ajarkan Logika dalam Pengajian Khataman Kitab

penasantri.nuruljadid.net- menjelang senja, para santri berkumpul di Masjid Jami’ Nurul Jadid untuk mengikuti pengajian khataman kitab bersama Kiai Imdad. Dalam kesempatan itu, beliau mengajarkan logika sebagai dasar dalam memahami ilmu, terutama dalam konteks keimanan.

Dalam pengajiannya, Kiai Imdad menjelaskan dua jenis logika, yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif adalah metode penalaran yang menghasilkan kesimpulan berdasarkan data atau premis spesifik yang diberikan. Metode ini sering digunakan dalam sains dan penelitian untuk menemukan hukum-hukum yang absah secara empiris.

Sedangkan logika deduktif merupakan sistem berpikir yang sistematis dan pasti, di mana kesimpulan diambil tanpa perlu observasi atau eksperimen karena maknanya bersifat mutlak dan bebas dari kontradiksi.

“Tanpa berpikir pun, akal kita tidak akan menyangkal jika separuh dari angka dua adalah satu,” ujar Kiai Imdad, memberikan contoh sederhana dalam pengajian tersebut.

Lebih lanjut, beliau memaparkan tiga jenis hukum dalam kajian logika:

Hukum Syar’i, yaitu hukum yang bersumber dari syariat Islam. Ilmu yang memuat hukum ini mencakup panduan agama seperti Furudhul Ainiyah (FA) dan aturan-aturan syariat lainnya. Hukum Syar’i terbagi menjadi lima: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram.

Hukum Aqli, yaitu hukum yang berdasarkan akal sehat dan rasionalitas. Ilmu yang masuk dalam kategori ini meliputi akidah, nahwu, ushul fiqh, fisika, dan lainnya. Hukum Aqli terbagi menjadi tiga bentuk: wajib (pasti ada), mustahil (tidak mungkin ada), dan jaiz (bisa ada atau tidak ada).

Hukum Adi, yaitu hukum yang berdasar pada kebiasaan atau pengamatan empiris. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum ini meliputi sains, fiqh, dan bahasa. Hukum Adi ditetapkan melalui eksperimen, observasi, dan pengalaman berulang.

Syarat Ilmu dan Keimanan kepada Allah

Dalam pengajian khataman kitab ini, Kiai Imdad juga menjelaskan bahwa suatu ilmu harus memenuhi empat kriteria utama:

1. Berada dalam pikiran (terkonsep dengan jelas).
2. Keyakinan terhadap ilmu harus matang.
3. Sesuai dengan kenyataan atau realita.
4. Didasarkan pada dalil dan bukti.

Menurut beliau, ilmu adalah bentuk keyakinan yang diperoleh melalui argumentasi. Dalam hal ini, ada dua sifat utama dalam logika: sifat niscaya, yaitu kebenaran yang absolut dan tidak perlu pembuktian, serta sifat nadhari, yaitu keyakinan yang berdasarkan argumentasi dan membutuhkan penalaran.

Saat menjawab pertanyaan santri tentang memahami Allah, Kiai Imdad menegaskan bahwa mengenal Allah tidak berarti memahami hakikat-Nya secara langsung, melainkan mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya (wajib), sifat yang mustahil ada pada-Nya (muhal), dan sifat yang mungkin ada pada-Nya (jaiz).

“Mengenal Allah adalah kewajiban utama. Sebab, semua kewajiban dalam agama bergantung pada keyakinan terhadap-Nya,” jelasnya.

Beliau juga mengingatkan pentingnya meningkatkan kualitas iman melalui dua cara: dzikir kepada Allah dan merenungi ciptaan-Nya. Dalam kajian akidah, beliau menekankan bahwa keyakinan harus didasarkan pada hukum aqli atau argumentasi rasional sebelum menerima wahyu.

Sebagai penutup, Kiai Imdad merekomendasikan buku “Logika Keimanan” karya Ahmad Ataka, yang membahas bukti logis kebenaran akidah Islam dalam perspektif sains modern.

Melalui pengajian khataman kitab ini, beliau mengajak santri untuk menguatkan keimanan dengan pemahaman logika yang benar.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Najib Wahid: Ibadah Adalah Ketundukan Batin kepada Allah

berita.nuruljadid.net- suasana pesantren kembali hidup setelah istirahat siang dengan lantunan nadham yang mengiringi para santri menuju pengajian. Dalam kesempatan itu, Kiai Najiburrahman Wahid menyampaikan bahwa ibadah sejatinya adalah bentuk ketundukan batin kepada Allah.

“Ibadah merupakan ketundukan yang muncul karena perasaan batin bahwa yang disembah adalah dzat yang maha agung, memiliki kekuasaan yang tidak bisa dicapai akal seluruh makhluk,” tutur Kiai Najib di hadapan para santri.

Menurutnya, manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakikat Tuhan. Bahkan, untuk mengetahui batas alam semesta pun hingga kini masih menjadi misteri. Karena itu, beliau berpesan agar santri tidak berusaha menggambarkan Tuhan secara fisik, melainkan cukup meyakini keberadaan-Nya.

“Dalam aspek dimensi ruang, kita tidak pernah tahu ujung alam semesta ini di mana. Apalagi dalam aspek waktu, apakah kita tahu apa yang terjadi miliaran tahun yang lalu? Oleh karena itu, kita jangan sok memahami Tuhan seperti apa. Makhluk-Nya saja tidak bisa kita pahami sepenuhnya, apalagi Pencipta-Nya. Kita cukup meyakini saja,” pesannya.

Lebih lanjut, Kiai Najib menjelaskan bahwa manusia secara naluriah membutuhkan agama karena menyadari keterbatasannya. Banyak hal terjadi di luar kendali manusia, seperti turunnya hujan, yang membuat mereka meyakini adanya dzat yang mengatur semuanya.

Dalam ceramahnya, beliau juga membagi hukum agama menjadi dua kategori berdasarkan logika manusia. Pertama, hukum yang mudah dipahami akal, seperti larangan mencuri dan berbuat kerusakan. Kedua, hukum yang sulit dipahami akal, seperti jumlah rakaat dalam sholat dan jumlah putaran thawaf.

“Ada hukum yang bisa diterima akal dan ada yang tidak. Namun, kita harus tetap tunduk dan menjalankannya sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah,” tegasnya.

Melalui ceramahnya, Kiai Najib mengajak para santri untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang penuh kesadaran dan ketundukan.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Mengenal Ahlul Fatrah dan Keindahan Ilmu Bersama Kiai Imdad

berita.nuruljadid.net- Setelah membaca nadham dalam kitab Kharidatul Bahiyah bersama para santri, Kiai Imdad Rabbani mengawali tausiahnya dengan menjelaskan tentang sekelompok kaum yang hidup di daerah terpencil dan tidak pernah mengenal Islam karena dakwah tidak sampai kepada mereka. Pengajian sore yang digelar di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Rabu (05/03) itu berlangsung penuh perhatian dari para santri.

“Cara kita menanggapi orang seperti itu adalah dengan menyamakannya dengan Ahlul Fatrah, yaitu mereka yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah. Mereka tidak langsung masuk surga atau neraka, melainkan akan diuji oleh Allah di akhirat,” jelasnya.

Kiai Imdad juga menerangkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta telah diatur dan ditetapkan ukurannya oleh Allah. Semua benda, mulai dari tubuh makhluk hingga pergerakan di alam semesta, memiliki keseimbangan yang presisi.

“Posisi bumi ini sudah sangat pas. Jika sedikit saja mendekat ke matahari, bumi akan terbakar. Sebaliknya, jika sedikit menjauh, bumi akan membeku,” ujarnya memberikan perumpamaan.

Lebih lanjut, Kiai Imdad menuturkan bahwa semakin dalam seseorang memahami ilmu, maka semakin kuat pula imannya. Salah satu cara melatih kesabaran dalam menuntut ilmu adalah dengan menghadapi segala kesulitan dan tantangan, hingga sifat sabar tersebut menjadi karakter yang melekat dalam diri.

Dalam pengajian itu, Kiai Imdad juga menjelaskan pengertian hukum, yaitu meletakkan atau meniadakan sesuatu dalam kaitannya dengan hal lain. Salah satu konsep dalam hukum Islam adalah hukum ‘adi, di mana penerapannya didasarkan pada kebiasaan, pancaindra, serta eksperimen yang telah dilakukan.

Menutup tausiah, Kiai Imdad menekankan bahwa setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu akan merasakan kenikmatan dari ilmu itu sendiri.

“Ilmu itu berat saat awal mencarinya. Namun, ketika kita sudah memahami bahkan menguasainya, kita akan merasakan lezatnya ilmu tersebut, hingga tanpa sadar bisa terlena di dalamnya,” pungkasnya, diselingi canda tawa yang membuat suasana pengajian semakin hangat.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Najib Tegaskan: Tidak Seorang pun Boleh Membuat Aturan Agama

berita.nuruljadid.net- Teriknya matahari yang menyengat tak menyurutkan semangat para santri untuk mengaji kepada para masyayikh di Masjid Jami’ Nurul Jadid. Meski berhalangan hadir, Kiai Najiburrahman Wahid tetap memberikan tausiahnya melalui rekaman. Dalam kesempatan itu, beliau menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh membuat aturan-aturan agama, Rabu (05/03).

“Yang membuat aturan agama hanyalah Allah. Tidak ada seorang pun yang boleh membuat aturan, bahkan agama itu sendiri, selain Allah,” tegasnya.

Dalam ayat ke-4 Surah Al-Fatihah, مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ (mâliki yaumid-dîn), yang berarti Pemilik Hari Pembalasan, Kiai Najib menjelaskan bahwa pada hari pembalasan, tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengubah ketetapan Allah. Allah akan membalas setiap perbuatan, sekecil apa pun, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7 dan 8:

“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia juga akan melihat balasannya.”

Lebih lanjut, Kiai Najib menuturkan bahwa Allah memberikan karunia kepada makhluk-Nya bukan semata karena keinginan mereka, melainkan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas masing-masing. Sebagai seorang muslim, beliau mengajak para santri untuk selalu mengharap rahmat (kasih sayang) Allah.

“Dibarengi dengan usaha, kita harus senantiasa mengharap rahmat Allah yang tiada batas. Oleh karena itu, kita tidak boleh putus asa atau kehilangan harapan untuk meraihnya,” ujar beliau.

Kiai Najib juga menekankan bahwa balasan di dunia hanyalah simbol dari balasan di akhirat. Karena akhirat adalah tempat makhluk menerima balasan yang sesungguhnya, maka ganjaran di dunia hanya bersifat peringatan.

“Balasan di dunia tidak bisa dikatakan setimpal, karena terkadang bisa dimanipulasi. Namun, berbeda dengan di Padang Mahsyar, di mana Allah akan menghakimi makhluk dengan seadil-adilnya dan memberikan ganjaran yang setara,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Awali Pengajian dengan Menjawab Pertanyaan Santri

berita.nuruljadid.net- Dalam pengajian sore di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Selasa (4/3), Kiai Imdad Rabbani mengawali kajiannya dengan menjawab pertanyaan seorang santri terkait akidah. Pertanyaan tersebut membahas tentang seseorang yang beribadah bukan semata-mata karena Allah, tetapi juga karena mengharapkan surga atau ingin terhindar dari siksa neraka.

“Tak masalah jika seseorang beramal dengan harapan mendapatkan surga, karena hal itu menunjukkan keimanannya terhadap janji Allah. Namun, idealnya ibadah dilakukan semata-mata untuk meraih kecintaan Allah,” ujar Kiai Imdad.

Beliau menambahkan bahwa setiap kebaikan yang dilakukan manusia dengan hati yang tulus menghadap kepada Allah tidak akan sia-sia. Selain itu, ia juga menjelaskan ciri-ciri orang yang sulit menerima nasihat, yakni mereka yang telah mengetahui kesalahan suatu perbuatan tetapi tetap melakukannya.

Lebih lanjut, Kiai Imdad menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa menandingi kekuasaan Allah.

“Andai seluruh makhluk memiliki ketakwaan yang tinggi, hal itu tidak akan menambah kekuasaan Allah sedikit pun. Begitu pula sebaliknya, jika semua makhluk durhaka, itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya,” tuturnya.

Beliau juga menyampaikan bahwa seseorang yang mengamalkan ilmu yang dimilikinya akan mendapatkan tambahan ilmu dari Allah. Menurutnya, banyak orang yang menjadi mualaf karena mencari kebenaran Islam melalui kajian akidah.

Selain itu, Kiai Imdad menyoroti keistimewaan Al-Qur’an yang tidak dapat ditiru atau dibuat tandingannya. Ia menjelaskan bahwa Allah bahkan menantang manusia untuk membuat satu ayat yang menyerupai Al-Qur’an, namun hingga kini tidak ada yang mampu melakukannya karena kebenaran Al-Qur’an sangat rasional dan masuk akal.

Di akhir pengajian, Kiai Imdad mengingatkan para santri untuk mensyukuri nikmat Islam yang telah mereka anut sejak lahir.

“Syukurilah anugerah terlahir sebagai seorang Muslim dengan cara memperkuat akidah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. wildan Dhulfahmi
editor : Ahmad Zainul Khofi

 

Basmalah dan Keikhlasan: Pelajaran dari Tafsir Surah Al-Fatihah oleh Kiai Najiburrahman Wahid

penasantri.nuruljadid.net- Lafadz Basmalah yang tercantum dalam Surah Al-Fatihah mengajarkan manusia tentang arti keikhlasan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Najiburrahman Wahid, saat mengampu kitab Tafsirul Fatihah di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Selasa (04/03).

“Basmalah mengajarkan kita tentang keikhlasan. Segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan untuk mengharap rida Allah, bukan selain-Nya. Lafadz Basmalah juga menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang murni, bukan karangan Nabi Muhammad,” tutur Kiai Najib.

Dalam ayat kedua Surah Al-Fatihah, الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Ar-Rahmânir-Rahîm), disebutkan bahwa salah satu bukti rahmat Allah kepada seluruh makhluk-Nya adalah pemberian kehidupan dan kesehatan tanpa mereka memintanya.

Pada kesempatan tersebut, Kiai Najib juga menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an tidak boleh sembarangan. Para ulama yang menyusun kitab tafsir memiliki dasar keilmuan yang kuat dan metodologi yang jelas. Oleh karena itu, santri diingatkan agar tidak mengarang tafsir sendiri tanpa ilmu yang cukup.

Selain itu, Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mengucapkan Basmalah sebelum memulai pekerjaan baik, agar setiap amal yang dilakukan bernilai ibadah. Kiai Najib juga mengajarkan kepada para santri tentang anjuran dalam shalat Tarawih.

“Karena surah pertama yang diturunkan adalah Al-‘Alaq, dalam Syarah Fathul Mu’in, kita dianjurkan membaca surah tersebut pada rakaat pertama shalat Tarawih,” jelasnya.

Dalam ceramahnya, Kiai Najib juga membahas perbedaan pandangan antara Muslim dan non-Muslim terhadap Al-Qur’an. Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, sementara sebagian orang kafir menganggapnya sebagai karya Nabi Muhammad. Karena itulah, banyak pemikir Barat mengakui Nabi Muhammad sebagai sosok jenius.

Lebih lanjut, Kiai Najib menjelaskan bahwa makna khalifah bukan sekadar pemimpin dalam arti politik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan alam semesta. Manusia diberikan akal dan wahyu sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya di bumi.

“Allah memberikan manusia potensi akal dan wahyu agar mereka dapat menjaga harmoni dalam kehidupan. Jika salah satu diabaikan—baik akal tanpa wahyu maupun wahyu tanpa akal—maka keseimbangan akan terganggu,” tegasnya.

Dalam konteks ini, Kiai Najib mengingatkan santri bahwa menjalani hidup dengan ikhlas bukan berarti pasif dan menerima keadaan tanpa usaha. Sebaliknya, keikhlasan yang diajarkan dalam Basmalah adalah motivasi untuk terus berbuat baik tanpa mengharapkan pujian atau balasan duniawi.

Ia juga menekankan pentingnya meneladani Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam cara berdakwah. Menurutnya, salah satu faktor utama keberhasilan dakwah Nabi Muhammad adalah kelembutan dan kasih sayang yang sejalan dengan sifat Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm yang terkandung dalam Basmalah.

“Islam tersebar bukan karena paksaan, tetapi karena keteladanan Rasulullah dalam bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ini pelajaran besar bagi kita semua dalam berdakwah dan berinteraksi dengan sesama,” jelasnya.

Di akhir ceramahnya, Kiai Najib kembali mengingatkan para santri bahwa setiap aktivitas yang dimulai dengan Basmalah memiliki dimensi ibadah. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya selalu mengaitkan setiap perbuatannya dengan niat karena Allah.

“Jika kita benar-benar memahami makna Basmalah, maka kita akan selalu merasa diawasi oleh Allah dan berusaha menjalani hidup dengan penuh keikhlasan serta tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Tegaskan Tugas Santri di Pesantren: Pahami dan Amalkan Agama

berita.nuruljadid.net- Kepala Biro Pengembangan sekaligus pengampu pengajian sore, Kiai Imdad Rabbani, menegaskan bahwa tugas seorang santri adalah memahami ilmu agama dengan akurat dan mengamalkannya dengan cara mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain.

Pernyataan ini disampaikan Kiai Imdad saat mengajarkan ilmu tauhid menggunakan kitab Kharidatul Bahiyah di Masjid Jami’ Nurul Jadid, Senin (03/03).

“Tugas santri adalah memahami agama dengan baik hingga benar-benar mengerti, dan setelah itu wajib menyampaikannya kepada orang lain dengan bahasa yang mudah dipahami agar orang lain juga dapat memahami apa yang disampaikan,” ungkap Kiai Imdad.

Lebih lanjut, Kiai Imdad mengingatkan bahwa mengikuti tren tanpa pertimbangan dapat menjadikan seseorang terperangkap dalam perbudakan tren tersebut. Hingga membuat dirinya mengeluarkan banyak hal tanpa disadari.

“Ketika kita terjebak mengikuti tren, kita telah menyia-nyiakan nikmat besar yang membedakan manusia dengan binatang, yaitu akal dan kemampuan berpikir,” kata beliau.

Dalam pengajian tersebut, Kiai Imdad juga menjelaskan bahwa tujuan seseorang mempelajari ilmu tauhid adalah untuk menumbuhkan keyakinan yang benar ketika membaca kalimat syahadat, bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah selain Allah, yang telah menciptakan segalanya.

Untuk menunjukkan sifat “wujud” Allah, Kiai Imdad mengutip contoh dari alam semesta yang mengalami permulaan, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Menurut beliau, bukti adanya Tuhan dapat dilihat dari alam semesta yang ada.

“Bukti adanya Tuhan bisa kita lihat dari adanya alam semesta ini, yang mengalami permulaan, dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada,” jelas Kiai Imdad.

Di era modern ini, banyak ilmuwan Barat yang memeluk agama Islam setelah menemukan kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Berbagai penemuan ilmiah baru kini telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an yang sudah dijelaskan lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Di akhir pengajian, Kiai Imdad mengingatkan bahwa seseorang yang merasa sudah tahu akan cenderung berhenti belajar.

“Bahkan seorang yang sangat alim pun, jika berhenti belajar, maka seketika itu dia akan menjadi bodoh,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Najib Jabarkan Keterkaitan Ayat-ayat dalam Surah Al-Fatihah

berita.nuruljadid.net- Di tengah teriknya matahari, suara pengajian menggema dari Masjid Jami’ Nurul Jadid, menyebar ke segala penjuru. Dalam pengajian tersebut, Kiai Najiburrahman Wahid mengajarkan keterkaitan ayat 5 hingga 7 dari Surah Al-Fatihah kepada para santri pada Senin (03/03).

Kiai Najib menjelaskan makna petikan lafaz اِيَّاكَ نَعْبُدُ (iyyâka na‘budu), bahwa Allah mengajarkan manusia cara memohon yang benar. Dalam kitab Fathul Mun‘in dijelaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengulang-ulang bacaan surah Al-Fatihah agar doanya semakin khusyuk.

“Gus Mus pernah memberi ijazah, salah satu cara agar doa dikabulkan adalah dengan membaca ayat kelima Surah Al-Fatihah. Lisan mengucapkan lafaznya, sementara hati meminta pertolongan sesuai dengan hajat masing-masing,” tuturnya.

Pada ayat ke-6, اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (ihdinash-shirâthal-mustaqîm), Allah mengajarkan manusia cara meminta pertolongan terbaik, yakni dengan menjalankan ibadah yang lurus. Kiai Najib menekankan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan dengan kepatuhan kepada Allah akan bernilai ibadah.

“Tak hanya sholat, mencari nafkah yang halal untuk keluarga juga merupakan ibadah di sisi Allah,” ucap beliau.

Lebih lanjut, Kiai Najib mengingatkan jamaah agar tidak mengubah tata cara ibadah mahdhah (ibadah murni) seperti sholat agar terhindar dari kebid‘ahan.

“Kita harus mengikuti petunjuk yang telah diajarkan Nabi. Jangan sampai mengarang sendiri,” tegasnya.

Dalam suasana siang menjelang sore itu, Kiai Najib juga menjelaskan pengertian ijtihad sebagai upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh para pakar untuk menemukan kebenaran.

“Seorang mujtahid yang hasil ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan jika salah tetap mendapatkan satu pahala,” jelasnya.

Terakhir, Kiai Najib menguraikan maksud dari petikan ayat ke-7, غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ (ghairil-maghdlûbi).

“Ayat ini merujuk pada mereka yang telah mengetahui kebenaran tetapi menolak untuk mengakuinya, seperti bangsa Yahudi yang menolak Nabi akhir zaman meskipun sudah diberikan petunjuk. Oleh karena itu, Allah murka kepada mereka,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Makna Sholawat dalam Kitab Kharidatul Bahiyah Karangan Syekh Ahmad Ad-Dardiri

berita.nuruljadid.net- Seusai salat Asar, terdengar lantunan nadhom dikumandangkan dari masjid, menandakan bahwa pengajian kitab sore akan segera dimulai. Dalam pengajian tersebut, Gus Imdad Rabbani yang mengampu kitab Kharidatul Bahiyah karangan Syekh Ahmad Ad-Dardiri menjelaskan makna sholawat, pada Minggu (02/03).

Gus Imdad menjelaskan bahwa definisi kata sholawat akan berubah sesuai dengan kepada siapa kata tersebut disandarkan.

“Jika sholawat disandarkan kepada Allah, maka bermakna dzikir. Jika disandarkan kepada manusia, maka bermakna doa. Sedangkan jika disandarkan kepada malaikat, maka bermakna istighfar,” ungkapnya.

Beliau juga memaparkan empat jenis pujian, yaitu:
Pujian Allah untuk diri-Nya sendiri,
Pujian Allah kepada makhluk-Nya,
Pujian makhluk kepada Allah, dan
Pujian antarsesama makhluk.

Gus Imdad menegaskan pentingnya menghormati para sahabat Nabi yang telah banyak berkorban demi Islam.

“Jangan menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Penghormatan kita kepada para sahabat Nabi adalah bentuk kesadaran bahwa kita berutang budi kepada mereka atas jasa-jasa yang telah mereka berikan,” tegasnya.

Dalam sesi tanya jawab, seorang santriwati menanyakan tentang takdir yang telah ditetapkan Allah.

Gus Imdad menjawab, “Segala sesuatu terjadi karena kekuasaan Allah. Namun, manusia yang sadar dan berakal memiliki pilihan dalam menjalani hidupnya. Orang yang sudah mukalaf akan bertanggung jawab atas semua pilihannya yang berada dalam kendalinya,” ucap beliau.

Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban seseorang di luar batas kemampuannya. Hal ini telah Allah pertegas dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Gus Imdad juga menyampaikan bahwa seseorang yang sepanjang hidupnya rajin beribadah tetapi meninggal dalam keadaan su’ul khotimah biasanya memiliki niat yang tidak tulus dalam beramal.

Terakhir, beliau menuturkan bahwa tujuan utama dalam menuntut ilmu agama adalah membentuk diri menjadi seorang Muslim yang sejati.

“Belajar agama tidak boleh melompat-lompat. Harus bertahap, dan itu sangat penting. Karena belajar bertahap, maka kita harus bersabar,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika