Biografi Alm. KH. Abd. Wahid Zaini
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Abdul Wahid Zaini adalah putra kedua dari tujuh bersaudara, pasangan KH. Zaini Mun’im dan Nyai Hj. Nafi’ah. Beliau lahir pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 1942 di Desa Galis, Pamekasan Madura. Lora Abdul Wahid mendapat pendidikan untuk pertama kali, langsung dari ayahanda tercinta Sebagai putra, beliau sangat patuh dan tawaduk terhadap kedua orang tuanya. Sementara sebagai santri atau murid, selain memiliki kecerdasan dan tingkat intelegensia yang tinggi, beliau juga sangat tekun memuthala’ah tiap materi pelajaran.
Menginjak usia dewasa, beliau kemudian mondok ke Pesantren Peterongan Jombang, yang kala itu diasuh oleh KH. Mustain Ramli. Selain mondok beliau juga meneruskan jenjang pendidikannya di sekolah Pendidikan Mu’allimin Atas (saat ini menjadi MTs dan MA). Sebagai santri di Pesantren Darul Ulum, selain aktif mengikuti setiap kegiatan kepesantrenan, Wahid muda juga turut memikirkan kemajuan pesantren. Kala itu beliau pemah menggagas tentang berdirinya Ikatan Keluarga Darul Ulum (IKDU). Tujuan organisasi ini adalah untuk mengakomodir santri dari berbagai daerah, yang selanjutnya diharapkan bisa memberikan sumbangan, baik pemikiran atau lainnya, demi kemajuan pesantren. Dalam perkembangannya, IKDU berubah menjadi Ikatan Keluaga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum (IKAPPDAR).
Memasuki tahun 1962, Wahid muda melanjutkan proses belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu Institut Agama Islam Negeri (lAIN) Sunan Ampel Surabaya. Di lAIN, beliau masuk Fakultas Syari’ah dan memilih Jurusan Ahwal As-Shakhshiyah. Saat itu pula, beliau menyempatkan diri kuliah di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang pada Fakultas Hukum.
Di lAIN Sunan Ampel, selain menekuni bidang akademik, beliau juga terjun dalam dunia organisasi. Kala itu, beliau termasuk perintis berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di organisasi ini, beliau dipercaya menjabat sebagai ketua komisariat untuk lingkungan kampus lAIN Sunan Ampel Surabaya dan Daerah Surabaya Selatan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai sekeretaris dan Ketua Satu untuk Wilayah Jawa Timur (sekarang Koordinator Cabang).
Selain aktif di PMII, pada awal tahun 1960-an, beliau juga menempa bakat keorganisasian di Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) Wilayah Jawa Timur. Dan, pada tahun 1964, Lora Wahid dipercaya sebagai koordinator departemen mahasiswa dan perguruan tinggi wilayah Jawa Timur.
Selanjutnya, aktifitas Wahid muda bertambah padat. Karena saat itu, selain menjadi Rektor Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ), beliau juga dipercaya menjadi anggota DPRD tingkat I Provinsi Jawa Timur melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).[i]
Selanjutnya, pada periode 1977-1982 dan 1984-1987, beliau dipercaya sebagai Sekretaris Fraksi, kemudian ketua Fraksi DPRD tingkat I Propinsi Jawa Timur. Sepanjang meniti karir di politik praktis, beliau dikenal sebagai politisi hebat dan bersih yang pernah dimiliki NU. Selain itu, sejak aktif di Parpol dan menjadi anggota DPRD tingkat I Jawa Timur, acapkali beliau menjadi tempat konsultasi bagi anggota-anggota DPRD, meski di antara mereka berasal dari Partai lain. Beliau juga sering memberi solusi apabila terjadi perdebatan panjang di antara para anggota DPRD.
Karena padatnya kesibukan ini, maka kewajiban akademis (skripsi) beliau di lAIN Sunan Ampel sempat terbengkalai. Meski demikian, berkat dorongan dari sahabat karibnya, Prof. Dr. Syaichul Hadi Purnomo, SH, akhirnya beliau bisa menyelesaikan tugas akhir tersebut.
Selesai ujian dengan nilai summa cum laude (sempurna), beliau kemudian langsung diwisuda dan meraih gelar Doktorandus (S1) pada periode akademik 1990-1991. Sebelunmya, pada tahun 1984 beliau berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Universitas Darul Ulum Jombang.
Kiai Wahid menikah dengan Nyai Hj. Zubaidiyyah Toha dan dianugerahi delapan putera-puteri, yaitu: 1) Abd. Hamid Wahid, M.Ag. 2) Eny Halimiyah Wahid, 3) Nur Diana Khalidah Wahid, 4) Najiburrahman Wahid, D.E.S.A. 5) Fitroh Hanifiyyah Wahid, 6) Hilyah Mashunah Wahid, 7) Sholahuddin Wahid, dan 8) Madarik Wahid.
Berjuang di Nahdlatul Ulama
Perjuangan Kiai Wahid di NU, diawali dengan ajakan kakak kandungnya, KH. Moh. Hasyim Zaini dan adik iparnya, KH. Hasan Abdul Wafi, untuk ikut aktif mengikuti kegiatan di organisasi NU. Mulanya, beliau mengawali aktifitas keorganisasian di Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paiton.
Selanjutnya pada tahun 1971, Kiai Wahid dipercaya menjadi Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Cabang NU Kraksaan selama satu periode (1971-1975). Sementara pada periode 1978-1980, 1980-1984 dan 1984-1988, beliau dipercaya sebagai Wakil Khatib Syuriah di Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Kemudian pada periode 1988-1992 s/d 1992-1996 beliau dipercaya menempati posisi Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.
Sebelum masa jabatan beliau di PWNU berakhir, beliau dipercaya menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU periode 1994-1999, melalui Muktamar NU ke-29 di Cipasung Jawa Barat tahun 1994.
Ketika Kiai Wahid aktif sebagai pengurus PWNU Jawa Timur, mulai tabun 1978 s/d 1996, beliau banyak mengeluarkan beberapa gagasan demi kemajuan NU. Di antaranya adalah: Pertama, beliau berharap, setiap hari kantor PWNU diisi oleh salah satu pengurus inti, baik Ketua, Wakil Ketua dan atau lainnya. Sehingga, kantor PWNU bisa difungsikan sebagai tempat konsultasi, menampung aspirasi masyarakat dan melayani kepentingan warga NU.
Kedua, agar dalam setiap periode, NU memiliki program prioritas dan benar-benar bisa dijalankan secara optimal, tanpa harus menghilangkan program yang lain. Program prioritas ini harus sistematis. Artinya, antara satu periode dengan periode selanjutnya ada kesinambungan. Tujuannya, agar masyarakat dapat mengetahui dan merasakan program NU dalam satu periode.
Ketiga, beliau juga berfikir tentang peta jamaah NU, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan Dengan peta ini, diharapkan agar para pengurus NU mengetahui basis NU, mayoritas dan minoritas warga NU berada di daerah mana saja. Lebih jauh, para pengurus NU bisa lebih mudah mengetahui kondisi sosio-kultur dan kebutuhan warga NU di setiap daerah. Pengetahuan ini akan mempermudah para pengurus NU ketika merencanakan sebuah program di suatu daerah. Hingga nantinya, ketika program tersebut tidak kontra-produktif dengan realitas dan kebutuhan masyarakat.
Pemikiran-pemikiran Kiai Wahid di atas, tidak seluruhnya beliau kemukakan dalam rapat kepengurusan formal. Bahkan lebih sering beliau lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil atau saat berbincang santai dengan para pengurus lainnya Dalam diskusi tersebut, biasanya beliau ditemani oleh partner beliau, KH. Imron Hamzah (Ponpes Panji Sidoarjo).
Berjuang di LAKPESDAM
Pada tahun 1984, selain tercatat sebagai perintis berdirinya Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM), Kiai Wahid juga dipercaya sebagai Direktur untuk Wilayah Timur, yang meliputi seluruh daerah Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selama menjadi Direktur LAKPESDAM, acapkali beliau menyelenggarakan pelatihan peningkatan kualitas SDM pengurus cabang NU se-Jawa Timur, para Kiai, dan tokoh masyarakat. Adapun materi yang disampaikan adalah keorganisasian, manajemen dan kepemimpinan. Sementara narasumber yang beliau hadirkan antara lain terdiri dari tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur, Dr. Syaifuddin Zuhri, MM. Billah, dan lainnya.
Meski menjadi penyelenggara kegiatan pelatihan, Kiai Wahid tidak kemudian menjaga jarak dengan para peserta pelatihan. Tanpa harus merasa gengsi, beliau ikut aktif mendampingi atau melebur dengan mereka sampai tuntas. Ini beliau lakukan, selain karena karakter beliau yang haus akan ilmu, juga agar beliau bisa akrab dengan para peserta pelatihan.
Terhadap para alumni pelatihan, beliau berharap agar nantinya mereka bisa menjadi kader dan pengurus NU yang mumpuni, sehingga bisa turut mengembangkan dan memajukan NU menjadi organisasi besar dan profesional.
Adapun visi-misi Kiai Wahid ketika menangani LAKPESDAM adalah: Pertama, agar LAKPESDAM menjadi lembaga independen dan tidak tergantung pada NU, terutama soal pendanaan. Kedua, sebagai program prioritas adalah membagun SDM terlebih dahulu daripada membangun fasilitas fisik. Ketiga, sebagai jam’iyah maka program-program yang dilaksanakan harus membumi (kongkrit), sehingga warga NU dapat menikmati hasilnya secara langsung. Kemudian pada tahun 1990, demi kaderisasi, akhirnya Kiai Wahid mengakhiri masa jabatannya di LAKPESDAM.
Berjuang di Rabithatul Ma’ahidil lslamiyah
Kehadiran Kiai Wahid di Rabithatul Maahidil Islamiyah (RMI) disambut baik oleh banyak kalangan. Di lembaga otonom NU ini, beliau dipercaya sebagai ketua umum selama dua periode: 1) Ketika menggantikan posisi Kiai Najib, 2) Setelah menang dalam pemilihan ketua RMI yang diselenggarakan pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta (periode 1988-1993).
Sebagai ketua umum RMI, Kiai Wahid banyak melakukan terobosan baru. Di antaranya; 1) beliau mulai merintis terbentuknya pengurus RMI di tingkat cabang dan wilayah, baik di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan hampir menyentuh seluruh provinsi di Indonesia, 2) Kontekstualisasi fiqih melalui penyelenggaraan kegiatan Halaqah di pondok pesantren secara bergantian. Kegiatan ini diselenggarakan mulai dari Banten hingga Kabupaten Banyuwangi, di antaranya di Pesantren Watucongol Jawa Barat, Darul Ulum Jombang, Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Nurul Jadid Paiton, Cipasung dan Blok Agung Banyuwangi.
“Mengapa Halaqah perlu diselenggarakan? Karena kita ini sudah jauh tertinggal oleh perkembangan zaman. Memang, kita alim (pandai) dalam urusan keagamaan dan fiqih. Tapi tanpa didukung oleh informasi, wawasan perkembangan sains dan teknologi, kita tidak akan bisa berbuat banyak Ada seorang kiai ditanya tentang hukunmya memakai mikrofon (pengeras suara) atau speaker. Karena sang kiai belum pemah tahu apa itu mikrofon, sedangkan dalam kitab-kitab klasik disebutkan bahwa mikrofon adalah barang buatan orang kafir, maka sang Kiai menjawab hukunmya haram. Padahal saat itu juga kiai tersebut menggunakan alat pengeras mikrofon. Tapi kemudian, setelah diberi penjelasan tentang mikrofon, kiai tadi langsung menjawab boleh;’ kata Kiai Wahid.
Dalam kegiatan Halaqah, para partisipan tidak hanya diajak berdialog dan berdiskusi. Tapi mereka juga diajak untuk berfikir tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul di sekitarnya. Beberapa tema yang pernah diangkat dalam kegiatan Halaqah tersebut antara lain, masalah hukum agraria, keluarga bencana, pertanian dan perpajakan.
Dari sekian kegiatan Halaqah, seringkali Kiai Wahid terlibat langsung dalam merumuskan konsepnya dan melakukan kerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kerjasama dengan P3M ini tergolong mudah, karena di saat yang sama Kiai Wahid merupakan penasihat dan termasuk salah satu pendiri P3M.
Pendekatan dan lobi kepada pemerintah juga sering beliau lakukan. Hasilnya? Pemerintah kemudian memberi kepercayaan kepada RMI untuk membuat perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan. Ini beliau lakukan demi terjalinnya kerjasama yang strategis dan bersifat jangka panjang. Beberapa dinas pemerintah yang pernah diajak kerjasama adalah dinas pertanian, kehutanan, kesehatan, riset dan teknologi.
Menggagas Kelahiran Ma’had Aly
Seiring dengan visi dan misi RMI yang ingin mengembangkan pendidikan pesantren, Kiai Wahid juga menggagas berdirinya Ma’had Aly sebagai lembaga setingkat Perguruan Tinggi (PT) di pesantren. Mulanya, ide ini pemah disampaikan pada KH. As’ad Syamsul Arifin (Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo), yang selanjutnya langsung diterima.
Salah satu tujuan dibukanya Ma’had Aly adalah, agar pesantren mengkaji teori-teori ilmiah selain kitab kuning, sehingga nantinya pesantren bisa menjadi basis kaderisasi pemikir muda Islam.
Adapun pesantren yang telah mendirikan Ma’had Aly adalah:
1) Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo (konsentrasi pada Fiqih).[ii] 2) Pesantren Krapyak Yogyakarta (konsentrasi pada Ushul Fiqh). 3) Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo (konsentrasi pada Dirosah Islamiyah).
Pandangan terhadap Masail Diniyah dan Pondok Pesantren
Sebagai ulama-intelektual, demikian mantan Mendiknas Malik Fajar menyebut Kiai Wahid, acapkali beliau menjadi tempat konsultasi orang-orang yang tengah menghadapi pelbagai persoalan. Adapun Kiai Wahid sendiri selalu menerimanya dan dengan senang hati memberikan solusi. Berkat kemampuan beliau, tidak mengherankan jika kemudian beliau mampu menjadi mediator konflik pemikiran antara pengurus NU yang sepuh-sepuh dengan kalangan anak muda NU. Lebih-lebih, beliau mampu mempersatukan gagasan kedua belah pihak.
Sebagai figur kiai yang memiliki pola pemikiran kritis dan moderat, acapkali beliau melakukan terobosan-terobosan baru. Misalkan dalam bidang bahtsul masail, Kiai Wahid pemah melakukan pembaharuan tentang sistem dan metode pengambilan hukum terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat. Menurut beliau, langkah-langkah dalam bahtsul masail perlu ada perkembangan. Kala itu beliau menawarkan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, harus dicari terlebih dahulu akar persoalarmya. Kedua, adakah referensi dalam kitab-kitab klasik dan atau sumber lain yang terkait. Ketiga, kemudian dikontekstualkan dengan persoalan sosial, ekonomi dan budaya. Pemikiran beliau ini kemudian berhasil disahkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Lampung pada tahun 1992, dan dikenal dengan nama Fiqih Kontekstual.[iii]
Sementara tentang pondok pesantren, Kiai Wahid pemah melontarkan ide agar pondok pesantren menjadi basis kader untuk pengembangan NU ke depan. Karena pondok pesantren dikenal sebagai basis anak muda NU. Sehingga perlu ada pembinanaan dan kaderisasi santri sebagai embrio ulama yang ada di pesantren. Ide ini beliau lontarkan, karena menyadari bahwa para pendiri NU berasal dari pesantren.
Sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid (1984-2000)
Meski kesibukan Kiai Wahid di luar pesantren sangat padat, tapi beliau tetap bisa mengurus pesantren dengan baik. Pada masa beliau, Pondok Pesantren Nurul Jadid mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik mengenai jumlah santri maupun pelayanan dan pengembangan kemasyarakatan.
Sebagai pemimpin pesantren, selain dibantu adik-adiknya, beliau juga dibantu oleh KH. Hasan Abdul Wafi yang kala itu dipercaya sebagai Dewan Pengawas Pesantren,[iv] dan KH. Fadlurrahman serta KH. Faqih Zawawi sebagai Dewan Pertimbangan Pesantren.[v]
Selama menjadi pengasuh, Kiai Wahid tidak hanya mengarahkan para santrinya agar mampu memahami ihnu-ihnu agama dan teknologi, tapi beliau juga mendorong memajukan kemandirian masyarakat sekitar pesantren lewat pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
Dalam bidang pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi. Di antaranya, pada tahun 1989, setelah Pesantren Nurul Jadid menjalin kerjasama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), TK Nurul Muni’m kemudian dirubah menjadi TK Bina Anaprasa.
Satu tahun kemudian, beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan diakui, diusahakan menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini, lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan negeri. Di antara lembaga tersebut adalah SMUNJ (disamakan pada tahun 1990), SMPNJ (disamakan pada tahun 1991), dan MTsNJ serta MANJ (disamakan pada tahun 1997).
Pada tahun 1992, di Pesantren Nurul Jadid juga telah dirintis berdirinya Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK). Ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik memahami kitab klasik dan juga mampu berbahasa asing (Arab-Inggris). Pada tahun 1995, berdasarkan kurikulum baru, MAPK berubah menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).
Sementara itu, upaya-upaya pengembangan juga dilakukan pada jenjang Perguruan Tinggi, seperti perubahan status dari Perguruan Tinggi Ilmu Dakwah menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid, pada tahun 1986. Ini karena konsentrasi keilmuan di tubuh PTID bertambah menjadi tiga fakultas, yaitu Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah dengan dua jurusan pada masing-masing Fakultas. Kemudian, pada tahun 1999, masing-masing Fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Selanjutnya, untuk menjawab tantangan dalam bidang Teknologi Informasi, pada tahun 1999 didirikan Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid yang semula hanya berupa kursus komputer. Selain itu, juga didirikan Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) yang menjadi cikal bakal pendidikan D1 Bahasa Inggris. LPBA diharapkan dapat menghidupkan semangat (ghirah) berbahasa asing (Arab-Inggris) di masing-masing asrama santri.
Sementara itu, berbagai upaya mendorong kemandirian masyarakat sekitar pesantren juga digalakkan. Misalkan, melalui Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), Pesantren Nurul Jadid antara lain mendirikan Unit Simpan Pinjam (USP) yang dirintis tahun 2000, guna membantu para petani tembakau dan juga memberikan pendampingan pada mereka. Ide ini muncul karena petani tembakau di sekitar Paiton tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan para pengambil kebijakan. Padahal tembakau merupakan sumber utama ekonomi masyarakat Paiton.
Pesantren juga merintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman tanaman bervariasi. Karena seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama, semua tanaman akan ludes. Di samping itu, usaha lainnya berupa petemakan dan perikanan. Kemudian untuk membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Pesantren Nurul Jadid juga mendirikan Balai Pengobatan Azzainiyah yang semula bemarna Usaha Pelayanan Kesehatan Santri (UPKS). Lebih jauh, pada masa Kiai Wahid juga didirikan panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.
Demikianlah kiprah Kiai Wahid. Hampir seluruh hidup beliau diwaqafkan demi perjuangan dan pengabdian kepada agama, negara dan bangsa. Dengan penuh kesabaran, ketekunan dan diiringi dengan pemikiran yang brilian, beliau dedikasikan hidupnya untuk NU, RMI, LAKPESDAM, Pesantren dan santrinya, serta lainnya. Bertolak dari hal ini, ketika pada tanggal 18 Sya’ban 1421 (tahun 2000), tanpa ada firasat apa-apa, tapi tiba-tiba beliau meninggal dunia. Wajar jika para santri, keluarga, alumni, masyarakat sekitar pesantren, tokoh agama dan pemerintah mengalami kidung duka cita. Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’uun.
Catatan Kaki:
[i] Pada tahun ini pula, berangkat dari PPP, beliau dipercaya menjabat sebagai ketua komisi anggaran (komisi E) DPRD tingkat II Kabupaten Probolinggo
[ii] Kala itu yang menjabat Direktur Ma’had Aly di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo adalah Kiai Wahid.
[iii] Jauh sebelum pengesahan tersebut, pada tahun 1989, konsep ini sudah pernah dipraktekkan dalam bahtsul masail yang diselenggarakan oleh PWNU Jatim bekerjasama dengan Jawa Pos di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kala itu tema yang dibahas adalah soal hukum ganti (operasi) kelamin. Dalam bahtsul masail tersebut, panitia menghadirkan Dorce sebagai orang yang melakukan operasi ganti kelamin, bersama dokter bedah plastik yang bersangkutan dan para ulama ahli fiqih Jawa Timur.
[iv] Almarhum KH. Hasan Abdul Wafi menjadi Dewan Pengawas Pesantren Nurul Jadid mulai tahun 1976 s/d 2000.
[v] KH. Fadulurrhaman (adik kandung Kiai Wahid) dipercaya menjadi Dewan Pertimbangan Pesantren Nurul Jadid mulai tahun 1984 s/d sekarang. Sementara almarhum KH. Faqih Zawawi (adik sepupu Kiai Wahid) dipercaya menjadi Dewan Pertimbangan Pesantren Nurul Jadid sejak 1984 s/d 2006. Selain itu, Kiai Faqih juga diperaya menjadi Dewan Pengawas Pesantren sejak 2000 s/d 2006.