Biografi Alm. KH. Zaini Mun’im
Latar Belakang Keluarga
Tahun 1906, di Desa Galis Pamekasan Madura, Lora Zaini Mun’im dilahirkan. Lora adalah kata lain dari Gus atau Mas, sebutan kehormatan untuk putera kiai. Beliau merupakan putera pertama dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Ny. Hj. Hamidah. Lora Zaini memiliki adik bernama KH. Zawawi Mun’im.
Nama kecil Lora Zaini adalah Abdul Mughni. Sejak lahir, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab, dalam tubuh beliau mengalir darah bangsawan sekaligus Ulama, yang mempunyai komitmen pada nilai nilai ajaran Islam, baik dari jalur ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa’ud (Bendoro Saud).[i]
Dari jalur ayahandanya, Lora Mughni adalah putera KH. Abdul Mun’im. Sedang Kiai Abdul Mun’im adalah putera Kiai Mudarik. Adapun Kiai Mudarik sendiri adalah putera ke 4 Kiai Ismail, generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan. Kiai Ismail adalah keponakan Kiai Mahalli, Pendiri Pondok Pesantren Kembang Kuning, yang pada tahun 619 M diangkat sebagai anak angkat Kiai Mahalli. Kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, yang tidak lain adalah keturunan (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) Bendoro Saud, alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur, atau cucu dari Sunan Kudus.
Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan, Pamekasan, Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri.
Pada tahun 1937, Lora Abdul Mughni (yang lebih populer dengan nama KH. Zaini Mun’im) kemudian menikah dengan keponakan Kiai Abdul Madjid Banyuanyar, Nyai Nafi’ah. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai enam putera dan satu puteri. Tiga putera beliau lahir di Madura, yaitu: 1) KH. Moh. Hasyim, BA. 2) Drs. KH. Abdul Wahid Zaini, SH. 3) Nyai Hj. Aisyah (kemudian dipersunting oleh KH. Hasan Abdul Wafi). Sedang empat lainnya lahir di Karanganyar Paiton Probolinggo, yaitu: 4) KH. Fadlurrahman, BA. 5) KH. Moh. Zuhri Zaini, BA 6) KH. Abdul Haq Zaini, Lc, dan 7) Drs. KH. Nur Chotim Zaini.
Latar Belakang Pendidikan
Sejak usia dini, Zaini muda telah mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya, Nyai Hj. Hamidah dan KH. Abdul Mun’im, serta KH. Shanhaji, yang populer dengan sebutan Kiai Anom (saudara sepupu Kiai Abdul Mun’im). Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, Zaini muda masuk sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, beliau memperdalam Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, (menantu Kiai Kholil) di Pondok Pesantren Pademangan Bangkalan Madura. Pada usia 15 tahun, Lora Zaini telah menghafal nadzam Alfiyah.
Setelah itu, pada tahun 1922, beliau melanjutkan proses belajar ke Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan puteranya, KH. Abdul Madjid. Selama tiga setengah tahun di pesantren ini, Lora Zaini semakin terlihat kecerdasannya. Terbukti dengan kemampuannya dalam bidang tafsir, mengarang (tulis-menulis) atau memberi i’tibar (komentar) pada kitab-kitab yang dibacanya.
Pada tahun 1925, beliau mulai merantau ke tanah Jawa dan mondok di Pesantren Sidogiri, Pasuruan, yang diasuh oleh KH. Nawawi. Di sini, Zaini muda hanya belajar satu tahun, dikarenakan ayahanda tercinta meninggal dunia. Sehingga, sebagai putra sulung, beliau harus pulang ke Madura untuk menggantikan posisi ayahanda mengurus pertanian dan perdagangan, terutama pengoperasian pabrik sepatu dan pabrik koper yang telah diwariskan kepadanya.[ii]
Pada usia 22 tahun, Zaini muda dapat mengendalikan dan mengembangkan usaha pertanian dan perdagangan ayahandanya. Adapun hasil usahanya, beliau gunakan untuk menimba ilmu ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama). Di pesantren ini, beliau mempertajam ilmu agama dan ilmu bahasa Arab pada tingkatan yang lebih atas lagi, baik kepada Kiai Hasyim, KH. Maksum bin Kuaron Seblak (menantu Kiai Hasyim), maupun kepada KH. Wahid Hasyim (Putera Kiai Hasyim).
Kecintaan Zaini muda pada ilmu tak diragukan lagi. Meski sibuk mengurusi pesantren dan usaha yang ditinggalkan ayahandanya, beliau tetap menyempatkan diri mengikuti pengajian KH. Abdul Madjid di Pondok Pesantren Banyuanyar. Di samping itu, pada bulan Ramadhan, beliau mengikuti khataman kitab Hadits Bukhari-Muslim pada KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang, serta mengikuti pengajian kitab Tasawwuf yang diasuh KH. Hazim di Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, Jawa Timur.[iii]
Pada pertengahan tahun 1928, bersama dengan nenek, ibu dan adik kandungnya, Zaini muda berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menetap di Sifirlain (atau dikenal dengan Pasar Seng) untuk menuntut ilmu.[iv] Beliau belajar di Makkah selama lima tahun. Adapun para ulama yang menjadi guru beliau antara lain: KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdani AI Maghribi, Syekh Alwi Al Maliki (mufti Maliki di Makkah), Syekh Sa’id Al-Yamani (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi’i di Makkah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti.
Ketika menetap di Makkah, beliau menjadi pimpinan Lajnah Masa’il bersama KH. Hannan Tanggul, Jember, dan KH. Hazin, Baladu Probolinggo.[v] Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan. Di Madinah, beliau mengikuti berbagai pengajian di Masjid Nabawi yang diasuh beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya dari Syekh lbrahim Al-Barry.
Pada tahun 1934, Zaini muda pulang ke tanah air dan langsung menetap di Madura. Sejak saat itu, beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun’im, Pengasuh Pondok Pesantren Panggung, Galis, Pamekasan.
Kepribadian
Kiai Zaini merupakan sosok ulama yang bersahaja. Pertama, meski berasal dari keturunan kiai, bangsawan, serta memiliki status ekonomi yang mapan, beliau sangat populis dan merakyat. Dalam kesehariannya, beliau tidak mengikutsertakan latar belakang keluarga dan gelar kebangsawanan yang dimilikinya, yaitu ‘raden’.[vi] Padahal, gelar ini umumnya selalu dibawa dan dipakai oleh orang orang Madura, termasuk para ulama yang memang berhak menyandangnya.
Kedua, jujur dan ikhlas. Kejujuran, ketekunan dan keikhlasan Kiai Zaini dalam mencari ilmu, sudah tertanam sejak masa muda. Paling tidak, sejak beliau mondok di Tebuireng, di mana Kiai Hasyim Asy’ari sendiri memberi julukan Zaini al-Khalisi, Zaini yang ikhlas.
Ketiga, hidup sederhana. Bagi Kiai Zaini, hidup sederhana adalah prinsip hidup yang mudah diterima masyarakat. Ini kemudian beliau terapkan kepada putra-putrinya. Dari segi berpakaian, beliau selalu membelikan dari bahan-bahan yang wajar, sebagaimana layaknya orang kebanyakan. Padahal dari segi ekonomi beliau sangat mampu.[vii] Tujuannya, agar putera putrinya bisa hidup sederhana, sehingga tidak terjadi garis pemisah dengan masyarakat sekitarnya.
Keempat, memuliakan dan menghormati orang lain. Ini terlihat ketika beliau ditahan Belanda di penjara Probolinggo. Kala itu, ada shalat jama’ah dengan imam yang biasanya dipimpin oleh Pak Mulyadi. Mengetahui Kiai Zaini datang, segera Pak Mulyadi mempersilahkan beliau untuk memipin shalat. Tapi Kiai Zaini menolak karena beliau datang belakangan dari Pak Mulyadi. Akhirnya, Pak Mulyadi yang bertindak sebagai imam, sementara beliau menjadi makmum.
Kelima, dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, beliau juga sangat tekenal dengan sikap yang longgar dan hati hati. Misalkan, meski dalam masalah hukum beliau sangat ketat, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan santrinya, tapi untuk orang lain, beliau memilih pendapat yang longgar. Sikap ini terlihat, misalnya, ketika seorang pengusaha menanyakan pada beliau tentang hukum berhubungan dengan bank. Ditanya demikian, beliau balik bertanya, “Sampeyan menanyakan hukum itu pada diri saya pribadi, atau apa yang sudah diputuskan NU dalam Muktamar di Menes, Jabar? Jika pendapat saya pribadi, hukumnya haram. Tapi jika keputusan NU, ada tiga: haram, mubah dan ikhtilaf.”
Sementara sikap kehati-hatian dalam menghadapi persoalan yang timbul di masyarakat, tampak ketika beliau memberikan pesan terhadap santrinya yang hendak pulang ke kampung halaman: “Dalam masa setahun atau dua tahun, janganlah ikut campur dalam persoalan di masyarakat. Tapi lihat dulu, bagaimana situasi dan kondisi masyarakat sesungguhnya. Setelah kamu betul-betul tahu dan paham tentang seluk beluk masyarakat, silahkan kamu mulai terjun dan mengabdi pada mereka.”[viii]
Keenam, beliau terkenal gigih dan berani dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat. Misalnya, suatu saat ada ketidakadilan dalam pembagian air (irigasi) untuk masyarakat petani, lalu beliau datang sendiri dan berkata kepada si penjaga irigasi: “Apa kamu takut untuk melawan orang yang memaksamu untuk berbuat tidak adil? Jika takut, mari bersama saya menghadapnya.” Demikian juga pernah suatu saat ada sebagian masyarakat yang dihalang-halangi kalau mau pergi mengaji atau pergi ke masjid oleh seorang lurah, lalu beliau mendatangi dan minta penjelasan secara langsung pada lurah tersebut.[ix]
Ketujuh, bercita cita tinggi, lebih-lebih pada hal yang bersifat keilmuan. Cita-cita dan orientasi keilmuan Kiai Zaini ini, tercermin dari keinginan dan cita cita beliau untuk menjadikan seluruh masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pesantren, yaitu masyarakat yang dijiwai oleh tiga prinsip hidup: 1) Masyarakat yang mementingkan hal hal yang menjadi fardlu ‘ain, 2) Masyarakat yang menjauhi segala dosa dosa besar, dan 3) Masyarakat yang senantiasa membina hubungan baik antara manusia dengan Allah dan antar sesama manusia.
Kedelapan, bersikap demokratis. Kepada santri-santrinya, beliau tidak pernah membeda-bedakan antara satu santri dengan santri lainnya, dilihat dari perbedaan status sosial misalnya. Kiai Zaini memposisikan semua santri secara egaliter. Menurut beliau, status semua santri sama: berdiri sama tegak dan duduk sama rendah.
Kesembilan, berfikir strategis. Selain ilmu agama, Kiai Zaini juga menaruh perhatian kepada ilmu umum. Ini terlihat dari ungkapan beliau: “Tujuan saya mendirikan Pesantren Nurul Jadid ini tidak hanya ingin mencetak kiai saja, tapi juga insan yang beriman dan punya komitmen tinggi terhadap perjuangan, di mana pun mereka berada dan sebagai apa pun. Saya menginginkan agar para santri tersebar di mana-mana, termasuk dalam departemen-departemen yang ada di Indonesia ini ada santrinya.”
Berangkat dari ungkapan di atas, beliau tidak pernah melarang para santrinya menjadi pegawai negeri. Padahal waktu itu, umat Islam seakan-akan anti pegawai negeri. Mengenai sikap beliau ini, Kiai Zaini bekata: “Jika posisi itu tidak kita pegang, pasti orang luar yang akan memegangnya. Apa kita semua rela jika Islam dikendalikan oleh orang orang non muslim? Yang tahu membangun Islam adalah orang Islam sendiri, maka orang Islam harus masuk di dalamnya.”
Kesepuluh, sebagai pendidik, beliau sangat perhatian terhadap perkembangan santri-santrinya, baik yang masih berstatus santri aktif dan menetap di pesantren, maupun santri yang sudah menjadi alumni dan hidup di tengah masyarakat. Ini seperti yang diceritakan oleh KH. Badri Masduki, Pengasuh Pondok Pesantren Baddridduja, Kraksaan, Probolinggo. “Sampai sekarang, saya belum menemukan orang yang lebih telaten dari beliau dalam hal ngopeni santri. Bukan saya yang sering sowan kepada beliau, tapi justru beliau yang sering mengunjungi saya ke Kraksaan. Beliau selalu memotivasi saya agar terjun ke masyarakat. Padahal kala itu, hati saya sangat berat untuk keluar. Tapi beliau selalu mengunjungi saya dan mengajak terjun langsung ke masyarakat, turba ke ranting ranting NU, diajak mengikuti konferensi NU, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Akhirnya, kemudian saya bisa aktif terjun ke masyarakat dan aktif di Rais Syuriah NU Cabang Kraksaan dan Syuriah NU Wilayah Jawa Timur. Ini semua berkat ketelatenan beliau dalam mengkader dan mendidik saya. Bagi saya, beliau itu bukan hanya sekedar guru, tapi juga orang tua saya sendiri.”[x]
Kiai Zaini Sebagai Pejuang
Semangat melawan penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan telah tertanam di dalam diri Kiai Zaini Mun’im. Ini terlihat sejak masa mudanya, terutama setelah beliau pulang dari Makkah (1934). Ketika itu, beliau mulai memperhatikan berbagai persoalan yang melilit kehidupan masyarakat sekitar, sekaligus terlibat langsung dalam kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi, beliau aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Pamekasan. Meski sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis, beliau tidak segan segan ikut terjun langsung menangani berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama tentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda di bidang pertanian (tembakau).
Selain itu, beliau juga aktif terlibat sebagai pejuang dalam mempertahankan NKRI, baik pada masa pendudukan Jepang maupun Belanda. Pada masa Jepang, beliau dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Beliau pernah dikempe (suatu tanda akan dihukum mati) oleh tentara Jepang, namun akhirnya masih bisa diselamatkan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai pimpinan Sabilillah ketika melakukan Serangan Umum 16 Agustus 1947 terhadap bala tentara Belanda yang menguasai Kota Pamekasan.
Berjuang di Nahdlatul Ulama
Kiai Zaini Mun’im aktif di Nahdlatul Ulama sejak dari Pamekasan Madura. Setelah hijrah dan menetap di Karanganyar Paiton Probolinggo, perjuangan beliau di NU pun terus berlanjut. Sekitar tahun 1951, Kiai Zaini kedatangan tamu istimewa, yaitu KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif dan KH. Fathullah (Pengurus Cabang NU Kraksaan) untuk mengajak agar Kiai Zaini bersedia berjuang dan membina warga melalui PCNU Kraksaan. Ajakan ketiga kiai ini beliau sambut dengan tangan terbuka.
Pada tahun 1953, Rais Syuriah NU Cabang Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal dunia. Sebagai gantinya, Kiai Zaini dipilih dan diangkat menjadi Rais Syuriah PCNU hingga tahun 1975.
Sementara pada Muktamar NU ke 21 di Medan, Sumatera Utara, Desember 1956, Kiai Zaini terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih. Sejak menjadi anggota dewan Partai NU, keterlibatan beliau di bidang politik nasional mulai menonjol. Selanjutnya, pada tahun 1960, Kiai Zaini terpilih sebagai Wakil Rais Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.
Sebagai tokoh NU, Kiai Zaini enggan jika ummat dikotak-kotakkan atau dibeda-bedakan. Bahkan, beliau marah jika perselisihan yang ada antara NU dan Muhammadiyah itu terus dipertajam. Beliau lebih suka mencari persamaannya daripada mempertajam perbedaaannya, meski beliau mengakui jika di antara keduanya tetap ada perbedaan.
Selama berjuang di NU, Kiai Zaini tidak hanya memikirkan masalah agama, tapi juga memikirkan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Menurut Kiai Zaini, bagaimana umat Islam merasa dirinya sebagai pejuang Islam. Pendapat ini tercermin dari fatwa yang pernah beliau katakan: “Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekonominya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak, bagaimana agar hukum hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dapat berlaku di bumi Indonesia.”[xi]
Ide Dasar Kembali ke Khittah NU 1926
Ketika Muktamar NU yang ke-25 dilaksanakan di Surabaya, pada tanggal 20-25 Desember 1971, dasar-dasar pemikiran untuk kembali ke Khittah sudah dimunculkan oleh Kiai Zaini. Saat itu, beliau meminta agar program program NU dapat dipisahkan antara kegiatan politik dan kegiatan kemasyarakatan, menjelang menghadapi sistem perpolitikan di Indonesia mendatang.
“Jika NU tidak mau memisahkan secara jelas antara kegiatan politik dan kemasyarakatannya, maka Islamnya yang akan menjadi korban, dan bukan sesuatu yang mustahil bila orang akan menentang Islam secara terang-terangan karena persoalan politik,” tegas Kiai Zaini. Tapi, karena saat itu sayap politik tokoh tokoh NU masih sangat kuat dan KH. Idham Chalid masih memiliki pengaruh besar, maka keinginan (politic feeling) Kiai Zaini itu belum bisa menjadi keputusan muktamar.[xii]
Namun dua tahun kemudian, pernyataan Kiai Zaini di atas terbukti. Pada tahun 1973, terjadi perubahan sistem perpolitikan di Indonesia; peleburan dari banyak partai menjadi dua partai politik: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Adapun Golkar, murni tidak melakukan fusi. Sementara Partai NU memfusikan aspirasi politiknya ke dalam PPP.
Sebagai Pendiri dan Pengasuh Pesantren Nurul Jadid
Ketika datang di Desa Tanjung (sekarang Karanganyar) Paiton Probolinggo, mulanya Kiai Zaini tidak bermaksud mendirikan lembaga pendidikan pesantren, tapi hanya ingin mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman penjajah. Tentang dakwah, beliau akan tempuh melalui Departemen Agama. Selanjutnya, beliau hendak melanjutkan perjalanannya ke Kediri, menemui teman teman seperjuangannya.
Tapi sebelum cita cita luhur itu terealisasi, beliau telah mendapatkan amanah berupa dua orang santri: Syaifuddin (Sidodadi Paiton) dan Syafiuddin (Gondosuli Kotaanyar Paiton). Saat itu, mereka berdua ditempatkan di surau kecil yang kala itu selain berfungsi sebagai tempat shalat, juga untuk ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri.
Karena ada titipan dua santri, lalu beliau mengurungkan niat semula dan menetap di Karanganyar. Sebelumnya, KH. Zaini terlebih dahulu konsultasi dengan membawa contoh tanah ke KH. Syamsul Arifin (ayah KH. As’ad Syamsul Arifin Sukorejo).[xiii] Pilihan tersebut bertambah bulat, seiring meningkatnya jumlah santri yang berguru kepada beliau. Di antaranya adalah Muyan, Abdul Mukti, Arifin Makyar, Syamsuddin, Baidlawi dan Jufri.
Berkat bantuan KH. Sufyan Miftahul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Sumberbunga Situbondo), yang waktu itu mengaji pada Kiai Zaini dan ikut membantu mengurus santri, akhirnya Pondok Pesantren Nurul Jadid pun berdiri dengan kemajuan yang cukup pesat. Baik di bidang pembangunan sarana prasarana maupun lembaga pendidikannya.
Mendirikan Lembaga Pendidikan
Pada masa Kiai Zaini, lembaga pendidikan yang beliau dirikan antara lain: Pertama, Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA) pada tahun 1950. Kedua, Taman Kanak-Kanak Nurul Mun’im dan lembaga pendidikan Al-Khairiyah.
Ketiga, Flour Kelas. Lembaga ini pada tahun 1961, berubah nama menjadi Mu’allimin. Selanjutnya pada tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan selang tiga tahun kemudian, status MTs ini dinegerikan.
Keempat, pada tahun 1974, berdiri Sekolah Dasar Islam (SDI). Dua tahun kemudian, SDI berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im (MINM).
Kelima, pada tahun 1975, didirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) berjenjang 6 tahun. Seiring dengan adanya perubahan sistem pendidikan Nasional, maka pada tahun 1977 (Sepeninggal Kiai Zaini Mun’im) berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Nurul Jadid untuk kelas I, II dan III. Sedangkan untuk kelas IV, V dan VI menjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid.
Keenam, pada tanggal 1 September 1968, didirikan sebuah Perguruan Tinggi yakni Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU).
Karya Tulis
Kiai Zaini Mun’im mempunyai beberapa karya tulis. Yang saat ini sampai pada kita ialah:
Taysir al Ushul fi Ilmi al Ushul
Tafsir al Qur’an bi al Imla’
Nazhmu Syu’ab al Iman
Nazhmu Safinah an Najah
Beberapa Problematika Dakwah Islamiyah
Selain itu, tidak sedikit pula pikiran-pikiran lepas yang mempunyai arti mendalam bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Seperti konsep tentang lima kesadaran (Panca Kesadaran): 1) Kesadaran Beragama, 2) Kesadaran Berilmu, 3) Kesadaran Bermasyarakat, 4) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5) Kesadaran Berorganisasi.
Selain lima kesadaran itu, Kiai Zaini Mun’im memberi kriteria (Trilogi Santri) khususnya bagi para santri Nurul Jadid, yang layak pula jadi pegangan bagi para santri pada umumnya, yaitu: 1) Memperhatikan perbuatan-perbuatan fardlu ain, 2) Memperhatikan untuk meninggalkan dosa-dosa besar, 3) Berbudi luhur kepada Allah dan kepada sesama makhluk.
Sebagai Muballigh
Sebagai juru dakwah (muballigh), Kiai Zaini menerapkan dua model dakwah. 1) dakwah bi lisani a-Hal dan 2) dakwah bi lisanil al-Maqal. Dalam aplikasinya, biasanya beliau lebih mendahulukan dakwah bi lisani al-Hal dari pada dakwah bi lisanil al-Maqal.
Dakwah bil al-Hal
Ketika pertama kali datang ke Desa Tanjung (sekarang Karanganyar), Kiai Zaini langsung mempelajari situasi dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar. Saat itu, Desa Tanjung terkenal sebagai pusat bromocorah, pelacuran, perjudian, pencurian dan perampokan. Selain itu, di sektor ekomoni mereka sangat terbelakang. Karena waktu itu sebagian lahan tanah masih berupa hutan dan semak belukar yang dipenuhi binatang buas.
Sementara di sisi lain, Kiai Zaini melihat bahwa tanah Desa Tanjung dapat dikategorikan sebagai tanah yang produktif, hanya saja penduduk setempat belum bisa memanfatakannya dengan baik. Oleh karena itu, Kiai Zaini merubah tanah milik beliau dari tegalan menjadi ladang dan sawah. Kemudian tanah itu beliau tanami jagung. Hasilnya? Ternyata cukup memuaskan.
Melihat hasil tanaman milik beliau, kepala desa dan masyarakat sekitar terkagum-kagum. Hingga kemudian mereka tidak menolak ketika Kiai Zaini mengajak untuk bersama-sama membuat dan membangun jaringan irigasi untuk tanah persawahan, serta membuat sumur jika musim kemarau. Selanjutnya, beliau mengenalkan pada masyarakat berbagai jenis tanaman, antara lain; tanaman jagung, palawija, tebu rakyat dan akhirnya tanaman tembakau yang bibitnya diambil dari Madura.
Ketika pertama kali memperkenalkan tanaman tembakau, beliau mendapat respon negatif dari masyarakat: “Kenapa Pak Haji itu menanam tembakau? Tembakau itu kan tidak bisa dimakan. Apakah dia mau makan tembakau?”.[xiv] Tapi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, beliau tetap menanam tembakau.
Setelah memperoleh pemahaman dan bukti dari Kiai Zaini, akhirnya masyarakat Karanganyar kemudian berbondong-bondong menanam tembakau dan belajar pada beliau. Adapun tanaman tembakau, selanjutnya menjadi tanaman andalan dan sandaran hidup masyarakat sekitar Karanganyar. Buktinya, ketika akan mengadakan suatu hajatan, mereka selalu bilang, “tunggulah nanti pada musim tembakau.”
Dakwah bil Maqal
Dalam menggunakan dakwah bi lisani al-Maqal, Kiai Zaini tidak pernah mengenal waktu, tempat, dan sama sekali tidak membeda-bedakan derajat masyarakat yang mengundangnya. Acara sekecil apa pun, akses jalannya sesulit apapun, beliau selalu mengusahakan untuk datang.
Dalam berdakwah, Kiai Zaini selalu mengajak masyarakat untuk cinta pada agama dan tanah air Indonesia. Selain itu, beliau juga memotivasi mereka agar selalu berupaya meningkatkan kesejahteraan bersama, memerangi kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya.
Pada tahun 1968, di Indonesia mulai muncul kristenisasi. Merespon gejala ini, beliau berpendapat agar kegiatan dakwah di kalangan umat Islam secara keseluruan ditingkatkan. Para da’i perlu membekali diri dengan kemampuan teoritis dan ilmiah. Sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan bisa melakukan misi dakwah terhadap masyarakat kelas menengah ke atas, terutama kepada mereka yang berada di berbagai instansi pemerintahan dan swasta.
Demi merealisasikan gagasan tersebut, Kiai Zaini mengadakan up grading dakwah dan pendidikan agama secara periodik. Gagasan beliau ini kemudian disambut positif oleh para tokoh masyarakat. Hingga kemudian, muncullah pemikiran-pemikiran baru agar kegiatan up grading lebih ditingkatkan lagi menjadi semacam lembaga yang bersifat permanen dengan kurikulum yang sistematis dan prospektif.[xv]
Berangkat dari aspirasi masyarakat itu, beliau kemudian melakukan konsultasi kepada beberapa ahli, di antaranya dengan Prof. Ismail Yakub, Rektor pertama IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kepada Kiai Zaini, Prof. Ismail menyarankan agar mendirikan Akademi Dakwah. Tawaran ini beliau respon positif. Selanjutnya, beliau menawarkannya ke dalam musyawarah kerja Pengurus Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang. Hingga kemudian, pada tanggal 20 Juli 1968, dibentuklah panitia usaha pendirian Akademi Dakwah dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU). Selanjutnya, pada tanggal 1 September 1968, di Pesantren Nurul Jadid didirikan ADIPNU (sekarang menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid).
Demikianlah kegigihan dan keseriusan Kiai Zaini dalam menyiarkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Islam. Bahkan, demi dakwah Islamiyah beliau tidak mengenal usia. Buktinya, tiga hari sebelum meninggal dunia (Rabu, 22 Juli 1976), beliau masih sempat berdakwah di Desa Bula Jaran, Kecamatan Gending, Probolinggo. Di tengah-tengah pidatonya, tiba-tiba kondisi kesehatan beliau menurun. Sehingga beliau harus meninggalkan tempat pengajian sebelum acara selesai. Sesampainya di rumah, ternyata beliau terserang penyakit darah tinggi, hingga tidak sadarkan diri dan harus dilarikan ke Rumah Sakit Islam Surabaya. Pada tanggal 26 Juli 1976, pukul 04.00 WIB akhirnya beliau wafat menghadap Ilahi Rabbi.[xvi] Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun.
Catatan Kaki:
[i] M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, KH. Zaini Mun’im (Pengabdian dan Karya Tulisnya), (Yogyakarta: LK- PSM, 1996)
[ii] Wawancara dengan KH. Abdul Wahid Zaini, putera kedua KH. Zaini Mun’im
[iii] M. Rahwini Anwar, Sejarah Almarhum KH. Zaini Mun’im dan Pesantren Nurul jadid, (PP Nurul jadid, 1979), hal. 47-48.
[iv] Wawancara dengan KH. Faqih Zawawi, keponakan KH. Zaini Mun’im.
[v] M. Rahwini Anwar, op.cit,. hal. 48.
[vi] Wawancara dengan KH. Abdul Wahid Zaini.
[vii] Wawancara dengan KH. Abdul Haq Zaini, putera keenam KH. Zaini Mun’im.
[viii] Wawancara dengan Ustadz Abdul Hafidz, santri KH. Zaini Mun’im sejak 1960-1974
[ix] Wawancara dengan KH. Nur Chotim Zaini, putera ketujuh KH. Zaini Mun’im.
[x] Wawancara dengan KH. Badri Masduqi (Pondok Pesantren Badridduja Kraksaan), Santri KH. Zaini Mun’im.
[xi] Wawancara dengan KH. Hasan Abdul Wafi, menantu KH. Zaini Mun’im.
[xii] Wawancara KH. Abdul Wahid Zaini
[xiii] Wawancara dengan KH. Abd. Wahid Zaini, KH. Faqih Zawawi, KH. Abdul Haq Zaini dan Kiai Muyan (santri sekaligus khadam KH. Zaini sejak dari Pamekasan Madura).
[xiv] Wawancara dengan KH. Abdul Haq Zaini dan Kiai Muyan
[xv] M. Rahwini Anwar, op. cit,. hal. 36
[xvi] Wawancara dengan KH. Abdul Wahid Zaini dan Ustadz Abdul Hafidz, Ibid. Lihat juga M. Rahwini Anwar, op.cit,. hal. 10.