Gus Fayyadl Ungkap Fikih Adalah Bahasa Santri Menyapa Pergaulan Global

nuruljadid.net – Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo menjadi tuan rumah Halaqah Fikih Peradaban pada hari Ahad (2/10). Acara tersebut menghadirkan empat narasumber dari kalangan Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) diantaranya Wakil Rais Aam PBNU KH. Afifuddin Muhajir; Ketua Lakpesdam PBNU KH. Ulil Abshar Abdalla; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya KH. Moh. Syaeful Bahar; Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid Kiai Muhammad Al-Fayyadl.

Dalam kesempatan tersebut, keempat narasumber mengupas tuntas materi yang bertajuk “Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru”. Forum halaqah tersebut dimoderatori oleh Ahmad Sahidah, Ph.D. dan memberikan waktu sekitar 20 menit kepada setiap narasumber untuk memaparkan materi yang telah masing-masing persiapkan.

(Gus Fayyadl  (kiri) sedang memaparkan materi bersama para pemateri di depan peserta halaqoh)

Di sisi lain, Mudir Mahad Aly Nurul Jadid Kiai Muhammad Al-Fayyadl membuka sesi diskusinya dengan mengungkapkan bahwa dewasa kini sangat terasa betapa gagapnya masyarakat pesantren terhadap isu-isu global yang marak dan semakin masuk ke ruang-ruang kehidupan.

“Kita memang sekian lama hidup di dalam lingkungan-lingkungan yang lokal atau regional, dan alhamdulillah dengan Islam Nusantara setidaknya sudah me-nasional, dan sekarang sudah meng-global atau go international,” tuturnya.

Di kesempatan yang sama, kiai muda intelektual yang kerap disapa Gus Fayyadl ini menanggapi dengan hadirnya fenomena tersebut dalam kehidupan masyarakat pesantren, santri harus mempelajari satu perangkat keilmuan, yaitu fikih. Karena menurut beliau, Fikih adalah software santri dalam menyapa pergaulan global.

“Satu perangkat keilmuan yang mau tidak mau harus dipelajari adalah fikih, karena fikih ini adalah software kita, bahasa kita sebagai kaum santri di dalam menyapa pergaulan global tadi,” dawuh Gus Fayyadl.

Beliau juga mengulas fikih siasah dari relevansinya, ia menjelaskan bahwa fikih siasah merupakan hasil dari tatanan dunia yang berkembang pada masanya.

 

(Humas Infokom)

Bahtsul Masail Kubro Se-Jawa Madura

Hukum Ternak Online (Angon)

Deskripsi Maslah :

Di era serba praktis ini segala sesuatu serba aplikasi online, hingga akhirakhir ini kita dikejutkan dengan adanya aplikasi angon, Angon Indonesia merupakan aplikasi berternak online yang memudahkan masyarakat dalam beternak online. Angon memberikan kemudahan dalam betenak secara online sehingga beternak tidak lagi harus memiliki tanah, kandang, dan pengalaman karena semua bisa dipantau melalui aplikasi smartphone, Agif Arianto menjelaskan Angon muncul dari rasa kegelisahannya terhadap kondisi peternakan Indonesia. Dalam aplikasi ini memfasilitasi dua pihak, pihak member (pengguna aplikasi) yang mana dia tidak memiliki lahan, tidak punya keterampilan beternak, namun punya keinginan untuk beternak dan mitra (peternak), yang memiliki ternak dan berkeinginan ternaknya dijual melalui online, yang mana dengan adanya aplikasi ini pihak member dapat beternak online, dan pihak mitra mendapatkan uang dari sewa lahan, sewa kandang, biaya perawatan ternak dan biaya asuransi, adanya biaya asuransi ini pihak member tidak perlu khawatir akan ternaknya sakit ataupun mati karena sudah ada jaminan akan diganti ternak tersebut. Contoh sistem angon: bapak ali download aplikasi angon, kemudian memilih ternak baik kambing atau sapi yang sudah disediakan di aplikasi angon, kemudian bayar harga ternak, biaya sewa lahan, sewa kandang, biaya perawatan ternak serta biaya asuransi setelah itu pak ali menunggu informasi lanjutan terkait perkembangan ternaknya. Namun terdapat kejanggalan dalam transaksi bisnis online ini, keuntungan hanya diperoleh sepihak, karena pihak member mendapatkan semua keuntungan dari hasil ternak dan pihak mitra tidak mendapatkan sama sekali dari keuntungan hasil ternak. Sa’il: I’dadiyah Ma’had Aly Nurul Jadid

Pertanyaan: a. Bagaimana status legalitas akad sebagaimana dalam deskripsi di atas menurut kaca mata fiqh? Jawaaban: a. Dalam deskripsi tersebut terdapat beberapa macam kemungkinan model akad

• Pertama, jika gambar yang di posting dalam aplikasi itu memang barang yang di perjual belikan, maka tergolong bai’ Ain Al-ghoib (transaksi jual beli barang yang tidak terlihat langsung). Menurut pendapat Al-Adzhar tidak sah. Menurut pendapat Muqobil al-Adzhar hukumnya sah

Referensi:

) 357 /2مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ( (والأظهر أنه لا يصح بيع الغائب) وهو ما لم يره المتعاقدان أو أحدهما، وإن كان حاضرا للنهي عن بيع الغرر (والثاني يصح) إذا وصف بذكر جنسه ونوعه اعتمادا على الوصف، فيقول بعتك عبدي التركي أو فرسي العربي أو نحو ذلك وهذا لا بد منه على هذا، وقيل: لا حاجة إلى ذلك وهو ما يوهمه إطلاق المصنف حتى لو قال: بعتك ما في كفي أو ميراثي من أبي صح ) 378 /6حاشية البجيرمي على المنهج ( قوله ( ولا بيع غائب ) أي غائب عن رؤية العاقدين أو أحدهما وإن كان بالمجلس أخذا من قوله بأن لم يره الخ ح ف ولا مخالفة بين هذا وبين قولهم لو قال اشتريت منك ثوبا بصفته كذا بهذه الدراهم فقال بعتك انعقد بيعا لأنه بيع موصوف في الذمة وهذا بيع عين متميزة موصوف ة وهذا واضح ويشتبه على الضعفة كذا بخط م ر شوبري وعبارة الأصل مع شرح م ر والأظهر أنه لا يصح بيع الغائب والثاني وبه قال الأئمة الثلاث يصح البيع إن ذكر جنسه أي أو نوعه وإن لم يرياه ويثبت الخيار للمشتري عند الرؤية وينفذ قبل الرؤية الفسخ دون الإجازة ويمتد الخيار امتداد مجلس الرؤية فقوله وإن وصف للرد على القديم وعلى الأئمة الثلاثة ) 243 /10حاشية الجمل ( ( قوله ولا بيع غائب ) أي على الأظهر ومقابله يصح .وعبارة أصله مع شرح م ر والأظهر أنه لا يصح بيع الغائب والثاني وبه قال الأئمة الثلاثة يصح البيع إن ذكر جنسه أي أو نوعه وإن لم يرياه ويثبت الخيار للمشتري عند الرؤية لحديث فيه ضعيف بل قال الدارقطني باطل وينفذ قبل الرؤية الفسخ دون الإجارة ويمتد الخيار امتداد مجلس الرؤية وكالبيع الصلح والرهن والهبة والإجارة ونحوها بخلاف نحو الوقف انتهت وقولي لحديث فيه ضعيف لفظه كما في المحلي { من اشترى ما لم يره فهو بالخيار إذا رآه } وقوله بخلاف نحو الوقف أي فإنه يصح ولعل من نحو الوقف العتق ثم رأيت سم على حج جزم بالتمثيل به هذا وفي كلام عميرة التسوية بين الوقف وغيره في عدم الصحة ا هـ .ع ش عليه ( قوله بأن لم يره العاقدان ) أي ثمنا أو مثمنا وقوله وإن وصف بصفات السلم أي ولو كان أيضا حاضرا في مجلس البيع وبالغ في وصفه أو سمعه بطريق التواتر كما يأتي أو رآه ليلا ولو في ضوء إن ستر الضوء لونه كورق أبيض فيما يظهر ولا ينافي ذلك ما صرح به ابن الصلاح من أنه يكتفى بالرؤية العرفية مع أن هذا منها لأنه ليس العرف المطرد ذلك على أن كلامه مقيد بما إذا لم يكن العيب ظاهرا بحيث يراه كل من نظر إلى المبيع وحينئذ فالمراد بالرؤية العرفية هي ما يظهر للناظر من غير مزيد تأمل وروية نحو الورق ليلا في ضوء يستر معرفة بياضه ليست كذلك أو من وراء نحو زجاج وكذا ماء صاف إلا الأرض والسمك ) 48 /4النجم الوهاج في شرح المنهاج ( قال: (والأظهر: أنه لا يصح بيع الغائب)؛ لأنه غرر، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عنه.قال الماوردي: ونص عليه الشافعي رضي الله عنه في ستة كتب، وسواء كان ذلك في الثمن أو المثمن، لكن يجوز للعبد أن يشتري نفسه وللحر أن يؤجر نفسه؛ لأن أح ًدا لا يجهل نفسه.قال: (والثاني: يصح، ويثبت الخيار)؛ لحديث: (من اشترى م ا لم يره .. فهو بالخيار إذا ا.ولا ً ونص عليه في ستة كتب أيض ، وإلى هذا القول ذهب جمهور الأصحاب ، وقال الدارقطني: باطل ، رآه) لكنه ضعيف يثبت الخيار بزيادة ولا بما لا يكترث به من النقص.وإذا صححنا بيع الغائب .. فلا بد من ذكر جنس المبيع على الصحيح بأن يقول: بعتك عبدي أو داري أو فرسي، ولا يجوز أن يقول: بعتك ما في كمي أو داري أو ما ورثته عن أبي إذا لم يعرفه
، ا: أنه لا بد من ذكره بأن يقول: عبدي التركي أو الحبشي وفرسي العربي أو الرومي ً المشتري.وأما النوع .. فالأصح أيض فإن كان أكثر من واحد من ذلك النوع .. فيذكر ما يحصل به تمييز المبيع من غيره من ذكر اسمه أو نسبة أو غيرهما، وهل يفتقر معهما إلى الصفات؟ الأصح المنصوص: لا.

Tafsir Ayat Hukum Menikahi Perempuan Musyrik

  1. Teks Ayat

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (221

Artinya :

  1. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari oradng musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
  1. Asbabun Nuzul

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Al-Wahidi yang bersumber dari Muqatil: Bahwa turunnya ayat “Wala tankihul musyrikati hatta yu’minna” (Al-Baqaarah : 221) sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid Al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang.

Diriwayatkan oleh Al-Wahidi dari As-Suddi dari Abi Malik yang bersumber dari Ibnu Abbas, dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari As-Suddi (Haditsnya munqathi’) : Bahwa kelanjutan ayat tersebut diatas, dari mulai “wala amatun mu’minatun khairun….” sampai akhir ayat (Al-Baqarah : 221), berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba sahaya wanita (amat) yang hitam. Pada suatu waktu ia marah kepadanya, sampai menamparnya. Ia sesali kejadian itu, lalu menghadap Nabi Saw untuk menceritakan hal itu: “Saya akan memerdekakan dia dan menikahinya”. Lalu ia laksanakan. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejeknya atas perbuatan itu. Ayat tersebut diatas menegaskan bahwa menikah dengan seorang hamba sahaya Muslimah lebih baik daripada menikah dengan wanita musyrik.

  1. Tafsir Ijmaly

Ini adalah pengharaman bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita musyrik, para penyembah berhala. Jika yang dimaksudkan adalah kaum wanita musyrik secara umum yang mencakup semua wanita, baik dari kalangan ahlul kitab maupun penyembah berhala, maka Allah Ta’ala telah mengkhususkan wanita Ahlul Kitab, melalui firman-Nya yang artinya:

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, jika kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik.” (QS. Al-Maa-idah: 5).

Mengenai firman Allah Ta’ala: wa laa tankihul musyrikaati hattaa yu’minn (“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman,”) Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Dalam hal ini, Allah swt. telah mengecualikan wanita-wanita Ahlul Kitab.”

Hal senada juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Makhul, Hasan al-Bashri, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, Rabi’ bin Anas, dan ulama lainnya.

Ada yang mengatakan: “Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala, sama sekali bukan wanita Ahlul Kitab. Dan maknanya berdekatan dengan pendapat yang pertama.” Wallahu a’lam.

Setelah menceritakan ijma’ mengenai dibolehkannya menikahi wanita Ahlul Kitab, Abu Ja’far bin Jarir rahimahullahu mengatakan: “Umar melarang hal itu (menikahi wanita Ahlul Kitab) agar orang-orang tidak meninggalkan wanita-wanita muslimah atau karena sebab lain yang semakna.”

Imam Buhkari meriwayatkan, Ibnu Umar mengatakan: “Aku tidak mengetahui syirik yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengaku ‘Isa sebagai Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Firman Allah: wa la amatum mu’minatun kahirum mim musyrikatiw walau a’jabatkum (“Sesungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”) As-Suddi mengatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seseorang budak wanita berkulit hitam. Suatu ketika Abdullah marah dan menamparnya, lalu ia merasa takut dan mendatangi Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang terjadi di antara mereka berdua (Abdullah dan budaknya). Maka Rasulullah saw. bertanya: “Bagaimana budak itu?” Abdullah bin Rawahah menjawab: “Ia berpuasa, shalat, berwudhu’ dengan sebaik-baiknya, dan mengucapkan syahadat bahwa tidak ada Ilah yang hak selain Allah dan engkau adalah Rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Abdullah, wanita itu adalah mukminah.” Abdullah bin Rawahah mengatakan: “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakan dan menikahinya.” Setelah itu Abdullah pun melakukan sumpahnya itu, maka beberapa orang dari kalangan kaum muslimin mencelanya serta berujar: “Apakah ia menikahi budaknya sendiri?” Padahal kebiasaannya mereka ingin menikah dengan orang-orang musyrikin atau menikahkan anak-anak mereka dengan orang-orang musyrikin, karena menginginkan kemuliaan leluhur mereka.

Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: wa la amatum mu’minatun kahirum mim musyrikatiw walau a’jabatkum (“Sesungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”). wa la a’bdum mu’minatun kahirum mim musyrikatiw walau a’jabatkum (“Sesungguhnya wanita budak yang mu’min itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”)

Dalam kitab shahih pun (al-Bukhari dan Muslim) telah ditegaskan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim, dari Jabir bin Abdullah, dari Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dunia ini adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

Dan firman-Nya: wa laa tunkihul musyrikiina hattaa tu’minuu (“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan wanita-wanita mukmin] sebelurn mereka beriman.”) Artinya, janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik dengan wanita-wanita yang beriman shalihah.” (HR. Muslim).

Sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman [yang artinya]: “Mereka (wanita-wanita yang beriman) tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal juga bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Setelah itu Allah swt. berfirman: wa la a’bdum mu’minatun kahirum mim musyrikatiw walau a’jabatkum (“Sesungguhnya wanita budak yang mu’min itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”). Artinya, seorang budak laki-laki yang beriman meskipun ia seorang budak keturunan Habasyi (Ethiopia) adalah lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik meskipun ia seorang pemimpin yang mulia.

Ulaa-ika yad’uuna ilan naar (“Mereka mengajak ke neraka.”) Maksudnya, bergaul dan berhubungan dengan mereka hanya akan membangkitkan kecintaan kepada dunia dan kefanaannya serta lebih mengutamakan dunia daripada akhirat dan hal ini berakibat buruk.

wallaaHu yad’u ilal jannati wal maghfirati bi-idzniHi (“Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.”) Yaitu melalui syari’at, perintah, dan larangan-Nya.
Wa yubayyinu aayaatiHii lin naasi la’allaHum yatadzakkaruun (“Dan Allah menerangkan ayat ayat Nya [perintah-perintah] kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”).

Tafsir Ayat Hukum Khitbah

 

  1. Teks Ayat

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرّاً إِلاَّ أَن تَقُولُواْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ )٢٣٥)

. لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ )٢٣٦)

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ )٢٣٧)

  1. dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[1] dengan sindiran[2] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf[3]. dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
  2. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
  3. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah[4] dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

2. Tafsir Mufrodat

         ﻋﺮﺿﺘﻢ

Melakukan sindiran, sindiran untuk mengkhitbah perempuan yaitu dengan mengucapkan perkataan yang menyerupai khitbah dan tidak terus terang tapi memberikan perumpamaan sebagai isyarat.

         ﺨﻄﺒﺔ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ

Meminta perempuan untuk menikah, meminang perempuan.

         ﺃﻜﻨﻨﺘﻢ

Menutupi dan menyamarkan.

         ﻻﺘﻮﺍﻋﺪﻮﻫﻦ ﺴﺮﺍ

Yang dimaksud sirrun di sini adalah nikah, jangan menjanjikan mereka yang sedang dalam masa iddah untuk menikah.

         ﻋﻘﺪﺓ ﺍﻠﻨﻜﺎﺡ

Pengikatan, ikatan/akad nikah.

         ﺃﺠﻟﻪ

Penghabisan, akhir masa iddah.

         ﻓﺎﺤﺬﺮﻮﻩ

Takutlah akan hukumannya dan jangan melanggar.

         ﺤﻟﻴﻢ

Melambatkan hukuman dan tidak mempercepatnya, Allah melambatkan hukuman tapi tidak membiarkan.

         ﺍﻟﻤﻮﺴﻊ

Orang yang dalam keadaan lapang karena kekayaannya, banyak hartanya.

         ﺍﻟﻤﻘﺘﺮ

Orang yang dalam kesempitan karena kemiskinannya.

         ﺘﻤﺴﻮﻫﻦﱠ

Memegang sesuatu dengan tangan, menyentuh perempuan.

         ﻓﺮﻴﻀﺔ

Apa yang telah ditetapkan Allah atas hamba-Nya, maksudnya di sini adalah mahar karena telah ditetapkan dengan perintah Allah.

         ﻴﻌﻔﻮﻦ

Meninggalkan dan memaafkan, maksudnya adalah perempuan menjatuhkan haknya atas mahar.[5]

  1. Tafsir Ijmaly
  2. Al Qur’an mrmbolehkan meminang perempuan yang dalam iddah dengan cara sindiran, misalnya dengan ucapan : Engkau ini seorang perempuan yang cantik, engkau seorang perempuan sholehah, engkau ini seorang perempuan yang dermawan dan lain sebagainya.[6]

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari abdur rahman bin Sulaiman dari bibinya (Sukainah binti Hadlalah), ia berkata :

دخل علي أبو جعفر محمد بن علي وأنا فى عدتى , فقال : أنا من علمت قرابتى من رسول الله ص م و حق جدى على وقدمى فى الاسلام. فقلت : غفر الله لك يا أبا جعفر, أتخطبنى فى عدتى وانت يؤجذ عنك ؟ فقا ل : أوقد فعلت ؟ أنا أخبرتك بقرا بتى من رسول الله ص م وموضعى , دخل رسول الله ص م على أم سلامة حين توفى عنها زوجها (أبو سلامة) فلم يزل رسول الله ص م يذكر لها منزلته من الله , وهو متحامل على يده حتى أثر الحصير فى يده فما كانت تلك خطبة.

“Abu Ja’far, Muhammad bin Ali pernah masuk ke rumahku, disaat aku masih dalam ‘iddah, lalu ia berkata : Aku ingin orang yang engkau tahu betul akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW dan hak nenekku Ali serta jejakku dalam Islam, lalu aku berkata : Semoga Allah mengampuni, hai Abu Ja’far, apakah engkau hendak meminangku padahal aku masih dalam iddah dan apakah engkau mau disiksa ? Abu Ja’far menjawab : Apa aku sudah berbuat ? aku kan hanya memberitahumu akan kekerabatanku dengan Rasulullah SAW serta kedudukanku (dalam keluarga ). Bukankah Rasulullah juga pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika Abu Salamah meninggal dunia, dan Rasulullah SAW sendiri terus menerus menyebut- nyebutkan kepadanya akan kedudukannya di sisi Allah, sedangkan dia bertanggung jawab atas dirinya, sehingga bekas tikar melekat pada dirinya, namun yang demikian itu tidak dinamakan meminang.”[7]

  1. Zamakhsyari berkata : “rahasia” yang dimaksud dalam ayat diatas, adalah kinayah dari nikah yang nikah itu sendiri asal artinya ialah: bercampur. Dan dia itulah yang dirahasiakan (dalam perkawinan) itu. Seperti kata al A-‘sya:

ولا تقربن من جارة أن سرها

عليك حرام فانكحوا أو تاء بدا

“Janganlah engkau mendekat seorang gadis

Sesungguhnya rahasianya itu haram atasmu

Kawinlah dia atau engkau sama sekali menjauh”

Kemudian kata ini dipergunakan untuk arti “kawin” yang berarti ‘aqad, karena ‘aqad itu suatu “sebab” terjadinya perkawinan.[8]

  1. Penyebab kata “azam” dalam ayat itu adalah lilmubalaghah larangan yang sangat keras untuk mengadakan perkawinan dalam ‘iddah, karena azam untuk perbuatan tersebut adalah merupakan muqaddimahnya. Kalau azam saja sudah dilarang, maka mengerjakan lebih dilarang.
  2. Allah mempergunakan kata “menyentuh” untuk arti bercampur, adalah suatu kinayah yang halus yang biasa digunakan dalam Al Qur’an.

Abu Muslim berkata : Kinayah yang dipergunakan Allah SWT untuk bercampur dengan menyentuh itu, sebagai didikan buat manusia agar dalam percakapannya sehari- hari selalu memilih kata- kata yang baik.[9]

  1. Khitbah dalam firman Allah:”Bahwa memaafkan itu jalan terdekat kepada taqwa” dan “jangan kamu lupakan kelebihan antara kamu” itu tertuju untuk pria dan wanita, yang disampaikan dengan mengambil cara “pada umumnya”.

Ar Razi berkata: Apabila pria dan wanita itu hendak disebut secara bersamaan, maka pada umumnya cukup dengan menyebutkan yang pria. Sebab, pria itulah yang pokok, sedang wanita adalah cabang. Misalnya anda mengatakan  فائم (laki- laki berdiri), kemudian anda hendak menyebut juga wanita, maka anda mengatakan قائمة (wanita berdiri).

  1. Hikmah wajibnya mut’ah kepada istri yang ditalak untuk menghiangkan perasaan keganasan talak dan mengurangi kejahatan harta terhadap dirinya.[10]

Ibnu Abbas berkata : Apabila si laki- laki (suami) itu orang yang kaya, maka mut’ahnya berupa khadam (pelayan) dan apabila miskin, mut’ahnya berupa tiga helai baju.

  1. Diriwayatkan, bahwa Al Hasan bin Ali pernah memberikan mut’ah sebanyak 10.000, lalu perempuan itu berkata : “Mut’ah ini terlalu kecil, dari seorang habib (kekasih) yang menceraikan”. Adapun sebab dicerainya istrinya ‘Aisyah al Khats’amiyah itu ialah: bahwa ketika Ali terbunuh dan Al Hasan dibaiat sebagai Khalifah, Aisyah mengatakan : Rupanya kekuasaan Khalifah itu menyenangkan engkau, Ya Amiral Mukminin ! Maka Jawab al Hasan: Ali terbunuh, sedang engkau senang dengan kedudukan ini ? Pergi, engkau kutalak tiga ! begitulah, lalu Aisyah berselimut dengan jilbabnya, dan ia tetap menanti hingga habis masa iddahnya. Lalu oleh al Hasan dikirimnya mut’ah sebanyak 10.000, serta sisa mahar (Yang belum terbayar). Maka komentar Aisyah : Suatu pemberian (mut’ah) yang terlalu kecil dari seorang habib yang menceraikan. “setelah utusan itu menyampaikan hal itu kepada Hasan, maka hasan menangis, seraya berkata : Seandainya aku tidak menjatuhkan talak bain, niscaya kurujuk dia.[11]
  1. Asbabun Nuzul

Al Khazin berkata dalam tafsirnya : Ayat kedua diturunkan tentang seorang laki- laki Anshar yang menikahi seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan maharnya, lalu diceraikannya sebelum dicampuri. Begitulah, lalu turun ayat ketiga. Sesudah itu lalu Rasulullah SAW bersabda kepada laki- laki tersebut : “Berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu.”[12]

  1. Penjelasan

Allah swt telah menjelaskan hukum meminang perempuan yang sedang dalam masa iddah setelah kematian suaminya dalam firman-Nya yang berarti: Tidak ada kesempitan dan tidak ada dosa atas kalian wahai para laki-laki, dalam memulai keinginan menikah dengan perempuan yang sedang dalam masa iddah, dengan cara memberi isyarat tidak terang-terangan, sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui apa yang kalian sembunyikan dalam diri kalian dari kecondongan terhadap mereka, dan keinginan untuk menikah dengan mereka, dan tidak akan menghukum kalian atas tindakan itu, akan tetapi kalian tidak boleh terang-terangan dengan keinginan ini ketika mereka dalam keadaan iddah, kecuali dengan cara isyarat yang diketahui, dengan syarat tidak akan terjadi hal yang buruk atau melewati batas dalam perkataan, dan jangan ber’azam niat untuk melakukan akad nikah sampai selesai masa iddahnya, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mengetahui atas rahasia-rahasiamu dan isi hatimu dan apa yang kamu cari atasnya.

Kemudian Allah menyebutkan hukum perempuan yang ditalak sebelum ditentukan maharnya dan belum disentuh, maka diangkatlah dosa dari  talak  sebelum “dukhul”, agar orang tidak berprasangka bahwa talak dalam keadaan ini dilarang, dan diperintahkan membayar mut’ah untuk mereka sebagai perbaikan bagi kehormatan mereka, sesuai dengan kadar kemampuan si laki-laki baik kaya maupun miskin, dan menjadikannya salah satu dari perbuatan baik untuk menghilangkan kesedihan karena talak, dan adapun talak yang terjadi sebelum adanya persentuhan dan telah disebutkan maharnya, maka perempuan yang ditalak berhak atas setengah dari mahar yang telah ditentukan, kecuali jika telah dijatuhkan haknya, atau suaminya telah membayarkan mahar seluruhnya, atau walinya yang telah menjatuhkan haknya jika dia masih kecil.

Dan Allah mengakhiri ayat itu dengan peringatan: tanpa melupakan kasih sayang, kemurahan hati, dan kebaikan di antara suami istri, maka jika talak telah terjadi karena sebab-sebab  penting yang memaksa, maka tidak seyogyanya talak ini menjadi pemutus ikatan kekeluargaan dan memutuskan kekerabatan.

  1. Kandungan Hukum
  2. Hukum Meminang[13]

Perempuan. Dalam kedudukan hukum pinangan ini, ada 3 macam:

  1. Perempuan yang boleh dipinang dengan terang- terangan dan dengan sindiran, yaitu perempuan yang masih single dan bukan dalam ‘iddah. Sebab bila ia itu boleh dikawin sudah barang tentu boleh juga dipinang.
  2. Perempuan yang tidak boleh dipinang, baik dengan terang- terangan maupun dengan sindiran. Yaitu: perempuan yang masih mempunyai suami, sebab meminang perempuan dalam keadaan demikian itu, berarti merusak hubungan suami istri dan hukumnya haram. Begitu pula perempuan yang ditalak raj’i yang masih dalam ‘iddah. Dia itu dihukumi sebagai perempuan yang masih dalam perkawinan.
  3. Perempuan yang boleh dipinang secara sindiran, tidak boleh dengan terang- terangan. Yaitu, perempuan yang ditinggal mati suami yang masih dalam ‘iddah, seperti yang diisyaratkan al Qur’an:”Dan tidak ada dosa atas kamu meminang perempuan itu dengan sindiran”. Termasuk perempuan yang ditalak tiga. Dalil bagi terlarangnya peminangan ini ialah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i:”Dikhususkannya dengan tidak berdosa peminangan secara sindiran itu, menunjukkan bahwa peminangan dengan terang-terangan adalah sebaliknya.” Ini disebut mafhum mukholafah.
  4. Perkawinan dalam Iddah[14]

Allah mengharamkan pernikahan dalam ‘iddah dan mewajibkan perempuan agar menanti, baik dalam iddah talak ataupun iddatul wafat. Ini berdasarkan firman Allah:”Dan jangan kamu berazam untuk mengadakan ‘aqad nikah, sehingga habis masa ‘iddahnya”. Ayat ini menunjukkan haramnya mengadakan aqad perkawinan dalam ‘iddah. Ulama sepakat bahwa aqadnya itu fasid dan wajib difasakh karena larangan Allah tersebut. Dan apabila aqad itu dilangsungkan lalu hidup berumah tangga, pernikahannya itu harus difasakh, dan perempuan itu haram lagi suaminya untuk selama- lamanya. Demikian menurut Imam Malik dan Ahmad. Alasannya adalah keputusan Umar. Karena laki- laki itu menganggap halal sesuatu yang tidak halal, karena itu dia harus dihukum dengan diharamkannya kawin dengan perempuan tersebut. Tak ubahnya pembunuh yang harus dihukum dengan diharamkannya mendapatkan warisan (dari harta si terbunuh).

Tetapi Abu hanifah dan Syafi’i berkata: perkawinannya itu difasakh, tetapi kalau perempuan itu sudah keluar dari iddahnya, maka laki- laki yang mengawininya tadi dinilai sebagai peminang dan tidak diharamkan untuk kawin dengan perempuan tersebut selamanya.

  1. Hukumnya perempuan yang ditalak sebelum dicampuri[15]
  2. Perempuan yang sudah dicampuri dan sudah ditentukan maharnya. Iddahnya tiga quru’ dan maharnya tidak boleh diambil sedikitpun oleh suaminya. (Al Baqoroh: 228-229).
  3. Perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya dan tidak berhak menerima mahar, tetapi berhak mendapatkan mut’ah. (Al Baqoroh: 236 dan Al Ahzab: 49).
  4. Perempuan yang belum dicampuri tetapi sudah ditentukan maharnya. Tidak ada iddah baginya tetapi mendapatkan separuh mahar. (Al baqoroh:237)
  5. Perempuan yang sudah dicampuri tetapi belum ditentukan maharnya. Berhak mendapatkan mahar mitsli[16][15]. (an Nisa’: 24). Hal ini juga diqiaskan dengan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa perempuan yang sudah dicampuri karena suatu syubhat, tetap berhak mendapatkan mahar mitsl. Sedang perempuan yang telah dicampuri dengan pernikahan yang sah, adalah lebih berhak, berdasarkan hukum ini.
  6. Hukum mut’ah untuk perempuan yang ditalak[17]

Bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya, jelas wajib mendapatkan mut’ah. Selanjutnya berkaitan dengan apakah mut’ah itu wajib untuk setiap perempuan yang tertalak apa tidak, ada 2 pendapat ulama sebagai berikut :

  1. Hasan Basri berpendapat wajib, berdasarkan keumuman. ( Al Baqarah: 241)
  2. Jumhur (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) berpendapat: mut’ah itu wajib bagi perempuan yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Adapun bagi perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sunat.
  3. Arti mut’ah dan ukurannya[18]

Mut’ah adalah pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik berupa uang, pakaian atau perbekalan apa saja, sebagai bantuan dan penghormatan kepada isterinya itu, serta menghindari dari kekejaman talak yang dijatuhkan itu. Ukuran mut’ah sebagai berikut :

  1. Imam Malik: Mut’ah tidak ada batasnya, baik minimal dan maksimal.
  2. Syafi’i : bagi yang mampu disunatkan mut’ah itu berupa seorang khadam, sedang orang pertengahan 30 dirham, dan buat yang tidak mampu sekedarnya saja.
  3. Abu hanifah: sedikitnya berupa bajun kurung, kerudung dan tusuk konde dan tidak lebih dari setengah mahar.
  4. Ahmad : mut’ah itu berupa baju kurung dan kerudung yang sekedar cukup dipakai buat sholat dan ini sesuai kemampuan suami.

 

End Note : 

[1] Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah.

[2] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam ‘iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam ‘iddah Talak raji’i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.

[3] Perkataan sindiran yang baik.

[4] Ialah suami atau wali. kalau Wali mema’afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema’afkan, Maka Dia membayar seluruh mahar.

[5]      Ali Ash Shobuni, Rowai’ul Bayan, tafsir Ayat Ahkam Minal Qur’an, diterjemahkan oleh Muammal Hamidy dan Imron A. Manan, “Tafsir Ayat Ahkam Ash Shobuni”, Surabaya: Bina Ilmu, 1983, hal. 311

[6] Ibid.

[7] Tafsir Thabari 2:519, al khasysyaf 2:214

[8] Al kasy-syaf 1:215

[9] Mahasinut ta’wil 4:620; Tafsir ar Razi 6:147.

[10] Tafsir ar Razi 6:154

[11] HR. Daraquthni, lihat Tafsir Qurthubi 3:202

[12] Lihat Tafsir Al Khazin, Juz I, dan Mahasinut Takwil oleh Al Qasimi 2: 619

[13] Ali Ash shobuni, hal. 314

[14] Ibid. 316

[15] Ibid. 316

[17] Ibid.

[18] Ibid. hal 317- 318

Hukum Mengqadha’ Puasa Orang yang Meninggal Dunia

Puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa adalah salah satu dari tiang agama yang termaktub dalam sabdanya. Jika satu tiang tidak kokoh berdiri maka tiang yang lain juga tidak akan kokoh berdiri, begitu mungkin jika kita analogikan. Lalu permasalahannya bagaimana jika ada salah seorang yang meninggalkan puasa tanpa sempat menggantinya hingga ia mati?. Seperti yang termaktub dalam firman-Nya bahwa ketika ajal datang, maka tidak akan maju maupun mundur waktunya.

Argumentasi primer dari permasalah tersebut sudah sangat jelas karena hadits yang di maksud termasuk hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam muslim. Dengan sanad yang bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak ber’illat dan tidak syadz. Hadits tersebut tercatat sebagai hadits ke 2748 dan 2750 dalam bab kitab shiyam lebih tepatnya bab qadha’ ash shiyam ‘an al mayyiti.

Argumentasi sekunder bagaimana mengqadha’ hutang puasa orang yang telah meninggal dunia ini di tafshil. Yang pertama, jika orang yang berhutang puasa tersebut meninggalkan kewajiban puasa karena udzur seperti orang sakit yang sakitnya berlanjut sampai ajal menjemput sehingga tidak sempat mengqadha’ puasa yang dia tinggalkan maka orang yang mempunyai hutang puasa tersebut tidak dikenakan fidyah, tidak wajib mengqadha’ dan tidak dikenakan dosa.

Yang kedua, bagi orang yang berhutang puasa dan puasa yang dia tinggalkan bukan karena udzur dan belum semapat mengqadha’nya, maka menurut imam syafi’i dalam qaul jadidnya, wali orang tersebut wajib membayar fidyah 1 mud per hari dari puasa yang ditinggalkan atau setara dengan 3,4 liter makanan yang mengenyangkan yang biasa di sebut makanan pokok. Sedangkan menurut qaul qadim, orang yang berhutang puasa maka bagi walinya tidak wajib membayar fidyah akan tetapi sunnah mengqadha’ puasa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut.

Di dalam kitab fiqh sunnah karangan sayyid sabiq di jelaskan bahwa ulama’ berbeda pendapat dalam hukum orang yang mempunyai hutang puasa, apabila ia mati sesudah ada kemungkinan untuk mengqadha’ tetapi tidak di kerjakannya. Pendapat yang pertama -yakni dari kalangan hanafiyah, malikiyah dan sebagian dari syafi’iyah- bahwa bagi walinya tidak di sunnahkan berpuasa akan tetapi membayar fidyah. Pendapat yang kedua –sebagian syafi’iyah- bahwa bagi walinya disunnahkan berpuasa tanpa fidyah.

Terlepas dari itu semua, dapat dikatakan bahwa ulama’ syafi’iyah pada pendapat yang pertama berpijak atas qaul jadid seperti yang dikemukakan di atas, sementara ulama’ syafi’iyah pada pendapat yang kedua berpijak atas qaul qadim.

Dari dua argument yang dipaparkan di atas, dapat menjadi dasar hukum atau jawaban dari permasalahan ini dengan berdasar pada qaul qadim. Karena pendapat madzhab syafi’i dalam qaul qadimnya jelas penyandarannya pada hadits nabi dalam argument primer bahwa disunnahkan bagi wali orang meninggal dunia yang ia meninggalkan hutang puasa mengganti puasa yang ditinggalkannya. Sedangkan bentuk penyandaran hokum pada qaul jadid, dalam kitab al bajuri (hasiyah kitab fathul qarib), di jelaskan bahwa qaul jadid tidak berpijak  pada dalil al quran atau hadits melainkan dengan mengqiyaskan pada kewajiban bagi wali untuk membayar fidyah atas shalat atau i’tikaf wajib yang tertinggal. Namun, dijelaskan juga disana bahwa pendapat pengqiyasan tersebut dha’if dan mushannif kitab tersebut agaknya selaras dengan pemikiran penulis yang lebih memilih qaul qadim sebagai sandaran atas permasalahan yang kita bahas.