Perjalanan Mencari Pemahaman: Antara Hati, Pikiran, dan Iman

Curahan Hati Seorang Santri

penasantri.nuruljadid.net- Saya memulai perjalanan saya di pesantren tanpa pemahaman yang jelas tentang arti hati dan pikiran. Baru pada saat kelas 3 SLTA, saya mulai menyadari bahwa hati yang baik akan selalu menghasilkan kebaikan, sementara hati yang buruk akan menuntun pada kesalahan. Kesimpulannya, antara hati dan pikiran, hati adalah tempat yang menerima baik dan buruknya pikiran. Sementara itu, pikiran sering memperdebatkan apa yang diterima oleh hati.

Mengapa demikian? Karena jika hati dan pikiran bertentangan, maka permasalahan yang ada akan sulit untuk menemukan solusi. Sebelum memulai kehidupan di pesantren, saya merasa bingung mengenai jurusan yang ingin saya pilih. Saya berkeinginan untuk masuk jurusan RPL SMK yang kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Al-Qur’an. Itu adalah niat tulus dari hati saya. Namun, takdir berkata lain, saya justru diterima di program UI MANJ.

Saat memasuki kelas 1, saya sering mendengar sebuah kata motivasi yang berbunyi: “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Pada awalnya, saya merasa bingung dan tidak sepenuhnya memahami maksud dari kalimat tersebut, karena tidak dijelaskan secara rinci. Namun, saat memasuki kelas 3, saya mulai bisa menangkap makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut.

Pemahaman saya terhadap kalimat tersebut datang dengan menghubungkan konsep agama dan ilmu pengetahuan. Ketika dilihat dari perspektif agama, kalimat itu terasa lebih mudah dipahami dibandingkan jika dianalisis hanya dengan pendekatan ilmu alam. Sebagai contoh, ketika guru saya menjelaskan kalimat ini, beliau menekankan pentingnya usaha dan doa yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Salah satu bukti nyata dari usaha dan doa adalah ketika kita berusaha untuk rutin melaksanakan shalat tahajjud. Pada saat itu, kita akan diuji dengan kesulitan untuk menjaga keistiqomahan, karena iman kita kepada Tuhan mungkin masih belum cukup kuat.

Saya ingin menekankan pada kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong” yang mengandung makna bahwa jika usaha kita tidak disertai dengan doa, maka kita seakan tidak percaya kepada Tuhan. Sebaliknya, doa tanpa usaha adalah sia-sia, karena doa yang dilakukan tanpa keyakinan pada kekuasaan Tuhan juga tidak akan membuahkan hasil. Ini adalah pandangan saya dalam perspektif agama.

Selanjutnya, saya mencoba melihat kalimat tersebut dari sudut pandang ilmiah. Sebagai seorang murid, akan sulit bagi kita untuk memahami kalimat tersebut tanpa adanya kepercayaan yang kuat. Misalnya, dalam konteks pembelajaran, seorang guru harus terlebih dahulu memastikan bahwa muridnya memiliki pemahaman yang baik mengenai keyakinan agama. Jika tidak, maka penjelasan tentang usaha dan doa hanya akan terasa kosong. Dengan kata lain, guru harus memberikan pemahaman agama yang kuat sebelum membahas konsep-konsep lain yang berhubungan dengan kehidupan, termasuk usaha dan doa.

Jika seorang murid tidak yakin dengan keesaan Tuhan, maka ia akan kesulitan dalam mengamalkan doa dan usaha dengan konsisten. Dalam hal ini, peran guru sangat penting untuk memastikan bahwa pemahaman agama yang benar diterima dengan baik oleh setiap santri. Tanpa itu, murid akan merasa kebingungan dalam mengamalkan apa yang telah diajarkan.

Sekarang, izinkan saya berbagi pengalaman pribadi terkait kalimat “Usaha tanpa doa adalah sombong, sedangkan doa tanpa usaha adalah bohong.” Saat saya memasuki kelas 1 UI MANJ, saya merasa tertekan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Namun, saya tetap menjalankan rutinitas tersebut. Saya sempat heran mengapa beberapa teman seangkatan saya tampak tidur saat pelajaran berlangsung. Meski demikian, saya berusaha untuk tidak mengikuti mereka dan terus berusaha untuk tetap fokus. Alhamdulillah, saya berhasil bertahan selama satu tahun.

Saat memasuki kelas 2, saya merasa tidak konsisten dalam melaksanakan shalat tahajjud, meskipun saya telah berniat untuk menjaga istiqomah. Banyak cobaan yang datang, membuat saya merasa kesulitan untuk tetap istiqomah. Hingga pada akhirnya, di kelas 3, saya merasa mulai menyerah untuk melaksanakan tahajjud secara rutin dan ingin merasa bebas. Oleh karena itu, saya berhenti melaksanakan tahajjud. Saya merasa bahwa kebebasan yang saya rasakan justru semakin menguatkan rasa keinginan untuk lepas dari kewajiban tersebut.

Namun, saya segera menyadari bahwa kebebasan yang saya nikmati di akhir masa pondok adalah suatu kesalahan besar. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk kembali kepada niat awal saya, yaitu berusaha menjaga istiqomah dalam menjalankan ibadah. Dalam sebulan terakhir, saya memohon agar diberikan petunjuk oleh Allah, dan Alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Dengan petunjuk-Nya, saya kembali berada di jalan yang benar.

Setelah berkonsultasi dengan salah satu guru MANJ, beliau menyampaikan pesan yang sangat berarti. Beliau mengatakan bahwa pada akhir tahun, banyak santri yang bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuhah), tetapi tidak semua orang bisa menyadari kesalahan mereka. Kelas 3 merupakan waktu yang tepat untuk bertaubat dengan sepenuh hati. Taubat ini akan membawa efek positif, yakni mengingatkan kembali niat yang telah diikrarkan saat masih berada di kelas 1.

Kini, saya menyadari kesalahan saya di masa lalu, yaitu tidak sepenuhnya percaya kepada Tuhan. Namun, dengan bimbingan dan petunjuk Allah, saya kembali ke jalan yang benar. Saya berharap agar pengalaman ini dapat menjadi pembelajaran bagi saya dan orang lain, serta menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri.

Sebagai solusi, saya ingin memberikan saran kepada para guru dan pengurus pesantren untuk lebih menekankan pentingnya kepercayaan terhadap keesaan Allah dan pemahaman yang benar tentang taubat nasuhah. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kyai Imdad Rabbani, “Jika kita mengutamakan kehidupan duniawi, maka kita akan kesulitan dalam mencapainya. Namun, jika kita mengutamakan kehidupan akhirat, dunia akan mengikuti dengan sendirinya.”

Semoga pesan ini dapat memberikan motivasi kepada semua santri dan guru untuk lebih giat dalam berusaha dan berdoa, serta menjadikan taubat nasuhah sebagai bagian dari perjalanan spiritual yang lebih baik di masa depan.

Penulis  : Dimas Fajrul Falaq
Editor    : Ponirin Mika

*) Siswa Unggulan IPA (UI) Madrasah Aliyah Nurul Jadid sekaligus santri asrama daerah Sunan Giri (M) wilayah Syeikh Jumadil Kubro (01) pusat 

Kiai Imdad Ajarkan Logika dalam Pengajian Khataman Kitab

penasantri.nuruljadid.net- menjelang senja, para santri berkumpul di Masjid Jami’ Nurul Jadid untuk mengikuti pengajian khataman kitab bersama Kiai Imdad. Dalam kesempatan itu, beliau mengajarkan logika sebagai dasar dalam memahami ilmu, terutama dalam konteks keimanan.

Dalam pengajiannya, Kiai Imdad menjelaskan dua jenis logika, yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif adalah metode penalaran yang menghasilkan kesimpulan berdasarkan data atau premis spesifik yang diberikan. Metode ini sering digunakan dalam sains dan penelitian untuk menemukan hukum-hukum yang absah secara empiris.

Sedangkan logika deduktif merupakan sistem berpikir yang sistematis dan pasti, di mana kesimpulan diambil tanpa perlu observasi atau eksperimen karena maknanya bersifat mutlak dan bebas dari kontradiksi.

“Tanpa berpikir pun, akal kita tidak akan menyangkal jika separuh dari angka dua adalah satu,” ujar Kiai Imdad, memberikan contoh sederhana dalam pengajian tersebut.

Lebih lanjut, beliau memaparkan tiga jenis hukum dalam kajian logika:

Hukum Syar’i, yaitu hukum yang bersumber dari syariat Islam. Ilmu yang memuat hukum ini mencakup panduan agama seperti Furudhul Ainiyah (FA) dan aturan-aturan syariat lainnya. Hukum Syar’i terbagi menjadi lima: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram.

Hukum Aqli, yaitu hukum yang berdasarkan akal sehat dan rasionalitas. Ilmu yang masuk dalam kategori ini meliputi akidah, nahwu, ushul fiqh, fisika, dan lainnya. Hukum Aqli terbagi menjadi tiga bentuk: wajib (pasti ada), mustahil (tidak mungkin ada), dan jaiz (bisa ada atau tidak ada).

Hukum Adi, yaitu hukum yang berdasar pada kebiasaan atau pengamatan empiris. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum ini meliputi sains, fiqh, dan bahasa. Hukum Adi ditetapkan melalui eksperimen, observasi, dan pengalaman berulang.

Syarat Ilmu dan Keimanan kepada Allah

Dalam pengajian khataman kitab ini, Kiai Imdad juga menjelaskan bahwa suatu ilmu harus memenuhi empat kriteria utama:

1. Berada dalam pikiran (terkonsep dengan jelas).
2. Keyakinan terhadap ilmu harus matang.
3. Sesuai dengan kenyataan atau realita.
4. Didasarkan pada dalil dan bukti.

Menurut beliau, ilmu adalah bentuk keyakinan yang diperoleh melalui argumentasi. Dalam hal ini, ada dua sifat utama dalam logika: sifat niscaya, yaitu kebenaran yang absolut dan tidak perlu pembuktian, serta sifat nadhari, yaitu keyakinan yang berdasarkan argumentasi dan membutuhkan penalaran.

Saat menjawab pertanyaan santri tentang memahami Allah, Kiai Imdad menegaskan bahwa mengenal Allah tidak berarti memahami hakikat-Nya secara langsung, melainkan mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya (wajib), sifat yang mustahil ada pada-Nya (muhal), dan sifat yang mungkin ada pada-Nya (jaiz).

“Mengenal Allah adalah kewajiban utama. Sebab, semua kewajiban dalam agama bergantung pada keyakinan terhadap-Nya,” jelasnya.

Beliau juga mengingatkan pentingnya meningkatkan kualitas iman melalui dua cara: dzikir kepada Allah dan merenungi ciptaan-Nya. Dalam kajian akidah, beliau menekankan bahwa keyakinan harus didasarkan pada hukum aqli atau argumentasi rasional sebelum menerima wahyu.

Sebagai penutup, Kiai Imdad merekomendasikan buku “Logika Keimanan” karya Ahmad Ataka, yang membahas bukti logis kebenaran akidah Islam dalam perspektif sains modern.

Melalui pengajian khataman kitab ini, beliau mengajak santri untuk menguatkan keimanan dengan pemahaman logika yang benar.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Basmalah dan Keikhlasan: Pelajaran dari Tafsir Surah Al-Fatihah oleh Kiai Najiburrahman Wahid

penasantri.nuruljadid.net- Lafadz Basmalah yang tercantum dalam Surah Al-Fatihah mengajarkan manusia tentang arti keikhlasan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Najiburrahman Wahid, saat mengampu kitab Tafsirul Fatihah di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Selasa (04/03).

“Basmalah mengajarkan kita tentang keikhlasan. Segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan untuk mengharap rida Allah, bukan selain-Nya. Lafadz Basmalah juga menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang murni, bukan karangan Nabi Muhammad,” tutur Kiai Najib.

Dalam ayat kedua Surah Al-Fatihah, الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Ar-Rahmânir-Rahîm), disebutkan bahwa salah satu bukti rahmat Allah kepada seluruh makhluk-Nya adalah pemberian kehidupan dan kesehatan tanpa mereka memintanya.

Pada kesempatan tersebut, Kiai Najib juga menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an tidak boleh sembarangan. Para ulama yang menyusun kitab tafsir memiliki dasar keilmuan yang kuat dan metodologi yang jelas. Oleh karena itu, santri diingatkan agar tidak mengarang tafsir sendiri tanpa ilmu yang cukup.

Selain itu, Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mengucapkan Basmalah sebelum memulai pekerjaan baik, agar setiap amal yang dilakukan bernilai ibadah. Kiai Najib juga mengajarkan kepada para santri tentang anjuran dalam shalat Tarawih.

“Karena surah pertama yang diturunkan adalah Al-‘Alaq, dalam Syarah Fathul Mu’in, kita dianjurkan membaca surah tersebut pada rakaat pertama shalat Tarawih,” jelasnya.

Dalam ceramahnya, Kiai Najib juga membahas perbedaan pandangan antara Muslim dan non-Muslim terhadap Al-Qur’an. Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, sementara sebagian orang kafir menganggapnya sebagai karya Nabi Muhammad. Karena itulah, banyak pemikir Barat mengakui Nabi Muhammad sebagai sosok jenius.

Lebih lanjut, Kiai Najib menjelaskan bahwa makna khalifah bukan sekadar pemimpin dalam arti politik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan alam semesta. Manusia diberikan akal dan wahyu sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya di bumi.

“Allah memberikan manusia potensi akal dan wahyu agar mereka dapat menjaga harmoni dalam kehidupan. Jika salah satu diabaikan—baik akal tanpa wahyu maupun wahyu tanpa akal—maka keseimbangan akan terganggu,” tegasnya.

Dalam konteks ini, Kiai Najib mengingatkan santri bahwa menjalani hidup dengan ikhlas bukan berarti pasif dan menerima keadaan tanpa usaha. Sebaliknya, keikhlasan yang diajarkan dalam Basmalah adalah motivasi untuk terus berbuat baik tanpa mengharapkan pujian atau balasan duniawi.

Ia juga menekankan pentingnya meneladani Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam cara berdakwah. Menurutnya, salah satu faktor utama keberhasilan dakwah Nabi Muhammad adalah kelembutan dan kasih sayang yang sejalan dengan sifat Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm yang terkandung dalam Basmalah.

“Islam tersebar bukan karena paksaan, tetapi karena keteladanan Rasulullah dalam bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ini pelajaran besar bagi kita semua dalam berdakwah dan berinteraksi dengan sesama,” jelasnya.

Di akhir ceramahnya, Kiai Najib kembali mengingatkan para santri bahwa setiap aktivitas yang dimulai dengan Basmalah memiliki dimensi ibadah. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya selalu mengaitkan setiap perbuatannya dengan niat karena Allah.

“Jika kita benar-benar memahami makna Basmalah, maka kita akan selalu merasa diawasi oleh Allah dan berusaha menjalani hidup dengan penuh keikhlasan serta tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kunjungi ‘Rumahnya’ Sejarah NU di Expo Pendidikan HARLAH NU ke-102

penasantri.nuruljadid.net– Tampilan yang unik memikat perhatian pengunjung stan yang satu ini. Berbeda dengan stan-stan lainnya yang memamerkan produk unggulan atau berbagai jenis street food, stan ini menyuguhkan koleksi foto-foto sejarah para pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Foto-foto para Muassis NU, dari KH. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai pendiri NU hingga KH. Umar Burhan, sang arsiparis NU, menghiasi dinding stan.

Di tengah stan, terdapat meja dengan deretan arsip yang memamerkan dokumen-dokumen bersejarah NU. Beberapa arsip tersebut tercetak dalam berbagai bahasa, mulai dari Bahasa Indonesia dengan ejaan lama, hingga Bahasa Belanda yang digunakan pada masa penjajahan. Teks-teks arsip ini menunjukkan seberapa jauh perjalanan panjang sejarah NU.

Begitu memasuki stan, tim redaksi disambut ramah oleh dua orang penjaga stan, M. Ali Yusuf dan Gus Yunus. Meski tampak biasa-biasa saja, redaksi segera menyadari bahwa mereka bukan orang sembarangan. M. Ali Yusuf dikenal sebagai pencetus ide stan pameran Muassis NU dan Rumah Arsip, sekaligus penjaga stan.

Meskipun pengunjung stan ini tidak sebanyak stan lain, para pengunjung yang datang terlihat berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pengurus NU hingga masyarakat umum yang tertarik dengan sejarah. Tim Redaksi kemudian melanjutkan liputannya dan mendapati bahwa Rumah Arsip NU yang ada di stan ini merupakan inisiatif dari KH. Hisni, putra KH. Umar Burhan, sang arsiparis NU yang banyak memberikan kontribusi terhadap pelestarian arsip sejarah NU.

“Arsip-arsip ini berasal dari catatan KH. Umar Burhan dan KH. Wahid Hasyim, yang tergabung dalam Tim Arsip NU. Saat ini, arsip-arsip tersebut hampir mencapai tiga lemari dan disimpan di kediaman KH. Umar Burhan di Gresik,” kata M. Ali Yusuf.

Ia melanjutkan, “Rumah Arsip NU ini bertujuan untuk menggali dan menyimpan data primer sebelum dan sesudah berdirinya NU. Tujuannya adalah mengedukasi masyarakat, khususnya nahdliyin dan nahdliyat, untuk mengetahui sejarah NU yang sesungguhnya serta mengembalikan marwah para Muassis NU.”

Selain menampilkan arsip-arsip bersejarah, Rumah Arsip NU juga telah mencetak arsip-arsip tersebut menjadi beberapa buku, seperti H. Umar Burhan Sang Arsiparis NU dan Minal Muktamar Ilal Muktamar (Pidato-Pidato Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari).

Dalam penjelasannya, M. Ali Yusuf yang juga merupakan anggota Banser menambahkan, “NU tidak berdiri begitu saja. Di balik berdirinya NU, terdapat perjuangan besar. NU berdiri untuk kemaslahatan umat dan kemerdekaan Indonesia. Proses berdirinya NU juga melibatkan berbagai elemen, termasuk keluarga besar Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Kudus, serta jaringan pesantren dan saudagar.”

Dijelaskan pula bahwa meskipun NU didirikan pada 1926, organisasi ini baru memperoleh legalitas dari pemerintah Belanda pada tahun 1930. Proses berdirinya NU berawal dari beberapa organisasi dan jaringan, seperti Serikat Dagang Ampel, Ta’mirul Masajid, Jam’iyah Pesantren, dan banyak lagi.

“Proses berdirinya NU memang tidak mudah, namun dengan adanya embrio-embrio tersebut, NU terus berjuang hingga kini,” ujar Ali Yusuf menutup penjelasannya.

Pewarta : Wahdana Nafisatuz Zahra
Editor     : Ponirin Mika

Revolusi Pembelajaran Sejarah di Era Milenial

penasantri.nuruljadid.net – Kita telah memasuki abad ke-21, di mana generasi yang lahir di era ini sering disebut sebagai kaum milenial. Di era ini, kaum milenial tidak lagi terikat pada satu ideologi tertentu. Sebaliknya, mereka lebih terbuka untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran dan gagasan demi menjawab tantangan zaman yang dihadapi.

Kaum milenial juga identik dengan modernisasi, seperti teknologi canggih dan internet cepat yang memudahkan akses informasi serta penyelesaian berbagai persoalan. Tak heran, banyak yang berpendapat bahwa siswa yang fokus pada ilmu sains lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sementara itu, siswa yang mendalami ilmu sejarah sering dianggap kesulitan bersosialisasi dengan modernisasi tersebut.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh metode pengajaran sejarah yang masih konvensional, di mana guru menjelaskan dan siswa mendengarkan. Sering kali, siswa hanya dituntut untuk menghafal peristiwa sejarah, lengkap dengan waktu dan lokasinya, tanpa adanya pendekatan yang lebih praktis. Akibatnya, pembelajaran sejarah terasa membosankan karena minimnya interaksi langsung, seperti sentuhan praktikum dan tinjauan terhadap masa lalu yang mereka pelajari.

Akibat dari metode ini, minat siswa terhadap sejarah kian menurun. Jika kondisi ini dibiarkan, kita akan menghadapi masalah serius: generasi milenial yang kehilangan jejak sejarah bangsanya. Pada akhirnya, mereka bisa saja tidak lagi mengenali identitas bangsa mereka sendiri.

Lebih dari itu, pandangan siswa terhadap pelajaran sejarah bisa berubah drastis. Mereka mungkin menganggap sejarah sebagai sesuatu yang tidak relevan dengan masa depan mereka, bahkan mungkin hanya melihatnya sebagai dongeng untuk anak-anak sebelum tidur.

Padahal, sejarah memegang peranan penting dalam membentuk kesadaran generasi muda. Tanpa pemahaman sejarah, generasi penerus tidak akan tahu asal-usul bangsanya dan bagaimana bangsa ini berkembang dari masa ke masa.

Tak cukup sampai disitu, jika diamati, sejarah mempunyai manfaat yang begitu besar apabila siswa tersebut mampu mengkolaborasikan isi moral yang terkandung didalamnya dengan kehidupan kesehariannya. Dengan melihat serta belajar dari masa lalu, siswa akan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa-masa mendatang. Dengan belajar sejarah, siswa akan mampu mengkaji semua hal yang terjadi di sekitarnya.

Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, menekankan pentingnya sejarah dengan semboyannya yang terkenal, “Jasmerah” – jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bahkan jauh sebelum era milenial, Cicero (106-43 SM), seorang sejarawan dan filsuf klasik, menyebut sejarah sebagai “guru kehidupan” atau historia magistra vitae.

Melihat fakta-fakta tersebut, sepatutnya guru sejarah harus bertekad kuat untuk mengubah pendekatan pengajaran mereka, dari metode konvensional menjadi lebih konstruktif. Meski bukan hal mudah, perubahan ini diperlukan agar pembelajaran sejarah lebih relevan bagi siswa. Salah satu tantangan terbesar adalah kenyamanan guru dengan metode lama, yang sudah menjadi kebiasaan sejak mereka masih menjadi siswa.

Selain guru, sekolah juga perlu berperan aktif dalam menjaga mempertahankan mata pelajaran yang berada di ambang kepunahan itu. Dengan kolaborasi antara guru dan sekolah, siswa tidak hanya akan mendapat teori, tetapi juga pengalaman langsung. Misalnya, melalui kunjungan studi ke situs-situs bersejarah atau museum. Guru juga bisa memanfaatkan media audiovisual untuk memperkaya pembelajaran, sehingga siswa dapat berimajinasi lebih jauh tentang kehidupan masa lampau.

Dengan pendekatan ini, pelajaran sejarah akan kembali menarik perhatian siswa. Sejarah tidak lagi dianggap sebagai pelajaran yang membosankan atau tidak relevan. Perlahan tapi pasti, siswa akan menyadari pentingnya sejarah sebagai pelajaran yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan identitas bangsa.

 

Penulis: Moh. Wildan Dhulfahmi*
Editor: Ahmad Zainul Khofi

*) Siswa Unggulan IPA (UI) Madrasah Aliyah Nurul Jadid, Wakil Pimred Majalah Kharisma edisi 35 dan Coordinator Religion Devision Intteligent Student Organization (ISO). 

Lantunan Simtudduror di Dinding Nurul Jadid Menguras Rindu Lautan Santri

penasantri.nuruljadid.net – Ada banyak cara meraih berkah, dan santriwati Wilayah Al-Hasyimiyah memilih mengawali rutinitas pesantren dengan lantunan Maulid Simtudduror. Seakan tak cukup hanya mengucap kata, mereka menyerahkan segenap jiwa pada pujian yang mengalir malam itu, seiring selesainya liburan dan kembalinya perjalanan menjadi santri di pesantren.

Suasana pasca-liburan masih menggantung di langit-langit pesantren. Para santriwati yang baru kembali dari rumah, membawa rindu yang terburai di setiap jejak langkah mereka. Meski jiwa seolah masih tertinggal di kampung halaman, mereka tahu bahwa panggilan pesantren harus dijawab. Maka, hari-hari berlalu dengan cerita-cerita singkat tentang rumah, tentang keluarga, tentang segala hal yang tak mereka temui di balik dinding asrama.

Senin, 23 September. Malam itu, Wilayah Al-Hasyimiyah masih riuh dengan tawa para santriwati. Usai salat Isya berjamaah, mereka bercengkrama di pelataran asrama, melepaskan sisa-sisa beban yang mereka bawa dari rumah. Tetapi, keasyikan itu terhenti sejenak ketika suara pengumuman mengalun dari pengeras suara kantor wilayah, memecah malam yang mulai meremang.

“Bagi sahabat-sahabati santri Wilayah Al-Hasyimiyah, bahwasanya pada malam ini akan dilaksanakan pembacaan Simtudduror sebagai pembuka dan awal pengaktifan kegiatan wilayah,” suara itu mengundang mereka untuk berkumpul.

Tanpa aba-aba, para santriwati bergegas. Buku kecil Maulid Simtuddhuror yang biasa tergeletak di atas rak dalam lemari baju, kini digenggam erat. Mereka berjalan keluar kamar, memenuhi halaman daerah masing-masing. Di bawah langit yang pekat, mereka duduk berbaris, bersiap membuka lembaran-lembaran berisi pujian pada Baginda Nabi.

Kala lantunan Simtudduror mulai terdengar dari pengeras suara. Satu per satu bait mereka lantunkan, penuh ritme, seirama dengan nafas dan detak jantung. Kata demi kata mereka lafalkan, bukan sekadar dengan lisan, tapi juga dengan hati. Puji-pujian pada Nabi mengangkasa, meresap ke setiap sudut, membangun suasana yang tak hanya khidmat, tapi juga mendalam.

Sampai tiba pada mahalul qiyam, suasana seketika berubah, semakin khusyuk. Mereka serentak berdiri, menghadap kiblat, mata terpejam, seakan menyambut kehadiran Baginda Nabi yang mereka rindukan. Tak ada suara lain selain lantunan shalawat yang bergema, mengalirkan rasa syukur dan harapan di antara deru malam.

Seusai suasana yang khusyuk itu, Zahiyah Adiba, kepala Wilayah Al-Hasyimiyah, berdiri mengawasi. Di balik sorot matanya, tersimpan harapan besar agar pembacaan Simtudduror ini menjadi pemicu semangat bagi para santri.

“Kita semua berharap, seluruh kegiatan dari awal hingga akhir mendapatkan berkah. Salah satu upayanya adalah dengan menghadiahkan shalawat kepada Nabi di awal setiap langkah,” tuturnya.

Adiba mengakui, mengatur santriwati yang baru kembali dari liburan bukanlah perkara mudah. Rindu yang tersisa masih kuat, dan disiplin pun kadang mengendur. Namun, ia merasa terbantu dengan adanya divisi kepengurusan yang solid.

“Alhamdulillah, pengurus di sini menjalankan tugasnya dengan baik. Dengan mereka, semuanya terasa lebih ringan,” ujarnya.

Malam itu, Wilayah Al-Hasyimiyah tak hanya memulai kembali aktivitas pesantren, tapi juga menapaki langkah baru dengan semangat yang telah diperbarui. Di antara lantunan shalawat, terajut niat dan harapan untuk terus belajar, bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang kehidupan yang penuh makna.

 

Penulis: Wahdana Nafisatuz Zahra
Editor: Ahmad Zainul Khofi

ANTARANEWS: KH Zaini Mun’im, Pejuang dan Pendiri Ponpes Nurul Jadid

Probolinggo (ANTARA) – Mandat ulama adalah pewaris nabi dalam menyebarkan firman-firman Ilahi yang tertulis maupun yang tak tertulis. Sebagai pewaris nabi, ulama tak cukup hanya berjuang melalui mimbar-mimbar khutbah, melainkan pula harus memiliki sikap berani melakukan perubahan dan pembaruan demi mewujudkan cita-cita ideal dari Nabi Muhammad Saw, yaitu menjadikan umat yang paripurna.

KH. Zaini Mun’im, selain dikenal sebagai figur alim, juga kisah perjuangannya dalam sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Ulama ini merupakan sosok yang berani memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, sehingga mampu mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Kiai Zaini Mun’im adalah arketipe ulama yang tidak hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiyah, melainkan menjadi realitas di kehidupan.

Kiai Zaini lahir tahun 1906 di Desa Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura, dari pasangan KH Abd Mun’im dan Nyai Hamidah. Dari garis keturunan ayahnya, Zaini merupakan keturunan raja Sumenep yang silsilahnya sampai kepada Sunan Kudus. Sementara dari garis ibu, ia adalah keturunan dari raja-raha Pamekasan. Ia adalah seorang bangsawan yang bergelar Raden yang sangat disegani di Madura.

Jejak Kiai Zaini mendirikan pesantren menunjukkan bahwa spirit juang beliau dalam mendobrak kohesi sosial yang awalnya jauh menyimpang dari ajaran suci (sesat), kemudian mampu menggiring masyarakat menjadi kaum agamis yang dekat dengan nilai-nilai Ilahi.

Namanya perjuangan, tentu tidak mudah. Saat mendirikan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Kiai zaini harus berjuang menghadapi berbagai ancaman dari binatang buas dan orang yang tidak sudi atas kehadirannya. Namun tak ada rasa getir sedikit pun di hatinya. Perjungannya berhadapan dengan sistem sosial yang kala itu masih porak poranda. Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, yang kini menjadi markas Ponpes Nurul Jadid, zaman dulu tidak seperti saat ini.

Pada masa itu, sebelum bernama Karanganyar, desa ini dikenal dengan sebutan Tanjung. Nama yang diambil dari sebuah pohon besar yang berdiri di tengah-tengah desa. Masyarakat setempat menganggap pohon tersebut mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak sedikit dari masyarakat setempat menjadikan pohon tanjung itu sebagai sesembahan, yang pada akhirnya tanjung diabadikan sebagai nama desa.

Pada mulanya, desa kecil yang terletak di pesisir di Kecamatan Paiton ini, sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Sebab, salah satunya banyak binatang buas yang mendiami desa ini. Di sisi lain, kehidupan penduduk desa juga sangat memperihatinkan. Mereka menganut animisme dan dinamisme yang ditandai dengan keberadaan beberapa pohon besar yang tidak boleh ditebang karena diyakini sebagai pelindung mereka.

Upaca ritual dalam bentuk pemberian sesajen merupakan hal lazim saat itu, utamanya di momen-momen tertentu, seperti hajatan dan ketika musim tanam tiba. Konon, sesajen tersebut dipersembahkan kepada roh yang diyakni berada di sekitar pohon besar dengan memiliki kekuatan yang di luar nalar manusia. Beberapa masyarakat melakukan upacara ritual dengan meletakkan ayam di setiap titik yang dianggap sakral. Selain itu, setiap tahun, mereka mengadakan selamatan laut dengan melarung kepala kerbau.

Dalam pergaulan masyarakatnya, marak sekali terjadi perjudian, perampokan, pencurian dan tempat pekerja seks komersial (PSK). Kehidupannya cenderung hedonis, dalam keyakinan mereka, kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat dalam perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran. Kepedulian masyarakat terhadap alam sebagai sumber kehidupannya pun sangat memprihatinkan. Dengan demikian, waktu itu Karanganyar dicap sebagai desa mati.

Di tengah situasi dan kondisi sosial masyarakat yang demikian, KH. Zaini Mun’im, setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo) memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarga di desa itu.

Dengan berbekal satu batang lidi, beliau berjalan menelusuti tanah yang sudah menjadi miliknya. Binatang buas yang mendiami tanah tersebut lari menuju utara desa, yaitu di daerah Grinting. Kurang lebih satu tahun beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tegalan.

Awalnya, kedatangan Kiai Zaini Mun’im ke Desa Karanganyar bukan bermaksud untuk mendirikan pondok pesantren, melainkan untuk mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta bergabung dengan teman-teman seperjuangannya.

Cita-cita Kiai Zaini untuk menyiarkan agama Islam, kala itu melalui Departemen Agama (Depag) tidak tersampaikan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, ada dua orang santri (Syafi’uddin dan Saifuddin) yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama.

Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itu beliau menetap bersama kedua santrinya.

Seiring waktu, suarau kecil milik Kiai Zaini terus berkembang. Santri beliau terus bertambah. Pendidikan dan bimbingan yang beliau berikan tidak sebatas di lingkungan pesantren saja, namun berhasil membawa perubahan budaya dan kondisi masyarakat Desa Karanganyar menjadi kawasan dengan tatanan sosial yang tertata lebih baik.

Kini Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah memiliki belasan ribu santri dari berbagai segala penjuru negeri, bahkan dari mancanegara. Sang pendobrak kesesatan yang bernama Kiai Zaini Mun’im telah lama berpelukan dengan kekasih-Nya. Kiai Zaini wafat pada 26 Juli 1976, namun semangatnya sebagai mujaddid dan mujahid terus mengalir pada santri-santrinya.

*) Penulis: Ahmad Zainul Khofi merupakan mahasiswa semester VI Universitas Nurul Jadid (Unuja) Paiton, Probolinggo, Jatim, dan pegiat literasi

ANTARANEWS: Kiai Zaini Mun’im dan Kesadaran Masa Depan Indonesia

Probolinggo (ANTARA) – Mungkin terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa Madura merupakan pulau keramat yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa. Banyak ulama-ulama Nusantara yang menimba ilmu di pulau itu, tepatnya ke Kiai Kholil Bangkalan.

Moqsith Gazali pernah menyampaikan bahwa tidak terlalu banyak orang yang belajar pada Kiai Kholil, kecuali hanya sekitar 25 orang. Daari 25 orang itu kemudian menjadi ulama yang mengasuh pondok pesantren besar di Indonesia, salah satunya adalah Kiai Haji Zaini Mun’im.

Kiai Zaini adalah ulama yang memiliki kesadaran masa depan. Tak banyak ulama pesantren yang memiliki pandangan masa depan terhadap keberdaan bangsa Indonesia dan dunia.

Sebagian dari mereka bisa di kata hanya fokus memikirkan berkait masa depan pesantren dan santri-santrinya. Karena itu Kiai Zaini terus mendidik dan menjaga eksistensi pesantrennya dari ancaman-ancaman budaya-budaya yang akan mengikis warisan luhur yang menjadi ciri khas pesantren. Bisa dikatan ia lebih memilih bertahan daripada menyerang.

KH. Zaini Mun’im adalah ulama asal daerah Galis, Kabupaten Pamekasan, Madura yang juga pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

Dalam kisahnya, Kiai Zaini seorang yang tak lelah memikirkan nasib bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman kolonialisme yang terus menyerang terhadap anak bangsa.

Kegelisahan kiai Zaini muda terus menghantui perjalanan hidupnya. Diskusi dan perbincangannya berkait perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia menjadi topik obrolannya saban waktu dengan tokoh lainnya.

Meskipun dirinya lahir dari rahim pesantren yang juga dididik oleh pendidikan pesantren, namun semangat nasionalismenya terpatri sangat kuat. Kiai Zaini muda penuh dengan gagasan berkait kemerdekaan Indonesia, dan kebangkitannya melawan penjajah yang “menghegemoni” kekayaan dan kemerdekaan anak bangsa Indonesia.

Perlawanan demi perlawanan ia lakukan hingga pada akhirnya Belanda mencium keberanian Kiai Zaini dan penjajah dari Negeri Kincir Angin itu ingin membumihanguskan Kiai Zaini dengan segala upaya dan kebiadabannya.

Kepergiannya dari Pamekasan menuju Pulau Jawa sebagai bukti bahwa Kiai Zaini dikejar-kejar oleh Belanda untuk dibungkam agar tidak melawan dan supaya dapat memuluskan cita-cita biadab Belanda untuk menguasai Bumi Nusantara ini. Tipikal Kiai Zaini bukan seorang pengecut dan penakut, sehingga semangatnya tidak kendor saat mendengar ancaman demi ancaman dari kaum penjajah.

Kiai Zaini seorang ulama pemberani dan pejuang yang merelakan hidupnya untuk berjuang menegakkan kebenaran meski nyawa menjadi taruhannya. Ada ungkapan yang membakar semangat anak bangsa dan membuktikan bahwa dirinya seorang nasionalis yang hebat, yaitu “Orang yang tinggal di Indonesia dan tidak berjuang ia telah melakukan perbuatan maksiat”.

Pernyataan ini sebagai bukti bahwa Kiai Zaini bukan tipe orang yang berpangku tangan melihat ketidakadilan di masyarakat. Semangat totalitas dalam memperjuangkan tanah kelahiran dari “kebiadaban” penjajah telah menjadi saksi sejarah dalam perjalanan hidupnya.

Sahdan, semangat berjuang yang dimiliki Kiai Zaini bukan tanpa dasar. Dengan kealimannya, semua tindakannya selalu berdasar pada ilmu, yaitu dalam agama Islam mencintai negara itu bagian dari iman. Keimanan ini yang mendorong Kiai Zaini untuk terus bergerak, berjuang demi kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Bertauhid yang benar tidak cukup hanya meyakini dalam hati dan mengikrarkan melalui lisan, tapi harus terimplimentasikan melalui perbuatan. Keimanan yang hanya cukup berada dalam kepercayaan tanpa amal, ibarat pohon yang tidak berbuah.

Dorongan tauhid pada pergerakan dan perlawanan Kiai Zaini tergambar melalui perjuangannya, baik melalui politik, pendidikan, sosial, dan aktivitas kemasyarakatan.

Meskipun kini Kiai Zaini telah menghadap Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim, jejak juangnya terus berdenyut di Bumi Indonesia bersama dengan melajunya Pondok Pesantren Nurul Jadid yang didirikannya. Pondok yang terus berkarya dan berbakti pada agama, bangsa dan negara. Di sini lahir para pejuang Islam yang melanjutkan cita-cita luhur kiai Zaini.

Pondok Pesantren Nurul Jadid yang menjadi kawah candradimuka generasi muda Muslim, terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa mengorbankan karakternya sebagai lembaga pendidikan, dakwah, kader dan sosial.

Seiring dengan perkembangan zaman, pesantren ini berkontribusi banyak pada penyediaan SDM bekualitas untuk ikut berpartisipasi mewujudkan pesantren dan Indonesia yang lebih unggul dan berkualitas.

Pesantren ini membentuk pondasi yang kuat bagi para santri melalui trilogi dan panca kesadaran sebagai prinsip dasar dalam menciptakan, mendidik dan mengkader agar lahir manusia yang utuh dan paripurna.

 

*) Ponirin Mika adalah Ketua Lakpesdam Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Paiton dan anggota Community of Critical Social Research

Pewarta: Ponirin Mika*)
Editor : Masuki M. Astro

KH Zaini Mun’im Pribadi yang Tawadhu dan Bersahaja

Oleh : KH. Tauhidullah Badri

nuruljadid.net- Dalam acara Haul Masyasyikh Ponpes Nurul Jadid kemarin, Kyai Ramdhan Siroj (mantan Bupati Sumenep) menyebutkan tentang manaqib Hadratus Syekh Kyai Haji Zaini Mun’im pendiri Ponpes Nurul Jadid Paiton. Beliau seorang yg Aalim allamah, bersahaja, sederhana, ramah dan yg paling menonjol adalah sifat tawadhu’nya.

Ketawadhuan beliau bukan hanya terlihat dalam bentuk ungkapan tapi tercermin langsung dari perilakunya. Beliau adalah keteladanan dalam sifat tawadhu’. Diantara ketawadhu’annya terlihat dari ungkapan beliau, diantaranya:

“Saya kesini (ke Paiton) tidak niat untuk jadi kyai, saya kesini cuma ngungsi.” “Bhuleh nikoh kakanthoh bhenih niat dhettih kyaih, bhuleh ngungsi”

Sifat tawadhu’ terlahir  diantaranya karena ada kesadaran akan siapa dirinya dan jg krn betul² mengenal siapa tuhanya, sbgmn dalam ungkapan:

ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه

“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Imam Suyuthi mengutip pendapat Imam Nawawi yg menyebutkan kedudukan maqalah ini:

وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ.

“Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab, “Maqalah trsbt bukan hadits Nabi,’” (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Darul Fikr, 2004, juz II, halaman 288).

 

Imam As-Sam’ani mengatakan ini maqalah ulama sufi Syekh Yahya bin Muadz Ar-Razi.

Al-Qur’an banyak menyebut tentang ciri² atau indikator karakter tawadhu’, diantaranya:

وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا

“Adapun hamba-hamba Tuhan yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di Bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam (dan menebarkan salam/ kedamaian).”

(QS. Al-Furqan 63)

 

Tawadhu’ adalah akhlak para nabi, sbgmn Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan hadis dalam kitab Lubabul Hadits: 

التَّوَاضُعُ مِنْ أَخْلَاقِ الْأَنْبِيَاءِ وَالتَّكَبُّرُ مِنْ أَخْلَاقِ الْكُفَّارِ وَالْفُرَاعِنَةِ   

“Tawadhu merupakan bagian dari akhlaknya para Nabi, sedangkan sombong adalah akhlaknya orang-orang kafir dan para firaun.”

Rasulullah SAW menganjurkan:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu sehingga kalian tidak merasa bangga diri lagi sombong terhadap orang lain dan tidak pula berlaku aniaya terhadap orang lain.” (HR. Imam Muslim)

Dgn tawadhu’ tidak menjadikan hina, sebaliknya derajatnya semakin ditingikan, sbgmn hadis yang diriwayatkan Imam Muslim:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

“Dan tidaklah seorang tawadhu’ karena Allah SWT (bukan pencitraan), Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Imam Hasan Al-Basri berkata:

هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

“Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

Ketawadhuan bukan hanya menjadi karakter Kyai Zaini, tapi jg menjadi karakter yg menular, sehingga bisa kita jumpai jg kerawadu’an ini ada pada putra² atau dzurriyah beliau. Keteladanan beliau ternyata jg menular kepada dzurriyah, santri, masyrakat, dan semoga jg menular kepada kita para pecinta beliau. Aamiin.

Selamat Harlah PP Nurul Jadid. Jayalah Nurul Jadid,  Jayalah Semua Pondok Pesantren, bermanfaat selamanya untuk ummat, agama dan bangsa. Aamiin.

 

Semoga bermanfaat. Aamiin.

 

*Pondok Pesantren Baddridduja, Kraksaan, Probolinggo.

 

“Andaikan, Andaikan, dan Andaikan”

Oleh: Muhammad Alfath

nuruljadid.net – Di sela-sela padatnya kegiatan pondok, tak jarang saya duduk berbincang-bincang bersama para santri lain. Tentu saja mereka—yang berjumlah ribuan dan berasal dari daerah yang berbeda-beda—memiliki latar belakang yang tidak sama. Pandangan hidup merekalah yang kemudian memperkaya pandangan saya akan hidup ini. Atau bahasa kerennya.. yaa, welsthanschaung mereka.

Tak jarang pula saya mendengar pengandaian-pengandaian mereka. Pengandaian yang berasal dari hati dan disalurkan lewat mulut mereka:

Andaikan aku gak mondok, pasti sekarang lagi chatan sama ayang,” ujar salah seorang santri untuk memulai pengandaian.

Yang lain ikutan nimbrung, “uhh, kalau saya pasti lagi mabar Mobile Legends sekarang”

“kalau saya, pasti lagi nonton film “eng ing eng” di pesbuk,” timbrung seorang teman mereka dengan muka mesum.

“Andaikan kita bukan santri, pasti sudah hidup ‘bebas’,” ujar salah seorang santri untuk “menyimpulkan” pengandaian-pengandaian mereka.

Semua ini adalah salah tiga contoh daripada bermacam-macam kesalahan penggunaan media sosial oleh umat manusia. Medsos yang memiliki jutaan manfaat justru disalahgunakan oleh pihak yang tidak profesional dalam menggunakannya.

Penggunaan medsos oleh santri malahan menimbulkan masalah identitas: mereka yang harusnya bangga melihat bagaimana kaumnya sudah go-International, malah menilai hal-hal yang tidak bisa dilakukannya sebagai kekurangan. Mungkin pihak yang berwenang perlu mengadakan “Kursus Bermedsos” untuk menanggulangi masalah ini. Kalau tidak yaa dampaknya akan seperti ini: timbul kalimat “andaikan, andaikan, dan andaikan” dari orang-orang—tanpa terkecuali kaum santri—yang menggunakannya.

Menjawab “Andaikan, Andaikan, dan Andaikan”

Yaa, timbullah perkataan “andaikan, andaikan, dan andaikan”, beserta ribuan pengandaian lainnya. Seolah-olah para santri pengandai itu tidak pernah berpikir bahwasanya terdapat  ratusan bahkan puluhan ribu orang yang mengandaikan dirinya menjadi seorang santri. Terlalu luas dunia ini bagi persepsi mereka yang sempit akannya. Terlalu sibuk melihat apa yang ada pada diri orang lain sampai lupa pada apa yang ada pada diri mereka sendiri. Amerika sudah mengandaikan bagaimana mendaratkan manusia di planet Mars, sedangkan kita masih mengandaikan bagaimana mendaratkan kepala kita pada bahu si dia. Adaahh…

Padahal, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, seorang da’i generasi millenial, pernah berkata: “Tidak ada identitas yang lebih mulia, lebih agung, dan lebih baik di dunia ini daripada seorang santri”

Mungkin bagi sebagian orang, perkataan beliau terkesan mengada-ngada. Bagaimana mungkin seorang yang sekedar memakan tahu tempe dengan “wadah” plastik tanpa mencuci tangan dapat dikatakan mulia?

Namun, itulah kenyataannya. Para santri diajarkan merendah serendah tanah untuk meroket menembus bintang-bintang. Memberikan jasa yang tak terhingga bagi bangsa, agama, dan negara. Bagaimana tidak?, bangsa ini dapat terbebas dari belenggu penjajahan asing tidak lain dan tidak bukan adalah karena jasa para santri; visi islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamain — bukan hanya rahmatan lilmuslimin apalagi sekedar rahmatan lil’arabiyyin— dapat terwujudkan di negeri yang kaya ini yaa sebab jasa para santri; Gusdur yang disegani dunia sampai-sampai dijuluki sebagai Guru Bangsa, yaa tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari kaum sarungan.

Lalu alasan apalagi bagi para pembaca yang merasa tersindir dengan tulisan 539 kata ini untuk merasa insecure menjadi seorang santri? Sampai-sampai “meng-qodho’ kemaksiatan” yang belum dilakukan di pondok  ketika pulang ke rumah?

Pertanyaan besarnya bukanlah “untuk apa menjadi santri?. Melainkan, pertanyaan besarnya adalah: “Mengapa aku harus menjadi santri?, Mengapa santri adalah identitas yang harus melekat pada diriku?, dan bagaimana aku dapat mulia karena menjadi seorang santri?”.

 

*) Penulis merupakan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan siswa aktif MTs Nurul Jadid

 

Editor: Ponirin Mika

KH Fahmi AHZ : Libatkan Allah dalam Perjuangan dan Pengabdian, Allah Tidak Pernah Ingkar, Semua Akan Dibayar Tunai

nuruljadid.net – Pada pembukaan diklat pengurus Kamtib Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Fahmi Abdul Haq Zaini hadir memberikan tausyiah kepada seluruh peserta diklat yang bertempat di Aula Mini Pesantren (11/01/2024). Upaya ini guna menambah wawasan, bekal dan keterampilan dalam menjalankan tugas dan amanah sebagai personil Keamanan dan Ketertiban (Kamtib).

“Punya kesadaran sebagai pengabdi itu penting. Pengabdi sama seperti pejuang sehingga memberikan semua yang dimiliki bukan mengharap mendapatkan dari apa yang dikerjakan. Pengorbanan dari tenaga, pikiran bahkan materi untuk apa yang diperjuangkan adalah bentuk jihad di jalan Allah SWT,”

“ketika sikap itu ditanamkan maka tugas dan amanah tidak akan menjadi beban melainkan menambahkan semangat pengabdian”

“Sebelum memberikan sanksi yang terus-menerus, Kamtib perlu berpikir untuk perkuat tindakan preventif dan protektif. Untuk itu perlu melahirkan kesadaran yang utuh dalam diri santri. Ibaratnya jangan hanya menangkap maling, tapi perlu berpikir bagaimana caranya agar mereka tidak menjadi maling.”

“Puncak tertinggi perjuangan kita adalah meninggikan kalimat Allah”

“perlu tanamkan dalam hati dan pikiran kita, bahwa yang kita lakukan semata-mata untuk menauladani Rosullullah dalam perjuangan. Niat ngopeni umat Rosulullah dalam pengabdian baik di pesantren maupun di tempat yang lebih luas di masyarakat kelak”

KH. Fahmi AHZ saat memberikan tausyiah dalam Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kamtib Biro Kepesantrenan Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo

“Sebagaimana Nabi Muhammad SAW sangat memikirkan umatnya, maka kita perlu dedikasikan diri kita untuk bersama merawat umat Rosulullah.”

“Menindak santri harus niatkan dan bertujuan untuk mengedukasi bukan pelampiasan emosi”

“pola pikir perlu kita rubah bahwa santri adalah aset masa depan sehingga perlu diurus dan dilayani dengan sangat baik”

“Kiai Hasyim Zaini mencontohkan dengan selalu memanggil santri dengan sebutan ananda karena menganggap santri sebagai anak dan tanggung jawab”

“Kiai Hasan Abdul Wafi dulu pernah berpesan bahwa pengurus perlu memunajatkan santri sebagai amanah bahkan dalam waktu kualitas kita bersama Sang Kholiq, doakan kebaikan mereka.”

“Kiai Fadlurrahman Zaini berdawuh kalau ingin hajatnya terkabul maka jangan hanya mendoakan diri sendiri tapi juga mendoakan orang lain. Kalau kita mendoakan orang lain tanpa diketahui orang yang didoakan, maka malaikat akan mengaminkan dan doa tersebut kembali kepada untuk orang yang mendoakan itu sendiri.”

“Dalam pengabdian di pesantren libatkan Allah SWT dalam setiap perjuangan dan pengabdian. Karena janji Allah SWT tidak akan pernah ingkar pasti akan dibayar tunai.”

“dengan kesadaran penuh karena Allah, maka semua lelah dan letih kita akan menjadi lillah, jangan hanya dijadikan status saja namun lebih kepada realisasi dalam kehidupan nyata.”

“Tata dan Kuatkan Niat, jangan jadikan pengabdian sebagai fasilitas, itu namanya kepentingan berbalut pengabdian.”

“Kiai Hasan Abdul Wafi pernah dawuh kamtib memang tidak wajib ikut pengajian, hadiran di masjid dan majelis di kelas-kelas, akan tetapi jika betul-betul niat dan mengawal semua santri agar ikut semua kegiatan yang telah dirancang oleh pesantren, maka insyaallah dapat aliran barokah dan kebermanfaatan dari Masjid dan kegiatan-kegiatan yang juga diikuti oleh santri pada umumnya. Syukur-syukur juga bisa ikut membersamai”

(Humas Infokom)

Resensi Buku: Panduan Shalawat Nahdliyah Karya Kiai Hasan Abdul Wafie

Oleh: Alfin Haidar Ali*

nuruljadid.net – Pada Kamis malam Jum’at, (09/11/2023), di Pondok Pesantren Nurul Jadid diadakan peringatan haul ke-23 Alm. K. H. Hasan Abdul Wafie. Acara ini menyimpan sebuah momentum yang istimewa, yaitu peluncuran Buku Panduan Shalawat Nadhliyah karya Kiai Hasan Abdul Wafie, selanjutnya akan disebut sebagai Kiai Hasan.

Kiai Hasan, sosok yang dikenal sebagai kiai yang tegas, telah dikenal luas oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) berkat kontribusinya mengarang Shalawat Nadhliyah. Meskipun acara tersebut tidak secara khusus mengadakan sesi peluncuran buku, beberapa kiai, keluarga, dan tamu VVIP menerima salinan Buku Panduan Sholawat Nadhliyah.

Salah satu yang menerima buku adalah Kiai Zainul Mu’in Husni, seorang santri yang pernah belajar langsung dari Kiai Hasan dan saat ini mengasuh sebuah pondok pesantren di Besuki – Situbondo serta menjabat sebagai Rois Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Situbondo.

Kiai Zainul Mu’in Husni, yang berperan memberikan mauidhah hasanah di acara itu, menjelaskan betapa pentingnya kita untuk menjaga warisan yang ditinggalkan oleh Kiai Hasan. Salah satu di antaranya adalah Shalawat Nadhliyah.

 

Asal Mula Shalawat Nadliyah

Banyak masyarakat NU mungkin belum mengetahui asal mula atau sejarah pembuatan shalawat ini. Dalam buku “Panduan Shalawat Nadhliyah,” dijelaskan bahwa Shalawat Nahdliyah memiliki latar belakang cerita dari peristiwa-peristiwa yang melibatkan NU, yaitu sejak Muktamar NU ke-29 pada bulan Desember 1994 di Cipasung, yang dikenal dengan sebutan “Muktamar Cipasung.”

Almarhum KH Hasan Abdul Wafie dengan jelas menyatakan tujuan pembuatan shalawat ini:

“Maka alfaqir ad-dha’if mengharap seluruh pengurus cabang NU di Jawa Timur untuk mengumumkan dan menyebarluaskan shalawat dan doa yang tersebut di atas kepada anggota-anggota warga Nahdliyin dan Nahdliyat kita, agar jam’iyyah kita, NU, keluar dari gelapnya beban-beban pikiran dan kesedihan-kesedihan yang melingkupinya sejak Muktamar NU ke-29 di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat.”

Muhammad al-Fayyadl, M.Phil., cucu dari Kiai Hasan yang saat ini aktif sebagai Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, menjelaskan bahwa Muktamar Cipasung dikenal sebagai muktamar yang paling menegangkan dalam sejarah NU.

Pada muktamar ini, terjadi penindasan oleh pemerintah Orde Baru terhadap NU. Meskipun menghadapi berbagai intimidasi fisik, Presiden Soeharto berupaya menjatuhkan K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditengarahi mengakibatkan perpecahan di kalangan tokoh NU dan ulama. Namun, berkat rahmat Allah, NU akhirnya mampu bertahan dari badai perpecahan tersebut, dan Gus Dur memimpin NU hingga jatuhnya rezim Orde Baru dan Masa Reformasi pada tahun 1998.

Shalawat ini diperkirakan disusun dalam suasana Muktamar Cipasung, pada akhir tahun 1994 atau awal tahun 1995. Pengarangnya, almarhum KH Hasan Abdul Wafie, dikenal sebagai tokoh kiai yang sangat berdedikasi dan berperan aktif dalam NU, terutama di Jawa Timur.

Pada haul ke-23, Kiai Zainul Mu’in Husni menambahkan dimensi unik pada sejarah pembuatan Shalawat Nahdliyah. Kisah ini diceritakan berdasarkan penuturan asatidz Ma’had Aly Sukorejo, tempat Kiai Hasan pernah mengajar. Kiai Hasan Abd. Wafie dalam mengarang sholawat nadhliyah ini, terlihat begitu tulus. Ust. Nawawi Thobroni, salah satu asatidz Ma’had Aly Sukorejo, menceritakan, “Saat itu ada saya. Beliau mengambil kertas lalu langsung menulis. ‘Ini sholawat untuk perjuangan,’ kata Kiai Hasan.”

Pada saat itu, shalawat ini belum memiliki nama resmi. Namun, kini Shalawat Nahdliyah telah menjadi viral dan tersebar luas. Mungkin karena ketulusan Kiai Hasan dan ikatan eratnya dengan NU, shalawat ini, tanpa upaya tirakat—sebagaimana istilah yang sering kita pakai—diijabahi oleh Allah dan menjadi amalan di kalangan warga NU, menjadi warisan berharga bagi umat.

“Sholawat Nahdliyah termasuk warisan yang ditinggalkan oleh beliau, yang kini dikenal secara nasional, layak dilaksanakan oleh seluruh nadhliyin, sebagaimana dijelaskan dalam buku panduan ini. Hal ini merupakan upaya dan permohonan kepada Allah SWT agar NU dapat merata sampai ke tingkat bawah, bukan hanya di tingkat cabang NU, tetapi juga di tingkat anak ranting,” ujar Kiai Zainul Mu’in Husni.

Dalam pernyataan penutup maudizhoh hasanah, Kiai Zainul Mu’in Husni menyelipkan pesan kepada seluruh hadirin, “Isi buku ini perlu dipahami, dianalisis, dicerna, dan diaplikasikan. Mungkin ini bisa menjadi pendorong untuk munculnya semangat jihad NU di setiap individu kita.”

 

Judul Buku: Panduan Shalawat Nahdliyah

Penyusun: K. Muhammad al-Fayyadl, M. Phil.

Penerbit: Bayt el-‘Ulum (Ma’had Aly Nurul Jadid)

Terbit: Rabiul Awal 1445 H. / November 2023 M.

 

*) Mahasiswa Ma’had Aly Nurul Jadid

Editor: Ahmad Zainul Khofi

 

Mengenang Kiai Hasan Abd. Wafie, Sosok Macan Bahtsul Masail PBNU dan Ahli Fikih yang Wara’

Oleh: Alfin Haidar Ali*

 

nuruljadid.net – Sudah banyak artikel yang membahas sosok Kiai Hasan Abdul Wafie yang dapat ditemukan di internet melalui mesin pencarian Google. Meskipun demikian, pada momentum Haul ke-23 Alm. K.H. Hasan Abdul Wafie yang diadakan pada Kamis (09/11/2023) di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur, terdapat beberapa poin menarik yang dapat kita petik.

Kiai Zainul Mu’in Husni, yang diamanahkan sebagai pembicara Mauizhatul Hasanah, membagikan kenangan-kenangan terkait Kiai Hasan Abdul Wafie. Salah satu aspek menarik yang mungkin belum banyak diketahui oleh warga NU, termasuk santri Nurul Jadid, adalah reputasi Kiai Hasan sebagai “Macan Bahtsul Masail” di tingkat PBNU.

Meskipun istilah “Macan Bahtsul Masail NU” sudah pernah terdengar sebelumnya, namun sebab penyematan gelar itu belum ada contoh kasus konkret yang dapat dijelaskan. Pada malam tersebut, Kiai Zainul membuka tabir cerita. Salah satu contohnya, sebagaimana diungkap oleh Kiai Zainul, terjadi pada Muktamar NU di Semarang. Saat itu, hampir seluruh peserta muktamar mengalami kebuntuan dalam suatu diskusi, tetapi justru Kiai Hasan yang menemukan solusi.

Perbincangan saat itu membahas pemindahan masjid. Para peserta muktamar tidak menemukan penjelasan yang memungkinkan pemindahan masjid, khususnya dalam pandangan mazhab Syafi’i. Namun, Kiai Hasan memberikan solusi.

“Kita ikut mazhab Hanafi yang membolehkan memindahkan masjid dari satu tempat ke tempat lain karena suatu kemaslahatan,” terang Kiai Hasan.

Meskipun usulan ini mendapat retensi dari sebagian ulama, Kiai Hasan dengan tegas menyatakan, “Loh, NU ini kan tidak hanya syafi’iyah. NU itu mengikuti mazhab empat dan itu jelas dalam AD/ART. Mazhab Hanafi adalah bagian dari mazhab empat.”

Keputusan ini kemudian diterima, dan ternyata terdapat rujukan dalam atsar yang mencatat bahwa Sayyidina Umar bin Khatab pernah memindahkan masjid dari tempat yang padat penduduk ke tempat lain karena kepentingan sosial. Tempat bekas masjid tersebut bahkan dijadikan pasar.

Kiai Zainul Mu’in Husni, yang pernah belajar langsung dari Kiai Hasan, juga membagikan sisi lain dari sosok Kiai Hasan. Beliau seringkali menyampaikan bahwa dirinya bukanlah orang yang cerdas, melainkan orang yang rajin.

“Saya ini bukan orang cerdas, tapi rajin. Biasanya cobaan orang cerdas adalah tidak rajin,” demikian kata Kiai Hasan yang sering diutarakan kepada para para santrinya, termasuk Kiai Zainul.

Namun, prestasi Kiai Hasan tidak hanya sebatas sebagai Macan Bahtsul Masail. Beliau juga dikenal sebagai ahli fikih yang wara’. Meskipun banyak yang pandai dalam bidang fikih, jarang ditemui orang yang wara’. Kiai Hasan membedakan dirinya dengan menyikapi ilmu fikih dengan penuh wara’, yaitu sikap hidup untuk menjauhi perbuatan makruh dan syubhat, terlebih lagi hal-hal yang haram.

 

*) Mahasiswa Ma’had Aly Nurul Jadid

Editor: Ahmad Zainul Khofi

Habib Jindan : Umat Islam Adalah Rujukan Dunia dalam Moderasi, Hak Kaum Wanita dan HAM

nuruljadid.net – Habib Jindan Bin Novel selain membahas tentang pentingnya sanad dan akhlaq dalam berdakwah, beliau juga menyinggung bahwa umat Islam adalah umat yang moderat menjunjung tinggi HAM dan menghormati kaum wanita sebagaimana ajaran Islam dalam Al-Qur’an dan tauladan dari baginda Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana diajarkan terkait moderat ‘wasathiyah’ yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, bukan moderat versi Barat, Utara, Selatan atau Timur. Karena kebanyakan wasathiyah mereka tidak objektif, sehingga yang harus menjadi rujukan dan standard dalam wasathiyah umat Islam adalah versi Nabi Muhammad SAW.

“  لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا sebagaimana kita umat ini menjadi rujukan dalam kemoderatan. Jadi kita moderat bukan belajar dari Amerika, bukan belajar dari Eropa, moderat bukan belajar dari dunia Barat, sampai sekarang.”

“Di antara mereka itu sampai sekarang bahkan di negara-negara maju, tetap ada intimidasi dan rasis.”

Habib Jindan juga menceritakan kasus penindasan dan diskriminasi yang kerap dilakukan oleh Barat terhadap kaumnya yang seringkali menjadi rujukan dunia.

“Penindasan terhadap sesama, dan menganggap selain dari pada mereka (barat) itu di bawah. Orang kulit hitam, sampai sekarang, belum mendapatkan haknya secara penuh disana, walaupun secara tertulis ada haknya, akan tetapi di dalam pengaplikasiannya dalam bermasyarakat dan perkantoran, belum.”

“Mengklaim hak Wanita, kita tidak belajar dari Barat karena mereka justeru penista wanita. Mereka adalah orang-orang yang melecehkan kaum Wanita dari zaman dulu sampai sekarang.”

“terus kita disuruh belajar hak Wanita dari Barat, tidak! Standard di dalam menjaga, menghormati haknya kaum Wanita adalah nabi Muhammad dan ini umat Islam”

Sebagaimana Nabi menyampaikan kemulian seorang Wanita khususnya Ibu yang masyhur di kalangan umat Islam. “al-jannatu tahta aqdāmil ummahāt disebutkan dalam Kitab Al-Kāmil fi Dhu’afā’ir Rijāl karya Ibnu ‘Adi. Syurga di bawah telapak kakinya para ibu.”

“Suatu ketika Nabi juga pernah ditanya oleh Sahabat, “Siapa orang yang paling berhak untuk saya santun kepadanya?”, Nabi menjawab “paling prioritas untuk kamu berbuat baik kepadanya adalah Ummuk, ibumu!”, “kemudian?”, “Ibumu”, “Kemudian?”, “Ibumu”, baru setelah itu “Tsumma Abak” artinya ayahmu” beliau berkisah.

Menyoal Hak Asasi Manusia Habib Jindan mengutarakan dengan tegas bahwa kita tidak perlu belajar dari negeri Barat, cukup mencontoh Nabi Muhammad SAW.

“Kita mau belajar Hak Asasi Manusia dari orang tukang nembakin orang, dari orang-orang yang punya senjata pemusnah massal.”

“Itu adalah watak preman. Itu adalah watak penyamun, watak tukang palak, wataknya perampok, tukang todong, pencuri, yang hobinya mengancam sana-sini.”

“Negara maju bukan negara yang punya senjata pemusnah massal, tetapi punya alat pemberi makan massal, pemberi manfaat massal, pemersatu massal.”

“Oh, kita negara Indonesia negara maju, punya khitanan massal, nikahan massal, dari zaman dulu, waallah lebih baik dari pemusnah massal. Jauh lebih manfaat 1000 kali dari pada itu semua. Kita jauh lebih maju, akan tetapi suatu kebodohan ketika kita menganggap mereka modern, mereka maju, mereka keren, sama sekali gak ada kerennya.”

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6)

Dewasa ini kita juga harus waspada akan virus negatif dari seks bebas dan LGBT. “mereka meracuni anak-anak kita dengan racun pelajaran zina, pelajaran liwat, pelajaran homoseksual, pelajaran LGBT yang disusupkan bahkan di dalam film-film kartun, bukan lagi di film-film dewasa saja, bahkan di dalam film-film anak”

“dan mereka adalah شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ seburuk-buruknya manusia.”

“Itu adalah hal yang primitif, yang tidak dilakukan hewan atau binatang. Binatang pun juga enggan untuk melakukan hubungan sesama jenis, sedihnya, manusia melakukannya. Terus dibilang, oh ini professor, oh ini lulusan dari universitas terkemuka, dan dengan bangga mengumumkannya. Naudzubillah Min Dzalik!”

“Dan kita menganggap apa saja yang datang dari mereka hebat. Dan ditanamkan di benak umat Islam, mereka adalah negara-negara yang tak terkalahkan.”

“Persis seperti perkataan kaum ‘Ad, mereka bilang مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً siapa gerangan yang lebih hebat, lebih kuat dari pada kami? Menganggap dirinya paling kuat, punya kekuatan, punya persenjataan, punya segalanya, bukankah Allah yang maha kuat, sudah membinasakan orang-orang tersebut, Kaum Ad dibinasakan, kaum nabi Nuh dibinasakan, gampang membinasakannya,”

“Sebagaimana kita kalau di closet, udah selesai, setelah itu di-flush, cukup dipencet tombolnya, ceeeesss, cuci bersih. Nah Allah Ta’ala lakukan sama persis pada kaumnya Nabi Nuh. Semudah itu bagi Allah SWT. Sesimpel itu bagi Allah SWT”

“Bukankah dulu, ada Kerajaan Romawi yang ribuan tahun berkuasa, mana sekarang? Mereka tidak menyangka kalau kerajaannya akan musnah, habis sudah. Kerjaan Persia, yang ribuan tahun, berkuasa, kerjaan terlama di dunia, mana sekarang? Dicabik-cabik oleh Allah Ta’ala, habis musnah.”

“Dan bukankah dulu, di masa perang dunia pertama dan perang dunia kedua, orang kalau sudah dengar, Negara Jerman dengan NAZI-nya dan Hitler nya, semua ketakutan, semua gentar. Sekarang mereka lenyap, mana NAZI nya, mana Hitlernya.”

“Perancis, dengan fasisnya juga habis. Tidak ada lagi Mussolini-nya, dia digantung terbalik sampai mati oleh rakyatnya sendiri, selesai sudah.”

“Dan untuk orang-orang yang menyimpang dari Allah Ta’ala, akan dapat nasib yang sama. Mereka tanamkan kekacauan, kerusuhan, peperangan di negara-negara Islam, sekarang dibawa oleh Allah SWT kerusuhan, kekacauan dan peperangan di dalam negara mereka sendiri satu sama lain. Disibukkan orang dzalim dengan orang dzalim,”

Sehingga kita patut bersyukur karena Allah SWT karuniai Nabi Muhammad SAW sebagai “nur” cahaya dan pencerahan bagi kita sekalian. Kita cukup merujuk kepada Nabi Muhammad SAW sebagai standarisasi dalam segala hal. Sedangkan golongan mereka adalah golongan yang tidak punya solusi dan gagal. Mereka mengandalkan kekuasaan, mengandalkan pemasukan negeri dari perang, mengandalkan pemasukan negeri mereka dengan membuat antar negara berperang demi keuntungan.

“Indonesia 350 tahun dijajah Belanda, dijajah Jepang, dijajah Portugis dan hampir semua negara-negara jajahan mereka di zaman tersebut seperti di Afrika, masing-masing dibagi-bagi, sebagian diambil Perancis, sebagian yang lain diambil Inggris, Portugis, diambil sama Itali, dibagi-bagi oleh mereka.”

“Mengandalkan kekayaannya dengan menjarah negeri lain pada zaman dulu sampai sekarang. Zaman sekarang negara Timur Tengah dibuat saling rusuh, agar mereka dapat untung, mereka dapat duit, terus mereka kayanya dari mana? Kayanya hasil merampok, hasil menjarah, hasil bikin rusuh di negara orang, sukses apa yang mereka punya?”

“Sejatinya, mereka gagal dalam ekonomi, keamanan, sosial dan masyarakat. Gagal dalam hubungan rumah tangga, gagal dalam hubungan dengan orang tua dan anak. Sedikit sekali rumah yang rukun antar orang tua dan anak. Gagal bahkan antara suami-istri. Kegagalan itu dimana-mana, sehingga mereka tidak mau menikah, karena sudah pasti bercerai.”

Nabi Muhammad SAW memberikan teladan yang terbaik kepada, termasuk dalam hal berperang. Rosulullah berpesan dalam jihad untuk tidak membunuh wanita, anak kecil yang ada di medan perang termasuk musuh yang sudah kabur juga rakyat sipil.

“musuh yang kabur jangan dikejar kata Rosulullah, kasih kesempatan, mungkin mereka mau beriman, mau balik, mau bertaubat. Kemudian dalam peperangan, jangan ganggu rakyat sipil, orang pasar jangan diganggu, orang yang lagi ibadah di kuilnya atau di gerejanya atau di sinagoknya jangan diganggu dan jangan dirusak kata Rosulullah SAW. Nabi mengajari kita demikian.”

“Ini kemodernan yang sudah kita raih yang diajarkan oleh nabi Muhammad sejak 15 abad lalu. Negara modern tau apa? Tentang HAM? Kita mau belajar tentang HAM dari mujrimin, dari pendosa, dari pelaku kejahatan, melakukan kejahatan perang, puluhan tahun, ratusan tahun dalam keadaan yang demikian.”

“Terus kita sekarang mau berguru sama mereka? Belajar HAM dari mereka? Standarisasi HAM bukan mereka. Kita umatnya Nabi Muhammad sebagai rujukan HAM.”

Habib Jindan Bin Novel menceritakan ketika Sholahuddin Al-Ayyubi berperang merebut Baitul Maqdis, terjadi peperangan, kemudian pimpinan atau raja yang memimpin pasukan sakit, sakit keras, maka Sholahuddin berinisiatif untuk tidak melakukan gencatan senjata. Mengapa demikian? Karena pimpinannya sedang sakit, sehingga peperangan dihentikan sambil menunggu dia sembuh.

Tidak hanya sampai di situ, kemudian Sholahuddin juga mengirimkan dokter pribadi terbaik yang dia punya, untuk membantu pengobatan pimpinannya sampai sembuh. Dan di masa itu, kedokteran dikuasai oleh umat Islam. Dokter-dokter terbaik adalah umat Islam.

“dalam peperangan mereka gak ada istilah sebel sama suatu negeri dengan tidak memperbolehkan kiriman makanan, akses listrik, akases minum, dan lain sebagainya. Lihat Sayyidina Sholehuddin Al-Ayyubi, ratusan tahun yang lalu. Beliau kirim dokter terbaik untuk mengobati musuh besarnya.”

“Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan kepada kita ‘jangan memutilasi’. Jenazah di medan perang itu jangan dimutilasi, beliau sendiri yang memerintahkan para sahabat, kubur jenazahnya orang-orang kafir yang sudah terbunuh, digali lobang, dikubur, gak dibiarkan untuk dimakan Binatang buas. Dikubur dan dimakamkan oleh Rosulullah SAW.”

“Kita belajar HAM dari nabi Muhammad. Kita belajar HAM dari khulafaur rasyidin, dari para sabahat, dari pada ulama, dari para pejuang-pejuang Islam. Dari mereka kita belajar Hak Asasi Manusia. Nabi yang bilang perlakukan tawanan dengan baik. Tanyakan tawanan di Guantanamo diperlakukan seperti apa? Tanyakan tawanan yang ada di penjara-penjara mereka diperlakukan seperti apa? Tapi nabi Muhammad memerintahkan perlakukan tawanan perang dengan baik hingga mereka dijamu dengan jamuan terbaik.”

“bahkan tuan rumahnya, makan tidak seenak tawanan, makanan yang paling enak diberikan kepada tawanan. Ditanya kenapa itu tawanan sampai malu? Kalian adalah tamu kami, kalian titipannya Rosulullah SAW.”

Allah berfirman dalam Al-qur’an: وَيُطْعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Artinya: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al-Insan:8)

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا

Artinya: Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (QS. Al-Insan:9)

“Memberikan makan kepada orang lain, yatim, miskin dan tawanan perang, kafir harbi yang ditangkap dan ditawan di Madinah, mereka diberikan jamuan terbaik oleh Rosulullah SAW.”

“Dan inilah Islam, Islam memperlakukan lawan seperti apa. Apalagi memperlakukan kawan sesama umat Islam. Oleh karenanya itu, Alhamdulillah, Allah Ta’ala berikan segala khazanah kekayaan di dalam Sirahnya Nabi Muhammad, dalam Akhlaqnya Nabi Muhammad, dalam Ajarannya Nabi Muhammad.”

“Jangan terkecoh dengan hidangan palsu oleh musuh-musuh Islam, dan sebaik-baiknya yang kita lakukan adalah kita mendoakan umat agar Allah melindungi mereka,”

“kita menuntut ilmu, bentuk pembelaan kita sebagai santri kepada saudara-saudara kita yang ditimpa musibah atau bencana.”

“Bukan saudara kita yang berperang ya! Mereka lebih mirip pembantaian massal, itu bukan perang, itu pembantaian massal. Pemusnah massal! Gak heran emang, karena keahlian Barat memang seperti itu, dari dulu seperti itu, hobinya begitu.”

“Masuk ke Amerika ratusan tahun yang lalu, penduduk asli Amerika mati, habis! Tersisa tinggal sedikit, kena penyakit, yang sakit hanya pribumi saja, yang lain semuanya hidup. Suku Indian disana sudah habis. Baik itu di Amerika, di Australia, dimanapun tempat.”

“Dan perang kita, sibukkan dalam belajar, menuntut Ilmu, bangun malam, menjaga adab dan sunnahnya Rosulullah dan mendoakan saudara-saudara kita, sebaik-baiknya peran yang bisa kita jalankan di saat ini.”

“Pembelaan yang bisa kita lakukan saat ini, menuntut ilmu, hafalkan pelajaran, muraja’ah, kemudian juga berdakwah, mengkaji ilmu agama, mengamalkan ilmu, menjaga adab dan sunnahnya Nabi Muhammad, dhuha, witir, qiyamul lail, tahajjud, sholatul jama’ah, adab kepada guru, birrul walidain, hadir pengajian, tilawatul qur’an, sebaik-baiknya bentuk pertolongan yang bisa kita berikan kepada saudara-saudara kita.”

“Dan ini adalah peran kita untuk membela agama di saat ini dan mendoakan saudara-saudara muslimin kita di dalam sujud dimanapun mereka berada.”

“Dan ketahuilah, musuh-musuh Allah tidak akan berhasil menjajah tanah umat Islam, melainkan setelah sebelumnya mereka berhasil menjajah jiwa dan hati dan pikiran umat Islam. Ketika jiwanya berhasil dijajah, maka tanahnya dengan mudah direbut.”

“Bagaimana menjajah jiwa? Nah itu tadi, dibikin orang tidak lagi mengidolakan nabinya, yang diidolakan yang lain, dibikinin deh tiap hari dibawakan idola yang baru. Dibawakan Idol yang baru tiap hari, baik itu dari olahragawan, atau artis, atau penyanyi tiap hari dibawain hal yang baru.”

(Humas Infokom)

Habib Jindan: Orang Yang Suka Mencaci Maki dan Provokasi dalam Dakwahnya Tidak Mewakili Rosulullah. Contohlah Walisongo!

nuruljadid.net – Dewasa ini, semakin menjadi-jadi penceramah baik di majelis luring maupun daring yang kian melenceng dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Hal ini disoroti oleh Habib Jindan Bin Novel Bin Salim Bin Jindan dalam ceramah agamanya pada pengajian umum di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW (15/10/2023).

Penceramah yang seringkali berbicara semauanya, bisa dipastikan tidak memiliki sanad “cari pasti gak punya sanad, orang yang suka ngomong semaunya gak punya sanad. Apalagi kalau udah omongannya berisi cacian, makian, atau pun juga menuduh dengan tuduhan yang keji, fitnah, ghibah, namimah, mana ada sanad ghibah dari mana? nabi Muhammad? Gak ada, sanad cari maki dari mana? Bukan dari nabi” dawuh Habib Jindan.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar bukan cacian, fitnah, makian, ghibah, namimah kepada sesama saudara seiman dan kemanusiaan. Jika ada orang yang sering melakukan hal tercela tersebut maka mereka berguru pada syeiton.

“itu bukan dari nabi Muhammad, dari syeikh yang satu lagi, namanya Syeiton, dari syeikh yang itu tuh. Syeiton sudah jadi syeikh, sehingga waktu itu yang memberikan usul untuk membunuh Nabi Muhammad menjelang hijrah adalah syeiton, dia menyamar jadi syeikh, Syeikhun Najidi, syeikh yang berasal dari Najd daerah di wilayah Riyadh. Dan kalau ditelusurin, orang-orang yang ngawur ya sanadnya dari itu ya syeikh yang itu Syeiton”

Habib Jindan menceritakan ketika perang Badar, Syeikh Najidi juga memprovokasi orang-orang musyrikin untuk memerangi Rosulullah. Dia muncul dalam sejarah sebanyak 2 kali, 1 menjelang hijrahnya Nabi, dan yang kedua dia muncul lagi untuk menyulut peristiwa perang Badr.

“Nah nabi bilang, mau dakwah “ballighu” sampaikan tapi ingat, sampaikannya pakai sanad, sampaikannya pakai ilmu, sumbernya pastikan sumbernya dari nabi Muhammad bukan dari syeikh yang satu lagi.”

“yang kedua itu, poin yang penting “‘anni” diartikan itu ‘an rosulillah, menyampaikan mewakili nabi Muhammad, ballagh ‘an rosulillah, menyampaikan, mewakili Rosulullah.”

Jika kita menemukan seseorang atau penceramah yang dalam penyampaian, ucapan, perbuatan tidak mewakili Rosululullah maka dia sebenarnya telah mengikuti jalannya syeitan, oleh karenanya kita harus waspada dan mencerna segala yang terjadi di sekitar kita.

ballighu ‘anni, sampaikan dimana Rosulullah terwakili disitu, kata-katanya terwakili, dakwahnya terwakili.”

Beliau mencontohkan Walisongo yang berhasil menyebarkan dakwah Islam secara massif di bumi Nusantara. “Masanya Walisongo, walaupun 9 orang, tapi hatinya 1, lisannya 1, dan nabi Muhammad terwakili dalam dakwahnya mereka. Orang yang melihat mereka ingat nabi Muhammad, ingat rosulullah SAW.”

“Orang mencari tahu tentang Nabi Muhammad, dengan membaca gerak-gerik Walisongo. Itu dakwahnya walisongo, ballighu ‘anni walau ayah.”

Barang siapa yang ingin menumpang dalam izin bersanad kepada Rosulullah SAW, maka wajib mengikuti syarat dan ketentuannya ad-da’i al-ma’dzun dari Allah SWT. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, Qul Hadzihi Sabili, katakan, sampaikan kepada umat ini jalanku.

“Jangan tau-tau, ada pembajak, yang membajak jalannya nabi Muhammad. Ada teroris yang menteror umat atas nama nabi Muhammad, ada penipu yang mencatut nama Nabi Muhammad SAW.”

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108)

“Ini jalanku, ngajak orang kepada Allah dengan hikmah, dengan mauidzotil hasanah, dengan ilmu. Bagaimana mau jadi da’i ilallah kalau gak punya ilmunya” ulas Habib Jindan

ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ

Artinya: “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”

Syekh Al-Habib Jindan juga menyampaikan fenomena pendakwah era kekinian “Kita di zaman penceramahnya banyak tapi ulamanya sedikit. Nabi Muhammad pernah bilang dulu itu kata nabi kepada sahabat, kalian itu di zaman Khutobaul qolil, Katsir Ulamau ulamanya banyak, penceramahnya sedikit. Kita di zaman tukang ngomongnya banyak, ulamanya sedikit.”

Wallahu A’lam Bishawab

 

Link ceramah full klik tautan berikut : https://www.youtube.com/watch?v=SXzYDb1RP84&t=2h51m10s

 

 

(Humas Infokom)