Biografi Alm. KH. Nur Chotim Zaini

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Di Desa Karanganyar, Paiton Probolinggo, KH. Nur Chotim Zaini dilahirkan. Beliau merupakan Putra terakhir dari tujuh bersaudara pasangan KH. Zaini Mun’im dan Nyai Hj. Nafi’ah. KH. Zaini adalah seorang Ulama asal Kec. Galis, Kab. Pamekasan Madura yang juga Pendiri dan Pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid. Ke-enam saudara atau Kakak Beliau adalah KH. Hasyim Zaini, Ny Hj. Aisyah Zaini, KH. Wahid Zaini, KH. Fadlurrahman Zaini, KH. Moh. Zuhri Zaini dan KH. Abdul Haq Zaini.

Sejak kecil, Lora Nur Chotim panggilan akrab masa kecilnya dikenal sebagai orang yang tekun belajar. Di bangku sekolah maupun pada pengajian-pengajian kitab, hampir tidak pernah absen. Sebagai Putra Kiai Beliau tidak merasa ‘berada di atas angin’. “Walaupun Putra Kiai kalau tidak belajar ya tidak tahu,” kata KH. Zainul Mu’in menirukan ucapan Lora Chotim.

Kia Chotim tidak merasa sungkan untuk belajar bersama kawan-kawannya. Dan di antara kawan-kawannya itu, Lora Chotim sering kali menjadi bahan rujukan kala ada pelajaran yang dirasa sulit. Hal ini terbawa sampai ke bangku kuliah. Seperti Bapak Nur Syam, mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, sering menanyakan beberapa permasalahan. Terutama dalam mata kuliah yang berkaitan dengan masalah keagamaan.

Selain tekun belajar dan selalu menjadi rujukan para sahabatnya, Lora Chotim juga dikenal pandai bergaul dengan siapapun. Sebagai putra Kiai, beliau tidak membuat sekat yang membuat para sahabatnya sungkan. Justru Lora Chotim sering bermain dan tidur bersama para santri di Asrama Pondok.

Masa pendidikan Beliau hampir kesemuanya ditamatkan di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah sampai dengan Perguruan Tinggi ADIPNU (Akademi Dakwa Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama). Namun sebab haus akan ilmu, beliau melanjutkan ke Fakultas Dakwa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau juga menempuh pendidikan di Universitas Darul Ulum Jombang.

Pengabdian Di Pesantren

Selama mengabdi di Pondok Pesantren, KH. Nur Chotim Zaini dikenal sebagai sosok yang aktif. Sebagaimana yang diutarakan KH. Najiburrahman, Putra (Alm) KH. Wahid Zaini, bahwa jika diundang untuk menghadiri acara, baik sebagai pembicara atau lainnya, jika tidak berbenturan dengan kegiatan lain, Beliau selalu menyanggupi.

Oleh karenanya, KH. Nur Chotim Zaini tidak hanya mengajar kitab maupun di Lembaga Formal, tetapi Beliau juga menduduki beberapa jabatan. Mulai dari Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Paiton, Dekan Fakultas Tarbiyah, Ketua Yayasan Bantuan Sosial (YBS) Az-zainiyah dan lainnya. Bahkan dalam waktu yang bersamaan Beliau menduduki Dua Jabatan Strategis. Yaitu sebagai Rektor Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) dan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid (STTNJ).

Beberapa jabatan yang menuntut kerja keras tidak membuat Beliau mengeluh. Tapi sebaliknya, Beliau selalu semangat menyelesaikan persoalan dan memajukan Lembaga yang dipimpimnnya.

Namun sayang, keaktifan KH. Nur Chotim Zaini dalam mengabdi dan membantu saudara-saudaranya dalam mengembangkan Pesantren mulai menurun. Hal ini seiring dengan penyakit stroke yang menjangkit sejak tahun 2003.

Tanggal 18 Mei 2009 menjadi Bulan duka bagi Pondok Pesantren Nurul Jadid. Pasalnya, KH. Abdul Haq Zaini, Beliau merupakan Ketua Yayasan dan juga kakak tercinta KH. Nur Chotim Zaini, dipanggil oleh Sang Maha Kuasa. Sejak itu, KH. Nur Chotim Zaini ditunjuk sebagai Ketua Yayasan mendampingi kakak Beliau KH. Moh. Zuhri Zaini yang menjabat Pengasuh. Di bawah kepemimpinan Beliau banyak perubahan yang telah dilakukan demi berkembangnya Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Salah satu hasil usaha Beliau yang saat ini sudah bisa dinikmati, baik oleh Santri, Alumni dan Masyarakat diantaranya adalah Pendirian Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid (STTNJ), Yayasan Bantuan Sosial (YBS) Az-Zainiyah, dan Lembaga Bantuan Hukum.

Sebagai Ketua Yayasan, untuk mengembangkan Pondok Pesantren, Beliau begitu bersemangat meskipun kondisi kesehatannya kurang baik. Pada rapat-rapat Pesantren, sangat jarang Beliau tidak hadir, bahkan pada hari-hari sebelum wafat masih menyempatkan diri menghadir rapat Pesantren.

Selain itu, Beliau juga tidak segan-segan menegur para Pengurus yang kinerjanya dinilai tidak maksimal. Tidak peduli apakah Pengurus tersebut masih ada ikatan darah maupun sudah alumni.

Berjuang di Nahdlatul Ulama’

Pada Organisasi yang berdiri sejak tahun 1926 ini, KH. Nur Chotim Zaini menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Paiton selama Dua Periode. Pada rentang waktu yang cukup lama ini, kehadiran dan kepemimpinan KH. Nur Chotim Zainidi MWC banyak membawa perubahan.

Hal tersebut disebabkan oleh sikap dan gaya kepemimpinannya yang Egaliter dan Demokratis. Sehingga, para Pengurus tidak merasa sungkan untuk berkoordinasi atau mengusulkan beberapa gagasan maupun program kerja. Dalam memimpin MWC selama Dua Periode, KH. Nur Chotim Zaini juga banyak mendidik para Pengurus secara praksis. Seperti memberikan kesempatan kepada Pengurus lain untuk memimpin rapat. Walaupun hal yang demikian merupakan hak KH. Nur Chotim Zaini sebagai Ketua. Dengan demikian, tidak heran jika KH. Nur Chotim Zaini dipercaya memimpin MWC selama Dua Periode berturut-turut.

Kepala Kemenag Probolinggo

Selama menjadi kepala Departemen Agama (Depag) saat ini berubah menjadi Kementrian Agama, Kabupaten Probolinggo, KH. Nur Chotim Zaini dikenal sebagai pemimpin yang cerdas menyelesaikan persoalan di tingkat internal. Saat beberapa bawahannya terindikasi atau sudah melakukan kesalahan, Beliau tidak serta merta memutasinya.

Pulang Ke Rahmatullah

Sudah sepuluh tahun-an KH. Nur Chotim Zaini mengidap penyakit stroke. Namun itu tidak menjadikan Beliau patah semangat. Perhatiannya terhadap Pesantren, Alumni dan umat semakin menggebu-gebu. Tetapi Allah SWT memang punya kehendak lain. Sekira pukul 02.50 WIB dini hari, tanggal 30 November 2013, KH. Nur Chotim Zaini dipanggil oleh yang maha kuasa. Meninggalkan keluarga, sanak famili, Pesantren, Santri dan Umat. Duka yang terasa tiba-tiba di saat perjuangan masih panjang.

Dari pernikahannya dengan Ny Hj Sadidah Thoha Beliau meninggalkan empat orang putra dan seorang putri tercinta. Mereka adalah Gus Ahmad Zaki, Neng Sofiah, Gus M. Fakhri dan Gus M. Hanif.

Kisah Terakhir Drs. KH. Nur Chotim Zaini

Pada malam itu, KH Nur Chotim Zaini tidak bisa tidur. Seperti ada sesuatu yang tengah dipikirkan serta sering tertegun dan  diam. “Apa yang sedang terjadi dengan abah,” tanya Neng Fia, kepada uminya, Nyai Sadidah.

Sejak kejadian itu penyakit sesak nafas KH. Nur Chotim Zaini kambuh kembali. Sehingga sang istri, Nyai Sadidah, menyarankan untuk meminum jamu. Namun, kondisi kesehatannya tidak kunjung membaik. Karena kesehatan beliau tak kunjung membaik, keluarga menginginkan agar beliau dibawa ke rumah sakit. Tapi, keinginan tersebut ditolak KH Nur Chotim Zaini.

Semakin hari kondisi kesehatan KH Nur Chotim Zaini semakin memburuk. Keluarga pun membawa beliau ke dr. Supriyadi, ahli paru-paru. Setelah itu, beliau dibawa ke dr. Maria (salah satu dokter Kab Probolinggo) untuk diperiksa. Dari hasil pemeriksaan di ruang Rongen UGD, kondisi paru-paru dan ginjal KH Nur Chotim Zaini, tidak dalam keadaan normal. “Paru-parunya berwarna buram dan banyak terdapat cairan sehingga paru-paru membengkak dan ginjal juga terdapat cairan. Dokter menyarankan untuk rawat inap, namun kiai tidak berkenan,” cerita Majidi, haddam Kiai Nur Chotim.

Sabtu Sore, Kiai Nur Chotim mengeluh dadanya semakin sesak. Saat itu juga Beliau dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Waluyo Jati, Kraksaan. Karena dianggap kritis, dan juga atas keinginan KH Nur Chotim Zaini sendiri, pihak keluarga akan merujuknya ke RS Graha Amerta Surabaya. Akan tetapi, “setelah di konfirmasi, ruangan di RS Graha Amerta Surabaya telah penuh,” tutur Gus Zaki, putra pertama KH Nur Chotim Zaini.

Tidak adanya ruang perawatan di RS Graha Amerta Surabaya, tak lantas menyurutkan semangat keluarga dalam mengupayakan kesembuahan KH Nur Chotim Zaini. Karena itu, Nyai Sadidah mencoba menghubungi RS Husada Utama namun, tidak ada jawaban. Akhirnya keluarga pun memutuskan  untuk merujuknya ke RS Muhammad Sholeh, Probolinggo.

Dalam perjalan menuju RS Muhammad Sholeh, dengan menahan sesak di dada, Kiai Nur Chotim bersandar kepada menantunya, Gus Miftah, dan terus memegang erat tangan sang istri. Setibanya di RS yang berdekatan dengan jalan pantura itu, pukul 20.30, Kiai Nur Chotim langsung dirawat di ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Tidak berselang lama, Beliau dibopong untuk dipindahkan ke ruang perawatan ICCU (Intensive Coronary Care Unit).

Saat berada di ruangan ICCU itu, para keluarga bergantian menjaga. Gus Miftah, tanpa henti melantunkan kalimat tahlil di telinga Beliau. Sedangkan Gus Fakhri, dengan berat hati harus kembali ke rumah menemani sang adik, Gus Hanif, yang sedang sakit. Sementara Nyai Sadidah terus diliput rasa cemas, menatap layar monitor yang menunjukkan detak jantung KH. Nur Chotim Zaini semakin melemah.

Detik demi detik terus berjalan. Menit demi menit pun berlalu. Namun tak ada tanda-tanda kondisi kesehatan Kiai Nur Chotim membaik. Dan akhirnya, sekira pukul 02:50 dini hari, tanggal 30 November 2013, Inna lillahiwa inna lillahi rojiuun, KH. Nur Chotim Zaini, Ketua Yayasan PP. Nurul Jadid, pergi meninggalkan keluarga, sanak family, santri, dan umat. Tangis pun pecah mengiringi kepergian sosok penyabar itu.

Berita wafatnya KH. Nur Chotim Zaini menjelujur ke segala penjuru, mulai dari Hand Phone (HP), telepon rumah, sampai dunia maya Facebook, Twitter mengabarkan mangkatnya putra terakhir Pendiri PP. Nurul Jadid itu. Dan pada shubuh yang penuh duka itu, para pelayat berdatangan berkerumun melanturkan surat al-ikhlas tanpa henti. Sambil sesekali mengelus dada dan menyeka air mata meratapi kepergian sang guru tercinta.

Nur Chotim Zaini merupakan putra terakhir dari pasangan KH Zaini Mun’im dan Nyai Hj Nafi’ah, asal Madura dan pendiri PP. Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Beliau memiliki enam orang kakak yaitu, (Alm) KH. Moh. Hasyim Zaini, (Alm) KH. Abdul Wahid Zaini, Ny Hj Aisyah, KH. Fadlurrahman, KH. Moh. Zuhri Zaini dan (Alm) KH. Abd Haq Zaini. Dari pernikahannya dengan Nyai Hj Sadidah, Beliau meninggalkan empat orang putra dan seorang putri yang sangat dicintai yaitu, Gus Zaki, Neng Fia, Gus Fakhri, dan Gus Hanif.

Pendidikan formal KH. Nur Chotim Zaini hampir semuanya ditempuh di Nurul Jadid. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi. Namun demikian, Beliau sepertinya tidak puas dengan semua itu. IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang sekarang berubah menjadi Universitas itu pun Beliau jelajahi untuk menimba ilmu. Dan yang terakhir adalah Universitas Darul Ulum Jombang.

Di mata sahabat-sahabatnya KH. Nur Chotim Zainidi kenal sebagai sosok yang rajin, tekun, dan ulet dalam belajar. Sehingga tidak jarang sahabat-sahabat sekelasnya menjadikan Al-Marhum sebagai tumpuan serta tempat berkonsultasi di dalam masalah pelajaran. Saat di IAIN Sunan Ampel, KH. Nur Chotim Zaini menjadi rujukan beberapa sahabatnya terutama pada mata pelajaran yang berkaitan dengan keagamaan. “Seperti Pak Nur Syam dan sahabat-sahabat yang lain,” kata Bakir Muzanni.

Meninggalnya KH. Nur Chotim Zaini membuat semua kalangan, santri, alumni, sahabat dan keluarga terkejut. Sebagaiman yang dialami Gus Najiburrahman, Wakil Ketua Yayasan Nurul Jadid, yang juga keponakan Almarhum. Waktu itu, Gus Najib menghadiri acara di Kediri, selama dua hari, Gus Najib tidak sempat menjenguk. Dan Gus Najib tidak menyangka kabar duka itu akan tiba. Sebab, Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid ini, mendengar Almarhum sakit pada saat di rawat di RS Waluyo Jati Kraksaan dan telah dinyatakan sehat.

KH. Nur Chotim Zaini dikenal sebagi sosok yang menjunjung tinggi profesionalisme dalam bekerja. Dengan profesionalitas, sebuah lembaga maupun organisasi akan maju dan berkembang. “Pada suatu saat Almarhum pernah marah kepada Pengurus Nurja Muamalah karena memberikan pinjaman kepada nasabah tidak sesuai prosedur yaitu tidak mengisi formulir. Almarhum berkata meskipun yang meminjam adalah orang dalam Pesantren Prosedur tetap harus dijalankan”. Cerita keponakan Almarhum tersebut.

Selain dikenal sebagai seorang profesional dalam bekerja, Al-Marhum dikenal sabar dalam menjalani cobaan. Penyakit yang telah Beliau terima sejak tahun 2003 mampu dijalani dengan ikhlas oleh Al-Marhum “Al-Marhum begitu tabah dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup termasuk ikhlas menerima penyakit yang telah di alami selama sepuluh tahun” kata KH Zainul Mun’im, Lc., adik kelas semasa Madrasah Aliyah di PP Nurul Jadid.

Tidak ada orang di dunia ini yang ingin menjadi beban hidup bagi orang lain. Begitu jua dengan Al-Marhum yang tidak ingin kehadirannya menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada tahun 2003, Beliau mengundurkan diri dari Jabatan Kepala Kementrian Agama Probolinggo karena merasa dirinya sudah tidak sanggup menjalankan amanah dengan baik. Hal itu disebabkan penyakit stroke yang Beliau derita pada tahun tersebut.

“Pada tahun 2003 Almarhum didera penyakit stroke. Padahal, pada saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Kemenag Probolinggo. Penyakit yang diyakini sulit untuk sembuh sehingga Almarhum memutuskan untuk mengundurkan diri meskipun belum genap satu priode,” Kenang adik kelas Beliau.

Hal itu diyakini oleh Majidi, Almarhum merupakan tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain. Almarhum tidak pernah meminta bantuan selama mampu untuk mengerjakan. Bahkan pada saat sakit, Almarhum melarang untuk mengabarkan kepada keluarga, alumni, dan santri karena tidak ingin merepotkan.

Hal yang menjadi alat untuk menutupi kesusahan Al-Marhum adalah dengan tersenyum kepada semua orang. Almarhum tersenyum meski dalam keadaan susah karena tidak ingin merepotkan orang lain. Selalu menampakkan wajah bisyaroh (red. Berseri-seri) dalam setiap bertemu dengan orang. “Almarhum tidak pernah mengeluh akan kesusahan yang diderita kepada orang lain. Dan, selalu menampakkan wajah bahagia dalam kehidupan sehari-hari”.

Pada tanggal 18 Mei 2009, KH. Nur Chotim Zaini ditinggal pergi oleh kakak tercinta,  KH. Abd Haq Zaini. Sepeninggal Kiai Abdul Haq, Almarhum terpilih untuk menjabat Ketua Yayasan Nurul Jadid menggantikan sang Kakak. Di bawah Kepengurusan Beliau banyak perubahan yang telah dilakukan demi majunya dan berkembang PP. Nurul Jadid.

Dalam niat memajukan Pesantren, Almarhum menggagas untuk memberikan HR kepada Pengurus Pesantren. Pemberian Honorarium (HR) ini dimaksudkan agar para Pengurus Pesantren bekerja secara profesional dan merasa memiliki tanggung jawab. Sehingga tidak ada lagi hal yang terabaikan. Selain itu, tak jarang Beliau turun langsung dalam menyelesaikan masalah dengan mengadakan rapat. Sehingga tak jarang pula Pengurus Pesantren mengeluh karena seringnya rapat. Kenang Ra Najib, Wakil Ketua Yayasan Nurul Jadid.

Perhatian Almarhum terhadap Pesantren begitu besar hal ini dapat dilihat dari semangatnya. Di saat Beliau sakit dan sebelum di bawa ke RS Waloyo Jati Kraksaan, Almarhum menyempatkan diri untuk mengikuti rapat Yayasan dan mengantarkan proposal untuk Lembaga Bantuan Hukum. Meskipun hal tersebut telah dilarang oleh sang istri.

“Emphon, Bah, tak usah mpean se keluar ghik benyak oreng sengurusnah”. “Enjhek, ariyah penting marghena ariya urusan pesantren,” cerita istri Almarhum.

Sebagai salah satu Pengurus dan Majelis Keluarga Pesantren Nurul Jadid, Almarhum turut memberi warna terhadap karakter Pesantren. Di saat menjabat Ketua Yayasan, Beliau menjadikan PP. Nurul Jadid menjadi sebuah Pesantren yang tidak eksklusif. Pesantren yang terbuka dengan dunia luar. “Saat ini Pesantren harus terbuka terhadap orang luar Pesantren, baik itu Pengusaha ataupun politisi yang agamanya Islam atau tidak,”  ujar Almarhum seperti diceritakan Ra Najib.

Lebih jauh, Ra Najib menjelaskan “Dengan terbukanya Pesantren terhadap orang luar, secara tidak langsung menghargai orang luar. Dengan menghargai orang luar, secara tidak langsung mereka beranggapan pesantren bagian dari hidup mereka. Ketika mereka beranggapan pesantren bagian dari diri mereka, saat pesantren mengalami masalah, maka mereka akan bersedia membantu”.

Sebagai seorang yang terbuka, maka tidak salah Beliau banyak memiliki kawan, baik Pengusaha maupun Politisi. Semasa hidup, Almarhum menghibahkan dirinya kepada Pesantren dan masyarakat. Penghibahan tersebut dilakukan melalui aktif dalam beberapa organisasi. Adapun organisasi yang pernah Beliau jabat adalah Kepala Kemenag Probolinggo, Rektor IAINJ, Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Nurul Jadid. Ketua Yayasan Bantuan Sosial (YBS) Az-Zainiyah, Direktur Lembaga Pengembangan Bahasa (LPBA) dan, Pengurus Yayasan Tri Guna Bakti.

Yayasan Tri Guna Bakti adalah Yayasan Bantuan Sosial yang digagas dan Pengurusnya dari Pengasuh Pesantren dan para pengusaha. Adapun para penggagas Yayasan tersebut adalah KHR. Fawa’id As;ad Situbondo, KH. Imam Yahya Lirboyo, KH. Wahid Zaini Probolinggo. Dan dari kalangan pengusaha, Bapak Sugeng Pendiri Universitas Maco Malang dan Haji Nilam. Almarhum KH. Nur Chotim menjadi Pengurus Yayasan Tri Guna Bakti menggantikan sang kakak KH Wahid Zaini. Banyak yang telah dilakukan Almarhun semasa menjabat Pengurus Tri Guna Bakti, salah satunya adalah memberikan bantuan kepada Pesantren PIQ Malang yaitu Sanitasi Santri.

Sebagi seorang manusia yang mendapat musibah berupa penyakit yang berkepanjangan, Almarhum menjadikannya sebagai nikmat dari Allah. Penyakit yang diderita beliau jadikan sebagai jembatan untuk mencari Ridho Allah. “Saya adalah manusia yang berlumur dosa dan kujadikan penyakit ini sebagai penebus dosa kepada Allah. Saya tidak peduli dengan penyakit yang saya derita ini. Wong di surga tidak ada orang yang terkena stroke,” kata Almarhum sebagaimana diceritakan Nyai Sadidah.

Selama mampu mengerjakan sesuatu, beliau tidak pernah minta bantuan orang lain. “Almarhum selalu mengucapkan maaf kepada saya karena menilai dirinya telah menjadi beban bagi kehidupan saya. Padahal melayani suami adalah sebuah kewajiaban bagi seorang istri,” ucap istri Almarhum sambil menitikan air mata.

Demikianlah cerita singkat mengenai kepribadian putera terakhir dari pendiri Pesantren Nurul Jadidi ini. Semoga kesabaran, ketegasan, dan profesionalitas beliau dapat kita tiru, serta ilmu-ilmu yang beliau ajarkan bermanfaat bagi kita, santri-santrinya.