Biografi Alm. KH. Moh. Hasyim Zaini
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Moh. Hasyim Zaini merupakan putra pertama dari Almarhum KH. Zaini Mun’im dan Nyai Hj. Nafi’ah. Beliau mendapatkan pendidikan untuk pertama kali, langsung dari ayah dan ibunda tercinta. Sebagai putra, beliau sangat patuh dan tawaduk terhadap kedua orang tuanya. Sementara sebagai santri/murid, selain memiliki kecerdasan dan tingkat intelegensia yang tinggi, beliau juga sangat tekun me-muthala’ah tiap materi pelajaran dan telaten (kreatif). Ketelatenan ini terlihat dari catatan pinggir di seluruh kitab-kitab beliau yang berisi keterangan atau petuah guru-gurunya (termasuk dari ayahandanya). Mengenai ketelatenannya ini, beliau pernah berkata: “Ma kutiba karra wa ma sumi’a faro.” Artinya, sesuatu yang ditulis akan kekal, tapi jika hanya didengar akan mudah hilang.
Menginjak usia dewasa, kemudian beliau melanjutkan proses pendidikan ke Pondok Pesantren Peterongan Jombang, yang kala itu diasuh oleh KH. Musta’in Ramli. Sebelum berangkat mondok, ayahanda beliau berpesan agar dalam proses belajar jangan mengandalkan orangtua, tapi mengandalkan Allah SWT. Pesan ini kemudian selalu beliau ingat dan yakini. Lebih-lebih, ketika beliau mengalami kejadian yang mencerminkan petuah dari ayahandanya tersebut. Ceritanya, ketika berangkat menuju Pesantren Peterongan, beliau mengalami musibah; bekal berupa beras yang dibawa dari rumah tertinggal di Surabaya. Dari kejadian ini, beliau kemudian tambah yakin bahwa petuah dari ayahandanya tersebut benar; harus mengandalkan Allah SWT.
Dari kesadaran dan keyakinan tersebut, beliau kemudian mendapatkan banyak kemudahan-kemudahan dari Allah. Di antaranya, beliau acapkali dikunjungi tamu, selain untuk silaturrahmi juga memberikan uang. Meski demikian, uang dari tamu-tamu itu tidak beliau miliki sendiri. Uang tersebut beliau taruh di dalam wadah bekas songkok dan diletakkan di pojok bilik kamar. Kemudian, kepada sahabat-sahabatnya, beliau berkata: “Jika di antara sahabat-sahabat ada yang membutuhkan uang, bisa mengambilnya di dalam wadah songkok itu.”
Selain itu, beliau juga medapatkan kemudahan Allah berupa hadirnya sebuah amplop berisikan beberapa lembar rupiah dari balik sajadah di setiap habis menunaikan shalat. Dalam amplop tersebut tertulis nama beliau sebagai orang yang dituju, tanpa ada nama pengirim di atasnya.
Setelah dari Peterongan, kemudian Kiai Hasyim kembali ke Paiton. Di sini, selain membantu ayahanda mengurus pesantren dan mendidik santri, beliau meneruskan jenjang pendidikan di Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU), yang ketika itu posisi rektor diisi langsung oleh ayahandanya, Kiai Zaini Mun’im. Di jenjang pendidikan ini, beliau berhasil meraih gelar BA (Bachelor of Art).
Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid (1976-1984)
Setelah ayahanda wafat, kemudian KH. Moh. Hasyim Zaini melanjutkan perjuangan dan pengabdian ayahandanya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid. Sebagai pengasuh kedua, selain tetap melanjutkan gagasan-gagasan ayahandanya, Kiai Hasyim juga memberi warna terhadap konsep pembinaan dan penataan lembaga pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Ketika menjadi Pimpinan Pesantren, selain dibantu oleh adik-adiknya, beliau juga dibantu oleh KH. Hasan Abdul Wafi, yang pada tahun 1976 dipercaya menjadi Dewan Pengawas Pondok Pesantren Nurul Jadid. Dengan semangat kebersamaan yang dibangun, akan lebih memudahkan pengembangan pesantren di berbagai bidang.
Pada masa Kiai Hasyim, di sektor pendidikan, santri terus diupayakan untuk memperdalam agama (tafaqquh fi al din). Dalam bidang keilmuan, santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang dalam kitab kuning, utamanya mereka yang duduk di jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Sedangkan bagi mereka yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan khususnya MAFIKIB (Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi). Tapi bukan berarti mereka tidak menguasai bidang keagamaan, karena bidang tersebut digalakkan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada masa Kiai Hasyim ini dilakukan secara integral. Sehingga terjadi sebuah proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan pesantren.
Selanjutnya, karena adanya perubahan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), maka pada tahun 1977, Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) 6 tahun berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Nurul Jadid (MTsNJ) untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan kelas IV, V dan VI menjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ).
Pada jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1979/1980 dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Hal lainnya adalah, membekali santri dengan keterampilan hidup (life skill) melalui pendelegasian mengikuti pelatihan, baik tingkat wilayah maupun tingkat nasional. Selanjutnya, mulai dirintis pula adanya keterampilan santri, di antaranya adalah elektro, percetakan, jahit-menjahit, pertanian dan keterampilan berbahasa (Arab-Inggris). Selain itu, para santri dan alumni juga dianjurkan untuk mengisi birokrasi.
Adapun jumlah santri pada masa Kiai Hasyim Zaini meningkat drastis. Pada tahun 1983, jumlah santri Pondok Pesantren Nurul Jadid mencapai sekitar 2000 santri.
Kepribadian
Hasyim Zaini merupakan sosok ulama yang sangat menyanjung akhlakul karimah. Kepada para santrinya, beliau selalu berpesan agar selalu menjaga etika. Sebab, Rasulullah mendapatkan gelar al-Amin karena akhlakul karimahnya, sehingga disenangi dan disegani kawan maupun lawan.
Kiai Hasyim juga merupakan sosok ulama yang lemah-lembut. Beliau tidak pernah marah kepada siapa pun. Meski harus marah, beliau tidak pernah menampakkan kemarahannya. Ini seperti yang dialami oleh salah satu santrinya, Hasyim Syamhudi. Diceritakan, ketika itu di bulan Ramadhan, kegiatan libur dan santri banyak yang pulang. Syamhudi yang kala itu menjadi pengurus pesantren, bersama beberapa sahabatnya pergi ke kota Kraksaan untuk menonton bioskop yang memutar cerita perjuangan seorang santri yang berdakwah di daerah pedalaman. Seusai nonton bioskop, Syamhudi dipanggil Kiai Hasyim. Mendapat panggilan tersebut, Syamhudi terkejut. Di kediamannya, Kiai Hasyim bertanya:
“Lebur (bagus) film yang ananda tonton?”
“Iya,” jawab Syamhudi sambil menunduk rapat-rapat.
“Bagaimana baiknya?”
“Cerita tentang perjuangan seorang santri yang berdakwah di daerah pedalaman”
“Begini, apa pun yang benar tapi jika menimbulkan fitnah, itu juga termasuk dosa. Misalkan, ada seorang ustadz membeli kacang, kacang tersebut halal. Cara membelinya juga dengan jalan yang halal, dari uang hasil jerih-payahnya sendiri. Tapi kemudian, ustadz tersebut memakan kacang itu sambil berjalan. Tidak duduk. Nah, begitu juga dengan menonton bioskop. Film itu tidak haram. Gedung bioskop juga tidak haram. Tapi yang perlu dipertimbangkan adalah opini masyarakat, bahwa film dan bioskop itu nuansanya jelek. Sementara ananda adalah pimpinan, baik di sini, di Tanjung dan di Kraksaan,” ujar Kiai Hasyim.
Mendengar teguran tersebut, Syamhudi kemudian mohon maaf dan siap menerima hukuman dari Kiai Hasyim. Akhirnya, Kiai Hasyim menyuruh Syamhudi untuk berdiri di depan kediaman beliau sambil membaca istighfar sebanyak 1000 kali.
Sementara itu, contoh teladan tindakan yang beliau berikan di antaranya adalah, suatu waktu di pesantren ada kegiatan membakar bata mentah untuk dijadikan bahan material bangunan. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Tapi santri-santri belum juga tergerak untuk segera mengangkut bata mentah dan membakarnya. Tiba-tiba kemudian, Kiai Hasyim datang ke tempat terletaknya bata-bata mentah dan mengangkutnya sendiri. Melihat Kiai Hasyim mengangkut bata, spontanitas para santri yang semula santai, kemudian berlarian menuju bata mentah dan ramai-ramai mengangkut serta membakarnya.
Lebih jauh, Kiai Hasyim merupakan sosok pengasuh yang senantiasa akrab dengan santrinya. Misalkan, tiba-tiba si santri dipegang tangannya dan diajak ngobrol sambil jalan-jalan. Beliau juga kadang kala bercanda kepada santrinya. Beliau bukan hanya sebagai seorang kiai yang kharismatik, bahkan bagaikan seorang ayah sendiri. Oleh sebab itu, beliau memanggil semua santri dengan sebutan ‘ananda’.
Sebagai pendidik, Kiai Hasyim juga sangat sabar dan telaten. Misalkan ketika mengajar ilmu falak di MANJ, selain memberikan teori, beliau juga mengajak para murid untuk praktik langsung tentang bagaimana cara mengetahui waktu. Ini juga beliau terapkan ketika mengajar kitab kuning (klasik) di Masjid Jami’ Nurul Jadid.
Sementara itu, sebagai seorang ulama, beliau sangat menghormati tamu dan bersikap tawaduk. Tiap tamu yang datang, selalu beliau temani. Baik ketika membicarakan sesuatu hingga mengajak tamu tersebut makan bersama. Etika mulia beliau juga tampak dari perilaku sehari-hari. Jika ada seorang tamu yang menunduk di hadapan beliau, maka beliau lebih menundukkan kepalanya dari sang tamu. Sementara jika tamu itu mengundurkan diri, beliau selalu mengantarkanya sampai si tamu hilang dari pandangan mata, baru kemudian beliau masuk ke kediamannya.
Lebih jauh, meski beliau dalam sebuah perjalanan, tapi ketika di tengah jalan beliau bertemu dengan seseorang yang dikenal, beliau selalu berhenti. Turun dari kendaraan dan menghampiri orang tersebut untuk berjabat tangan dan menanyakan kabarnya. Atas kepribadian Kiai Hasyim ini, tidak mengherankan jika masyarakat sekitar pesantren sangat mengenal Kiai Hasyim sebagai ulama yang berbudi luhur.
Pengakuan tentang kemuliaan akhlak dan kelembutan kepribadian Kiai Hasyim juga datang dari Kiai Mahrus, Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur. “Kiai Hasyim itu alim dan akhlaknya mulia. Siapa pun tamunya, beliau selalu menghormatinya,” ujarnya.
Selain Kiai Mahrus, Al-Habib Al-Imam bin Abdullah bin Abdul Qodir bi Al-Faqih Al-Alawiy, juga mengatakan: “Kiai Hasyim Zaini adalah orang yang punya adab tata krama yang mulia.”
Pengakuan yang sama juga datang dari beberapa alim-ulama. Ini seperti diceritakan Kiai Zainullah Adhim, santri dari ayahandanya. “Saat berangkat haji, pulang-pergi Kiai Hasyim bersama KH. Musthofa Lekok Pasuruan. Beliau selalu menjadi imam shalat. Karena menurut Kiai Mustofa, Kiai Hasyim lebih berhak menjadi imam shalat berjama’ah daripada beliau sendiri. Sesampainya di Jeddah, Kiai Hasyim langsung dipapah dan digendong oleh As-Sayyid Amin Al-Kuthbiy sambil berkata: inilah As-Syaikh Muhammad Hasyim bin Zaini dari Jawa Indonesia. Mendengar sanjungan tersebut, Kiai Hasyim menjawab: Alhamdulillah, aku sudah kenal dengan semua macam-macamnya wali Allah,” kenang Kiai Zainullah.
Selain itu, KH. Hasan Saiful Rijal (Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong) juga mengakui akhlak dan budi pekerti beliau yang hilm (lemah lembut) ketika ikut menjadi pengiring beliau di maqbarah bahwa, “Kiai Hasyim adalah ulama sangat mulia akhlaknya.”
Demikianlah kepribadian Kiai Hasyim, beliau merupakan sosok ulama yang berakhlakul karimah, lemah-lembut, sabar, tawaduk dan sangat pemaaf. Bagi beliau, prinsip hidup yang paling baik adalah rela dengan segala apa yang telah dibagikan/dianugerahkan oleh Allah SWT. Lebih jauh, Kiai Hasyim juga berpesan: “Meski anak dan santri-santri itu memiliki kenakalan yang seperti apapun, dosa-dosa dan kesalahan mereka harus dimaafkan, agar mereka tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi muslim yang shaleh dan muslimah yang salehah”.
Atas sifat beliau yang lemah lembut tersebut, Kiai Hasyim pernah memberikan wejangan kepada beberapa santrinya bahwa, orang yang temperamental itu akan berhasil tapi sedikit kawannya. Sedang orang yang berakhlakul karimah dan hilm, itu akan berhasil dan banyak kawannya.[1]
Selain itu, beliau juga menekankan bahwa, sahabat atau saudara sejati adalah yang senang dan menderita dirasakan bersama-sama.
Karya Tulis
Semasa menjadi pendidik sekaligus kepala sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Paiton, Kiai Hasyim Zaini pernah membuat konsep ekonomi menurut Al-Qur’an. Konsep ekonomi tersebut beliau ambil dari surat Al-Quraisy. Menurut Kiai Hasyim, orang Quraisy itu memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi. Sehingga menurut beliau, perekonomian itu harus dipegang oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan. Konsep ini kemudian beliau sebarkan kepada kepala-kepala sekolah se-Jawa Timur.
Selain soal konsep ekonomi tersebut, Kiai Hasyim juga memiliki karya tulis tentang ilmu mantiq ketika beliau menjadi dosen di ADIPNU. Karya tulis ini beliau buat untuk dijadikan diktat bagi mahasiswa-mahasiswanya.
Keistimewaan dan Karomah
Di antara karomah Kiai Hasyim adalah seperti yang dituturkan oleh salah satu santrinya, Ratibul Haddad. Ceritanya, suatu waktu Ratib diajak ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Setelah beberapa waktu di Sunan Ampel, Kiai Hasyim kemudian menyuruh Ratib untuk pulang duluan. Sebelum pulang, Kiai Hasyim memberikan uang untuk bekal di perjalanan. Setelah mohon diri, kemudian Ratib langsung pulang. Sesampainya di halaman Pondok Pesantren Nurul Jadid, Ratib tiba-tiba terkejut. Karena dia mendengar suara Kiai Hasyim tengah mengajar santri-santrinya di Mushala Riyadus Solihin Ponpes Nurul Jadid. Karena penasaran, dia bergegas menuju Mushala tersebut, ternyata benar, Kiai Hasyim tengah mengajar.
Esok harinya, karena masih penasaran, Ratib berkunjung ke kediaman beliau. Belum mengucap salam, Kiai Hasyim sudah membukakan pintu dan memanggilnya.
“Dik, sini-sini. Ada apa? Mau tanya yang kemarin, ya?”
“Iya,” jawab Ratib gugup.
“Saya diantarkan Mbah Saleh (ulama yang makamnya terletak di samping kiri Sunan Ampel),” jawab Kiai Hasyim.
Masih menurut Ratib, Kiai Hasyim juga terkenal dengan ulama yang weruh sak durungi winarah (mengetahui sebelum diberi tahu) atau disebut ilmu Ladunni. Kala itu, sehari sebelum beliau wafat, Ratib sempat berkunjung ke kediamannya.
“Aneh, kok mendung terus?” kata Kiai Hasyim.
“Habib Husein Berani, selatan Genggong, sakit kiai.” terka Ratib.
“Tapi saya kok didatangi Rasulullah.”
Sesaat kemudian, ketika jam menunjukkan waktu ‘isya, Ratib dan santri-santri lainnya merasa tersentak mendengar bahwa Kiai Hasyim telah meninggal dunia. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun.
* Sumber tulisan: a) Buku Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, b) Wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu: Drs. KH. Zainuddin Abbas (mantan Ketua Tanfidziyah PCNU Kraksaan), Ustadz Ratibul Haddad (santri Ponpes Nurul Jadid 1958-1973) dan Ustadz Hasyim Syamhudi (santri Ponpes Nurul Jadid).
Catatan Kaki:
[1] Kiai Hasyim juga sering berpesan kepada santri-santrinya yang sudah menikah bahwa, jika bertengkar hendaknya ditunda.