Mengabdi dengan Ikhlas : Menata Niat untuk Akhirat

Pada Rabu, 18 Desember 2024, di Musholla Riyadus Sholihin PP NJ, KH. Zuhri Zaini memberikan tausiyah berharga dalam pengajian kitab *Minhaj Al-Abidin* karya Imam Al-Ghazali. Beliau menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan rezeki kepada hamba-Nya melalui dua cara. Pertama, melalui pekerjaan seperti bertani, berdagang, atau berwirausaha. Kedua, melalui pengabdian, misalnya menjadi pegawai, staf, atau pejabat. Kedua jalan tersebut harus disertai dengan niat yang lurus sesuai tuntunan syariat.

Dalam pengabdiannya, seseorang harus meniatkan aktivitas tersebut sebagai bekal untuk akhirat, bukan semata-mata untuk mencari gaji. Beliau menegaskan bahwa harta atau pendapatan yang diperoleh dari pengabdian bukanlah tujuan, melainkan fasilitas yang diberikan Allah. Dengan cara ini, pengabdian menjadi ibadah yang bernilai, sementara harta yang didapat menjadi pelengkap, bukan inti dari amal tersebut.

KH. Zuhri Zaini juga menekankan perbedaan mendasar antara bekerja dan mengabdi. Menurut beliau, bekerja boleh dilakukan dengan negosiasi karena sifatnya adalah pertukaran jasa dengan upah. Namun, mengabdi tidak memerlukan negosiasi, sebab pengabdian adalah wujud ketulusan yang tidak dilandasi oleh keinginan material. Beliau mencontohkan perbedaan ini seperti perbedaan antara santunan dan hadiah: santunan diberikan kepada yang membutuhkan, sedangkan hadiah adalah bentuk apresiasi kepada seseorang, meskipun ia tidak memerlukannya.

Nasihat ini mengajarkan pentingnya meluruskan niat dalam pengabdian. Pengabdian sejati adalah amal yang tulus, dengan tujuan akhirat sebagai landasan utama. Sebagai manusia, kita diajak menjadikan pengabdian sebagai jalan menuju keridhaan Allah, sementara fasilitas duniawi yang menyertai cukup dipandang sebagai anugerah yang tak perlu dikejar.

Pewarta : Maria Al Faradela

Editor : Ponirin Mika

Kiai Zuhri Zaini Ingatkan Pentingnya Ketaatan pada Pemimpin yang Sah

Berita.nuruljadid.net- Dalam pengajian kitab tafsir jalaian di Masjid Jami’ Pondok Pesantren Nurul Jadid, Sabtu (07/12/24), KH. Moh. Zuhri Zaini mengingatkan jamaah akan pentingnya ketaatan kepada pemimpin yang sah. Beliau menegaskan bahwa sebagai umat Muslim, kita harus taat kepada Allah, Rasulullah, dan pemimpin yang dipilih oleh Allah, meskipun pemimpin tersebut adalah manusia biasa. “Pemimpin yang terpilih harus ditaati, tetapi ketaatan itu hanya berlaku jika kepemimpinan mereka berdasarkan kebenaran,” tegas Kiai Zuhri.

Namun, beliau memberikan batasan tegas mengenai ketaatan kepada manusia. “Jika kepemimpinan mereka salah, kita harus mengingatkan mereka,” ujarnya. Kiai Zuhri menekankan bahwa kepemimpinan Rasulullah berbeda, karena beliau diutus oleh Allah dan pasti selalu benar. Dalam konteks pemimpin negara, beliau juga menyatakan pentingnya mengingatkan pemimpin yang keliru, bahkan presiden sekalipun, melalui wakil rakyat di DPR yang memiliki hak angket dan fungsi pengawasan lainnya.

Pewarta: Maria Al Faradela

Editor: Ponirin Mika

Kiai Zuhri: Bershalawatlah bila Ingin Luapan Rahmat Allah

www.nuruljadid.net- KH Moh Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, mengajak para santri untuk istiqamah bershalawat kepada Rasulullah SAW meskipun sedikit. Hal itu dilakukan agar selalu mendapatkan luapan rahmat dari Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad.

“Semakin banyak kita bershalawat dan mendoakan Nabi, maka semakin banyak kita mendapatkan luapan rahmat Allah. Jadi, jangan beranggapan bahwasanya Nabinya umat Islam minta didoakan dan kalau tidak didoakan tidak selamat, itu adalah anggapan orang-orang yang salah paham,” katanya di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Rabu (23/03/2022).

Menurut Kiai Zuhri, Nabi itu seperti kolam yang airnya sudah penuh, tetapi terus diisi sampai airnya meluap. :Kalau meluap, kita yang mengisi air tersebut akan mendapatkan luapan air tersebut,” ujarnya.

Kiai Zuhri juga menjelaskan bahwa Rasulullah adalah manusia yang diberi wahyu oleh Allah dengan syariat dan mengamalkan syariat tersebut. Oleh karena itu, setiap Rasul pasti Nabi tetapi kalau Nabi belum tentu Rasul.

“Rasul adalah utusan Allah SWT yang harus menyampaikan wahyu kepada umat. Namun, Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu yang diterima pada umat. Wahyu yang diterima hanya untuk dirinya sendiri,” kata Kiai Zuhri.

 

Sumber : NU Online Jatim

Kiai Zuhri Ungkap Calon Ahli Surga Jaga Kebersihan Dhohir dan Batin

www.nuruljadid.net- Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, KH Moh Zuhri Zaini mengatakan, bahwasanya menjaga kebersihan dhohir dan batin merupakan bagian buah dari syu’abul iman. Hal itu diungkapkan Kiai Zuhri pada pengajian kitab Nadzam Syu’abul Iman karya KH Zaini Mun’im di pesantren setempat, Kamis (14/07/2022).

“Jika ada orang non muslim yang suka menjaga kebersihan itu bagus, namun bukan buah syu’abul iman sebab dia menjaga kebersihan bukan karena iman,” ujarnya.

Berbeda dengan orang yang beriman, menurutnya menjaga kebersihan ini karena Allah maka ada pahalanya. Namun, sayangnya orang yang mengaku beriman kurang memperhatikan kebersihan.

“Jika kita mengaku iman maka kita harus menjaga kebersihan dan kesucian kita sebab kebersihan adalah sebagian dari iman,” tegas alumni Pondok Pesantren Sidogiri tersebut.

Menurutnya jika kita mengaku iman kepada Allah dan Nabi Muhammad juga harus menjaga kebersihan jika tidak maka imannya kurang efektif.

“Selain menjaga kesucian juga harus menjaga hadast kecil atau besar. Oleh karena itu Islam menganjurkan kita menjaga kebersihan diri kita dan lingkungan kita,” ujar putra KH Zaini Mun’im tersebut.

Lebih lanjut Rais Syuriah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengungkapkan, selain membersihkan fisiknya juga harus membersihkan hati dari sifat buruk seperti sombong, kikir, dengki dan lain sebagainya. Memang tidak kelihatan oleh mata, namun jika orang memiliki sifat seperti itu tidak akan disenangi orang lain. Maka kebersihan batiniah juga harus dijaga.

“Calon ahli surga adalah orang yang hatinya bersih. Sebab di surga tidak akan ada orang yang mempunyai sifat buruk. Oleh karena itu, menjaga kebersihan batiniah menjadi penting,” ungkapnya.

Dirinya berpesan bahwa hidup bersih itu nikmat meskipun, tidak mewah karena yang mewah belum tentu bersih. Tentu setelah mendapat nikmat harus bersyukur kepada Allah.

“Bersih itu mewah, sedangkan yang mewah belum tentu bersih,” tutupnya.

 

Sumber : NU Online Jatim

Kiai Zuhri: Enggan Beristighfar adalah Ciri Orang Sombong

www.nuruljadid.net-Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, KH Moh Zuhri Zaini menyampaikan bahwa orang yang sombong adalah orang yang tidak mau memohon ampun (istighfar) kepada Allah SWT. Sebab menurutnya, pertolongan Allah merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh setiap hamba.

Penegasan tersebut disampaikan saat pengajian kitab Nadzam Syu’abul Iman karya KH Zaini Mun’im pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Pengajian yang dilaksanakan di masjid pesantren setempat itu disiarkan langsung melalui kanal youtube Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kamis (09/06/2022).

“Salah satu bukti kemurahan Allah adalah memberikan oksigen setiap detik secara cuma-cuma. Kalau kita beli di rumah sakit pasti mahal. Oleh karena itu, mari kita terus berdoa kepada Allah untuk mensyukuri rahmat-Nya,” ujarnya.

Kiai Zuhri mengingatkan, kendati Allah dermawan dan Maha Pengampun, namun seorang hamba hendaknya tidak boleh meremehkan dosa-dosa kecil yang sering dilakukan. Maka, sseyogyanya seorang hamba terus beristighfar kepada Allah agar diampuni dosanya.

“Kita ini manusia yang tidak luput dari dosa dan kesalahan, maka dari itu membaca istighfar merupakan cara kita untuk memohon ampun kepada Allah,” kata alumni Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan itu.

“Sebagai orang yang beriman kita harus memiliki rasa takut kepada Allah. Maka, memohon ampun adalah bagian merawat rasa takut itu,” ujar putra KH Zaini Mun’im itu.

Ia pun mengatakan, bila seorang hamba berbuat dosa secara terus menerus namun tetap sukses, baik dalam hal bisnis, belajar, atau pun hal yang berkaitan dengan jabatan. Maka, itu berarti Allah memberikan kesempatan untuk segera bertobat.

“Jika seperti itu segeralah bertobat agar tidak terkena adzab dari Allah. Hal ini seperti kisah Firaun yang diberikan penundaan atau kesempatan untuk bertobat, namun karena tidak mau diingatkan akhirnya ditenggelamkan,” ungkapnya.

“Saya berharap apabila kalian melakukan dosa segeralah bertobat, agar dosanya diampuni oleh Allah. Karena Allah itu senang melihat hamba-Nya yang bertobat,” tutupnya.

 

Sumber : NU Online

 

Kiai Zuhri Zaini Tegaskan Niat Baik Diganjar Pahala

www.nuruljadid.net- Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, KH Moh Zuhri Zaini mengatakan, bahwa niat baik seseorang untuk melakukan sesuatu akan diganjar pahala oleh Allah SWT meski akhirnya ia gagal mengerjakannya.

Penegasan tersebut disampaikan oleh Kiai Zuhri Zaini saat hataman kitab Fathul Qarib, Riyadus Shalihin, dan Tafsir Jalalain. Kegiatan tersebut dipusatkan di masjid Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Senin (21/03/2022).

Ia mencontohkan, bahwa jika ada orang yang ingin melakukan kebaikan semisal shalat berjamaah, namun orang tersebut sakit maka orang tersebut akan tetap mendapatkan pahala shalat jamaah tersebut.

“Niat yang baik itu penting agar yang kita mendapatkan pahala meskipun akhirnya kita tidak dapat melakukannya karena udzur,” ujarnya.

Lebih lanjut, Kiai Zuhri mengatakan apabila niat baik tersebut disusul dengan perbuatan sebagaimana yang diniatkan, maka ia akan mendapat pahala sepuluh kebaikan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan niat buruk yang hanya dicatat ketika niat buruk tersebut diwujudkan dalam bentuk perbuatan.

“Niat buruk itu dicatat sebagai sebuah keburukan ketika ia dikerjakannya. Dan apabila kita berniat buruk dan melakukannya, maka dosa yang dicatat oleh Allah adalah satu keburukan bukan sepuluh keburukan,” jelasnya.

Untuk itu, dirinya berharap kepada semua orang untuk terus berniat baik. Sebab, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.

“Jangan sekali-kali berniat buruk, lakukanlah niat yang baik. Karena sesungguhnya seseorang yang berniat baik akan mendapatkan pahala dari Allah yang Maha Pemurah,” ungkapnya.

Tak cukup itu, ia berpesan agar di usia muda terus istiqamah beribadah kepada Allah SWT. Hal tersebut agar ketika tua nanti pahala kebaikan terus mengalir. “Serta dijauhkan dari siksaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat,” tandasnya.

 

Sumber : NU Online Jatim

Peringati Maulid Nabi 1446 H, Kiai Zuhri Zaini: Ini Bentuk Cinta Kita kepada Rasulullah

berita.nuruljadid.net – Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1446 H di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Ahad (19/09/24). Acara ini dihadiri oleh Penceramah Habib Achmad Jamal bin Thoha Baagil, Pengasuh Pesantren KH. Moh. Zuhri Zaini, jajaran Masyayikh Nurul Jadid, pengurus pesantren, santri, alumni, serta masyarakat.

Dalam sambutannya, KH. Moh. Zuhri Zaini menjelaskan bahwa peringatan Maulid Nabi dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti pembacaan Maulid Diba’, Barzanji, dan Simtudduror, sebagai bentuk kecintaan kita terhadap Nabi Muhammad SAW.

“Hikmah adanya peringatan maulid ini adalah untuk mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai a’dzomun ni’am, nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada kita. Melalui beliau kita bisa menjadi orang yang beriman dan berislam, orang yang bisa membedakan haq dan batil, sehingga kita bisa tahu jalan yang menuntun ke surga dan jalan yang menjerumuskan ke neraka,” tuturnya.

Dengan adanya penyampaian tentang maulid Nabi, lanjut beliau, kita bisa semakin mengenal sosok Rasulullah. Beliau menerangkan bahwa kecintaan kepada Nabi dapat tumbuh dengan tidak hanya mengenal nama Nabi saja, akan tetapi juga mengenal akhlak dan amaliahnya.

“Kecintaan ini sangat penting. Kita berharap dengan cinta kepada beliau, kita akan dikumpulkan bersama di hari akhir, sekaligus termotivasi meneladani akhlak dan amaliah beliau, sehingga menjadi manusia yang selamat di dunia dan akhirat,” imbuhnya.

Kiai Zuhri berharap, peringatan Maulid Nabi ini membawa oleh-oleh berkah berupa ilmu yang bermanfaat.

“InsyaAllah, jika ilmu itu diamalkan, manfaatnya akan dirasakan tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat,” tutupnya.

 

Pewarta: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika

Kuliah Tasawuf ke-10: Kiai Zuhri Zaini Jelaskan Mahabbah Puncak Tertinggi Seorang Salik Menuju Allah

berita.nuruljadid.net – Malam Jumat (25/07/24), suasana begitu khusyuk saat Kuliah Tasawuf ke-10 yang dipimpin oleh KH. Moh. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, berlangsung. Suasana khidmat menyelimuti acara rutin bulanan ini, yang telah menjadi oase spiritual bagi para santri.

Kegiatan tersebut berlangsung di dua lokasi berbeda antara santri putra dan putri. Santri putra berkumpul di Musala Riyadlussholihin, sementara santri putri berada di wilayah mereka masing-masing. Sedangkan bagi peserta yang tak dapat hadir tatap muka, atau bagi khalayak umum, mengikuti kegiatan ini melalui siaran langsung di kanal YouTube Universitas Nurul Jadid.

Dalam kuliah tersebut, Kiai Zuhri menyelami materi tentang hakikat Maqom, atau tingkatan spiritual seorang hamba dalam perjalanannya menuju Tuhan. Beliau menegaskan bahwa tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang hamba adalah mahabbah, cinta yang murni dan penuh penghambaan. Adapun catatan lebih lanjut dari Kuliah Tasawuf ke-10 ini dapat disimak dalam narasi berikut ini.

Prolog: Seputar Ahwal & Maqomat

Allah menciptakan kita untuk beribadah. Kita sebenarnya butuh ibadah, Allah tidak membutuhkan ibadah kita. Bagi sebagian orang yang tidak mengerti pentingnya ibadah, akan menganggap ibadah sebagai beban, padahal secara hakikat ibadah adalah kebutuhan.

Kemudian di dalam ibadah adalah suatu perjalanan menuju Allah, ini ada beberapa Maqom dan Hal. Maqom ini tingkat-tingkat pencapaian dari seseorang. Sebagaimana kita melakukan perjalanan fisik, kita mau ke Surabaya. Tentu kita tidak langsung ke Surabaya, tapi harus keluar ke gerbang, melewati kota ini dan itu terlebih dahulu.

Selain itu, perlu persiapan-persiapan juga. Dalam kitab Minhjaul Abidin, tahapan pertama dalam perjalanan itu adalah mencari ilmu, sekalipun ilmu itu adalah persiapan dalam perjalanan. Karena kalau kita berjalan tanpa ilmu, bisa jadi kita berjalan tanpa arah. Sehingga kita tidak mencapai tujuan, bahkan semakin jauh.

Dalam perjalanan kepada Allah, juga banyak yang tidak mencapai bahkan semakin jauh. Seperti pada masa jahiliah, orang-orang menyembah patung. Ketika ditanya, mengapa melakukan perbuatan demikian. Mereka menjawab, “tidaklah apa yang kami lakukan kecuali agar patung itu untuk mendekatkan diri pada Allah”. Ini adalah syirik, dan perbuatan ini tidak akan diterima oleh Allah.

Dan masih banyak lagi tahapan-tahapan setelah itu, dan semuanya sudah diterangkan pada pertemuan-pertemuan yang lalu.

Pembahasan Utama: Maqom Mahabbah

Topik kali ini adalah tentang mahabbah.

Maqom itu tempat pencapaian kita dalam perjalanan. Sedangkan hal itu secara bahasa adalah keadaan. Keadaan itu agak berbeda dengan Maqom. Meski sebagian ulama ada yang tidak membedakan antara hal dan Maqom.

Kalau hal itu keadaan seseorang menjalani Maqom yang sedang ia jalani. Jadi ada sedikit perbedaan. Kalau tingkat perjalanan itu ada perencanaan yang kemudian dilaksanakan untuk mencapai pencapaian itu. Seperti mencari ilmu. Cari ilmu itu bisa direncanakan, bahkan ada kurikulumnya dan dilaksanakan.

Sedangkan kalau hal ini keadaan yang kita alami dalam perjalanan. Misal menuju Surabaya, ketika di perjalanan kita melihat hal-hal yang indah, sehingga hati kita jadi senang. Senang itu hal bukan Maqom.

Kalau Maqom itu bisa direncanakan dan dicari. Misal hendak ke Surabaya, kita sekarang ada di Probolinggo, lalu direncanakan akan melewati Pasuruan. Nah, ini kan bisa direncanakan.

Keadaan itu tidak bisa dikendalikan, seperti senang atau tidak senang. Takut atau tidak takut. Beda dengan mencari ilmu, kita berhenti mencari ilmu itu bisa. Sedangkan senang atau benci, itu tidak bisa dihentikan seketika. Hanya mungkin ada jalan untuk menjadi senang atau tidak senang.

Sedangkan terkait mahabbah (kecintaan). Mahabbah ini sifat manusia. Objeknya bisa apa saja. Bisa pada seseorang, binatang, dll. Tapi mahabbah yang dimaksud di sini adalah mahabbah kepada Allah.

Jadi senang/suka itu di luat kendali kita, tetapi kita bisa melakukan sesuatu yang berdampak pada mahabbah itu. Sekalipun tentu tidak mudah.

Mahabbah ini adalah suatu tingkatan tertinggi dalam perjalanan kita menuju pada Allah SWT. Orang ibadah kalau senang, tidak akan terasa berat, bahkan akan terasa senang.

Seperti nabi kalau qiyamullail itu sampai kakinya bengkak. Kenapa nabi begitu ? Karena nabi senang. Sholat itu bisa menghibur.

Dalam hadits disebutkan, “dari dunia kalian ini, aku dijadikan senang pada perkara ini, yakni perempuan (meski nabi bisa mengendalikannya), wangi-wangian, sejuk mata kita dengan sholat”.

Nah, sedangkan kita ini tidak dijadikan sholat sebagai penyejuk mata kita. Kalau nabi sedang ada urusan yang memberatkan nabi, beliau akan segera sholat.

Ketika sudah masuk sholat, nabi menyuruh sahabat Bilal untuk adzan. Kata nabi, “Ya Bilal, arihna Bi sholat”. Artinya, hiburlah saya dengan sholat.

Ketika Sahabat Bilal adzan, nabi senang karena mau ketemu Allah di dalam sholat.

Mahabbah ini menurut para ulama itu wajib, Karen mahabbah itu tanda dari iman. Dalam hadits diterangkan,

لا يؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما

Artinya : salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman atau tidak dianggap sempurna imannya, sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai dia ketimbang yang lain.

Maksudnya tidak sempurna keimanan seseorang sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selainnya. Dari sini, mahabbah adalah ukuran kesempurnaan keimanan seseorang. Meski mungkin kita juga mencintai yang lain, seperti istri, anak, dll. tapi Allah dan Rasulullah yang menjadi prioritas.

Mahabbah (Cinta) Harus Ma’rifah Terlebih dahulu

Untuk mencapai mahabbah itu perlu ma’rifah atau mengenal kepada Allah terlebih dahulu. Bagaimana kita mencintai, sedangkan mengenal saja belum. Sebagaimana kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”.

Ada dua sifat tuhan. Sifatul Jalal (keagungan), seperti tuhan maha kuasa, pencipta, menghidupkan, mematikan dll. Selain itu, ada sifatul Jamal (keindahan), seperti tuhan maha pengasuh, penyayang. Karena kasih sayangnya, kita diberi makan, minum. Bahkan kita sering melanggar, tapi tetap diberi kesempatan untuk taubat.

Dalam Fatihah pun, sifat Rahman rahim itu diulang dua kali, yakni di ayat pertama dan ke tiga. Jadi tuhan itu lebih menampakkan sifat kasih sayangnya ketimbang kebesarannya. Sedangkan kita kadang-kadang kurang peduli dengan tuhan. Orang seperti ini biasa disebut dengan agnostik, orang yang percaya tuhan tapi tidak beragama. Bahkan ada orang yang saking sombongnya, itu tidak mengakui keberadaan tuhan, padahal hati kecilnya mengakui tuhan. Meski sebenarnya atheis itu tidak ada. Itu banyak bukti-buktinya.

Manusia ketika berjaya, kadang-kadang dia tidak butuh pada yang lain, juga kepada tuhan. Nanti ketika sudah terpuruk, baru merasa butuh kepada yang lain. Seperti halnya Fir’aun, ia diberi kekuasaan, kelebihan fisik, harta, akhirnya ia sombong bahkan jadi merasa jadi tuhan. Nabi Musa mengingatkan tapi tidak digubris. Tapi ketika peristiwa membelah lautan dan Fir’aun sudah hampir meninggal ketika tenggelam, ia baru mengucapkan beriman kepada Allah.

Oleh karena itu, kita disuruh banyak merenung, supaya kita tahu keberadaan dan kekuasaan Tuhan, serta kelamahan kita. Dari situ kita akan merasa ta’dhim dan takut kepada Allah. Ketika kita tahu bahwa Allah itu maha baik, kita akan mencintai-Nya.

Seperti tadi, Allah itu punya sifat Jalal dan Sifat Jamal. Sifat Jalal itu menakutkan. Tapi sifat Jamal itu menyenangkan. Sebenarnya tuhan itu jamilun, tuhan itu Indah. Tapi sayangnya tuhan itu tidak bisa dengan mata kepala. Keindahan tuhan itu hanya bisa dilihat dengan mata batin/hati. Ketika mata hati/batin ini tumpul, hanya mata kepala yang melihat, maka kita tidak akan bisa melihat keindahan tuhan. Sehingga kecintaan itu tidak akan timbul.

Disinilah pentingnya membersihkan mata hati kita, sehingga kita bisa tahun keindahan tuhan sehingga mencintainya. Bagaimana membersihkannya ?

Cara Menjernihkan Mata Batin

Harus tahu ilmunya, lalu taubat (ini sudah masuk perjalanan ibadah), lalu Zuhud (melawan nafsu) atau tidak menyenangi kesenangan duniawi, untuk itu perlu sabar, ada raja’ (harap), khouf (takut) dan Tawakal. Lalu ketika kita mengenal tuhan, kita akan mencintai Allah. Buah dari cinta atau mahabbah ini adalah asy-Syauq (Rindu). Seperti ingin sholat terus, dzikir terus, dll.

Tapi ini perasaan. Kalau perasaan harus dikendalikan oleh akal. Kalau hilang kesadaran itu sudah lain lagi. Oleh karena itu melaksanakan tasawuf harus dibarengi syariat, tapi melaksanakan tasawuf sebenarnya syariat itu sendiri. Jangan dipilah-pilah.

Selanjutnya buah dari mahabbah itu ada al-Unsu (senang bersama tuhan), lalu ar-ridho (ridho kepada apapun hal yang berkaitan dengan tuhan), meskipun menurut orang lain itu tidak senang.

Perihal aturan dari tuhan, senang atau tidak, tetap harus kita lakukan. Tapi lebih baik dengan senang, perlu diusahakan. Jadi, mahabbah dari mar’rifah, ma’rifsh dari belajar kepada guru atau merenungi ciptaan-Nya.

Setelah kita tahu kenal tuhan dan tahu cara-cara mendekat pada Allah dengan cara ibadah, maka mendekatkan kepada tuhan (taqarrub). Bagaimana caranya?

Mendekat bukan berarti secara fisik. Memang, kedekatan secara hakiki itu bukan secara fisik. Tak ada gunanya meski fisik kita dekat, tapi tidak kedekatan batin. Semisal ada dua orang duduk bersama, tapi sedang bermusuhan atau tidak menyapa. Oleh karena itu hubungan itu harus dijaga. Untuk merawat itu butuh pengorbanan dan kesabaran. Harus saling menyesuaikan.

Ini hubungan dengan manusia. Kalau dengan tuhan, kitalah yang menyesuaikan. Tuhan itu sudah banyak memberi kita. Maka kalau kita tidak bersyukur dan berkorban mendekati Allah, jadi kita tidak tahu diri.

Bagaimana kita taqarrub kepada Allah ?

Dalam sebuah hadits qudsi diterangkan :

ما تقرب إلي المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم، ولا يزال العبد يتقرب إلى بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصربه، ولسانه الذي ينطق به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها

Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih  Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku m’njadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang  dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia ”emin’a perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.”

Sebenarnya mendekat pada tuhan itu mirip-mirip dengan mendekati manusia, yakni kerjakan sesuatu yang diminta atau yang disenangi tuhan.

Kalau kita melaksanakan sesuatu yang disenangi orang lain, berarti kita menunjukkan penghargaan pada orang itu. Kalau tuhan lebih dari itu. Tuhan lebih banyak pemberiannya pada kita. Kalau membalas tak mungkin, jadi disuruh saja melaksanakan perintahnya. Itupun demi kebaikan kita. Bukan untuk tuhan kebaikan-kebaikan itu.

Perintah-perintah Tuhan itu ada yang wajib, disenangi, dll. Lalu bagaimana?

Dimulai dari yang wajib dulu. Seperti halnya yang tertuang dalam poin pertama trilogi santri, yakni memperhatikan kewajiban-kewajiban fardhui ain.

Kedua, meninggalkan dosa-dosa besar. Kalau dosa kecil, tetap tidak boleh, tapi jangan dianggap kecil, nanti akan jadi dosa besar. Karena kita memang sulit lepas dari dosa kecil.

Jadi ada kaidah dalam ilmu tasawuf itu,

الاصرار على الصغائر كبيرة

“Terus menerus melakukan dosa kecil dengan sengaja itu sama saja dengan dosa besar”.

Oleh karena itu hindari tempat-tempat yang rawan. Ada haditsnya, jauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Karen Akita takut tidak bisa mengendalikan diri. Jadi dosa kecil itu sulit untuk dihindari, karena itu untuk jadi santri tidak harus tidak punya dosa. Minimal jangan lakukan dosa besar.

Jadi taqarrub itu mendekat pada Allah, dimulai dari yang wajib, terutama fardhu in. Kalau kita mendapat tugas fardhu kifayah, apalagi ketika memang tidak ada lagi yang melaksanakannya, maka status kewajibannya menjadi fardhu ain. Jangan dibalik.

Kalau tahlilan, semangat, tapi kalau sholat jumat atau sholat hari raya malah semangat. Ini kan terbalik. Ini lucu ya, seperti orang yang pakai jas, songkok, dll. Tapi tidak pakai celana.

Kalau kita ingin tetap melanjutkan taqarrub kepada Allah, kita bisa melaksanakan perkara-perkara yang sunah sebagaimana yang tertera dalam hadits qudsi.

Kalau sekarang hamba sudah melakukan perkara wajib, tetap mendekat kepadaku dengan melakukan perkara sunah. Atau tidak jelas-jelas sunah tapi disukai oleh Allah, hingga Aku mencintai dia. Kalau Aku sudah mencintainya, maka aku akan mengawal dia terus. Kalau melihat, mendengar, memegang, berjalan.

Apa artinya selalu dalam pengawalan Allah ?

Ia selalu dalam jalur yang benar dan baik. Jadi ada kecintaan di situ. Sehingga tidak berat menjalankan perintah Allah, tapi dimulai latihan dulu. Awalnya memang berat, tapi lama-lama bisa sendiri. Itu yang oleh orang disebut Wali. Wali itu orang yang dicintai dan didampingi oleh Allah.

Wali itu bukan nabi. Kalau nabi itu ma’shum (terjaga dari dosa). Keliru bisa, dosa tidak. Apa bedanya keliru dengan dosa ? Dosa itu sengaja, sedangkan keliru tidak sengaja. Sekalipun andaikan sengaja dosa, tapi kalau tidak sengaja itu namanya keliru. Nabi pernah melakukan seperti itu, tapi tidak dosa.

Nabi kan pernah begitu, waktu mengimami sholat (Dzuhur/ashar). Dapat dua rakaat lalu langsung salam. Oleh para sahabat ditanya, “apakah sholatnya diqoshor atau anda lupa rakaat ?”.

Dijawab oleh nabi, “keduanya tidak terjadi”.

Lalu sholatnya dilanjutkan. Sholatnya tidak batal, karena tidak sengaja dan tidak dosa.

Padahal seandainya disengaja, maka batal dan dosa karena itu sholat fardhu. Keliru itu bisa dilakukan oleh nabi, apalagi selain nabi. Tapi dosa tidak. Hanya saja begini, kekeliruan yang dilakukan nabi terkait tugas kerasulan, pasti diingatkan. Karena nabi itu dikawal oleh Allah.

Suatu ketika nabi pernah kedatangan oleh tokoh-tokoh Mekah yang belum masuk Islam. Nabi ingin menyenangkan hati mereka supaya mereka mau masuk Islam. Waktu itu ada orang yang buta datang kepada nabi tapi tidak dihiraukan oleh nabi. Karena beliau masih Melayani tokoh-tokoh Mekah itu. Lalu nabi ditegur karena kurang memperhatikan orang buta tadi. Kisah ini tertuang dalam surat ‘Abasa.

Kembali ke pembahasan awal, kalau bukan nabi dan sudah mencapai tingkatan mahabbah, ia bukan ma’shum, tapi -istilah ulama-“ Mahfudz”, artinya terjaga. Terjaga itu artinya ia meskipun melakukan kesalahan, tapi dosanya tidak terlalu banyak. Karena belum tentu orang yang takut pada Allah, ia lalu tidak melakukan dosa. Karena namanya manusia tentu pernah melakukan khilaf (kesalahan).

Dulu, pernah ada sahabat pernah khilaf dengan berzina. Setelah melakukan zina, ia ketakutan dan melapor pada Rasul. Padahal, konsekuensi yang ia lakukan adalah rajam karena ia berzina dalam keadaan sudah menikah. Rajam itu seseorang dipendam sampai lehernya, lalu dilempari batu kecil sampai ia mati.

Jadi orang yang berbuat salah belum tentu orang yang jelek. Kebetulan waktu itu salah, artinya setelah melakukan kesalahan ia merasa menyesal sekali.

Akhirnya, setelah dibuktikan bahwa ia berzina, ia pun dirajam. Meninggal, lalu dimandikan, dikafani oleh para sahabat. Lalu ketika sholat, nabi pun ikut mensholati sahabat tersebut.

Sahabat sempat ada desas-desus, mengapa nabi mensholati pelaku zina ini. Nabi pun mendengar pembicaraan tersebut. Nabi pun berkomentar, bahwasanya orang ini telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Seandainya tobatnya diberikan kepada seluruh penduduk Madinah, niscaya cukup.

Jadi tobat itu sebesar apapun dosa kita, asalkan sungguh-sungguh dan tulus. Dimulai dengan penyesalan, merasa bersalah, menghentikan perasaan bersalahnya, meminta maaf kepada tuhan dan kepada manusia (bila memang kepada manusia), bertekad tidak mengulangi lagi, pasti diampuni.

Hanya masalahnya, apakah tobat kita sungguh-sungguh atau tidak ?. Kalau tobat tapi masih mengulang lagi, tobat mengulang lagi, bisa jadi ia tidak sungguh-sungguh. Makanya jangan main-main dengan tobat.

Kalau kita bermain-main dengan tobat, bagaimana mendapat cinta tuhan ? Ya tidak bisa. Cinta bukan hanya dalam omongan, dibuktikan dengan perbuatan. Kalau memang cinta, sedangkan hati yang dicintai.

Untuk mendapatkan mahabbah ini, kita harus betul-betul dimulai dengan ketundukan pada Allah, menjalani perintah dan menjauhi larangan, dengan tujuan mendekat (taqorrub). Bukan tujuan apa-apa, tapi memang bertujuan mencari mendekat dan mencari ridho Allah, bahkan mahabbah dari Allah.

Jadi mahabbah adalah pencapaian tingkatan tertinggi. Kalau kita beribadah didasari mahabbah, ibadah itu menjadi ringan bahkan menyenangka. Namun untuk mencapai itu tidak mudah. Pertama dengan kesadaran penuh melalui perenungan, pikiran tentang kebesaran dan kebaikan Tuhan. Sesudah itu dengan tunduk kepada Tuhan. Nanti disenangi Tuhan.

Kalau Tuhan sudah senang, kita akan diberikan mahabbah. Allah mencintai mereka, dan mereka juga mencintai Allah. Ada ayat yang berbunyi,

فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

Artinya : Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (QS. Al-maidah : 54).

وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ

Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165)

Kepada yang lain juga cinta, tapi Allah yang jadi prioritas. Ketika bertentangan atau berhadapan antara tuhan dengan selain tuhan, maka dahulukan tuhan.

Tapi ini jangan dipahami secara dangkal. Kalau kita mencintai Allah, lalu bukan berarti tidak mencintai selain Allah. Kalau kita mencintai Allah, kita harus mencintai makhluk-makhlukNya. Sebab menyayangi sesama, menggembirakan orang lain itu perintah Allah.

Contoh sempurna dalam mencintai Allah adalah nabi kita. Beliau mencintai Allah, tapi bagaimana sikap nabi kepada keluarga, bahkan anak kecil. Nabi itu kadang-kadang bermain menemani anak kecil. Tidak gengsi.

 

Penulis: Alfin Haidar Ali
Editor: Ahmad Zainul Khofi

Kiai Zuhri Zaini: 4 Penyakit Hati yang Harus Diwaspadai Umat Muslim

berita.nuruljadid.net – Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Moh. Zuhri Zaini menerangkan ada 4 penyakit hati yang perlu dihindari oleh umat Muslim. Hal tersebut beliau kutip dari keterangan Syaikh Abu Yazid Al-Bustami pada kitab Minhajul Abidin karya Imam Al-Ghazali yang dikaji pada Sabtu (22/06/24) di Musala Riyadlus Sholihin.

Pertama, Kiai Zuhri mengingatkan umat Muslim untuk tidak terlalu sering berangan-angan tentang masa depan.

“Masa Depan memang perlu disiapkan dan direncanakan. Akan tetapi, jangan terlalu dipikirkan sampai berlarut-larut. Karena terlalu banyak berangan-angan tentang masa depan cenderung menjadikan kita lupa untuk menyiapkannya,” terangnya.

Penyakit hati yang kedua, lanjut beliau, adalah sifat terburu-buru untuk meraih tujuan alias bermental terima jadi.

“Terkadang kita memaksa banyak hal untuk selesai di waktu yang singkat. Padahal, ada proses penting yang harus kita lalui agar lebih bisa menikmati apa yang akan kita dapatkan,” jelasnya.

Beliau memberikan contoh fenomena era globalisasi hari ini, tepatnya usaha di saat kita hendak makan. Menurut beliau, akan berbeda rasanya ketika kita masak sendiri selama berjam-jam, ketimbang membeli makanan melalui Go Food yang hanya dapat diakses dengan satu kali ketukan di HP.

Kemudian penyakit hati yang ketiga adalah sifat dengki. Di bagian ini, Kiai Zuhri berpesan agar kita senantiasa menjauhkan sifat ke-aku-an dalam diri.

“Sifat dengki adalah rasa tidak suka apabila kenikmatan dianugerahkan untuk orang lain karena ia merasa kenikmatan hanya boleh menjadi miliknya saja,” imbuhnya.

Meniti pada poin keempat penyakit hati, yakni takabbur atau sombong. Menurut beliau, sifat sombong adalah perilaku ketika seseorang merasa dirinya besar dan sangat berharga.

“Dosa inilah yang menyebabkan Iblis durhaka kepada Tuhan karena ia merasa lebih baik daripada Nabi Adam, begitupun sifat inlah yang menjadikan Qabil, putra Nabi Adam As, membunuh saudara kandungnya sendiri (Habil, red.),” paparnya.

Akhir penjelasan tentang 4 hal di atas, Kiai Zuhri berpesan kepada umat Muslim untuk senantiasa melakukan introspeksi diri dan menjernihkan hati agar amal-amal yang dilakukannya tidak berujung sia-sia.

 

Pewarta: Naura Fikroh Sadidah

Editor: Ahmad Zainul Khofi

Kunci Kebahagiaan dan Kesuksesan Menurut Kiai Zuhri Zaini

nurulajdid.net– Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, KH Moh Zuhri Zaini menjelaskan bahwa jika ingin keselamatan dan kebahagiaan maka seseorang harus melakukan dua hal yaitu menuntut ilmu dan disertai akhlakul karimah. Hal itu disampaikan pada acara Grand Closing Orientasi Santri Baru (Osabar), Senin (04/07/2022) di Aula Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Lebih lanjut Kiai Zuhri mengungkapkan, agar ilmu berguna bagi masyarakat maka harus berbekal akhlak yang baik. Sebab ilmu mempengaruhi kepada kepribadian dan karakter yang dilakukan sehari-hari.

“Jika ada orang alim dan berilmu namun karakternya jelek maka ilmunya akan dibuat main main. Contohnya para koruptor, mereka berpendidikan tinggi dan mengetahui korupsi itu hal yang buruk, namun tidak disertai akhlakul karimah, akhirnya korupsi,” ungkapnya.

Menurutnya jika orang memiliki kepribadian yang baik maka hidupnya akan bahagia dan selamat bahkan disenangi oleh masyarakat. Oleh karena itu ilmu tidak akan mengantarkan kepada kesuksesan apabila tidak disertai dengan akhlak yang baik.

“Kunci kesuksesan dan kebahagiaan dunia dan akhirat adalah mempunyai ilmu dan akhlak yang baik,” ujarnya.

Dirinya menjelaskan bahwa Rasulullah diutus oleh Allah SWT di dunia tujuan utamanya adalah untuk membenahi akhlak. Sebab jika akhlaknya baik maka akan bisa membahagiakan orang lain.

“Ilmu, keterampilan dan teknologi harus berada di tangan orang yang berakhlak sebab jika jatuh kepada orang yang buruk maka akan menjadi alat kejahatan bagi para koruptor dan pembobol bank. Oleh karena itu dalam mencari ilmu kita harus membina akhlak yang baik karena itu adalah kunci kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akhirat,” pungkasnya.

“Kunci kesuksesan dan kebahagiaan dunia dan akhirat adalah mempunyai ilmu dan akhlak yang baik,” ujarnya.

Dirinya menjelaskan bahwa Rasulullah diutus oleh Allah SWT di dunia tujuan utamanya adalah untuk membenahi akhlak. Sebab jika akhlaknya baik maka akan bisa membahagiakan orang lain.

“Ilmu, keterampilan dan teknologi harus berada di tangan orang yang berakhlak sebab jika jatuh kepada orang yang buruk maka akan menjadi alat kejahatan bagi para koruptor dan pembobol bank. Oleh karena itu dalam mencari ilmu kita harus membina akhlak yang baik karena itu adalah kunci kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akhirat,” pungkasnya.

 

Pewarta   : Ahmada Zainul Khofi

Editor      : Ponirin Mika

Sumber berita : NU online

Catatan Kuliah Tasawuf Ke-9: Mengenal Maqomat dan Ahwal (2)

Macam dan Tingkatan Kesabaran

Ada tiga macam tingkat kesabaran. Ulama tasawuf berpendapat bahwa yang pertama adalah sabar menghadapi musibah. Tingkatan ini adalah tingkat yang paling rendah dari ketiga tingkatan itu. Sebab musibah datang dari luar rencana kita dan dapat menimpa siapa saja tanpa memandang bulu, baik yang kaya atau miskin. Sabar dalam menghadapi musibah ini harus dengan motif yang berdasarkan pada Allah ﷻ, karena ada juga sabar menghadapi musibah atas dasar motif nafsu, yaitu tidak berdaya dalam menghadapi musibah.

Macam kesabaran yang kedua adalah sabar dalam menjalankan tugas, kewajiban, dan perintah Allah ﷻ. Sabar ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketimbang sabar menghadapi musibah. Karena tidak semua orang mampu melaksanakan perintah itu, bahkan kebanyakan dari kita tidak melaksanakan perintah-perintah Allah ﷻ. Padahal tidak berat, seperti shalat Subuh yang hanya dua rakaat, tapi rasanya seperti memikul beban satu kwintal untuk mengerjakannya. Hal itu disebabkan karena berlawanan dengan keinginan nafsu, sedangkan kita belum bisa melawan atau mengendalikan nafsu itu. Artinya kita masih belum menganggap shalat sebagai kebutuhan apalagi kesenangan, melainkan menganggap sholat sebagai beban.

Kemudian, kesabaran yang ketiga adalah sabar menjauhi larangan Allah ﷻ. Kesabaran ini, menurut Imam al-Ghazali, adalah tingkat yang tertinggi. Sebab, larangan ini adalah kesenangan bagi nafsu, dan orang yang sudah terlanjur senang itu sulit dicegah. Oleh karena itu, sabar yang ketiga ini hanya dapat dilalui oleh orang yang betul bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah ﷻ.

Untuk menghadapi ketiganya, kita harus bersabar. Tentu bersabar itu dengan motif untuk menjalankan perintah Allah ﷻ, bukan karena sesuatu yang bersifat duniawi. Sabar yang dilakukan karena Allah ﷻ pasti disertai oleh dzikir.

Melatih Diri, Mencapai Kesabaran

Kesabaran bisa bernilai ibadah apabila dimotivasi oleh perintah Allah ﷻ. Dengan itu, perlu kuatnya iman dan menancapnya iman menjadi takwa. Sebab, iman sebetulnya bukan hanya percaya. Iman adalah percaya dan patuh. Sebagaimana kata As Sayyid As Syaikh Husain Afandi al Jisr at Torobalisi pengarang kitab Husunul Hamidiyah (tauhid), bahwa iman adalah mempercayai kepada apa yang disampaikan oleh Nabi ﷺ dari Allah ﷻ kepada kita, lalu kita mempercayainya bahwa itu benar yang disertai dengan ketundukan. Jadi kalau hanya percaya namun tidak tunduk, itu belum dikatakan iman.

Untuk mengendalikan nafsu, tidak cukup hanya dengan ilmu dan kesadaran. Tapi juga harus disertai dengan latihan (riyadhoh). Latihan itu berupa pengendalian diri yang dimulai dari hal kecil, seperti makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Hal ini juga dapat dilakukan dengan berpuasa, sebab target puasa bukan hanya tidak makan dan minum, akan tetapi juga tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah ﷻ. Puasa pun harus dilakukan dengan benar, apabila puasa dilakukan dengan cara yang tidak benar malah justru akan semakin meningkatkan nafsu. Seperti balas dendam makan banyak ketika berbuka puasa.

Pahala kesabaran itu tidak ada hitungannya. Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an Surat Az-Zumar ayat 10: إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

Kesimpulan

Hakikat sabar adalah kemampuan mengendalikan diri kita. Motif yang benar dalam bersabar adalah mendasarkan sabar untuk menjalankan perintah Allah ﷻ semata. Sabar itu bukan hanya menghadapi musibah, tapi juga sabar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, terutama sabar dalam menjauhi hal-hal yang disukai nafsu. Untuk mencapai kesabaran itu harus didasari oleh kesadaran tentang makna hikmah kesabaran. Namun hal itu tidak cukup hanya diraih dengan kesadaran dan pengetahuan, akan tetapi juga harus melalui latihan kesabaran yang dimulai dari hal-hal kecil.

Wallahualam bissawab.

 

Oleh: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika

Ini Peran Seorang Santri Menurut Kiai Zuhri Zaini

nuruljadid.net – Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton KH. Moh, Zuhri Zaini menjelaskan tentang hakikat seorang santri di acara halal bihalal yang dilaksanakan Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) Probolinggo barat. Ahad (11/03/24).

Kiai Zuhri mengulas prihal yang harus dimiliki oleh santri. Ia mengungkapkan bahwa santri harus memiliki amaliah, perilaku dan amaliah ahlusunnah waljamaah.

“Sebab santri tidak mengenal tempat dan waktu. Bahkan secara luas, sebagai seorang santri harus memiliki amaliah, perilaku dan aqidah yang berpaham ahlussunnah,” imbuhnya.

Selain itu, pengasuk ke IV Pesantren Nurul Jadid ini menerangkan tentang manfaat dari halal bihalal. Katanya, halal bihalal adalah ajang silaturrahim dan momentum untuk saling meminta maaf.

“Orang yang ingin dilapangkan rizkinya oleh Allah (bukan berarti kaya), salah satunya dengan merutinkan silaturahmi,” tegasnya.

Sebagai makhluk sosial, Kiai Zuhri mengungkapkan sebuah keniscayaan pasti berinteraksi dengan yang orang lain, kecuali orang yang tidak normal. Maka dalam interaksi itu ada ungkapan yang kemungkinan salah.

“Sebagai manusia memiliki fitrah dan tempat salah dan dosa, ini harus di sadari,. Jika berbuat salah segera meminta maaf dan sebaliknya juga memaafkan kepada orang lain pada dirinya,” imbuhnya.

Beliau memberikan contoh seorang panutan umat manusia, yaitu junjungan Nabi Muhammad Saw. Menurutnya, kiata perlu melihat rumah nabi, dengan kamar terbatas, di samping masjid, tapi pemiliknya berhati luas, maka menjadi luas dan tempat bernaung umat.

“Nabi juga senang menyambung silaturahmi. Melalui aktifitas ini, dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya. Umur itu tidak berarti jumlah tahun. Tapi seberapa banyak kebaikan yang dilakukan. Nabi dalam waktu berumur pendek namu sangat panjang kebaikannya,” tegasnya.

Selain itu, kiai Zuhri menyinggung pentingnya kebersamaan. Kebersamaan dibutuhkan untuk melanjutkan kehidupan. Kebersamaan perlu dirawat dan diperbaharui. kebersamaan tidak hanya menunggu takdir, tapi harus dijemput, diikhtiarkan. kita melihat kebersamaan tumbuh manakala ada musibah. kita tidak perlu menunggu musibah untuk memelihara kebersamaan. Mulailah sejak saat ini. kebersamaan dilakukan dalam wadah yang sempit, yaitu perkumpulan alumni, atau lebih luas yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama, atau lebih luas lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, kiai menambahkan, hikmah lain dalam kegiatan silaturahmi dan halal bihalal itu adalah terus menambah ilmu pengetahuan. Hidup ini jangan sekedar dijalani tapi juga dipelajari agar setiap hari senantiasa tambah baik. Sebagaimana sabda nabi, orang yang hari ini lebih baik dengan kemarin adalah orang yang untung, orang yang hari ini sama dengan kemarin rugi, orang yang hari ini lebih buruk hari kemarin binasa. Menjadi orang bermanfaat tidak harus menjadi kiai, ustadz, apa yang bermanfaat dilakukan saja.

“Merawat kebersamaan dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain, jangan menuntut dihargai saja, tapi belajar menghargai yang lain,” harapnya.

Kiai Zuhri juga berharap, selain mencari ilmu, tugas lain adalah menyebar ilmu, meski tidak alim, tidak perlu menunggu alim atau kaya untuk berdakwah, kita sebagai santri adalah pewaris nabi. Mewarisi apa? yaitu ilmu untuk diamalkan dan disebarkan. untuk hal ini kita bisa kerjasama dengan alumni pondok pesantren manapun, atau bahkan dengan kelompok yang tidak pernah mondok sekalipun, asalkan memiliki komitmen yang sama.

 

Pewarta: Ponirin Mika

Memahami Konsep Kaya dan Miskin ala Kiai Zuhri

nuruljadid.net – “Kaya itu relatif, miskin juga relatif.” Terang Kiai Zuhri saat mengisi pengajian kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali di Musala Riyadlus Shalihin, Rabu (08/05/24).

Menurut Kiai Zuhri standar penyematan cap kekayaan atau kemiskinan pada seseorang itu berdasarkan pada rasio antara pendapatan dan pengeluaran.

“Orang yang tiap hari memiliki penghasilan 1 juta, tapi kebutuhan hidupnya 2 juta. Maka dia itu miskin, bahkan fakir. Berbeda jika orang yang berpenghasilan 500 ribu, tapi kebutuhannya 200 ribu, maka ia kaya,” paparnya dengan nada halus dan menyentuh hati.

Kemudian, beliau memberi contoh sosok tokoh ulama’ besar dari Sukorejo, Situbondo. Adalah Kiai As’ad Syamsul Arifin, Sang Pahlawan Nasional. Dengan senyum sumringah, Kiai Zuhri menceritakan kisah Kiai As’ad saat bertemu presiden di istana negara.

“Kiai As’ad itu pakaiannya ya begitu terus, sarungan lalu berpakaian sederhana. Bahkan saat ke istana negara untuk bertemu presiden, beliau tetap berpakaian seperti itu. Kalau kita di posisi beliau, pasti risih ya?” tanya beliau membuat kami para peserta tersenyum malu.

Setidaknya, lanjut beliau, kita bisa meneladani Nabi yang hidup sederhana namun mampu melaksanakan kewajiban, bahkan melebihinya.

Antara bermewah-mewah dan sederhana yang berkecukupan, kata beliau, kita harus dapat membedakan. Bermewah-mewah adalah ketika kita melakukan atau mengambil sesuatu yang lebih dari kebutuhan atau keperluan.

“Contoh muslim yang baik adalah ia yang tidak mengambil yang tidak perlu,” imbuhnya.

Jadi, simpulan beliau, dalam berdakwah misalnya, jika dengan sederhana kita sudah bisa melaksanakan dakwah, lantas kenapa harus berlebih alias bermewah-mewah.

Tak berhenti di situ, bak samudera ilmu, beliau memberikan keterangan lebih lanjut tentang urutan “selamat”, “manfaat”, dan “nikmat” dalam mengambil suatu keputusan.

“Ada orang yang berpikir tentang ‘selamat’ dan ‘manfaat’. Ada juga orang yang berpikir ‘nikmat’. Semua itu tidak apa-apa, asalkan ‘selamat’, ‘manfaat’, baru ‘nikmat’. Sebab, jika ‘nikmat’ yang didahulukan tapi tidak ‘selamat’, lantas bagaimana?” jelas beliau.

 

Pewarta: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika

Zikir Bukan Hanya di Hati dan Lisan, tapi Juga pada Tindakan; Berikut Ulasan Kiai Zuhri Zaini Ketua Majelis Ifta’ JATMAN Kraksaan

nuruljadid.net – Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid sekaligus Ketua Majelis Ifta’ Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mutabarah Annahdliyah (JATMAN) Kota Kraksaan, KH. Moh. Zuhri Zaini, mengharap hadirnya JATMAN sebagai media silaturahmi merekatkan persatuan di tengah perbedaan thoriqoh.

Menurut Kiai Zuhri, sekalipun thoriqoh kita berbeda, namun salah satu tujuan adanya JATMAN adalah sebagai media untuk melahirkan ketersalingan dalam memahami dan menyatukan.

“Kita memiliki tujuan yang sama, hanya metodenya saja yang berbeda,” imbuhnya saat menyampaikan tausiyah pada acara silaturahmi triwulan JATMAN Kota Kraksaan di Musala Riyadlus Shalihin Pondok Pesantren Nurul Jadid, Selasa (07/05/24).

Menjadi pengurus JATMAN, lanjut Kiai Zuhri, kita harus bersyukur karena telah dipercaya oleh Allah untuk berkhidmat kepada umat melalui JATMAN.

“Ibadah tanpa zikir itu kurang sempurna, begitupun ibadah sosial. Zikir bukan hanya di hati dan lisan saja, tapi juga di dalam tindakan,” terang Kiai Zuhri.

Potret foto pengurus bersama peserta Silaturahmi Triwulan JATMAN Kota Kraksaan.

Pada kesempatan yang sama, Pengasuh Pondok Pesantren Badridduja sekaligus Mudir Jatman Wustho Jawa Timur, KH Musthafa Quthbi Badri sependapat dengan Kiai Zuhri. Harapannya, kita dipilih oleh Allah sebagai pengurus JATMAN untuk mengikuti salah satu thariqoh, dengan bersungguh-sungguh dan menjaga ke-istiqamah-an dalam mengamalkan thoriqoh.

Di samping itu, Kiai Musthafa juga menerangkan tentang keterikatan manusia yang tak bisa lepas dari dua hal, yaitu nilai-nilai agama (religiusitas) dan sebagai makhluk sosial (ijtima’i).

“Oleh sebab itu, sebagai manusia yang akan selalu merindukan Allah, kita harus hidup bersama-sama di dalam perbedaan,” imbuhnya.

 

Pewarta: Ahmad Zainul Khofi

Editor: Ponirin Mika

Jelang Liburan, Kiai Zuhri Ingatkan Tanggung Jawab Santri di Masyarakat

nuruljadid.net – “Kita adalah duta pesantren di masyarakat, orang akan melihat pesantren dan pondok ini dari perilaku kita saat liburan di kampung halaman nanti.” Petikan taujihat KH. Moh. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, pada acara pengarahan pengasuh menjelang Libur Bulan Ramadan dan Idul Fitri 1445 H, Senin (25/03).

Ia juga menegaskan bahwa liburan hanya sekadar berganti kegiatan dan suasana. Tanpa harus meninggalkan amaliyah yang istiqomah dilakukan selama di pesantren.

“Ilmu dan pendidikan yang kita dapat di pesantren harus diterapkan di rumah, meskipun tidak sama persis. Misalnya, kalau di sini wiridan dari maghrib sampai isya’. Kalau di rumah misal tidak selama itu. Ga papa. Tapi tolong jangan tinggalkan wiridan itu,” terang beliau.

Sebab, lanjut beliau, kita dipondokkan oleh orang tua, selain untuk menimba ilmu agama, disamping juga ilmu umum. Adalah untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan membina karakter. Sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik itu diharapkan oleh orang tua kita.

“Insya Allah kalau kita lebih baik setelah pulang pondok, akan menjadi dakwah tersendiri. Orang-orang akan senang memondokkan putra-putrinya ke pesantren,” imbuhnya.

Dengan demikian, Kiai Zuhri menganjurkan santri untuk disiplin memaksimalkan waktu, selektif dalam laku bergaul, dan menjadi orang cerdas yang dapat mengontrol nafsu.

“Kita harus belajar disiplin menghargai waktu, sebab waktu itu modal kita. Sebagaimana kata Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah: umruka ra’su malika. Umurmu adalah modal hidupmu. Nikmat waktu dan tambahan umur yang barokah ini sangat berharga. Sangat mahal,” terangnya.

Disamping itu, Kiai Zuhri juga menekankan santri agar memanfaatkan waktu untuk belajar bergaul dengan baik terhadap keluarga dan masyarakat. Sebab, dawuh beliau, bergaul itu penting dengan menjaga adab dan tata krama.

“Kita harus bisa mandiri untuk membatasi diri dan memilih lingkungan yang baik. Mungkin kita akan bertemu dengan teman-teman lama, tapi tolong aturan-aturan yang kita dapat di pondok, aturan pesantren dan aturan agama itu terus kita bawa. Tetap jangan melupakan teman-teman kita. Tapi tentu harus ada perubahan setelah kita mondok ini,” jelas beliau.

Pergaulan itu sangat berpengaruh, lanjutnya, telur yang semula tidak asin, kemudian diletakkan di air asin. Sehari saja sudah bisa asin. Itu telur yang tidak punya jiwa seperti kita. Sementara kita, punya jiwa yang mudah terpengaruh.

“Karena itu, jadilah orang cerdas yang bisa mengendalikan nafsunya, bisa membedakan mana baik dan buruk, dan bisa memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. Sabda nabi, al-kayyisu man daana nafsahu, wa amila limaa badal maut. Jadilah orang cerdas yang bisa mengendalikan nafsu dengan menyadari bahwa dia akan meninggalkan dunia ini dan akan mencari bekal sesudah kita mati di akhirat. Di pondok kita mencari bekal untuk pulang ke rumah. Tapi di rumah itu juga sementara, kita akan pulang lagi ke akhirat,” pungkas beliau.

Pewarta: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika