Biografi Alm. KH. Hasan Abdul Wafi
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Tahun 1923, di Desa Sumberanyar Kecamatan Tlanakan Pamekasan, Lora Abdul Wafi dilahirkan. Beliau merupakan putera bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Kiai Miftahul Arifin dan Nyai Latifah. Keenam saudara beliau adalah; KH. Ahmad Sayuti, Nyai Hj. Atiyah, KH. Zainullah, KH. Masduqi, KH. Syarqowi dan KH. Achmad Sufyan Miftahul Arifin.
Sejak kecil, Lora Abdul Wafi telah mendapatkan pendidikan agama langsung dari ayahandanya, KH. Miftahul Arifin, Pengasuh Pondok Pesantren An-Nuriyah Pamekasan. Ilmu agama yang diajarkan di antaranya adalah, membaca Al-Qur’an, Fiqh dan lainnya. Kira-kira tahun 1938, ketika usia Lora Abdul Wafi masih 6 tahun, beliau harus rela kehilangan ibunda tercinta untuk selama-lamanya. Seolah tak habis dirundung duka, lima tahun kemudian, ayahanda tercinta wafat.
Meski demikian, kepergian kedua orangtua yang sekaligus gurunya tersebut, tidak menjadikan Lora Abdul Wafi tenggelam dalam lautan duka. Beliau tetap melanjutkan proses belajarnya ke Madrasah Diniyah di Desa Branta, Tlanakan, Pamekasan. Adapun guru beliau di Madrasah itu adalah Sayyid Hasan bin Alwi dan kakak kandungnya sendiri, KH. Achmad Sayuti.
Selain itu, Lora Abdul Wafi juga belajar kepada KH. Achmad Faqih di Sumber Nyamplong Toronan, Pamekasan. Di Madrasah itu, Lora Abdul Wafi terkenal sebagai murid yang cerdas dan dhobid (mudah menghafal). Di usia yang masih relatif muda, beliau sudah mampu menghafal beberapa bait kitab Alfiah.
Setamat dari Madrasah Diniyah, Lora Abdul Wafi melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Palengan, Pamekasan, yang diasuh oleh KH. Abdul Madjid. Di Pesantren ini, beliau langsung dipercaya oleh Kiai Abdul Madjid untuk membantu mengajar dan mendidik para santri.
Dalam mengajar, Lora Abdul Wafi merupakan sosok ustadz atau guru yang telaten. Tak jarang beliau membantu beberapa santrinya yang mengalami kesulitan dalam muthola’ah (mengulang materi pelajaran). Meski demikian, tak jarang pula beliau marah jika mengetahui salah satu muridnya malas muthola’ah.
Selanjutnya, karena rasa haus Kiai Abdul Wafi terhadap ilmu, akhirnya seizin Kiai Abdul Madjid, beliau kemudian meneruskan proses belajarnya ke tanah suci Makkah.
Sepulang dari tanah suci, nama beliau kemudian ditambah Hasan, lengkapnya KH. Hasan Abdul Wafi. Selanjutnya, bersama kakak kandungnya, KH. Sufyan Miftahul Arifin, beliau melanjutkan proses belajarnya kepada KH. Sahlan di sebuah Pesantren yang terletak di Krian Sidoarjo. Kepada Kiai Sahlan beliau belajar tasawuf. Setelah dua tahun belajar tasawuf, kemudian beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pesantren Peterongan Jombang yang kala itu diasuh oleh KH. Musta’in Ramli. Seolah masih terus dahaga akan ilmu, beliau kemudian melanjutkan proses belajarnya ke Pesantren Krapyak Jogjakarta yang kala itu diasuh oleh KH. Munawir.
Setelah malang-melintang dari satu pesantren ke pesantren lainnya, akhirnya Kiai Hasan merasa perlu memilih sebuah tempat untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang beliau dapatkan dari sekian banyak kiai di pelbagai pesantren. Akhirnya, Pondok Pesantren Nurul Jadid yang terletak di Kecamatan Paiton Probolinggo, menjadi pilihan terbaik bagi Kiai Hasan untuk mengamalkan ilmu sambil melanjutkan proses belajarnya kepada KH. Zaini Mun’im.
Di Pesantren ini, beliau ditemani kakaknya, KH. Sufyan Miftahul Arifin yang kala itu juga nyantri sekaligus membantu Kiai Zaini mengajar dan mendidik santri-santrinya. Keputusan Kiai Hasan untuk menetap di Pesantren ini bertambah bulat ketika di usianya yang ke-35, beliau dijodohkan dengan Nyai Hj. Aisyah Zaini, puteri Kiai Zaini.
Hasil pernikahan dengan puteri kesayangan gurunya ini, Kiai Hasan dikaruniai 12 putera-puteri, yaitu: 1) M. Ramli (wafat di usia 9 bulan), 2) seorang perempuan (wafat di usia balita dan belum sempat diberi nama), 3) KH. Kholilurrahman, 4) Ny. Hj. Ja’faroh, 5) Ny. Hj. Hamidah, 6) Ny. Hj. Salma, 7) Ny. Hj. Latifah, 8) Ny. Hj. Nur Khotimah, 9) M. Maemun, 10) Ny. Hj. Hilmiyyah Makkiyyah, 11) Abdurrahman, dan 12) M. Amin.
Pengabdian dan Kepribadiannya
Di Ponpes Nurul Jadid, beliau turut membantu mengajar dan mendidik santri bersama para pengasuh yang lain. Adapun kitab yang beliau ajarkan adalah al-Iqna, Tafsir al-Jalalain, Ibnu al-Aqil, dan lain-lain. Selain mengajar kitab klasik di mushala, beliau juga mengajar di lembaga formal, seperti di Muallimin 6 tahun dan Perguruan Tinggi Islam dan Dakwah (PTID) Nurul Jadid. Sementara materi yang biasa beliau ajarkan adalah fiqih. Selain membantu mengajar dan mendidik santri, beliau dipercaya menjadi Dewan Pengawas Pesantren Nurul Jadid tahun 1976-2000.
Sebagai pendidik, beliau terkenal sangat disiplin dan keras. Ini berdampak positif terhadap perkembangan keilmuan dan wawasan para anak didik, baik yang berada di Maullimin 6 tahun ataupun di PTID. Karena para pelajar yang kala itu mayoritas adalah santri, mereka selalu belajar dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Tak jarang, mereka belajar hingga menjelang pagi jika keesokan harinya Kiai Hasan yang akan mengajar.
Ketekunan dan kesungguhan belajar tersebut mereka lakukan karena Kiai Hasan selalu mengajak berdiskusi mengenai persoalan-persoalan fiqhiyyah. Jika mereka tidak belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, kemudian tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Kiai Hasan, sudah dapat dipastikan mereka akan dimarahi. Dari kedisiplinan ini, akhirnya membuahkan hasil yang menggembirakan.
Selain mengajar di Ponpes Nurul Jadid, Kiai Hasan juga mengamalkan ilmunya di lembaga pendidikan Ma’had Aly yang terletak di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, di Patokan Kraksaan dan beberapa tempat di sepanjang Pantai Utara, Jawa Timur. Adapun peserta didiknya, terdiri dari pelbagai macam golongan. Ada santri, pelajar, mahasiswa, pengurus NU, hingga kiai.
Selain menekuni dunia pendidikan, beliau juga mempunyai perhatian dalam bidang pertanian dan perdagangan. Kiai Hasan tidak lupa melibatkan para santri-santri di dalamnya. Harapannya, selain ilmu agama, para santri juga dapat menguasai ilmu pertanian dan perdagangan. Sehingga, jika nantinya sudah terjun ke masyarakat, mereka tidak mengalami kesulitan mencari nafkah hidup.
Dalam dunia pertanian, Kiai Hasan biasanya memberikan kesempatan pada para santri untuk mengelola sawahnya. Adapun hasilnya, dibagi sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Sementara itu, jika ada santrinya yang memberikan hasil jerih-payahnya dalam bentuk yang penuh atau tidak mengambil haknya, maka Kiai Hasan akan marah kepadanya. “Saya ini menerapkan syirkah; sebagian untuk saya dan sebagian untuk ananda sebagai orang yang mengerjakan sawah,” ujar Kiai Hasan.
Kiai Hasan juga merupakan sosok kiai yang sangat perhatian terhadap nasib santri-santrinya. Jika beliau bertemu dengan santrinya, tak jarang beliau bertanya soal pekerjaan mereka. Jika mengetahui santrinya hanya bekerja dengan gaji yang kurang dari cukup untuk kebutuhan keluarganya, acapkali beliau menyuruh santri itu untuk datang ke rumah beliau dan selanjutnya diberi pinjaman uang, agar bisa dikembangkan dalam bentuk usaha sesuai dengan kemampuan santri tersebut.
Dari hal di atas, Kiai Hasan ternyata merupakan sosok kiai yang memiliki jiwa lembut dan penuh kasih-sayang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi keras dan sering marah, hanya karena semata-mata untuk mendidik para santri agar selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Lebih jauh, Kiai Hasan pernah berpesan bahwa jika berguru, hendaknya juga bersuhbah (bersahabat) dengan gurunya.
Lebih jauh, beliau juga terkenal sebagai seorang dermawan. Misalkan ketika memimpin NU, tak jarang beliau mengeluarkan uang pribadi untuk biaya transportasi atau untuk urusan logistik. Selain itu, menjelang hari raya, biasanya beliau juga sering membagi-bagikan pakaian dan sarung, terutama kepada pengurus NU yang aktif.
Berjuang untuk Nahdlatul Ulama dan Masyarakat
Selain mengamalkan ilmunya di Ponpes Nurul Jadid, Kiai Hasan juga berjuang di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari ini, beliau berangkat bersama dengan saudara iparnya, KH. Abd. Wahid Zaini. Hingga kemudian Kiai Hasan dipercaya sebagai ketua Syuriah Pengurus Cabang NU Kraksaan dalam dua periode.
Sebagai ketua Syuriah PCNU Kraksaan, Kiai Hasan merupakan orang yang disiplin. Jika datang ke kantor, beliau sering datang terlebih dahulu. Ini sangat berpengaruh besar, terutama terhadap dinamika dalam tubuh NU. Dampaknya, kedisiplinan dan kinerja para pengurus semakin meningkat.
Selain itu, Kiai Hasan juga dikenal sebagai ulama yang berani menyampaikan amar makruf nahi mungkar, walau amat pahit untuk disampaikan. Beliau tidak segan untuk marah terhadap seseorang jika orang tersebut melanggar syari’at. Meski demikian, amarah beliau cepat mereda setelah menyampaikan apa yang menjadi unek-unek tentang sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran agama.[1]
Selama hidupnya, di kediaman Kiai Hasan tidak terdapat TV. Beliau tidak berkenan untuk membeli atau menonton TV. Meski demikian, bukan berarti beliau buta akan informasi. Ini dibuktikan dengan adanya suratkabar yang begitu menumpuk di kediaman beliau. Sehingga beliau terkenal dengan sosok ulama yang selalu mengikuti informasi baru (up to date). Tak jarang pengurus PCNU, baik Tanfidziyah-Syuriah, muda-tua, sebelum mengetahui berita terbaru, beliau sudah terlebih dahulu mengetahuinya.
Dalam organisasi yang berlambang sembilan bintang mengitari bumi ini, beliau mendapatkan patner kerja yang serasi, yaitu Rasyid AR, ketua Tanfidziyah PCNU Kraksaan. Bersama Pak Rasyid, beliau menempati posisi teras di PCNU Kraksaan selama dua periode. Bukti keserasian antara keduanya adalah kesediaan mereka untuk saling berkunjung ke kediaman masing-masing. Jika Pak Rasyid terlalu lama tidak berkunjung ke kediamannya, Kiai Hasan tak keberatan untuk menyambangi rumahnya. Begitu pun sebaliknya.
Atas kesediaan Kiai Hasan berkunjung ke rumahnya, Rasyid pernah berkata kepada Kiai Hasan: “Kiai, saya ini tidak pantas jika harus dikunjungi Kiai Hasan. Karena seorang Tanfidziyah adalah santri.” Mendengar perkataan ini, Kiai Hasan langsung menegur: “Antara Tanfidziyah dan Syuriah itu harus menyatu.” Demikianlah, meski Kiai Hasan adalah seorang ulama, beliau tidak sungkan-sungkan untuk berkunjung ke rumah koleganya demi kemajuan organisasi NU.
Selain itu, beliau juga selalu menjaga jalinan silaturrahmi dengan seluruh pengurus NU, baik di tingkat cabang, wakil cabang hingga ranting. Kunjungan yang sering beliau lakukan itu, adakalanya dalam rangka pembinaan, atau sekedar mengobrol biasa. Meski demikian, kehadiran beliau mempunyai nilai lain. Sehingga NU kala itu bisa berjalan dengan solid dan baik.
Sebagai Ketua Syuriah NU, Kiai Hasan terkenal gigih memajukan wawasan keagamaan, baik terhadap pengurus NU ataupun masyarakat. Misalkan beliau berpendapat, jika ada masalah yang belum terpecahkan supaya diajukan ke cabang, dan akan ditindaklanjuti dengan diskusi. Kiai Hasan sendiri selalu berusaha untuk hadir. Sementara hasil dari diskusi akan dibukukan. Hal ini dilakukan setiap satu bulan sekali.
Selain itu, pada masa kepemimpinan Kiai Hasan, diadakan pula pengajian di setiap Majelis Wakil Cabang (MWC) dengan cara bergiliran. Adapun kiainya terdiri dari kiai-kiai yang dipilih oleh peserta pengajian, di antaranya adalah Kiai Badri Masduqi (Ponpes Badridduja Kraksaan) dan Kiai Hasan sendiri. Lebih jauh, sebagai ketua Syuriah, beliau juga menganjurkan agar di masjid-masjid dikembangkan pengajian kitab, yang beliau sebut “kitab S2” (Sulam as-Safinah).
Terhadap masyarakat, beliau selalu bersedia jika diundang untuk berdakwah, meski dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Dalam hal ini, Kiai Hasan selalu berpesan, bahwa jika diundang untuk menghadiri pengajian, jangan diukur dari materi yang diberikan, berjuang itu harus berani berkorban.
Beliau juga merupakan sosok ulama yang sangat mencintai NU. Ini beliau tunjukkan ketika kakak kandungnya, KH. Achmad Sufyan Miftahul Arifin, mengajurkan agar menjadi Mursyid, karena sikap kerasnya. Tapi Kiai Hasan menolak anjuran tersebut. Menurut Kiai Hasan, selama memimpin NU, beliau tidak bisa menjadi Mursyid. “Biarkanlah saya NU saja, wirid-wiridnya, wirid NU saja,” ujarnya.
Kecintaan beliau ini kemudian ditularkan kepada santri-santri yang sudah memperoleh gelar sarjana. Kepada para santrinya, Kiai Hasan selalu menganjurkan agar aktif berjuang di NU.
Dalam memimpin PCNU Kraksaan, Kiai Hasan selalu bersandarkan kepada aturan AD/ART yang telah ditetapkan PBNU. Beliau juga merupakan sosok pemimpin yang mengetahui detail sejarah perjalanan NU. Misalkan, NU itu lahirnya dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Sehingga, beliau akan sangat marah jika NU mengadakan kegiatan, tapi pengurus NU tidak mengajak masyarakat. Ini diharapkan agar NU bisa independen terhadap pemerintah.
Mengenai dunia pendidikan, kepada pengurus Tanfidziyah, Kiai Hasan menganjurkan agar Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) diajarkan mulai Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Yang kedua, beliau juga berpesan agar putera-puteri NU itu paling sedikit memiliki ijazah Madrasah Aliyah (MA). Adapun perguruan tinggi itu menurut kemampuan. Pendapat ini berangkat dari keprihatinan beliau melihat anak-anak NU yang hanya tamat belajar sebatas SMP, lebih-lebih SD. Selain itu, menurut Kiai Hasan, anak puteri NU yang hanya bisa sekolah sampai tingkat SMP misalkan, kemudian langsung diajak kawin, pengetahuan anak itu belum cukup untuk mengerti soal bagaimana menjadi istri yang baik. Kecuali bagi mereka yang sudah pernah mondok dan mengaji di pesantren.
Bertolak dari hal di atas, wajar ketika Kiai Hasan meninggal, banyak orang yang merasa kehilangan terhadap sosok ulama yang tegas, disiplin, ahli fiqih, organisatoris yang gigih dan pejuang yang ikhlas. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun.
Catatan Kaki:
* Sumber tulisan: a) Majalah ALFIKR IAI Nurul Jadid, b) Wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu: Ustadz Rasyid AR dan Drs. KH. Zainunndin Abbas, keduanya adalah mantan ketua Tanfidziyah PCNU Kraksaan.
[1] Ketegasan dan keberanian Kiai Hasan juga tampak ketika beliau menjadi anggota DPRD Probolinggo. Ketika itu ada Peraturan Daerah (Perda) No. 2 yang isinya tentang peraturan mendirikan rumah pelacuran. Merespon Perda ini, dengan tegas beliau langsung menolaknya, karena pelacuran bertentangan dengan agama Islam.