Kuliah Tasawuf ke-10: Kiai Zuhri Zaini Jelaskan Mahabbah Puncak Tertinggi Seorang Salik Menuju Allah
berita.nuruljadid.net – Malam Jumat (25/07/24), suasana begitu khusyuk saat Kuliah Tasawuf ke-10 yang dipimpin oleh KH. Moh. Zuhri Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, berlangsung. Suasana khidmat menyelimuti acara rutin bulanan ini, yang telah menjadi oase spiritual bagi para santri.
Kegiatan tersebut berlangsung di dua lokasi berbeda antara santri putra dan putri. Santri putra berkumpul di Musala Riyadlussholihin, sementara santri putri berada di wilayah mereka masing-masing. Sedangkan bagi peserta yang tak dapat hadir tatap muka, atau bagi khalayak umum, mengikuti kegiatan ini melalui siaran langsung di kanal YouTube Universitas Nurul Jadid.
Dalam kuliah tersebut, Kiai Zuhri menyelami materi tentang hakikat Maqom, atau tingkatan spiritual seorang hamba dalam perjalanannya menuju Tuhan. Beliau menegaskan bahwa tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang hamba adalah mahabbah, cinta yang murni dan penuh penghambaan. Adapun catatan lebih lanjut dari Kuliah Tasawuf ke-10 ini dapat disimak dalam narasi berikut ini.
Prolog: Seputar Ahwal & Maqomat
Allah menciptakan kita untuk beribadah. Kita sebenarnya butuh ibadah, Allah tidak membutuhkan ibadah kita. Bagi sebagian orang yang tidak mengerti pentingnya ibadah, akan menganggap ibadah sebagai beban, padahal secara hakikat ibadah adalah kebutuhan.
Kemudian di dalam ibadah adalah suatu perjalanan menuju Allah, ini ada beberapa Maqom dan Hal. Maqom ini tingkat-tingkat pencapaian dari seseorang. Sebagaimana kita melakukan perjalanan fisik, kita mau ke Surabaya. Tentu kita tidak langsung ke Surabaya, tapi harus keluar ke gerbang, melewati kota ini dan itu terlebih dahulu.
Selain itu, perlu persiapan-persiapan juga. Dalam kitab Minhjaul Abidin, tahapan pertama dalam perjalanan itu adalah mencari ilmu, sekalipun ilmu itu adalah persiapan dalam perjalanan. Karena kalau kita berjalan tanpa ilmu, bisa jadi kita berjalan tanpa arah. Sehingga kita tidak mencapai tujuan, bahkan semakin jauh.
Dalam perjalanan kepada Allah, juga banyak yang tidak mencapai bahkan semakin jauh. Seperti pada masa jahiliah, orang-orang menyembah patung. Ketika ditanya, mengapa melakukan perbuatan demikian. Mereka menjawab, “tidaklah apa yang kami lakukan kecuali agar patung itu untuk mendekatkan diri pada Allah”. Ini adalah syirik, dan perbuatan ini tidak akan diterima oleh Allah.
Dan masih banyak lagi tahapan-tahapan setelah itu, dan semuanya sudah diterangkan pada pertemuan-pertemuan yang lalu.
Pembahasan Utama: Maqom Mahabbah
Topik kali ini adalah tentang mahabbah.
Maqom itu tempat pencapaian kita dalam perjalanan. Sedangkan hal itu secara bahasa adalah keadaan. Keadaan itu agak berbeda dengan Maqom. Meski sebagian ulama ada yang tidak membedakan antara hal dan Maqom.
Kalau hal itu keadaan seseorang menjalani Maqom yang sedang ia jalani. Jadi ada sedikit perbedaan. Kalau tingkat perjalanan itu ada perencanaan yang kemudian dilaksanakan untuk mencapai pencapaian itu. Seperti mencari ilmu. Cari ilmu itu bisa direncanakan, bahkan ada kurikulumnya dan dilaksanakan.
Sedangkan kalau hal ini keadaan yang kita alami dalam perjalanan. Misal menuju Surabaya, ketika di perjalanan kita melihat hal-hal yang indah, sehingga hati kita jadi senang. Senang itu hal bukan Maqom.
Kalau Maqom itu bisa direncanakan dan dicari. Misal hendak ke Surabaya, kita sekarang ada di Probolinggo, lalu direncanakan akan melewati Pasuruan. Nah, ini kan bisa direncanakan.
Keadaan itu tidak bisa dikendalikan, seperti senang atau tidak senang. Takut atau tidak takut. Beda dengan mencari ilmu, kita berhenti mencari ilmu itu bisa. Sedangkan senang atau benci, itu tidak bisa dihentikan seketika. Hanya mungkin ada jalan untuk menjadi senang atau tidak senang.
Sedangkan terkait mahabbah (kecintaan). Mahabbah ini sifat manusia. Objeknya bisa apa saja. Bisa pada seseorang, binatang, dll. Tapi mahabbah yang dimaksud di sini adalah mahabbah kepada Allah.
Jadi senang/suka itu di luat kendali kita, tetapi kita bisa melakukan sesuatu yang berdampak pada mahabbah itu. Sekalipun tentu tidak mudah.
Mahabbah ini adalah suatu tingkatan tertinggi dalam perjalanan kita menuju pada Allah SWT. Orang ibadah kalau senang, tidak akan terasa berat, bahkan akan terasa senang.
Seperti nabi kalau qiyamullail itu sampai kakinya bengkak. Kenapa nabi begitu ? Karena nabi senang. Sholat itu bisa menghibur.
Dalam hadits disebutkan, “dari dunia kalian ini, aku dijadikan senang pada perkara ini, yakni perempuan (meski nabi bisa mengendalikannya), wangi-wangian, sejuk mata kita dengan sholat”.
Nah, sedangkan kita ini tidak dijadikan sholat sebagai penyejuk mata kita. Kalau nabi sedang ada urusan yang memberatkan nabi, beliau akan segera sholat.
Ketika sudah masuk sholat, nabi menyuruh sahabat Bilal untuk adzan. Kata nabi, “Ya Bilal, arihna Bi sholat”. Artinya, hiburlah saya dengan sholat.
Ketika Sahabat Bilal adzan, nabi senang karena mau ketemu Allah di dalam sholat.
Mahabbah ini menurut para ulama itu wajib, Karen mahabbah itu tanda dari iman. Dalam hadits diterangkan,
لا يؤمن أحدكم حتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما
Artinya : salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman atau tidak dianggap sempurna imannya, sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai dia ketimbang yang lain.
Maksudnya tidak sempurna keimanan seseorang sampai Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selainnya. Dari sini, mahabbah adalah ukuran kesempurnaan keimanan seseorang. Meski mungkin kita juga mencintai yang lain, seperti istri, anak, dll. tapi Allah dan Rasulullah yang menjadi prioritas.
Mahabbah (Cinta) Harus Ma’rifah Terlebih dahulu
Untuk mencapai mahabbah itu perlu ma’rifah atau mengenal kepada Allah terlebih dahulu. Bagaimana kita mencintai, sedangkan mengenal saja belum. Sebagaimana kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”.
Ada dua sifat tuhan. Sifatul Jalal (keagungan), seperti tuhan maha kuasa, pencipta, menghidupkan, mematikan dll. Selain itu, ada sifatul Jamal (keindahan), seperti tuhan maha pengasuh, penyayang. Karena kasih sayangnya, kita diberi makan, minum. Bahkan kita sering melanggar, tapi tetap diberi kesempatan untuk taubat.
Dalam Fatihah pun, sifat Rahman rahim itu diulang dua kali, yakni di ayat pertama dan ke tiga. Jadi tuhan itu lebih menampakkan sifat kasih sayangnya ketimbang kebesarannya. Sedangkan kita kadang-kadang kurang peduli dengan tuhan. Orang seperti ini biasa disebut dengan agnostik, orang yang percaya tuhan tapi tidak beragama. Bahkan ada orang yang saking sombongnya, itu tidak mengakui keberadaan tuhan, padahal hati kecilnya mengakui tuhan. Meski sebenarnya atheis itu tidak ada. Itu banyak bukti-buktinya.
Manusia ketika berjaya, kadang-kadang dia tidak butuh pada yang lain, juga kepada tuhan. Nanti ketika sudah terpuruk, baru merasa butuh kepada yang lain. Seperti halnya Fir’aun, ia diberi kekuasaan, kelebihan fisik, harta, akhirnya ia sombong bahkan jadi merasa jadi tuhan. Nabi Musa mengingatkan tapi tidak digubris. Tapi ketika peristiwa membelah lautan dan Fir’aun sudah hampir meninggal ketika tenggelam, ia baru mengucapkan beriman kepada Allah.
Oleh karena itu, kita disuruh banyak merenung, supaya kita tahu keberadaan dan kekuasaan Tuhan, serta kelamahan kita. Dari situ kita akan merasa ta’dhim dan takut kepada Allah. Ketika kita tahu bahwa Allah itu maha baik, kita akan mencintai-Nya.
Seperti tadi, Allah itu punya sifat Jalal dan Sifat Jamal. Sifat Jalal itu menakutkan. Tapi sifat Jamal itu menyenangkan. Sebenarnya tuhan itu jamilun, tuhan itu Indah. Tapi sayangnya tuhan itu tidak bisa dengan mata kepala. Keindahan tuhan itu hanya bisa dilihat dengan mata batin/hati. Ketika mata hati/batin ini tumpul, hanya mata kepala yang melihat, maka kita tidak akan bisa melihat keindahan tuhan. Sehingga kecintaan itu tidak akan timbul.
Disinilah pentingnya membersihkan mata hati kita, sehingga kita bisa tahun keindahan tuhan sehingga mencintainya. Bagaimana membersihkannya ?
Cara Menjernihkan Mata Batin
Harus tahu ilmunya, lalu taubat (ini sudah masuk perjalanan ibadah), lalu Zuhud (melawan nafsu) atau tidak menyenangi kesenangan duniawi, untuk itu perlu sabar, ada raja’ (harap), khouf (takut) dan Tawakal. Lalu ketika kita mengenal tuhan, kita akan mencintai Allah. Buah dari cinta atau mahabbah ini adalah asy-Syauq (Rindu). Seperti ingin sholat terus, dzikir terus, dll.
Tapi ini perasaan. Kalau perasaan harus dikendalikan oleh akal. Kalau hilang kesadaran itu sudah lain lagi. Oleh karena itu melaksanakan tasawuf harus dibarengi syariat, tapi melaksanakan tasawuf sebenarnya syariat itu sendiri. Jangan dipilah-pilah.
Selanjutnya buah dari mahabbah itu ada al-Unsu (senang bersama tuhan), lalu ar-ridho (ridho kepada apapun hal yang berkaitan dengan tuhan), meskipun menurut orang lain itu tidak senang.
Perihal aturan dari tuhan, senang atau tidak, tetap harus kita lakukan. Tapi lebih baik dengan senang, perlu diusahakan. Jadi, mahabbah dari mar’rifah, ma’rifsh dari belajar kepada guru atau merenungi ciptaan-Nya.
Setelah kita tahu kenal tuhan dan tahu cara-cara mendekat pada Allah dengan cara ibadah, maka mendekatkan kepada tuhan (taqarrub). Bagaimana caranya?
Mendekat bukan berarti secara fisik. Memang, kedekatan secara hakiki itu bukan secara fisik. Tak ada gunanya meski fisik kita dekat, tapi tidak kedekatan batin. Semisal ada dua orang duduk bersama, tapi sedang bermusuhan atau tidak menyapa. Oleh karena itu hubungan itu harus dijaga. Untuk merawat itu butuh pengorbanan dan kesabaran. Harus saling menyesuaikan.
Ini hubungan dengan manusia. Kalau dengan tuhan, kitalah yang menyesuaikan. Tuhan itu sudah banyak memberi kita. Maka kalau kita tidak bersyukur dan berkorban mendekati Allah, jadi kita tidak tahu diri.
Bagaimana kita taqarrub kepada Allah ?
Dalam sebuah hadits qudsi diterangkan :
ما تقرب إلي المتقربون بمثل أداء ما افترضت عليهم، ولا يزال العبد يتقرب إلى بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصربه، ولسانه الذي ينطق به، ويده التي يبطش بها، ورجله التي يمشي بها
Tidaklah seorang hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal–hal yang telah Aku wajibkan baginya. Senantiasa hamba–Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan–amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku m’njadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada–Ku pasti Aku memberinya dan jika dia ”emin’a perlindungan kepada–Ku pasti Aku akan melindunginya.”
Sebenarnya mendekat pada tuhan itu mirip-mirip dengan mendekati manusia, yakni kerjakan sesuatu yang diminta atau yang disenangi tuhan.
Kalau kita melaksanakan sesuatu yang disenangi orang lain, berarti kita menunjukkan penghargaan pada orang itu. Kalau tuhan lebih dari itu. Tuhan lebih banyak pemberiannya pada kita. Kalau membalas tak mungkin, jadi disuruh saja melaksanakan perintahnya. Itupun demi kebaikan kita. Bukan untuk tuhan kebaikan-kebaikan itu.
Perintah-perintah Tuhan itu ada yang wajib, disenangi, dll. Lalu bagaimana?
Dimulai dari yang wajib dulu. Seperti halnya yang tertuang dalam poin pertama trilogi santri, yakni memperhatikan kewajiban-kewajiban fardhui ain.
Kedua, meninggalkan dosa-dosa besar. Kalau dosa kecil, tetap tidak boleh, tapi jangan dianggap kecil, nanti akan jadi dosa besar. Karena kita memang sulit lepas dari dosa kecil.
Jadi ada kaidah dalam ilmu tasawuf itu,
الاصرار على الصغائر كبيرة
“Terus menerus melakukan dosa kecil dengan sengaja itu sama saja dengan dosa besar”.
Oleh karena itu hindari tempat-tempat yang rawan. Ada haditsnya, jauhi duduk-duduk di pinggir jalan. Karen Akita takut tidak bisa mengendalikan diri. Jadi dosa kecil itu sulit untuk dihindari, karena itu untuk jadi santri tidak harus tidak punya dosa. Minimal jangan lakukan dosa besar.
Jadi taqarrub itu mendekat pada Allah, dimulai dari yang wajib, terutama fardhu in. Kalau kita mendapat tugas fardhu kifayah, apalagi ketika memang tidak ada lagi yang melaksanakannya, maka status kewajibannya menjadi fardhu ain. Jangan dibalik.
Kalau tahlilan, semangat, tapi kalau sholat jumat atau sholat hari raya malah semangat. Ini kan terbalik. Ini lucu ya, seperti orang yang pakai jas, songkok, dll. Tapi tidak pakai celana.
Kalau kita ingin tetap melanjutkan taqarrub kepada Allah, kita bisa melaksanakan perkara-perkara yang sunah sebagaimana yang tertera dalam hadits qudsi.
Kalau sekarang hamba sudah melakukan perkara wajib, tetap mendekat kepadaku dengan melakukan perkara sunah. Atau tidak jelas-jelas sunah tapi disukai oleh Allah, hingga Aku mencintai dia. Kalau Aku sudah mencintainya, maka aku akan mengawal dia terus. Kalau melihat, mendengar, memegang, berjalan.
Apa artinya selalu dalam pengawalan Allah ?
Ia selalu dalam jalur yang benar dan baik. Jadi ada kecintaan di situ. Sehingga tidak berat menjalankan perintah Allah, tapi dimulai latihan dulu. Awalnya memang berat, tapi lama-lama bisa sendiri. Itu yang oleh orang disebut Wali. Wali itu orang yang dicintai dan didampingi oleh Allah.
Wali itu bukan nabi. Kalau nabi itu ma’shum (terjaga dari dosa). Keliru bisa, dosa tidak. Apa bedanya keliru dengan dosa ? Dosa itu sengaja, sedangkan keliru tidak sengaja. Sekalipun andaikan sengaja dosa, tapi kalau tidak sengaja itu namanya keliru. Nabi pernah melakukan seperti itu, tapi tidak dosa.
Nabi kan pernah begitu, waktu mengimami sholat (Dzuhur/ashar). Dapat dua rakaat lalu langsung salam. Oleh para sahabat ditanya, “apakah sholatnya diqoshor atau anda lupa rakaat ?”.
Dijawab oleh nabi, “keduanya tidak terjadi”.
Lalu sholatnya dilanjutkan. Sholatnya tidak batal, karena tidak sengaja dan tidak dosa.
Padahal seandainya disengaja, maka batal dan dosa karena itu sholat fardhu. Keliru itu bisa dilakukan oleh nabi, apalagi selain nabi. Tapi dosa tidak. Hanya saja begini, kekeliruan yang dilakukan nabi terkait tugas kerasulan, pasti diingatkan. Karena nabi itu dikawal oleh Allah.
Suatu ketika nabi pernah kedatangan oleh tokoh-tokoh Mekah yang belum masuk Islam. Nabi ingin menyenangkan hati mereka supaya mereka mau masuk Islam. Waktu itu ada orang yang buta datang kepada nabi tapi tidak dihiraukan oleh nabi. Karena beliau masih Melayani tokoh-tokoh Mekah itu. Lalu nabi ditegur karena kurang memperhatikan orang buta tadi. Kisah ini tertuang dalam surat ‘Abasa.
Kembali ke pembahasan awal, kalau bukan nabi dan sudah mencapai tingkatan mahabbah, ia bukan ma’shum, tapi -istilah ulama-“ Mahfudz”, artinya terjaga. Terjaga itu artinya ia meskipun melakukan kesalahan, tapi dosanya tidak terlalu banyak. Karena belum tentu orang yang takut pada Allah, ia lalu tidak melakukan dosa. Karena namanya manusia tentu pernah melakukan khilaf (kesalahan).
Dulu, pernah ada sahabat pernah khilaf dengan berzina. Setelah melakukan zina, ia ketakutan dan melapor pada Rasul. Padahal, konsekuensi yang ia lakukan adalah rajam karena ia berzina dalam keadaan sudah menikah. Rajam itu seseorang dipendam sampai lehernya, lalu dilempari batu kecil sampai ia mati.
Jadi orang yang berbuat salah belum tentu orang yang jelek. Kebetulan waktu itu salah, artinya setelah melakukan kesalahan ia merasa menyesal sekali.
Akhirnya, setelah dibuktikan bahwa ia berzina, ia pun dirajam. Meninggal, lalu dimandikan, dikafani oleh para sahabat. Lalu ketika sholat, nabi pun ikut mensholati sahabat tersebut.
Sahabat sempat ada desas-desus, mengapa nabi mensholati pelaku zina ini. Nabi pun mendengar pembicaraan tersebut. Nabi pun berkomentar, bahwasanya orang ini telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Seandainya tobatnya diberikan kepada seluruh penduduk Madinah, niscaya cukup.
Jadi tobat itu sebesar apapun dosa kita, asalkan sungguh-sungguh dan tulus. Dimulai dengan penyesalan, merasa bersalah, menghentikan perasaan bersalahnya, meminta maaf kepada tuhan dan kepada manusia (bila memang kepada manusia), bertekad tidak mengulangi lagi, pasti diampuni.
Hanya masalahnya, apakah tobat kita sungguh-sungguh atau tidak ?. Kalau tobat tapi masih mengulang lagi, tobat mengulang lagi, bisa jadi ia tidak sungguh-sungguh. Makanya jangan main-main dengan tobat.
Kalau kita bermain-main dengan tobat, bagaimana mendapat cinta tuhan ? Ya tidak bisa. Cinta bukan hanya dalam omongan, dibuktikan dengan perbuatan. Kalau memang cinta, sedangkan hati yang dicintai.
Untuk mendapatkan mahabbah ini, kita harus betul-betul dimulai dengan ketundukan pada Allah, menjalani perintah dan menjauhi larangan, dengan tujuan mendekat (taqorrub). Bukan tujuan apa-apa, tapi memang bertujuan mencari mendekat dan mencari ridho Allah, bahkan mahabbah dari Allah.
Jadi mahabbah adalah pencapaian tingkatan tertinggi. Kalau kita beribadah didasari mahabbah, ibadah itu menjadi ringan bahkan menyenangka. Namun untuk mencapai itu tidak mudah. Pertama dengan kesadaran penuh melalui perenungan, pikiran tentang kebesaran dan kebaikan Tuhan. Sesudah itu dengan tunduk kepada Tuhan. Nanti disenangi Tuhan.
Kalau Tuhan sudah senang, kita akan diberikan mahabbah. Allah mencintai mereka, dan mereka juga mencintai Allah. Ada ayat yang berbunyi,
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Artinya : Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. (QS. Al-maidah : 54).
وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ؕ
Artinya : Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 165)
Kepada yang lain juga cinta, tapi Allah yang jadi prioritas. Ketika bertentangan atau berhadapan antara tuhan dengan selain tuhan, maka dahulukan tuhan.
Tapi ini jangan dipahami secara dangkal. Kalau kita mencintai Allah, lalu bukan berarti tidak mencintai selain Allah. Kalau kita mencintai Allah, kita harus mencintai makhluk-makhlukNya. Sebab menyayangi sesama, menggembirakan orang lain itu perintah Allah.
Contoh sempurna dalam mencintai Allah adalah nabi kita. Beliau mencintai Allah, tapi bagaimana sikap nabi kepada keluarga, bahkan anak kecil. Nabi itu kadang-kadang bermain menemani anak kecil. Tidak gengsi.
Penulis: Alfin Haidar Ali
Editor: Ahmad Zainul Khofi
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!