Memahami Konsep Kaya dan Miskin ala Kiai Zuhri

nuruljadid.net – “Kaya itu relatif, miskin juga relatif.” Terang Kiai Zuhri saat mengisi pengajian kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali di Musala Riyadlus Shalihin, Rabu (08/05/24).

Menurut Kiai Zuhri standar penyematan cap kekayaan atau kemiskinan pada seseorang itu berdasarkan pada rasio antara pendapatan dan pengeluaran.

“Orang yang tiap hari memiliki penghasilan 1 juta, tapi kebutuhan hidupnya 2 juta. Maka dia itu miskin, bahkan fakir. Berbeda jika orang yang berpenghasilan 500 ribu, tapi kebutuhannya 200 ribu, maka ia kaya,” paparnya dengan nada halus dan menyentuh hati.

Kemudian, beliau memberi contoh sosok tokoh ulama’ besar dari Sukorejo, Situbondo. Adalah Kiai As’ad Syamsul Arifin, Sang Pahlawan Nasional. Dengan senyum sumringah, Kiai Zuhri menceritakan kisah Kiai As’ad saat bertemu presiden di istana negara.

“Kiai As’ad itu pakaiannya ya begitu terus, sarungan lalu berpakaian sederhana. Bahkan saat ke istana negara untuk bertemu presiden, beliau tetap berpakaian seperti itu. Kalau kita di posisi beliau, pasti risih ya?” tanya beliau membuat kami para peserta tersenyum malu.

Setidaknya, lanjut beliau, kita bisa meneladani Nabi yang hidup sederhana namun mampu melaksanakan kewajiban, bahkan melebihinya.

Antara bermewah-mewah dan sederhana yang berkecukupan, kata beliau, kita harus dapat membedakan. Bermewah-mewah adalah ketika kita melakukan atau mengambil sesuatu yang lebih dari kebutuhan atau keperluan.

“Contoh muslim yang baik adalah ia yang tidak mengambil yang tidak perlu,” imbuhnya.

Jadi, simpulan beliau, dalam berdakwah misalnya, jika dengan sederhana kita sudah bisa melaksanakan dakwah, lantas kenapa harus berlebih alias bermewah-mewah.

Tak berhenti di situ, bak samudera ilmu, beliau memberikan keterangan lebih lanjut tentang urutan “selamat”, “manfaat”, dan “nikmat” dalam mengambil suatu keputusan.

“Ada orang yang berpikir tentang ‘selamat’ dan ‘manfaat’. Ada juga orang yang berpikir ‘nikmat’. Semua itu tidak apa-apa, asalkan ‘selamat’, ‘manfaat’, baru ‘nikmat’. Sebab, jika ‘nikmat’ yang didahulukan tapi tidak ‘selamat’, lantas bagaimana?” jelas beliau.

 

Pewarta: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *