“Andaikan, Andaikan, dan Andaikan”
Oleh: Muhammad Alfath
nuruljadid.net – Di sela-sela padatnya kegiatan pondok, tak jarang saya duduk berbincang-bincang bersama para santri lain. Tentu saja mereka—yang berjumlah ribuan dan berasal dari daerah yang berbeda-beda—memiliki latar belakang yang tidak sama. Pandangan hidup merekalah yang kemudian memperkaya pandangan saya akan hidup ini. Atau bahasa kerennya.. yaa, welsthanschaung mereka.
Tak jarang pula saya mendengar pengandaian-pengandaian mereka. Pengandaian yang berasal dari hati dan disalurkan lewat mulut mereka:
“Andaikan aku gak mondok, pasti sekarang lagi chatan sama ayang,” ujar salah seorang santri untuk memulai pengandaian.
Yang lain ikutan nimbrung, “uhh, kalau saya pasti lagi mabar Mobile Legends sekarang”
“kalau saya, pasti lagi nonton film “eng ing eng” di pesbuk,” timbrung seorang teman mereka dengan muka mesum.
“Andaikan kita bukan santri, pasti sudah hidup ‘bebas’,” ujar salah seorang santri untuk “menyimpulkan” pengandaian-pengandaian mereka.
Semua ini adalah salah tiga contoh daripada bermacam-macam kesalahan penggunaan media sosial oleh umat manusia. Medsos yang memiliki jutaan manfaat justru disalahgunakan oleh pihak yang tidak profesional dalam menggunakannya.
Penggunaan medsos oleh santri malahan menimbulkan masalah identitas: mereka yang harusnya bangga melihat bagaimana kaumnya sudah go-International, malah menilai hal-hal yang tidak bisa dilakukannya sebagai kekurangan. Mungkin pihak yang berwenang perlu mengadakan “Kursus Bermedsos” untuk menanggulangi masalah ini. Kalau tidak yaa dampaknya akan seperti ini: timbul kalimat “andaikan, andaikan, dan andaikan” dari orang-orang—tanpa terkecuali kaum santri—yang menggunakannya.
Menjawab “Andaikan, Andaikan, dan Andaikan”
Yaa, timbullah perkataan “andaikan, andaikan, dan andaikan”, beserta ribuan pengandaian lainnya. Seolah-olah para santri pengandai itu tidak pernah berpikir bahwasanya terdapat ratusan bahkan puluhan ribu orang yang mengandaikan dirinya menjadi seorang santri. Terlalu luas dunia ini bagi persepsi mereka yang sempit akannya. Terlalu sibuk melihat apa yang ada pada diri orang lain sampai lupa pada apa yang ada pada diri mereka sendiri. Amerika sudah mengandaikan bagaimana mendaratkan manusia di planet Mars, sedangkan kita masih mengandaikan bagaimana mendaratkan kepala kita pada bahu si dia. Adaahh…
Padahal, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, seorang da’i generasi millenial, pernah berkata: “Tidak ada identitas yang lebih mulia, lebih agung, dan lebih baik di dunia ini daripada seorang santri”
Mungkin bagi sebagian orang, perkataan beliau terkesan mengada-ngada. Bagaimana mungkin seorang yang sekedar memakan tahu tempe dengan “wadah” plastik tanpa mencuci tangan dapat dikatakan mulia?
Namun, itulah kenyataannya. Para santri diajarkan merendah serendah tanah untuk meroket menembus bintang-bintang. Memberikan jasa yang tak terhingga bagi bangsa, agama, dan negara. Bagaimana tidak?, bangsa ini dapat terbebas dari belenggu penjajahan asing tidak lain dan tidak bukan adalah karena jasa para santri; visi islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamain — bukan hanya rahmatan lilmuslimin apalagi sekedar rahmatan lil’arabiyyin— dapat terwujudkan di negeri yang kaya ini yaa sebab jasa para santri; Gusdur yang disegani dunia sampai-sampai dijuluki sebagai Guru Bangsa, yaa tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari kaum sarungan.
Lalu alasan apalagi bagi para pembaca yang merasa tersindir dengan tulisan 539 kata ini untuk merasa insecure menjadi seorang santri? Sampai-sampai “meng-qodho’ kemaksiatan” yang belum dilakukan di pondok ketika pulang ke rumah?
Pertanyaan besarnya bukanlah “untuk apa menjadi santri?. Melainkan, pertanyaan besarnya adalah: “Mengapa aku harus menjadi santri?, Mengapa santri adalah identitas yang harus melekat pada diriku?, dan bagaimana aku dapat mulia karena menjadi seorang santri?”.
*) Penulis merupakan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan siswa aktif MTs Nurul Jadid
Editor: Ponirin Mika