Etika Pergaulan Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam (Sebuah Ringkasan)

Islam memberikan perhatian yang besar terkait etika (akhlak) pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Berikut saya coba merangkum topik dimaksud dari buku Nilai Wanita karya KH Moenawwar Chalil (1977):

  1. Pandang-Memandang

Firman Allah yang artinya:

“Katakanlah olehmu (Muhammad), kepada orang-orang lelaki yang beriman: hendaklah mereka itu memejamkan setengah daripada pandangan mata mereka…” (QS An-Nur Ayat 30)

“Dan katakanlah olehmu (Muhammad), kepada orang-orang perempuan yang beriman: hendaklah mereka itu memejamkan setengah dari pandangan mata mereka…” (QS An-Nur Ayat 30)

Berhubungan dengan hal ini, dalam banyak hadis disebutkan:

  • Sahabat Jarir RA berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw dari hal melihat wanita yang tidak disengaja. Beliau bersabda, “Palingkan mukamu!”.” [Hadis Riwayat Imam Muslim, Ahmad, dsb]
  • Sahabat Buraidah RA berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Hai Ali, jangan kamu ikutkan satu pandangan dengan satu pandangan yang kedua, karena sesungguhnya bagi kamu pandangan yang pertama dan tidak bagi kamu pandangan yang kedua.” [HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dsb]
  • …Rasulullah Saw bersabda, “…aku melihat seorang pemuda dan pemudi pandang-memandang, maka aku tidak menjamin keamanan kedua-duanya dari godaan setan.” [HR Bukhari, Muslim, dsb]
  • Dalam sebuah hadis Qudsy, Rasulullah Saw bersabda, “Pandangan itu semacam anak panah yang berbisa dari anak-anak panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya lantaran takut kepada-Ku (Allah), maka Aku akan menggantinya dengan manisnya iman di hatinya.” [HR Tabrani]
  • Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang lelaki Muslim yang melihat kepada kecantikan seorang perempuan-sekali pandangan-kemudian ia memejamkan pandangan matanya, melainkan Allah pasti mengganti padanya satu ibadah yang ia akan dapati rasa manisnya di dalam hatinya.” [HR Imam Ahmad dan Tabrani]
  1. Bertatap Muka atau Berjumpa (Ketemuan)

Kalau pandang memandang antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya saja sudah dilarang, apalagi ketemuan. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka janganlah ia bertemu sendirian-di satu tempat-dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan.” [HR Ahmad]

Nabi juga bersabda: “Janganlah seorang wanita pergi melainkan dengan disertai mahram: dan janganlah seorang lelaki masuk ke tempat wanita, melainkan jika dia dengan seorang mahram.” [HR Bukhari, Muslim, Ahmad]

  1. Bercakap-cakap (Berbicara)

Kalau memandang dan bertemu muka antara lelaki dan perempuan saja tidak boleh, demikian juga dengan berbicara atau bercakap-cakap di antara keduanya. Sahabat Amir RA bercerita, “Rasulullah Saw melarang orang-orang perempuan diajak bercakap-cakap, kecuali dengan izin suami-suami mereka.” [HR Tabrani]

Larangan ini bagi wanita yang sudah bersuami, kalau masih belum bersuami harus dengan izin atau di dampingi walinya atau mahramnya. Ajaran Islam ini tentu bukan hendak mempersulit urusan, melainkan dalam angka menjaga peristiwa yang tidak diinginkan bagi kedua belah pihak, terutama bagi wanita agar tidak ada fitnah yang bukan-bukan.

  1. Berjabat Tangan (Salaman)

Tentang berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, di antara hadis yang menjelaskannya sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku tidak pernah bejabatan tangan dengan orang-orang perempuan.” [HR Imam Malik,Tumudzi, dll]

Aisyah RA bercerita, “Rasulullah Saw tidak pernah sekali-kali menyentuh (berjabatan) dengan tangan seorang wanita yang bukan haknya.” [HR Bukhari, Muslim, dst]

Larangan yang demikian tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga kesopanan dan kesucian (kemuliaan) seorang Muslim.

  1. Bersentuh Badan

Kalau bersalaman saja sudah dilarang, apalagi sentuh menyentuh, peluk memeluk, dan seterusnya.

Nabi bersabda:

“Sungguh jika sekiranya kepala seseorang di antara kalian ditikam dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh orang wanita yang tidak halal baginya.” [HR Imam Baihaqi dan Tabrani]

“Sungguh sekiranya seorang lelaki menyentuh dengan seekor babi yang berlumuran darah atau lumpur yang amat busuk baunya, itu lebih baik daripada menyentuhkan bahunya pada bahu seorang perempuan yang tidak halal baginya.” [HR Tabrani]

Dua hadis ini menunjukkan tercelanya orang lelaki yang menyentuh badan atau tubuh perempuan yang tidak halal baginya. Kalau “menyentuh” saja sudah dilarang, apalagi perbuatan yang melampauinya.

Karena itu, Nabi bersabda, “Mata zinanya adalah memandang. Telinga zinanya adalah mendengarkan. Lidah (mulut) zinanya adalah berbicara. Tangan zinanya adalah menyerang atau menyentuh. Kaki zinanya adalah berjalan. Adapun hati (zinanya) adalah berhasrat dan berangan-angan. Dan (zinanya) kemaluan adalah membenarkan atau mendustakan itu semua.” [HR Muslim]

Jadi,  zina kemaluan merupakan puncak atau benteng terakhir  dari “kesucian” seseorang yang akan membenarkan atau menolak perbuatan yang dilarang tersebut.

Seorang penyair kebanggaan Islam, Ahmad Syauqi Bek, merangkum jalan-jalan setan tersebut dalam sebuah syair: Sekali pandang, sekali senyuman, kemudian kirim salam, lalu berbincang-bincang, kemudian janjian, lalu pertemuan.

Selain hal-hal penting di atas, masih banyak etika yang diajarkan Islam terkait hubungan laki-laki dan perempuan, seperti larangan berdesak-desakan atau campur baur (misalnya, ketika berjalan perempuan hendaknya menepi di pinggir jalan alias tidak melewati jalan lelaki, tidak keluar rumah/keluyuran, ada jalan khusus/pintu khusus bagi perempuan, adanya hijab atau satir, dsb), pengaturan dalam shaf shalat (perempuan di berada di shaf paling belakang, laki-laki di depan), dan adanya pemisahan tempat bagi laki-laki dan perempuan yang sedang belajar, larangan bagi perempuan memakai mewangian (farfum) di tempat umum,  dan sebagainya.

Demikianlah, agama kita telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan sangat baik dan aman. Islam masih membolehkan jika interaksi keduanya dilakukan dalam tiga hal, yakni khitbah atau tunangan (hanya melihat wajah dan tangan, tidak lebih), mu’amalah (seperti bisnis jual beli, mengajar, politik), dan berobat. Hal dilakukan semata untuk kebaikan dan masa depan kedua belah pihak mengingat keduanya memiliki tanggungjawab yang besar di Bumi.

Semoga ringkasan ini bermanfaat bagi semuanya dan penulis senantiasa mendapatkan ampunan dan pintu maaf-Nya.

*Mantan Ubudiyah Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Salah satu karyanya yang telah diterbitkan: Jejak Spiritual Nyai Pesantren: Obsesi dan Keteladanan Nyai Mukarromah dari Cangkring (Pustaka Ilmu, 2016).

 

Perempuan Pesantren Mengawal Kemajuan Bangsa

Peranan yang sangat strategis yang diamanatkan kepada perempuan diharapkan menjadi cikal bakal kemajuan suatu bangsa. Peran perempuan sebagai seorang ibu tak terlepas kiprahnya dalam menentukan masa depan dan kualitas anak-anaknya. Perempuan dilahirkan untuk menjadi sosok seorang “ibu” dari anak yang dilahirkan maupun yang tidak langsung dilahirkannya disebabkan anak-anak dibesarkan dan dididik oleh seorang ibu. Oleh sebab itu, Seorang ibu yang pintar, berpengetahuan, berkualitas diharapkan dapat mendidik anak-anaknya dengan cara yang berkualitas pula.

Sebagai seorang ibu, perempuan harus mempersiapkan diri untuk menjadi ibu dan warga masyarakat yang berguna. Seorang ibu seyogyanya adalah figure yang pandai, pintar, dikarenakan sekolah  pertama dan utama bagi anak-anaknya adalah ibu. Oleh sebab itu, menjadi teladan atau model/contoh yang baik merupakan syarat yang mutlak dan harus dipenuhi . Islam Mengajarkan berbagai konsep pembinaan seorang ibu kepada anak-anaknya, diantaranya Pertama, Anak itu  dilahirkan  dalam  keadaan  fitrah  (suci),  ibu  dan bapaknyalah yang akan membawa anak tersebut menjadi Nasrani, Yahudi maupun Majusi. (Hadist Rasulullah), Kedua, Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya, Ketiga,  Perempuan adalah tiang negara, bila perempuan baik maka baik pula negaranya. Tapi bila perempuannya rusak maka rusak pula negaranya.

Berdasarkan pemahaman tersebut, menunjukkan bahwa perempuan meupakan penentu kemajuan bangsa yang diutus sebagai pengarah untuk dalam mendidik serta mengarahkan anak-anak mereka kearah yang lebih baik.             Seorang ibu memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan anaknya sejak dini, sebab ibu adalah sosok yang pertama kali berinteraksi dengan anak, sosok pertama yang memberi rasa aman, dan sosok yang pertama didengar dan dipercaya ucapannya. Karenanya ibu adalah sekolah yang pertama bagi anakanaknya. Peran yang sangat menentukan kualitas generasi mendatang, dan pantas kalau perempuan (ibu) diibaratkan sebagai tiang negara.

Kiprah perempuan dalam masa sekarang ini adalah dengan meningkatkan peran domestik dan peran publik. Mengapa peran perempuan perlu ditingkatkan? Perempuan menghadapi tantangan serius sehubungan dengan meningkatnya aksi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tersebut bisa berupa kekerasan domestik (rumah tangga) dan kekerasan di wilayah publik. Kekerasan dalam rumah tangga dialami oleh perempuan seperti kasus perceraian, penganiayaan, eksploitasi, hingga pada taraf kerja ganda serta pemerkosaan. Sedangkan kekerasan perempuan di publik, diantaranya, terjadinya tenaga kerja illegal, perdagangan anak dan perempuan yang berkedok pencarian tenaga kerja wanita. Kekerasan-kekerasan ini kian hari kian marak dan memprihatinkan seiring kemiskinan dan kebodohan di satu sisi. Akibatnya, banyak korban perempuan miskin mengalami tindak kekerasan.

Strategi Pemberdayaan Perempuan Pesantren

Membangun kesadaran tentang dunia perempuan diharapkan mampu dikembangkan di kalangan pesantren sehingga nantinya kita bersama-sama bisa berperan aktif dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Kenapa pesantren? Karena pesantren adalah institusi yang paling dekat dengan kelompok masyarakat yang selama ini mengalami dampak-dampak negatif kekerasan tersebut. Pesantren diharapkan mampu memberikan perlakuan yang terbaik bagi anak-anak dan perempuan. Dan pesantren diharapkan mampu menggerakkan perempuan merebut peran publik baik di wilayah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga unsur perempuan banyak dilibatkan dalam setiap pergerakan bangsa ini. Dan, perempuan mendapat kesempatan sama memperoleh akses ekonomi, sosial dan politik. Keterlibatan perempuan di ranah publik ini akan mempercepat pendidikan perempuan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang paling tua telah menerapkan proses kadernisasi, khususnya bagi para santriwati yang masih berdomisili di Pesantren. Bentuk pengkaderan tersebut diharapkan menjadi proses pembekalan kepada santri wati untuk belajar berorganisasi, baik berorganisasi pada lingkungan yang local maupun yang lebih luas. Salah satu pondok pesantren yang juga sangat memperhatikan proses kadernisasi sebagai bentuk implementasi dari panca kesadaran ke-5 yaitu Kesadaran berorganisasi adalah Pondok Pesantren Nurul Jadid Wil. Al-Hasyimiyah.

Pondok Pesantren Nurul Jadid Wil. Al-Hasyimiyah adalah salah satu bagian kecil di bawah yayasan pondok pesantren Nurul Jadid. Pondok pesantren Nurul Jadid merupakan salah satu wilayah putri yang diasuh langsung oleh Ibunda. Ny. Hj. Masruroh Hasyim. Wilayah yang terlaetak di bagian timur pondok pesantren Nurul Jadid Ini adalah wilayah yang dihuni oleh kurang lebih 1500 santri baik tigkat siswi maupun mahasiswi. Dengan banyaknya santri yang berdomisi di wilayah tersebut diperlukan management yang tepat dalam rangka mengefektifkan proses pembinaan dan pengawalan dalam melaksanakan kegiatan pesantren. Oleh sebab itu, santri dibagi rata sesaui dengan lembaga formal yang dijalaninya. Serta masing-masing daerah telah dikoornir oleh pengurus daerah yang membantu serta mengawal pelaksanaan kegiatan di daerah tersebut. Tidak hanya itu, dalam rangka mengidentifikasi masing-masing karaktertik anak yang serta mempermudah pengawasan dalam mengikuti kegiatas dibentuklah wali Asuh yang diambil dari pengurus daerah  dan masing-masing wali asuh membina max 15 Orang santri.

Sistem pembinaan dan pengawalan oleh wali asuh yang ikut andil dalam melakukan pembinaan kepada setiap santri merupakan proses pembelajaran bagi segenap pengurus sebagai seorang ibu yang nantinya akan diamanahkan seorang anak yang akan dididik menjadi tunas bangsa. Tidak hanya sekedar menangani proses pengawalan dalam mengikuti kegiatan pesantren, demikian pula hal terkencil juga ditangani oleh wali asuh, semisal pemberian belanja harian dan pencatatan sirkulasi keuangan santri sehingga semua santri dapat mengatur keuangannya sejak dini. Jika pengurus telah mampu menjadi wali asuh yang baik serta mampu melakukan  pembinaan secara maximal kepada anaknya masing-masing. Maka, pengurus tersebut akan berkiprah pada level yang lebih tinggi sebagai pengurus Wilayah, namun tidak mengabaikan tugas kewaliasuhannya. Sebagai seorang pengurus wilayah, pengurus memiliki peran ganda yang harus mereka jalankan dan efektifkan bersama tanpa ada salah satu yang ditiggalkan.

Sistem pola pembinaan dan kadernisasi inilah yang mengajarkan dan memberikan pemahaman kepada pengurus untuk selalu belajar menjadi seorang ibu yang baik dan menemani setiap tahapan perkembangan anak-anaknya sebagai tugas utamanya yang harus diemban di ranah domestik. Dan, apabila dia tidak khawatir terhadap tugas utamanya sebagai seorang ibu, dunia pesantren mengajarkannya untuk terus berkiprah di luar rumah selagi tidak melanggar rambu-rambu yang telah digariskan oleh Syari`at selagi mengandung maslahah.

Berdasarkan hal tersebut, pesantren benar –benar memberikan ruang kepada perempuan untuk meningkatan kapasitas diri baik dirumah sebagai seorang ibu, demikian pula untuk mengawal kemajuan ummat di ranah publik. Hal tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap marginalisasi terhadap perempuan yang banyak beranggapan bahwa perempuan merupakan makhluk nomer dua yang tak berhak menjadi pemenang. Padahal, Laki laki dan perempuan dapat meraih prestasi, berpeluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki laki dan perempuan, hal tersebut di tegaskan secara khusus dalam (QS.an-nahl; 16:97)

“barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami balasan kepada mereka pahala yang labih baik dari apa yang mereka kerjakan”

Ayat ini mengisyaratkan bahwa konsep gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu, baik dalam bidang spiritual, maupun dalam urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. akan tetapi laki laki dan perampuan itu dapat meraih prestasi optimal.

Sungguh Islam merupakan agama yang sangat memudahkan umatnya untuk menjalankan aturannya, sesuai dengan fitrah manusia yang tidak menghendaki kesulitan dalam hidupnya. Selain diperbolehkannya perempuan beraktifitas dalam ruang public. Menjadi seorang perempuan yang sangat peduli dan bertanggung jawab untuk keluarga adalah wanita yang luar biasa. Sedangkan perempuan yang selain bertanggung jawab kepada keluarganya dan memberikan manfaat lebih kepada orang lain adalah perempuan sempurna. Jadilah perempuan yang sempurna yang dapat melahirkan tunas bangsa dari keluarga sendiri dan membangun peradaban bangsa sebagai wujud keinginan selalu mendatangkan maslahat. (Siti Badriyah) 

Nurul Jadid sebagai Agent of Change (Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat)

           Akhir-akhir ini, banyak orang memahami Pesantren adalah wadah yang mengurusi persoalan keagamaan, mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah mereka menilai bahwa pesantren tidak hadir untuk memperjuangkan nasib masyarakat dari ketimpangan ekonomi dan keterpurukan. sehingga Pesantren dipahami sebagai kaum fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang meengabaikan kehidupan dunia. Adalah Kiai Abdul Hamid Wahid, selaku Kepala Pesantren Nurul Jadid, menginginkan agar Pesantren mampu mensejahterakan masyarakat. ia memandang bahwa pesantren tidak hanya institusi yang berkutat pada kegiatan yang berhubungan dengan Allah (vertikal), namun, pesantren harus mampu menjadi jembatan kemakmuran sosial masyarakat (horizontal).

            Pada saat saya mendengarkan keinginan Kepala Pesantren Nurul Jadid, di kediamannya, ia menginginkan bahwa Pesantren harus bergerak ikut memikirkan ekonomi kerakyatan, baik pada masyarakat sekitar pesantren maupun pada Alumni Pesantren Nurul Jadid. Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya, mempersiapkan terhadap kebutuhan-kebutuhan pada zaman ini, menjadi keniscayaan. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya, akibat doktri kemasyarakatan yang menjadi salah satu pembelajaran di Pesantren-Pesantren dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. pesantren mesti membutuhkan masyarakat dan begitu juga masyarakat membutuhkan pesantren. Ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap pesantren tidak bisa di hindarkan, terutama masyarakat sejkitar pesantren.  Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya. Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.

Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah sosial-budaya.

Menciptakan SDM demi meningkatkant Perekonomian Masyarakat

            Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.  SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.  Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).

            Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam Islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.

Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.

Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.

Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.

Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.

Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.

Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.

Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.

Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala permasalahan yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren juga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya..[1]

[1] Memodifikasi dari Makalah dan buku Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat, serta mengambil dari beberapa tulisan artikel dari Media.

– Tulisan ini, menggambarkan bahwa Pesantren dan Masyarakat merupakn simbiosis mutualisme, antara satu sama olain saling membutuhkan.

Oleh : Ponirin Mika

Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Tehnik Melawan “HOAX”

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali beberapa orang mendapatkan informasi palsu berkait segala apapun berkait dirinya, keluarga dan sanak famili. Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, tidak hanya bisa mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,  ternyata di sisi lain menimbulkan tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat. Berita bohong terkadang dilakukan karena iseng, ingin menipu dan bahkan ingin membuat hati orang lain tidak tenang.

Hoax adalah informasi bohong, yang bisa tersebar melalui media apa saja. Hoax tidak hanya berpotensi memberitakan para selebriti, namun, hoax bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapaun. Dalam agama Islam Hoax adalah perilaku yang tidak terpuji dan berhukum haram. Karena, hoax adalah fitnah nyata, sedangkan fitnah adalah lebih kejam dari pembunuhan. Dengan maraknya media dan semakin canggihnya teknologi, maka hoax bukan mustahil tidak terjadi. Untuk itu,  ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk melawan hoax

  1. Periksa judul berita/informasi yang provokatif

Judul berita yang menarik dan menghebohkan adalah berita kontroversial itu sangat memancing untuk di share. Apalagi, berkait dengan hal yang berkaitan dengan keluarga dan lainnya.

  1. Telilti sumbernya dan cek situs media yang menginformasikan

Salah satu cara yang paling mudah untuk menelusuri apakah berita tersebut fakta atau palsu. Dengan mengecek situs web, no telpon dan alat informasi lainnya yang menjadi sumber berita, ini dapat mengidentifikasi mana yang fakta dan mana yang hoax.

  1. Berita ‘HOAX’ tidak mengutip opini dari Ahli

Biasanya, narasumber yang dikutip oleh sebuah media akan terlihat jelas dan disebutkan asal-usulnya. Jika menemukan artikel atau informasi yang kontroversial, cek terlebih dahulu apakah artikel/informasi tersebut sekedar memuat sebuah opini dari seseorang/kalangan atau merupakan sebuah laporan berita yang faktual dengan pendapat ahli. Sebisa mungkin jangan sampai langsung ditelan mentah.

  1. Tanyakan langsung kepada yang berwenang

Andai kata, informasi itu mengatasnamakan institusi, maka seharusnya berkoordinasi dan berkomonikasi kepada pihak yang berwenang, klarifikasi penting ditingkatkan. Agar hoax bisa dilawan.

Oleh : Ponirin Mika

Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Begal dan Kekeringan Spritualitas

Dalam realitas kehidupan sehari-hari kita sering kali diperhadapkan pada situasi-situasi dimana persoalan baik dan buruk menjadi demikian pelik. Realitas hidup yang tak selalu mudah memaksa kita untuk bergulat dengan pilihan-pilihan moral yang tidak dengan serta merta semudah memilah antara hitam dan putih.

Kehidupan sekarang semakin kompleks, perubahan yang sangat cepat, persaingan tidak bisa dihindari  pertukaran nilai yang tak bisa dibendung. Kemajuan filsafat, sains, teknologi, telah menghasilkan kebudayan yang semakin maju, proses itu disebut globalisasi kebudayaan. Namun kebudayaan yang semakin maju mengglobal ternyata sangat berdampak terhadap aspek moral.

Manusia saat ini kebanyakan menjadikan kehidupan dunia adalah kehidupan yang abadi, sehingga melakukan apa saja seakan tanpa terikat dengan aturan agama. Untuk itu , Otak kita hanya diisikan oleh realita, bahkan untuk sekedar berharap saja rupanya membutuhkan sebuah keberanian daqn taat akan aturan-atauran ilahi, yang memang dibuat untuk menjaga kemaslahatan hmba.

Salah satu perbuatan yang sangat mengerikan saat ini adalah begal. Begal adalah suatu perbuatan jahat berupa perampasan barang atau harta yang dipakai atau dikenakannya, ini seperti kasus kejahatan berupa penjambretan, penjarahan, serta perampasan. Bahkan, begal itu adalah sebuah segerombolan atau biasanya terdiri dari beberapa orang (lebih dari satu) yang melakukan tindak kejahatan berupa perampasan harta benda serta penjarahan perhiasan yang dikenakan oleh korban.

Dalam setiap agama apapun tindakan kejahatan suatu perbuatan tercela. Perbuatan ini adalah prilaku dimana tuhan tidak akan membiarkan tindakan semacam ini dan pasti ada tindakan tegas berupa siksa.

 

Akal tak Lagi Berfungsi

Ada kerusakan akal pada pelaku begal ini, nilai logik berkaitan dengan berpikir, memahami, dan mengingat akan tindakan yang dilakukannya tidak lagi berfungsi. Seharusnya akal mampu menjadi sopir aktifitas kesehariannya. Agar mampu menghasilkan pikiran, pemahaman, pengertian, peringatan (ingat)  adalah menjadi buahnya. Nilai ini menjadi dasar untuk berbuat, bertindak. Allah dalam alquran banyak berfirman agar kita berfikir dengan sebutan lubb atau aqal dalam memahami alam ini diantaranya.

 “dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran : 7).

Dalam ajaran islam akal memiliki kedudukan yang tinggi dan sering dimanfaatkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perkembangan ajaran-ajaran islam. Sebab kita meyakini juga bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.

Pelaku kejahatan tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik, hal ini bisa jadi karena lemahnya pendidikan. Pendidikan merupakan proses untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan. Jika transpormasi pengetahuan menjadi ilmu dalam dirinya, maka akan sulit untuk melakukan tindakan tidakan yang salah.

Kejahatan dan Kekeringan Spritualitas

Baik dan buruk adalah sebuah pilihan dalam hidup, tuhan memberikan dua bentuk (jahat dan baik) sebagai ujian bagi hambanya untuk mengetahui kualitas keimanannya. Bagi hamba yang tergerak untuk selalu menjadi yang terbaik dalam kesehariannya (sabiqun bil khoirot) adalah mereka yang sangat beruntung karena hati dan pikirannya mendapatkan cahaya ilahi. Begitu juga sebaliknya, bagi hamba tuhan yang melakukan kejahatan, ia kurang berupaya menggunakan potensi akalnya, sehingga ia kalah dengan ajakan-ajakan nafsu. Kekeringan spritualitas merupakan problem utama dalam diri seseorang yang selalu melakukan tindakan tindakan yang kurang baik.

Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi. Bagaimana hal itu bisa dicegah dan diatasi? Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri kita sudah tertanam nilai-nilai keilahian dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan dan saling menghargai. Itulah nilai-nilai ilahi yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan beraklak moral tinggi.

Agama-agama yang dianut masyarakat kita juga telah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut. Persoalannya, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar sudah tertanam dan mewujud dalam cara hidup (pikiran, perasaan dan tindakan) kita? Pertanyaan lebih lanjut, apakah cara beragama kita sungguh sudah otentik, atau hanya sekedar formalitas? Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar “spirit”: ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Roh (Yang Ilahi) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita.

Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan kepedulian dalam seluruh hidupnya. Kedalaman spiritualitas seseorang akan dapat dilihat bukan sekedar dalam ritual, simbol-simbol dan praktek formal keagamaan yang dilakukan, namun sungguh nyata dalam seluruh kehidupan sehari-hari.

Wallahu’alam

 

Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid dan Anggota Comics (Community of Critical Social Research) Probolinggo)

Kiai Zaini dan Kemakmuran Petani Tembakau

Tepat pada tanggal 23 April 2017 ini, Pondok Pesantren Nurul Jadid akan melaksanakan Haul Pendiri dan Harlah untuk mengingat perjalanan perjuangan para pendahulunya (manakib). Para masyakhih yang telah mendahului menghadap ke hadirat Allah. Telah banyak meninggalkan jasa dalam mewarniai dinamika keummatan dan kebangsaan. Di dalam tradisi pesantren, memperingati sejarah perjuangan para pendahulu terutama pendiri pesantren sebuah keniscayaan. Hal ini diharapkan mampu menghadirkan pengetahuan terhadap sepak terjangnya supaya bisa menjadi ibrah bagi masyarakat pesantren dalam menjalani hdup daam sehari-hari.

Para pendiri pesantren dengan kealiman dan keistikamaannya dalam menjalankan agama mampu menjadi pioner dalam menjaga tradisi salafus sholih. Tradisi yang berlandaskan alqur’an dan hadits, tidak terkecuali Kiai Zaini Mun’im.  Dia adalah seorang ulama yang berasal dari pulau garam madura, keturunan dari orang yang mempunyai kharisma di daerahnya. Dalam sejarahnya ia tidak ingin mendirinkan pesantren, datang ke bumi jawa menghindari keberingasan belanda. Karena belanda, menganggap kiai zaini adalah salah satu bantu sandungan untuk memuluskan keinginannya dalam merebut bumi pertiwi. Intimidasi para penjajah terhadapnya tidak menyurutkan semangat juang dalam menjaga harkat dan martabat bangsa. Meski ia menyadari bahwa ancaman-ancaman demi ancaman itu, akan membahayakan terhadap keselamatan diri dan keluarganya. Namun, totalitas perjuangannya mampu melenyapkan ketakutan-ketakutan.

DesaTanjung, Pilihan Dakwahnya

Setelah mendapatkan restu dari KH. Syamsul Arifin ayahanda KH. As’ad Syamsu Arifin Sokorejo Situbondo agar desa tanjung menjadi tempat pilihan dakwahnya. Maka, KH. Zaini Mun’im memutuskan untuk menetap di desa ini bersama keluarganya. Namun sebelumnya KH. Zaini mengajukan beberapa tempat ke KH. Syamsul Arifin dengan membawa contoh masing-masing tanah. Selain tanah karanganyar, adalah tanah GenggongTimur, dusun kramat, Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo, dan dusun Sumber Kerang. Namun, tanah yang di pilih adalah tanah desa tanjung, akhirnya KH. Syamsul Arifin memerintahkan agar Kiai Zaini menetap di desa itu.

Ini sesuai dengan isyarat yang di alami oleh Kiai Zaini pada saat ia mengambil tanah di desa tanjung, tiba-tiba menemukan sarang lebah dan dipahami jika mendirikan pesantren di tempat ini akan banyak santrinya. Sedangkan isyarat yang lain datang dari KH. Hasan Sepuh Genggong, saat Kiai Hasan sepuh mendatang sebuah pengajian dan melewati desa ini (tanjung) ia berkata pada kusir dokarnya “ di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di desa ini, kelak pondo tersebut akan menjadi pondok besar, dan santrinya akan melebihi santri saya.”

Pada mulanya di desa sangat memprihatinkan, banyaknya binatang buas, sepinya masyarakat yang bercocok tanam, dangkalnya masyarakat memahami agama, untuk yang terakhir ini terlihat jelas dengan praktik keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, misanya, dengan keberadaan pohon besar yang tidak boleh di tebang dan di yakini sebagai pembawa berkah keselamatan. Ritual-ritual keagamaan masyarakat di desa ini sangat menyimpang dari ajaran agama islam yang sebenarnya.  Ditandai dengan pemberian sesajen, utamanya keika melaksanakan hajatan dipersembahkan kepada roh kudus yang di tengarahi olehnya berada di pohon tersebut. Begitu pula, dalam kehidupan sosial ekonominya di desa ini sangat terbelakang. Pada saat kiai zaini berada di dusun tanjung (karanganyar) lambat laun, desa ini mulai tertata mulai dari aspek agama, sosial, budaya dan pendidikannya. Kedatangan Kiai Zaini, cukup menyinari gelap gembita pengetahuan masyarakat tanjung. Dari itu, banyak orang yang menyambut dengan rasa suka dan senang, ini tidak lepas dari sikap dan sifatnya Kiai Zaini yang sangat toleran, tasamuh, taadul dan tawazun terhadap orang lain. Dan, rasa empati dalam memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga kehidupan sehari-harinya selalu berkait dengan kemaslahatan ammah.

Dinamisasi Kehidupan Masyarakat

Lambat laun, masyarakat di desa ini menjadi masyarakat tamaddun. Masyarakat yang mampu mempraktikkan ajaran agama dengan baik dan benar, menciptakan tatanan sosial yang tinggi serta menghasilkan ekonomi yang mapan. Perjuangan demi perjuangan menjadi nafas Kiai Zaini, sesuia dengan kalimat yang pernah di ungkapkannya.” Orang yang hidup di Indonesia ini, jika tidak berjuang (perjuangan yang baik) maka ia telah berbuat maksiat”.

Maka tidak terlalu berlebihan jika kita mengatakan bahwa Kiai Zaini adalah salah satu kiai yang berhasil dalam menciptakan generasi muslim yang memahami islam secara komprehensif kepada masyarakat. Dan ini juga menjadi pendorong ia untuk mendirikan pesantren yang akan meahirkan para pejuang agama di mana saja berada. Sesuai dengan ungkapan yang pernah disampaikannya “saya mendirikan pesantren ini tidak hanya ingin mencetak kiai, melainkan juga ingin mencetak generasi muslim yang memahami agama secara kaffah dan siap mengisi ruang-ruang perjuangan.

Trilogi dan panca kesadaran santri sebagai modal dasar dalam mencetak santrinya. Trilogi yang dimaksud adalah 1. Memperhatikan furudhul ainiyah 2. Mawas diri terhadap dosa besar 3. Berbudi luhur terhadap Allah dan mahluknya. Tiga hal ini ebagi upaya kiai zaini untuk memberikan emahan islam secara utuh dan sempurna. Karena, di dalam trilogi tersebut ajaran-ajaran islam menyelinap. Lain dari itu, panca kesadaran santri di maksudkan agar santri tidak hanya mampu mengetahui pengetahui ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, namun harapannya santri mampu menerapkan ajaran islam universal disetiap ruang kehidupan yang ada.

Kebangkitan Ekonomi Masyarakat

Ia tidak hanya trampil dalam meaksanakan dakwah ajaran agama yang bersifat normatif, tapi,  juga mampu melaksanakan dakwah non normatif. Karena ia sadar bahwa tidak cukup hanya mengajarkan ajaran ritual keagamaan saja, namun lebih menekankan juga terhada dakwah ekonomi masyarakat. Kemskinan akan menyebabkan kekafiran, bukan hanya semboyan yang tertulis rapi dalam hadits, justru ini merupakan persoalan yang mendasar dalam kehidupan.

Dengan kelihaiannya, ekonomi masyarakat menjadi baik, dengan upaya-upaya yang dilakukannya. Maklum juga, lincahnya Kiai Zaini dalam meningkatkan ekonomi masyarakat tidak lepas dari bimbingan ayahandanya baik secara langsung maupun tidak langsung. KH. Abdul Mu’im ayanda Kiai Zaini adalah pebisnis handal.  Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Kiai Zaini memperkenalkan tanaman baru, yakni tembakau yang bibitnya di bawa dari madura, seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini cocok dengan keadaan tanah di desa ini, akhirnya tanaman tembakau menjadi penghasilan pokok masyarakat tanjung bahkan penikmat tembakau di rasakan oleh masyarakat seantero indonesia. Kemamuran masyarakat tanjung tidak lepas dari salah satu usahanya, dalam membangkitkan ekonomi. Sehingga, pada akhirnya desa tanjung menjadi desa berkembang,  baik berkait persoalan agama, pendikan, sosiak dan ekonominya.

Jazakullah Khairon Katsira

*) Refleksi Haul dan Harlah PPNJ ke 68

 

Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid dan Anggota Comics (Community of Critical Social Research) Probolinggo)

renungan

Renungan

Membaca bukan hanya suatu kebutuhan bagi setiap orang. Melainkan, membaca adalah suatu kewajiban bagi setiap orang terutama di kalangan santri. Kegiatan membaca ini tidak hanya di anjurkan dikalangan santri saja, akan tetapi kewajiban untuk membaca ini dianjurkan bagi seluruh umat islam sebagaimana ayat yang pertama kali diturunkan dalam kitab suci al-Qur’an yang berbunyi IQRO’ yang berarti “bacalah”.  Allah SWT memerintahkan kepada seluruh makhluknya untuk membaca, yang mana “membaca” ini memiliki artian luas dalam kehidupan kita. Kata membaca ini tidak hanya diartikan sebagai membaca kitab atau buku bacaan saja, akan tetapi dalam kata IQRO’ kita di perintahkan untuk membaca segala bentuk macam tulisan yang ada di muka bumi ini dengan menyebut nama tuhan-Mu. Dan kegiatan membaca ini diperbolehkan bagi kita semua selama kita semua tahu batasan yang kita baca. Dengan cara kita mengetahui buku bacaan yang kita baca selama buku bacaan itu sesuai dengan ajaran agama.

Buku bacaan yang dapat kita baca dapat berupa buku-buku islami seperti buku sejarah islam, buku fiqih. Buku bacaan yang di baca santri pun berbeda-beda karena perbedaan tingkat usia mereka, seperti buku yang di baca oleh anak SD berbeda dengan buku bacaan yang di baca oleh anak SMP dan begitu pula buku bacaan yang di baca oleh anak SMA berbeda dengan buku bacaan yang di baca oleh seorang Mahasiswa. Namun, dari adanya semua perbedaan itu, yang paling penting adalah kita semua tahu batasan buku yang kita baca. Secara khusus pada tahap pra kuliah (tahap belajar) di dalam masa tersebut janganlah kita menyibukkan diri dengan hal yang tak berguna seperti melakukan pemikiran-pemikiran dalam berfilsafat, masalah yang berat, dan juga masalah politik yang berada di sekitar kita, karena untuk memikirkan semua itu ada waktunya tersendiri bagi kita. Maka dari itu, untuk saat ini apa yang sedang kita pelajari di sekolah itulah yang perlu kita tekuni mulai saat ini. Tidak perlu kita mempelajari dan membaca buku-buku tambahan yang lain, yang belum saatnya kita baca. Jika pelajaran yang kita pelajari saat ini kita dalami, maka hasilnya pun akan memuaskan. Dan lagi jika kita bandingkan dengan orang-orang dahulu, mereka tetap dapat meraih impian yang mereka inginkan dengan semangat belajar yang mereka miliki meskipun fasilitas pada saat itu kurang mendukung, berbeda halnya dengan saat ini yang kita rasakan. Maka dari itu, kita semua wajib mencontoh akan semangat yang dimiliki oleh santri-santri yang telah lama mendahului kita. Dan lagi fasilitas yang kita milki saat ini harus bisa menjadi penunjang kesuksesan kita dalam belajar.

Melihat dari fenomena kurangnya minat baca santri saat ini, semua itu berawal dari kesadaran diri kita masing-masing. Coba kita perhatikan yang di maksud dengan santri itu adalah  apa dan bagaimana? santri itu adalah seorang pencari ilmu dan dalam mencari ilmu setiap santri membutuhkan yang namanya membaca. Dan lagi kegiatan membaca di kalangan santri ini seharusnya bisa dijadikan hobi. Karena membaca itu juga termasuk dalam kriteria pembuktian identitas santri, apabila ada seorang santri yang enggan membaca berarti bisa dikatakan dia itu bukanlah seorang santri. Apalagi bagi seorang guru, kegiatan membaca haruslah menjadi salah satu dari aktivitas rutin dalam kegiatan sehari-hari, karena guru inilah yang menjadi pedoman bagi santri-santrinya.

Sedangkan di era globalisasi yang sedang carut marut ini, banyak santri yang lebih memilih membeli komik, majalah dewasa dan lain sebagainya. Padahal buku bacaan seperti komik, majalah dewasa, dan lain sebagainya itu sangatlah tidak cocok di kalangan santri. Karena semua itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagi kita semua. Jika kita mengaca pada diri kita saat ini sangatlah pantas bagi kita untuk menyayangi diri kita sendiri, karena pada usia remaja saat ini sangatlah kritis, yang di maksud dengan kritis ini adalah jika seorang remaja seperti kita ini sudah terjerumus kepada hal negatif maka cara untuk memperbaikinya luar biasa sulit. Karena butuh perjuangan mati-matian bagi kita untuk dapat membuatnya kembali pulih seperti sedia kala, maka dari itu, bagi remaja yang belum terjerumus ke dalam hal negatif tersebut sebaiknya berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhinya.

Cara untuk mengatasi hal tersebut ialah dengan cara sering-seringlah kita mengunjungi perpustakaan, mengikuti kegiatan pengajian, dan memperbanyak kelompok untuk  diskusi bersama teman-teman yang lainnya. Kegiatan diskusi ini dapat berupa kumpul mandiri mendiskusikan mengenai pelajaran yang dapat membuat ketertarikan teman-teman kalian untuk ikut serta dalam membahas masalah tersebut. Hal yang di diskusikan dapat berupa pelajaran yang kita pelajari di sekolah tidak harus berupa masalah-masalah politik dan lain sebagainya. Karena dengan begitu otak kita tidak terpacu untuk memikirkan hal-hal berat seperti masalah politik dan lain sebagianya.

Mengutamakan kegiatan membaca sejak dini dapat menjadi salah satu dari banyak cara untuk menghindarkan kita dari terjerumusnya pada hal negatif. Kita sebagai seorang santri haruslah memaksimalkan kegiatan membaca, entah itu membaca kitab kuning ataupun buku, tentunya dari salah satu media tersebut haruslah menjadi kebutuhan pokok santri. Dan tidak hanya salah satu dari dua media tersebut (kitab kuning dan buku) yang dapat kita pilih, keduanya pun juga dapat kita jadikan kebutuhan, itu semua tergantung dari apa yang lebih kita butuhkan. Dalam hal memprioritaskan antara kitab kuning dan buku itu semua tergantung dari banyaknya hal contohnya seperti, jika sejak awal kita telah mendalami kitab kuning, maka tidak ada salahnya jika kita juga ikut turut belajar akan pelajaran umum seperti halnya pelajaran fisika, begitu pula sebaliknya. Karena saat ini semua pelajaran wajib untuk kita ketahui walupun hanya sebagian kecil saja seperti halnya saat ini kita tengah belajar bahasa arab maka tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan pelajaran bahasa inggris karena sekarang semuanya bersifat Opsional yang mana  semua itu bukanlah lagi suatu pilihan bagi kita semua, antara  memperdalam pelajaran bahasa arab ataupun pelajaran bahasa inggris. Karena kedua mata pelajaran tersebut sangatlah penting di kehidupan kita saat ini. Karena itulah patutlah bagi kita sebagai remaja penerus bangsa untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang tersedia bagi kita untuk bermain-main melainkan, kita semua harus dapat menggunakan waktu tersebut dengan semaksimal mungkin untuk belajar dengan tekun.

Santri itu adalah seorang pencari ilmu dan dalam mencari ilmu setiap santri membutuhkan yang namanya membaca.

Penulis : K. Imdad Robbani (Wakil Kepala Biro Kepesantrenan, Wakil Direktur LPBA dan Wakil Kepala Madrasah Diniyah Nurul Jadid)

Sumber : Majalah Iqro’ Edisi April 2017arti

Politik

Agama Dan Hegemoni Politik Kebenaran

Manusia sebagai mahluk Allah  yang mempunyai keistimewaan berupa akal, selalu mengalami perkembangan dalam menghadapi dinamika kehidupan. Keistimawan itu adalah dimana manusia diciptakan oleh Allah sebagai hamba yang harus taat dan patuh terhadap takdir dan ketentuntuanNya. Untuk itu, menuju hamba yang bijaksana, seyogyanya harus terdorong dari sikap keagamaannya. prilaku keagamaan yang baik akan menciptakan sikap yang bernilai. Disamping itu pula, manusia diberi beban tanggung jawab untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dimana, manusia harus bertanggung jawab terhadap kenyamanan, ketentraman dan keselamatan ciptaan Allah di muka bumi. Keyakinan terhadap status manusia  ini yang akan diterpancarkan bagi manusia yang beragama. Tanpa keyakinan terhadap agama, tidak akan termanifestasikan keyakinan dalam prilaku kesehariannya. Karena, kepercayaan terhadap agama akan melahirkan prilaku penghambaan. Dengan bergama pula, seseorang akan melakukan dinamisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang terarah.

Seringkali orang mengartikan bahwa agama itu semata-mata hanyalah satu sistem peribadatan antara mahluk dan Tuhan Yang Maha Esa saja. Defenisi ini sangatlah sempit dan memberi batas bagi keberadaan agama untuk ikut andil dalam menganalisis terhadap persoalan sosial, ekonomi dan politik. Dalam sejarahya, agama hadir berperan sebagai alat dalam mengoreksi politik yang menyimpang dari tujuan mulianya, mensejahterakan rakyat dan politik membangkitkan kesadaran manusia beragama agar tidak terbuai dalam otokritik menggunakan ajaran agama dengan membabi buta.

Meski agama sangat dibutuhkan dalam kancah perpolitikan bangsa, dengan harapan agar tidak menciderai demokrasi, juga perlu menjaga agar agama tidak terkooptasi dan disubordinasi. Karena jika agama terkooptasi oleh politik negara, maka agama akan menjadi alat kekuasaan penguasa akhirnya agama menjadi candu. Nilai kritis agama menjadi sirna ditengah kondisi perpolitikan bangsa yang semakin liar. Keserakahan tokoh agama juga para pemeluk agama dalam mengartikuasikan agama, sehingga agama kehingan identitas sebagai institusi mengawal kebearan dan keadilan. Agamapun akan menjadi bisu disaat ketimpangan sosial, ketidak adilan manusia di depan hukum meraja rela.

Agama sebagai institusi dalam masyarakat harus lantang menyuarakan segala ketimpangan-ketimpangan, agar hakikat sejati perpolitikan dalam politik tetap terjaga. Hubungan agama dan politik bagai sisi mata uang yang tak terpisahkan. Politik tanpa agama akan melakukan penyimpangan-penyimpangan, sebaliknya agama tanpa politik akan berjalan ditempat dan akan lambat dalam menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Ditengah negara demokrasi saat ini, seyogyanya agama., politi dan demokrasi harus berjalan beriringan agar tercipta neara yang damai dan berkeadilan.

Agama dan Politik Kebenaran

Kebenaran dalam koneks politik sesuatu yang absurd. Artinya kebenaran dalam politik itu sangat musykil untuk di ukur objektifitasnya. Hal ini terjadi karena nalar politik yang memproduksi cenderung bersifat relativistik. Dalam politik mencari kebenaran bukanlah yang penting dan sama sekali bukan tujuan. Yang perlu dalam politik adalah bagaimana menguasai kebenaran, tentu akan mempermudah para politisi memenangkan kepentingan politiknya.

Agama sebagai suatu nilai kebenaran dan kemanusiaan, harus ditempatkan dalam sistem negara yang mengutamakan harmoni. Tanpa adanya ruang agama dalam sistem negara maka akan menghasilkan negara sekuler dan tercipta kesenjangan antara sesama. Proses dalam berdemokrasi, bukanlah kebebasan tanpa nilai, Bagaimanapun agama harus dijadikan panutan tertinggi dalam berpolitik dan berdemokrasi. Meski, tanpa menghalangi kebebesan bereksperesi, yang sesuai dengan norma agama yang menjadi ideologi bangsa.

Dalam sebagian sejarah, bahwa politik terlahir dari pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang harmoni dan tentram dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini harus tercipta bahwa segala aktifitas manusia dalam kehidupannya tidak terkecuali politik hatus terdorong dari ajaran agama agar terwujud keadilan, keharmonisan dan kesejahteraan menyeluruh. Jika politik terutus dari agama, akan menghasilkan keserakahan dan ketidak adilan dalam menciptakan masyarakat.

Agama Sebagai Ayam Potong

Istilah agama sebagai “ayam potong” tepat segali digunakan untuk membaca fenomena agama saat ini. Agama dipotong-potong sebagai hidangan bagi pemangku kepentingan, tak ayal sebagian pesantren seringkali menjadi objek wisata bagi politisi pada saat menjelang pemilu.

Disamping itu juga, prilaku keagamaan saat ini sulit sekali untuk di pisahkan dengan kepentingan politik, menjadi kurang elok jika gerakan keagamaan tertunggangi oleh politisi demi mensukseskan kepentingan poitiknya.

Fatwa yang bernuansa agama sangatlah gampang dijadikan sebagai penguat kekuasaannya. Dulu, pada era Presiden Gusdur, istilah bughat pernah dikeluarkan untuk melawan para musuh politiknya. MUI pernah mengeluarkan fatwa haram bagi para golput dalam pemilu, dan akhir-akhirnya gerakan-gerakan bela agama, bela islam bahkan bela politik tertentu, seringkali memasukkan dalih agama.

Terkadang agama menjadi alat komoditi dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan. Demokrasi yang disalah artikan akan melahirkan permusuhan dan ketidak stabilan dalam berbangsa dan benegara. Bisa dilihat di negara kita akhir-akhir ini, menjadi tidak karuan pada saat agama dipisahkan dari negara juga agama tidak menjadi ukuran dalam berdemokrasi. Kebebasan terkadang menjadi defenisi tunggal kata demokrasi, sehingga banyak orang melakukan prilaku yang jauh dari nilai pancasila seringkali dilakukan.

Ditengah keberagamaan masyarakat arab yang tak terarah, rasulullah berhasil membuat umat tidak terpecah belah, dengan sikap dan gagasan keummatannya Rasulullah mampu menghadirkan suasana sejuk damai di tengah perbedaan. Menghadapi kaum jahiliyah yang buta pengetahuan agama, rasulullah tidak menjadikan dirinya seagai tokoh antagonis yang bertindak tanpa memperhatikan kondisi sosial kemasyarakatan. Justru dengan gerakan rasulullah ini, Islam mampu menjadi agama penyejuk, pembeda menuju kesejahteran bagi alam semesta. Sprit rasulullah dalam melaksanakan politiknya tidak keluar dari nilai-nilai agama yang menjadi ajarannya. Wallahu’alam

Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid dan Anggota Comics (Community of Critical Social Research) Probolinggo)

Banjir, Keangkuhan dan Keserakahan

Fenomena banjir bukanlah takdir yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Banjir merupakan sebuah kejadian akibat dari keserakahan dan keangkuhan manusia. Manusia yang berprilaku tidak terdidik dan memelihara kesombongan, melahirkan arogansi dan ketamakan. Dengan sikap seperti itu, akan menimbulkan kemurkaan kemurkaan alam. dalam sejarah, peristiwa banjir Nabi Nuh memang sangat fenomenal dan masih tetap menjadi perbincangan umat beragama sampai sekarang. Alquran dan Injil memang menceritakan banjir zaman Nabi Nuh ini. Alquran juga menceriterakan tentang umat Nabi Luth yang gemar melakukan homoseks dan akhirnya ditimpa gempa dahsyat yang diikuti dengan hujan batu. Namun, apakah banjir zaman Nabi Nuh terjadi semata-mata karena kutukan Tuhan?  mungkin saat ini, perilaku biadab manusia berbeda dengan zaman Nabi Nuh dan Nabi Luth, akan tetapi nilai kedurhakaannya bisa saja melebihi. prilaku manusia modern, terkadang bisa jauh lebih jahat dari pada perilaku manusia terdahulu. untuk itu, fenomena kemurkaan alam tidak bisa di pahami sebagi takdir, lebih dekat akiba kepada kebiadaban manusia atas prilaku tidak terpujinya.

Kesombongan membuat lupa diri, lupa akan statusnya sebagai hamba Tuhan, padahal tak seorangpun mempunyai kuasa selain atas pertolonganNya. Sikap seperti inilah yang merusak pangkat manusia dihadapan Tuhan sebagai mahluk paripurna. Keistimewaan akal yang diberikan Tuhan, di harapkan mampu mengarahkannya menjadi mahluk yang bisa menjadi wakil Tuhan di muka bumi.

Keserakahan atau ketamakan salah satu sifat “binatang” karena dengan sikap ini tidak akan mengenal arti kebersamaan, kesetaraan dan empati. Justru akan menuntun untuk membangkitkan rasa ego pada akhirnya akan menghilangkan sifat kemanusiaan.

Banjir dalam agama tidak hanya bisa di maknai adalah ujian Tuhan, namun bisa mempunyai arti sebagai balasan (azab) Tuhan bagi manusia yang sudah melupakan kewajibannya. Kewajiban kepada tugasnya untuk menjaga kelestarian lingkungan, lebih-lebih melupakan tugasnya sebagai hamba Tuhan sebagi mahluk beribadah.

Dalam alqur’an Allah berfirman yang artinya “ janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” . Imam Abu Bakar Ibnu Ayyassy Al-Kuufi, ketika ditanya tentang firman ini beliau berkata “sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada umat manusia sewaktu mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki mereka dengan petunjuk yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Kerusakan sebab keserakahan

Karena sebab utama dari kerusakan adalah ulah perbuatan manusia dengan segala bentuknya, mereka tidak mampu mengoptimalkan juga memaksimalkan potensi akal dengan baik. Segala tindak tanduk perbuatannya tak beroreintasi kepada kemaslahatan ammah, justru prilakunya mengundang kemarahan Allah.

larangan atas perbuatan ini sangat tegas, berarti ada konsekwensi logis yang akan terjadi apabila manusia tidak melaksanakan perintah ini dengan baik. Terbentuknya manusia menjadi khalifah karena manusia adalah mahluk paripurna dengan kesempurnaan potensi yang diberikan Allah. Tugas untuk memakmurkan alam bukan tanpa alasan, karena dengan cara memakmurkan ini segala mahluk bisa menikmati suguhan-suguhan Allah di muka bumi. Namun jika segala ciptakan Allah di muka bumi rusak akan mengakibatkan seluruh elemen akan kebingungan. Kebingungan tersebut karena mencari tanaman-tanaman dan tetumbuhan yang layak akan mengalami kesulitan. Inilah subtansi dari perintah Allah terhadap manusia untuk menjaga dan memilihara lingkungan dengan baik.

Prilaku yang menyebabkan kerusakan dan keserakahan merupakan prilaku orang munafik, orang yang mempunyai nilai keimanan yang sangat rendah. Kemunafikan membawa keserakahan dan keserakan membawa kebiadaban, semua ini membuat mahluk akan menjauhi Tuhan Yang Maha indah. Orang munafik tidak akan membuat kedamaian dan ketentraman, karena antara hati dan ucapannya akan mencelakai lingkungan sekitar. Begitu juga fenomena banjir, ia tidak mungkin akan terjadi apabila seseorang menjunjung tinggi sikap terpuji. Ahlak terpuji bukan hanya di praktikkan kepada Allah semata, melainkan kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar. Tidak salah jika ada seseorang yang berpendapat bahwa “ tidak sempurna keimanan seseorang, jika ia tidak menjaga lestarinya lingkungan” .

Banjir dan keangkuhan 

Ketiga hal ini, tidak bisa di pisahkan sehingga gejala alam akan membawa kepada kemudaratan. Bisa saja, segala upaya untuk meminimalisir banjir sudah dilakukannya, dengan dinamisasi sungai dan membuat alat-alat modern agar banjir tak lagi terjadi. Namun karena keangkuhan sikap dan hatinya, ia seakan mampu melakukan semuanya tanpa pertolongan Allah, maka karena sikap ini membuat murka Allah terjadi sehingga Allah memperingati dengan cara mendatangkan banjir agar ia kembali sadar bahwa kekuasaan Allah di atas segalanya.

Negeri yang damai dan terpelihara dari musibah, apabila orang-orangnya menyadari bahwa segala upaya dan kemapuan intelektualitasnya hanya sebagai sarana doa kepada Allah. Bukan di yakini sebagi tuhan, sehingga akal menjadi di pertuhankan. Allah berjanji akan menyelamatkan suatu negeri jika di negeri itu banyak orang yang beriman. Ciri-ciri orang yang beriman tidak hanya mereka yang berdikir di masjid-masjid juga bukan orang memakai gamis dan berkalung tasbih. Tapi mereka yang mampu melakukan interaksi vertikal dan horisontal. Interaksi kepada Allah dengan wujud ibadah mahdhahnya dan interaksi horisontal mampu melakukan hubungan baik kepada sesama manusia dan lingkungannya. Iman yang baik berimplikasi kepada prilaku baik, seperti ini wujud mahluk paripurna.

Mari kita kembali merenungkan, terhadap sikap kita, pengusaha  dan para pemimpin bangsa ini. Bangsa yang selalu gaduh dalam persoalan politik, keyakinan dan mencari jawara. Perbedaan sebuah keniscayaan, jika cara menyikapi dengan perilaku tak terpuji maka bisa menodai terhadap kebenaran. Akhirnya jika sebuah kebenaran tidak lagi menjadi kiblat dari segala pergerakan dan perjuangan, maka akan lahir kebiadaban-kebiadaban. Tanpa di sadari bahwa ada takdir Allah yang kita lawan, akhirnya segala hukuman Allah harus diterima dengan lapang dada, sebagai bentuk hamba yang beriman. Akhirnya semua adalah akibat ulah kebiadaban manusia, dengan pola pikir, prilaku dan keyakinannya yang jauh menyimpang dari kebenaran. Wallahu’alam

Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid, dan Anggota Komunitas Critical Social Research, Paiton, Probolinggo)

Kekeringan Spiritual, Derita Manusia Modern

Semua manusia siapapun orangnya pasti mencita-citakan dan mendambakan kebahagiaan. Namun tidak semua manusia tahu dan mau serta mampu menempuh jalan menuju cita-cita tersebut. Mungkin karena tidak tahu. Mungkin tahu tapi tidak mau. Atau tahu dan mau tapi tidak mampu. Banyak orang mengira bahwa kebahagiaan dapat di raih dengan harta yang melimpah, jabatan yang tinggi atau popularitas yang luas. Namun setelah semua itu di raih, ternyata kebahagiaan tidak juga datang.

Banyak orang kaya tapi selalu di hantui ketakutan-ketakutan. Misalnya takut bangkrut. Bahkan tidak sedikit orang kaya tidak dapat menikmati kekayaannya karena ia terkena penyakit kikir. Ia hanya menumpuk-numpuk kekayaan dan sangat berat untuk membelanjakannya untuk amal-amal sosial dan bahkan untuk kepentingan dirinya sekalipun. Ada juga orang kaya yang bermewah-mewah dengan kekayaannya; namun ia tidak pernah puas ia mengidap penyakit tamak yang selalu merasa kurang dan kurang. Tidak pernah mensyukuri nikmat yang dia dapat.

Begitu pula dengan jabatan dan kekuasaan. Tidak semua orang yang mendapatkannya menjadi tenang dan bahagia. Semua itu terjadi karenan mereka telah mengalami kekeringan spiritual. Antara lain ditandai dengan kegelisahan batin, selalu tidak puas, merasa diri terasing, ketidak berartian hidup dan bahkan keputus asaan.

Kekeringan spiritual di sebabkan karena lemahnya atau bahkan hilangnya hubungan baik antara diri seseorang dengan Tuhan, penciptanya, pemberi nikmat berupa fasilitas hidup baginya. Dan lemah atau hilangnya hubungan baik dengan Tuhan itu akan berdampak negatif terhadap hubungan baik dengan sesama manusia bahkan dengan dirinya sendiri dan juga makhluk-makhluk yang lain termasuk lingkungan hidupnya. Keadaan seperti ini banyak terjadi pada manusia modern.

Memang modernitas ibarat mata uang yang mempunyai dua sisi. Disatu sisi ia (modernitas) membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Namun disisi lain ia menimbulkan dampak samping yang negatif. Sisi positif dan negatif tersebut disebabkan sifat yang melekat pada diri manusia modern dan modernitas itu sendiri.

Manusia modern dengan modernitasnya ditandai antara lain dengan; selalu berfikir logis dan rasional (pertimbangan untung rugi terutama terkait dengan materi dan uang), bersikap dan bertindak serta bekerja secara profesional, dan mempunyai kemandirian dan kepercayaan diri yang tinggi serta cenderung individualistik.

Sikap rasional, profesional dan mandiri adalah sikap-sikap yang baik yang bisa mendorong kemajuaan dan kesuksesan terutama secara pribadi (perorangan). Namun kepercayaan diri yang berlebihan serta kecenderungan sikap individualitik dapat menyebabkan kerengggangan hubungan atau hubungan tidak baik antara diri seseorang dengan lingkungannya baik dengan sesama manusia dan makhluk yang lain bahkan dengan tuhan. Aplagi sikap individualistik dan egois (mementingkan diri sendiri) adalah merupakan sifat dasar yang tak dapat dipisahkan dari diri manusia. Maka modernitas yang tidak diimbangi dengan spiritualitas yang tinggi akan lebih memperkuat sifat egoisme dan individualisme manusia.

Memang sifat egoisme dan individualisme tidak bisa dilepaskan dari diri manusia, karena ia memang merupakan watak dasar manusia sebagai makhluk individual. Bahkan dalam urusan ibadah dan pengabdian dan urusan akhirat yang lain, kita harus mendahulukan dan mementingkan diri sendiri. Artinya sebelum kita menyuruh orang lain melakukan ibadah atau pengabdian, hendaklah kita yang melakukannya lebih dulu sebelum mengajak orang lain melakukannya.

Sebaliknya dalam urusan dunia, (harta, kedudukan dan lain-lain) sebaiknya kita mengalah, mendahulukan orang lain bahkan mengorbankan hak diri kita untuk kepentingan orang lain. Sikap ini dalam bahasa Agama disebut dengan istilah ‘Itsar (mengalah). Sikap ‘itsar ini memang sangat dianjurkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia (harta dan lain-lain). Sedangkan dalam urusan akhirat seperti ibadah dan pengabdian misalnya bersedekah, maka sikap ‘itsar menjadi tidak baik.

Namun yang terjadi dalam masyarakat justru sebaliknya. Dalam urusan dunia kebanyakan kita berebutan, tidak bersikat ‘itsar. Sementara dalam urusan akhirat, misalnya dalam shalat jama’ah dan sedekah, justru saling “mengalah”. Bukannya berebut melakukannya sendiri, tetapi justru mempersilahkan orang lain melakukannya. Sementara dirinya melakukannya belakangan atau bahkan tdak melakukanya sama sekali.

Hal ini disebabkan karna mereka terbujuk oleh godaan nafsu dan keindahan dunia sehinga menjadikan kesenangan dunia sebagai tujuan hidup dan target setiap usahanya. Godaan dunia itu telah menyebabkan mereka rebutan harta, jabatan dan pengaruh yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat, konflik dan ketegangan. Dan godaan dunia itu pula telah menjerumuskan banyak orang kepada korupsi, penipuan, pelacuran dan pelanggaran hukum dan etika yang lain.

Sering pula ketamakan akan kekayaan dan kemewahan telah menyebabkan mereka terbujuk oleh rayuan gombal dan janji-janji kekayaan sekalipun janji-janji itu tidak masuk akal. Misalnya janji-janji yang diberikan Dimas Kanjeng kepada para pengikutnya yang kemudian terbukti bohong dan palsu. Banyak orang yang mengorbankan kehormatan dirinya dan mengkhianati kebenaran yang diyakininya demi uang, kedudukan dan kesenangan sesaat.

Memang dampak modernitas tidak selamanya negatif. Berkat modernitas manusia di era modern ini telah mengalami kemajuan yang luar biasa baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) maupun budaya. Dan berkat kemajuan IPTEK khususnya teknologi komunikasi dan informasi (ICT) semuanya berjalan dengan mudah, murah dan cepat. Mulai dari kegiatan berkomunikasi, mencari maupun menyampaikan informasi, usaha-usaha bisnis (ekonomi), pendidikan dan dakwah bahka politik, misalnya kampanye pemilu dan lain-lain.

Namun IPTEK dengan segala perangkatnya hanyalah alat (instrument). Nilainya tergantung kepada tujuan penggunaannya dan dampaknya. Dan pengguna teknologi itu adalah manusia yang selain mempunyai potensi kearah kebaikan juga mempunyai potensi kearah keburukan/kejahatan. Karena itu peerlu penguatan potensi baik pada diri manusia itu serta menekan dan meminimalisir-walaupun tidak dapat menghilangkan-potensi jeleknya.

Penguatan potensi baik adalah dengan peningkatan aspek spiritualitas dan pengendalian sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri manusia dengan cara menekan keinginan-keinginan nafsu melalui riyadoh dan mujahadah. Karena itu, kita yang hidup di era modern ini hendaknya meningkatkan aspek spiritualitas kita dengan memperkuat sambunga vertikal kita kepada Tuhan melalui pemahaman (makrifat) kita tentang Tuhan disertai perbaikan akhlak dan adab kita terutama kepada Tuhan dan kepada sesama manusia bahkan dengan makhluk yang lain.

Tentu untuk memperoleh pemahaman yang benar (makrifat) tentang Tuhan perlu sumber informasi yang akurat dan dapat dipercaya yakni informasi dari Tuhan itu sendiri melalui orang yang juga dapat dipercaya yakni RasulNya dengan bukti-bukti yang meyakinkan yakni mu’jizat yang diberikan Allah kepada RasulNya. Karena itu hendaknya kita jangan mudah percaya kepada pengakuan (klaim) kebenaran tanpa dasar yang kuat dan bukti yang meyakinkan seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Maka pemahaman ilmu wahyu (syariat) adalah suatu keniscayaan dan keharusan agar kita terhindar dari pemikiran-pemikiran yang menyesatkan dan informasi-informasi yang salah dan penipuan. Dan banyak-banyak lah melakukan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah sambil memohon bimbingan dan petunjukNya.

“SEMUA MANUSIA SIAPAPUN ORANGNYA PASTI MENCITA-CITAKAN DAN MENDAMBAKAN KEBAHAGIAAN. NAMUN TIDAK SEMUA MANUSIA TAHU DAN MAU SERTA MAMPU MENEMPUH JALAN MENUJU CITA-CITA TERSEBUT. MUNGKIN KARENA TIDAK TAHU. MUNGKIN TAHU TAPI TIDAK MAU. ATAU TAHU DAN MAU TAPI TIDAK MAMPU.”

Penulis : KH. Moh. Zuhri Zaini (Pengasuh PP. Nurul Jadid)

Sumber : Majalah Al Fikr no 29 November 2016 – April 2017

PARTAI POLITIK, Antara Harapan dan Kenyataan

Sebagai salah satu tonggak demokrasi, partai politik mempunyai kedudukan dan peran yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak berfungsi atau lemahnya partai politik akan berakibat matinya kehidupan demokrasi yang ditandai dengan kesewenang-wenangan penguasa; tertindasnya rakyat atau terjadinya anarki, dimana terjadi kekacauan dan ke-sewenang-wenangan dan yang kuat menindas yang lemah. Karenanya  agar kehidupan demokrasi tetap tegak, maka partai politik harus eksis dan melakukan fungsi dan peran-perannya dengan baik sebagai representasi kepentingan rakyat demi terciptanya masyarakat madani, dimana setiap warga masyarakat  menyadari dan melaksanakan hak serta kewajibannya  menuju masyarakat adil dan makmur, sejahtera lahir batin, fisik-material maupun mental spritual didalam naungan rahmat dan ridla Allah SWT.

Diantara fungsi dan peran partai politik adalah menampung dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Dalam menjalankan peran ini, partai politik harus secara proaktif berupaya untuk mengetahui kemauan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Para fungsionaris partai harus  membuka mata dan telinga lebar-lebar  serta mengasah kepekaan hati agar dapat menangkap aspirasi dan kepentingan rakyat. Mereka tidak seharusnya bersikap elitis, hidup dalam menara gading. Sebaliknya mereka harus dekat dengan rakyat baik secara fisik, terutama secara mental. Bahkan seharusnya merasa diri mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari rakyat, merasakan suka duka rakyat sebagai suka duka mereka sendiri. Kemudian  apa yang mereka tangkap dari rakyat, mereka perjuangkan dengan penuh amanah dan keikhlasan dengan tidak mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan orang banyak.

Selanjutnya agar kepentingan rakyat betul-betul terjaga, maka partai politik harus selalu melakukan kontrol terhadap pemegang kekuasaan (otoritas, resources dan power) dalam segala lini, mulai lembaga negara (legeslatif, eksekutif dan yudikatif) maupun lembaga non negara/pemerintah (Swasta, atau LSM dll), sehingga mereka (para pemegang kekuasaan) tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan kepentingan rakyat banyak (korupsi) baik yang mereka lakukan secara sendiri-sendiri  maupun bersama-sama (kolusi).

Disamping itu, demi tercapainya masyarakat madani, partai politik harus melakukan pemberdayaan masyarakat (rakyat), baik melalui pendidikan politik, bantuan hukum maupun pemberdayaan ekonomi. Pendidikan politik bertujuan untuk menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya, sehingga tidak terjadi penindasan,  kesewenang-wenangan dan anarki dimana setiap orang tidak hanya pandai menuntut hak tetapi juga harus mau memenuhi kewajibannya. Juga partai politik harus melakukan pembelaan bagi warga masyarakat yang lemah dengan memberikan  bantuan hukum kepada mereka dll.

Dalam bidang ekonomi, partai politik harus memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan akses dan kesempatan usaha (produksi maupun pemasaran) dengan memberantas praktik monopoli serta akses untuk mendapatkan modal  dan pembinaan teknis, khususnya bagi pengusaha kecil. Demikian pula dalam bidang-bidang yang lain seperti kesehatan, jaminan sosial bagi anak terlantar, pengangguran dll.

Selain itu, partai politik harus berperan sebagai lembaga pemersatu dengan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya kebersamaan dalam mencapai cita-cita dan tujuan bersama serta menciptakan budaya saling menghargai dan menerima perbedaan dan keragaman sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari. Juga harus  mengupayakan terciptnya simpul-simpul kebersamaan melalui kegiatan dan aksi bersama antar kelompok serta berusaha meredam konflik-konflik melalui mediasi, negosiasi dan lobi-lobi. Diantara aksi bersama  tersebut adalah pembentukan kelompok usaha, seperti koperasi, kelompok tani, nelayan, pengrajin dll.

 Ini adalah beberapa peran yang diharapkan dapat dilakukan oleh partai politik demi tercapainya cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Namun tidak semua yang kita harapkan menjadi kenyataan. Banyak partai politik yang semestinya menjadi ‘representasi’ kepentingan rakyat, berbalik menjadi alat kepentingan penguasa atau para elit partai untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Rakyat hanya dijadikan kedok. Pemilu hanya dijadikan alat legitimasi bagi partai dalam melakukan peran-peran, dan tindakan korupnya dengan menggunakan otoritas dan kewenangannya untuk kepentingan diri atau kelompoknya dan bukan untuk kepentingan  rakyat yang. diwakilinya. Rakyat diiming-imingi, janji-jani yang muluk-muluk; bahkan kalau perlu disertai rayuan dengan menabur uang atau bentuk bantuan yang lain demi mendapat dukungan mereka.

Padahal disisi lain, banyak hak-hak rakyat yang tidak dipenuhi yang nilainya jauh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dalam menjaring dukungan. Disamping itu, dalam perekrutan pengurus atau calon legeslatif (caleg) sering tidak didasarkan kemampuan dan kelayakan, tetapi didasarkan atas kedekatan hubungan (nepotisme) atau sekedar popularitas sebagai vote getter sehingga ketika telah menjadi pejabat mereka tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat dan bahkan tidak sedikit yang menggunakan fasilitas umum (negara) hanya untuk kepentingan diri dan keluarganya.

Agar partai politik berperan sesuai dengan fungsi yang seharusnya yakni sebagai representasi dan alat perjuangan rakyat, maka perlu upaya-upaya pembenahan baik internal mau di eksternal partai. Di internal partai penegasan visi dan misi partai yang berpihak kepada rakyat. Disamping itu perlu penciptaan budaya demokratis dan kerja professional. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah rekrutmen kader (pengurus partai atau calon pejabat legeslatif, eksekutif dll.) yang betul-betul selektif (baik dan layak). Untuk itu perlu pengkaderan secara berencana dan berjenjang dari bawah.

Di eksternal partai, perlu adanya peratuan perundang-undangan yang mengarah pada pemberdayaan partai, mencegah perilaku partai yang menyimpang, seperti money politik, KKN dll. Disamping itu harus dilakukan pendidikan politik bagi masyarakat (rakyat), sehingga mereka mengetahui hak-hak mereka agar mereka tidak menuntut lebih dan juga mengetahui kewajibannya sehingga tidak melalaikannya atau melanggar hak orang lain.

Namun dari itu semua yang paling menentukan adalan faktor sumber daya manusia (SDM)-nya. Maka penyiapan SDM yang berkualitas  melalui pendidikan  baik formal, non formal maupun informal adalah suatu keniscayaan. Untuk itu perlu perencanaan pendidikan manusia seutuhnya secara komprehensip dengan melibatkan semua komponen bangsa dan negara dalam semua sektor kehidupan mereka. Sebab jika kita ingin membenahi kehidupan bangsa, baik dalam bidang politik, ekonomi dll., maka semua komponen bangsa ini hendaknya menjadikan pendidikan sebagai program dan agenda prioritasnya. Jangan sampai sektor pendidikan dikorbankan untuk sektor yang lain. Kembalilah kepada kepentingan rakyat. Wa Allahu a’lam.

“Partai politik harus eksis dan melakukan fungsi dan peran-perannya dengan baik sebagai representasi kepentingan rakyat demi terciptanya masyarakat madani”

 

Penulis : KH. Moh. Zuhri Zaini (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Hari Velentine

Lembaga Bahstul Masail (LBM) PP. Nurul Jadid : Hukum Merayakan Hari Valentine

Tanggal 14 Februari merupakan hari dimana Valentine Day dirayakan, menurut satu versi sejarah terjadinya valentine Day adalah berawal pada dihukum matinya seorang martir Kristen yaitu St. Valentine pada tanggal 14 Februari 270 M pada masa pemerintahan Kaisar Constantin Agung (280 – 337 M) karena ia menolak kebijakan sang kaisar yang melarang terjadinya pertunangan dan pernikahan.

Semua iu terjadi ketika bangsa Romawi terlibat dalam banyak peperangan dimana Kaisar merasa kesulitan merekrut para pemuda untuk memperkuat Armada perangnya, hal itu disinyalir karena banyak pria enggan meninggalkan keluarganya atau kekasihnya. Dalam The Encylopedia Britania vol. 12 sub. Judul Christiany menjelaskan “Agar lebih dapat mendekatkan lagi terhadap ajaran Kristen pada tahun 495 M. Paus Gelasius I merubah upacara Romawi Kuno, menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine Day, untuk menghormati Saint Valentine yang mati”. Di Indonesia perayaan Valentine banyak dilakukan oleh kalangan muslim, mereka menganggap hari itu merupakan saat tepat untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.

PERTANYAAN :

  1. Bagaimana hukum merayakan Valentine Day ?
  2. Bolehkah menjual pernak-pernik (souvenir) Valentine Day ?

JAWABAN :

  1. Dalam hal ini terdapat pemilahan hukum sebagai berikut :
  • Kufur, bila ada tujuan menyerupai non muslim dan sampai kagum pada agama mereka.
  • Haram apabila hanya bertujuan menyerupai non muslim tanpa disertai kecondongan pada agama mereka.
  1. Haram karena termasuk ikut serta terjadinya kemaksiatan

REFERENSI  :

  1. Fataawa Ibn Hajar al-Haytamy IV/238
  2. Bughyah al-Mustarsyidiin I/528
  3. Is’aad ar-Rafiiq II/128

 

باب الردة

وسئل رحمه الله تعالى ورضي عنه هل يحل اللعب بالقسي الصغار التي لا تنفع ولا تقتل صيد إبل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر وإلباس الصبيان الثياب الملونة بالصفرة تبعاً لاعتناء الكفرة بهذه في بعض أعيادهم وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحدهما أجيراً للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه، فإن الكفرة صغيرهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذه القسي الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر اعتناء كثيراً وكذا بإلباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر في سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر أو يأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أو لا؟. فأجاب نفع الله تبارك وتعالى بعلومه المسلمين بقوله: لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأنه لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه قلنسوة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ، فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به التشبه بالكفار لا من حيث الكفر وإلا كان كفراً قطعاً، فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعاً أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلاً ورأساً فلا شيء عليه، ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال: ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون، وقد قال : «من تشبه بقوم فهو منهم» ، بل قال ابن الحاج : لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانياً شيئاً من مصلحة عيده لا لحماً ولا أدماً ولا ثوباً ولا يعارون شيئاً ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك. ومنها اهتمامهم في النيروز بأكل الهريسة واستعمال البخور في خميس العيدين سبع مرات زاعمين أنه يدفع الكسل والمرض وصبغ البيض أصفر وأحمر وبيعه والأدوية في السبت الذي يسمونه سبت النور وهو في الحقيقة سبت الظلام ويشترون فيه الشبث ويقولون أنه للبركة ويجمعون ورق الشجر ويلقونها ليلة السبت بماء يغتسلون به فيه لزوال السحر ويكتحلون فيه لزيادة نور أعينهم ويدهنون فيه بالكبريت والزيت ويجلسون عرايا في الشمس لدفع الجرب والحكة ويطبخون طعام اللبن ويأكلونه في الحمام إلى غير ذلك من البدع التي اخترعوها ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم اهـ.

فتاوى ابن حجر الهيثمي رقم الجزء: 4 رقم الصفحة: 238

*********************************

ي) : حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه: مسألة

بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الرداء في الصلاة.

**************************

(فصل ومن معاصي )كل (البدن) ألى أن قال ومنها (الإعانة على المعاصي)اي على معصية من معلصي الله بقول اوفعل او غيره ثم ان كان المعصية كبيرة كانت الإعانة عليها كذلك كما فى الزواجر

إسعاد الرفيق الجزء الثاني ص 128

Hari Velentine

Valentine Day Dalam Perspektif Pesantren

PADA setiap tanggal 14 Februari disebut “Valentine Day”, hari yang dimaknai spesial bagi para valentinestis di kalangan remaja, baik muda maupun mudi. Akan terjadi beberapa ungkapan melalui ucapan maupun perbuatan-perbuatan. Perbuatan yang seringkali melampaui batas kewajaran membuat perayaan valentine day’s bak pesta kemaksiatan.

Valentine day’s lahir diluar Islam, sebagai salah satu peringatan kepada seorang st. valentine yang meninggal akibat hukuman yang menimpanya. Keteguhan keyakinan dengan kesungguhan iman membuat ia berseberangan dengan pihak gereja, akibatnya terjadi penghukuman padanya. Sebenarnya kurang tepat apabila valentine day’s di jadikan sebagai hari pembuktin kasih sayang terlebih ungkapan asmara. Karena, tidak ada kejadiaan percintaan dua sejoli, dengan mempertahankan asmara antara keduanya. Berbeda dengan qais dan laila majnun.

Para pemuda-pemudi sudah terperprovokasi budaya ini, banyak diantara mereka yang menjadikan perayaan valentine sebagai pengejawantahan asmara yang membelitnya. Cium-ciuman, peluk-pelukan bahkan sampai rela berhubungan layaknya suami istri terjadi diluar pernikahan. Na’udzubillah!

Pada tahun silam, 14 Februari 2015, di Makassar, dalam razia wisma di hari Valentine atau hari kasih sayang, empat pasangan muda mudi yang bukan suami istri diamankan oleh polisi karena terdapat berduaan di kamar wisma.

Jika pada saat itu tidak diamankan oleh polisi bisa terjerumus perzinahan. Atau terjadi perbuatan haram tersebut sebelum polisi menggerebeknya. Beberapa lembaga pendidikan baik sekolah maupun madrasah seringkali lalai mengawasi anak didiknya agar tidak merayakan valentine. Kelalaian akan membuat pembentukan karakter sesuai dengan budaya agama tidak akan terealisasi.

Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas sebagai transfer pengetahuan, namun yang lebih penting mencetak manusia yang mempunyai kepribadian yang utuh sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Guru harus mengantisipasi berkait persoalan ini, upayakan pengawasan dan pengawalan jauh sebelum hari perayaan valentine segera dipersiapkan.

Seharusnya Diknas dan depag mengeluarkan surat edaran terhadap sekolah/madrasah yang menjadi tanggung jawabnya. Dan memberi sanksi bagi sekolah/madrasah yang melanggar. Ini, dimaksudkan agar membuat para pelajar tidak berani merayakan valentine, terlebih merayakan dengan cara berbau kemasiatan.

Saat inipun, sebagian santri yang menjadi masyarakat pesantren harus lebih diberi perhatian khusus, agar budaya valentinan tidan sampai menyisir pesantren. Pesantren sebagai institusi yang mampu mencetak masyarakatnya menjadi masyarakat yang berahlak, bertatakrama, diharapkan terus mengawal budaya yang menjadi karakteristik pesantren, agar tidak raib ditunggangi budaya kebarat-baratan yang merusak budaya pesantren dan kesantrian.

Mereka harus dibekali pengetahuan agama sebai-baiknya, tidak hanya melalui ceramah-ceramah melainkan melarang kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya. Peran kiai sebagai pengendali tempat harus mampu mempertahankan identitas pesantren, meski perubahan zaman dan arus globalisasi semakin hari semakin menantang.

Tantangan zaman semakin besar, pesantren sebagai salah satu institusi yang paling diharapkan dalam menjaga karakter bangsa. Di tengah dekadensi moral anak bangsa, pesantren harus mampu melahirkan output sebagai kontribusi bagi bangsa yang telah mengalami kemorosotan-kemerosotan dalam segala dimensi. Mulailah dari hal yang paling mendasar, pengawasan kiai terhadap santri yang akan menghilangkan citra pesantren, moralitas, etika dengan upaya memberi pembekalan-pembekalan yang mengarah kepada kemaslahatan. Jangan biarkan santri hidup sesuai dengan polanya, agar budaya imitasi tidak meracuni pemikirannya. Jikalau ini terjadi pesantren (kiai) lalai memberi pengawasan, pesantren tak ubahnya seperti kos-kosan.

Pesantren yang terkenal sebagai religious power merupakan bagian penting dalam menjaga karakter dan keutuhan bangsa.

Oleh: Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid)

KH Moh Zuhri Zaini BA

KH. Moh. Zuhri Zaini; NU dan Politik

Oleh: KH. Moh Zuhri Zaini

( Penulis Adalah Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Jika berpolitik dimaknai keterlibatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ia (berpolitik) adalah suatu keniscayaan yang tak terhindarkan dari peran dan khidmah NU (Nahdhatul Ulama). Ini sesuai dengan pernyataan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar NU yang berbunyi: “Menyadari bahwa cita-cita bangsa Indonesia hanya bisa diwujudkan secara utuh apabila potensi nasional dimamfaatkan secara baik, maka NU berkeyakinan bahwa keterlibatannya (NU) secara penuh dalam proses perjuangan dan pembangunan nasional merupakan keharusan yang mesti dilakukan’.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Peran politik apakah yang harus dilakukan NU dan bagaiman NU harus melakukan peran politik itu? Karena dalam realitas dan prakteknya, kegiatan politik dapat dibedakan berdasarkan tujuan, target, dan cara (proses) nya, sehingga timbul istilah politik kebangsaan, politik golongan, politik kekuasaan, politik kotor dan lain-lain. Dan masing-masing jenis politik tersebut mempunyai dampak yang berbeda, baik positif maupun negatif, bagi masyarakat atau bangsa.

Memang kegiatan politik seyogyanya ditujukan untuk memberikan sebesar-besar mamfaat dan menghindarkan se-kecil-kecil madlarat (bahaya) terhadap masyarakat atau rakyat atau bangsa. Namun realitasnya tidak selalu sesuai dengan yang di idealkan (seharusnya). Banyak faktor yang dapat mendistorsi atau bahkan membelokkan tindakan politik dari tujuan idealnya. Misalnya, kepentingan pribadi atau kelompok yang—baik disadari atau tidak—sering ikut menentukan target dan cara (proses) kegiatan politik tersebut. Dan kemudian dikemas dengan kemasan “kepentingan umum”. Adanya kepentingan-kepentingan, baik pribadi maupun kelompok, sering menjadi pemicu terjadinya konflik antara pelaku politik, baik secara internal (dalam satu partai) maupun dengan pelaku politik dari kelompok atau partai yang lain. Dan yang tak kalah besar perannya, sebagai pemicu konflik adalah cara atau proses melakukan tindakan politik tersebut. Tak jarang karena didorong oleh ambisi dan emosi, sering tindakan politik dilakukan secara tidak terkontrol, sehingga melanggar rambu-rambu baik etik maupun hukum. Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik yang semestinya bermamfaat untuk masyarakat atau rakyat, justru berbalik merugikan dan—bahkan—menghancurkan mereka. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, bukan hanya dalam kubu-kubu atau golongan politik, tetapi juga akan terjadi kerenggangan dan ketegangan dalam kehidupan keseharian. Silaturrahmi menjadi tersendat bahkan bisa terputus. Terjadi hilangnya rasa hormat dan kepercayaan kepada tokoh dan pemimpin masyarakat, baik individual maupun kolektif atau institusional (termasuk terhadap NU dan pemimpinnya). Dan kalau ini terus terjadi, pada gilirannya akan membikin umat atau masyarakat akan kehilangan pegangan, orientasi dan tauladan.

Dengan adanya beberapa kenyataan tersebut, sudah seharusnya bila NU kembali atau setidak-tidaknya lebih menekankan dan menseriusi pokok inti perjuangannya seperti telah digariskan para muassis (founding father) nya. Yaitu mengembangkan nilai Islam Ahl assunnah Wa aljama’ah dan melakukan upaya-upaya kemaslahatan umat dan bangsa termasuk didalamnya gerakan bela negara, memperkokoh persatuan bangsa dan bersama komponen bangsa yang lain, ikut melakukan pembangunan bangsa disegala bidang, baik agama (ahlaq dan moral bangsa) ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Terutama usaha-usaha yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat atau umat, misalnya pemberdayaan ekonomi umat, penanggulangan bencana dan kegiatan sosial lainnya.

Dalam ranah politik praktis, seyogyanya NU cukup melakukan gerakan moral dengan melakukan taushiyah dan contoh-contoh keteladanan yang baik bagi semua pihak terutama bagi kalangan warga NU sendiri. Menghindari kegiatan politik praktis yang secara langsung berorientasi kepada kekuasaan adalah agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan dengan warga NU yang berbeda aspirasi politiknya yang mestinya, mereka harus diayomi oleh NU. Sehingga NU menjadi pengayom dan sekaligus wasit atau penengah bila terjadi konflik politik antar warga NU. Dalam hubungan dengan kekuatan politik yang ada, seyogyanya NU menjaga jarak yang sama dengan mereka serta menghindari keterlibatan pengurus (khususnya pengurus inti) dalam politik kekuasan, misalnya dengan melakukan aksi dukung mendukung terhadap orang atau kelompok tertentu. Sebagai gantinya, NU hendaknya melakukan pengayoman terhadap semua kelompok dan golongan, khususnya kader-kader NU yang ada diberbagai kekuatan politik, terutama terhadap orang-orang yang selama ini merasa dipinggirkan oleh elit NU. Sehingga mereka akan tetap merasa bagian dari NU dan memberikan kontribusi pada perjuangan NU untuk umat dan bangsa.

Tugas NU yang terpenting saat ini adalah mempersiapkan kader-kader umat atau bangsa dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang politik, NU mempersiapkan kader-kader politisi dan calon-calon pemimpin bangsa yang handal, bermoral dan mempunyai integritas serta mempunyai komitmen keumatan dan kebangsaan yang kuat. Dalam bidang keilmuan dengan menyiapkan ilmuwan dan teknolog maupun teknokrat yang kompeten dan bermoral. Dalam bidang ekonomi, dengan menyiapkan ekonom, baik praktisi maupun teoritisi, yang bermoral dan mempunya komitmen kerakyatan dan kepedulian sosial yang tinggi. Dalam bidang da’wah dan pendidikan dengan menyiapkan da’i-da’i dan pendidik yang mempunyai integritas dan kemampuan teknis dan sosial yang tinggi serta memahami kondisi riil umat atau masyarakat. Demikian pula di bidang-bidan lain seperti seni budaya, kesehatan, hankam (pertahanan dan keamanan) dan lain-lain, NU hendaknya juga melakukan pengkaderan sehingga misi NU sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul menjadi kenyataan. Semoga. Amin