Mengenang Kembali Jasa Pahlawan

Malam itu saya berada di warung kopi yang biasa saya kunjungi. Dengan segala harap ingin menikmati kopi yang menggugah, saya pun berangkat ngopi. Tidak lama berselang, saya pun memesan kopi favorit saya. “kok ya dingin sekarang ya mas? Ah pas sekali saya ke sini” ujar saya sengaja membuka percakapan dengan pelayan warung itu. “Iya mas, seperti biasa pasti sepi jam-jam segini”. Seperti biasa pada jam 10 malam ke atas warung itu sepi pembeli. “ah ngopinya damai ya, apa lagi tugas-tugas kuliah pada rampung hehehe” saya mencoba menghiburnya yang tampak kelelahan. “Wah, bakalan damai nih mala mini. Untungnya kita bisa menikmati kopi dengan suasana damai mas”, “kenapa emang mas? Kan emang damai di sini”, “Aku sempet mikir mas, gimana orang jaman dulu waktu perang, kan gak sempet ngopi. Untunglah sekarang gak ada perang mas” ujarnya ke padaku. Percakapannya sedikit menggelitik pikiranku, seandainya kita hidup di zaman perjuangan para pendahulu, maka sulitlah kita untuk menikmati kopi hangat. Jangankan menikmati, menikmati aroma kopi yang baru diseduh pun sepertinya jarang, kalaupun bisa mungkin curi-curi di sela pengintaian para penjajah. Kurang lebih begitulah suasana yang tidak jauh berbeda jika kita gambarkan. Pertanyaannya ialah bisakah kita mempertahankan perjuangan pendahulu kita? Apa yang patut dilanjutkan perjuangan pendahulu? Saya yakin kita pasti paham apa yang harus dilakukan untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Di sini, di tempat kita masing-masing, mari seduh kopi atau pun sejenisnya, mari mengenang kembali jasa-jasa para pahlawan pendahulu dan sekarang agar terpupuk kembali semangat juang yang mungkin sempat kendor.

Kembali pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya, Sutomo, lebih dikenal dengan Bung Tomo, membangkitkan semangat para penduduk Surabaya untuk melawan tentara inggris dan NICA-Belanda. Bisa kita dibayangkan bagaimana suasana kota pahlawan pada saat itu, terlebih lagi dengan tewasnya Bigadir Jendar Mallaby sebagi pemimpin pasukan inggris tewas ditangan salah satu pemuda Surabaya. Singkat cerita, dengan semangat yang berapi-api kota Surabaya pun dapat diambil alih kembali. Pahlawan memiliki perannya masing-masing sesuai dengan tuntutan zaman. Sama halnya dengan para guru kita terdahulu dan sekarang yang tak jemu-jemu untuk mengarahkan, mendidik serta mengingatkan kita untuk salalu berada di jalan yang benar. Mendidik dan membimbing bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dilakukan. Mengurus ribuan santri dengan watak yang berbeda, mengurus keluarga dan beliau sendiri merupakan hal yang sangat sulit dilakukan tanpa kesabaran yang amat tinggi. Bagaimana tidak, mengisi pengajian setiap harinya, menghadiri undangan lalu masih dengan urusan-urusan kompleks lain yang harus diselesaikan sudah menjadi tanggung jawab yang besar. Dengan ilmu yang telah diberikan, kita terbebas dari kebodohan dan terbekali nilai-nilai keislaman yang telah diajarkan. Profil orang-orang besar alumni PP. Nurul Jadid adalah salah satu keberhasilan beliau dalam mendidik kita sebagi santrinya. Kontribusinya tidak sebatas hanya di kalangan santri, tetapi juga terhadap masyarakat luas. Semenjak kedatangan Kh. Zaini Mun’im, peradaban masyarakat tanjung dan sekitarnya membuahkan hasil yang signifikan. Begitu banyak jasa para guru kita yang patut diapresiasi, diingat dan yang terpenting ialah dilanjutkan. Tongkat estafet haruslah berlanjut dan tidak semenah-menah terputus. Sebagai santri beliau, semangat juang yang telah dicontohkan haruslah dilestarikan. Mari merenungkan kembali apa yang telah beliau beian terhadap kita dan hal yang terpenting ialah bermanfaat ditengah masyarakat.

 

Oleh : Iqbal Al – fardi (Alumni LPBA PP. Nurul Jadid)

Cerpen : 我和英雄

“对于你这个为了一个充满意义”自由“的尖叫而牺牲了身体灵魂的国家战斗机。我们感谢你,因为你的汗水,因为你的血滴,为你所有的无私的牺牲,我们可以呼吸新鲜空气的自由。现在,我们的肩膀,国家的接班人肩上沉重的负担。我们能承受吗?我不知道

有一天,大都会中学的学生在学校跟着每周的仪式。

阿布拉:早上好,现在是典礼吧?

巴斯蒂安:呃,好像是这样,但是,如果埃芒是这个仪式,纪念巴东?

阿布拉:嗯,我们如果我们对教师阿贾克泰米尔语? 带着极大的好奇和表情,阿布拉的精神立刻传到了他的校园里的一位老师身上。

 阿布拉:早上好! (问候微笑)

老师:是啊,儿子,怎么了,有没有帮助尼萨母亲?

阿布拉:呃,像这样,现在阿曼的仪式是什么顺序?

老师:你不知道,现在是11月10日的英雄节(布阿斯点点头,阿布拉的眼睛睁大了)。

阿布拉:对不起,阿布拉忘了现在是一个非常重要的青年旗帜仪式 之后,阿布拉告诉所有学校的朋友们,在这次举行的国旗仪式中,因为每一次举行仪式,他们都随随便便地走着,而没有活下去。没有人会预料到这个仪式是戏剧性的。从一个声音嘶哑的行头领导开始,以调节混乱的混乱行列。升旗官员不得不尽最大努力撤回国旗,因为绳索超重,滑轮生锈。当祈祷的读者念念灵魂古兰经的圣经时,

结束突然爆炸的仪式参与者的呼喊 九点半左右,仪式结束了。一个半小时,他们站在阳光下,确实是热的,但没有人为了纪念那些愿意牺牲的英雄而昏过去了。瓦罗擦了擦脸上的汗滴。这次仪式充满了障碍 但是不是等待他的更重的障碍?荷兰人和日本人不再是敌人,不是英国人,也不是葡萄牙人,而是他们自己的国家。懒惰,傲慢,自卑,绝望,现在必须打。

典礼仪式结束后,学校院子里响起了回家的钟声。到家,阿布拉沉默片刻,做白日梦!然后询问并告诉他今天对祖父的感受。

 阿布拉:我记得他和祖父的记忆。有一次,我小的时候,爷爷把她带到他曾祖母的坟墓里。祖父曾经说过,他的曾祖父是一名资深的战士。阿布拉对英勇的英雄故事印象深刻,

问道:“爷爷,现在没有殖民者去打,怎么成为英雄?” 他的祖父笑了一下,用智慧的语言写下答案。

爷爷:“阿布拉”,(他的祖父轻轻说出他的小名字)“每个人都是英雄。父母是他们的儿女的英雄。为他的学生英雄的主人。英雄医生为他的病人…“。 如果阿布拉?“(阿布拉用一张好奇的脸打断了祖父的解释

他的祖父又笑了起来:“你是你自己的英雄。履行自己的职责,争取自己的权利,全心全意爱护这个国家。就是这样,够了“ 不知不觉中,阿布拉笑着对祖父的话说。他如何看待皱纹的面貌,如何重新听取国家英雄式的英雄故事,从Kapitan Pattimura抵抗的开始到独立后保卫国家的故事。 之后,他拿起一把差不多3米高的竹子,把祖父的红白旗子搭配在他家门前, 他盯着整齐地安在屋前的红白沙卡。国旗飘扬在蓝天和灿烂的阳光下。 慢慢地,他把右手举到眉毛上,向遗产旗帜致敬。他不在乎他身边的神奇人物或社会的面貌,因为他爱这个国家。

Terjemahan Bahasa Indonesia :

AKU DAN PAHLAWAN

Untukmu wahai pejuang bangsa, yang telah korbankan jiwa raga demi pekikan sebuah kata penuh makna ‘merdeka’. Kami ucapkan terima kasih, karena cucuran keringatmu, karena tetesan darahmu, karena segenap pengorbananmu yang tanpa pamrih, kami dapat menghirup segarnya udara kebebasan. Kini, beban berat di pundak kami, para penerus bangsa. Dapatkah kami memikulnya? Entahlah.

Suatu hari siswa-siswi di sekolah menengah pertama di tengah kota metropolitan  mengikuti kegiatan upacara mingguan di sekolah mereka.

Abra : Selamat Pagi, sekarang upacara ya ?

Bastian : Emmm sepertinya iya deh, tapi kalau emang iya, upacara kali ini memperingati pa dong ?

Abra : emmm gimana kita kalau kita tamyak ke guru-guru aja ?

Dengan sangat penasaran dan ekspresi semangat Abra langsung mendatangi salah satu guru di halaman sekolahnya.

Abra : buk, selamat pagi ! (Menyapa dengan penuh senyuman)

Bu Guru : Iya nak, ada apa, apakah ada yang nisa ibu bantu ?

Abra : Emmmm  begini bu, sekarang kan upacara emang dalam rangka apa bu ?

Bu Guru :  Masak Kamu nggk tahu, oalahhhh sekarang itu adalah hari pahlawan tanggal 10 november (Bu Asti mengangguk, sementara mata Abra langsung terbelalak.)

Abra :  maaf ya buk, Abra lupa bahwa sekarang adalah upacara bendera yang sangat penting bagi kalangan pemuda

Setelah itu abra memberitahu semua temen-temen sekolah untuk bersemangat dalam mengikuti upacara bendera kali ini, karna setiap uapacara bendera, mereka mengikutinya dengan biasa saja tanpa menghayatinya. Tak ada yang menyangka, upacara kali ini akan berlangsung dramatis. Diawali dengan salah satu pemimpin barisan yang suaranya sampai serak demi mengatur barisan yang kacau balau tak karuan. Dilanjutkan petugas pengibar bendera yang harus mengerahkan setiap tenaga demi menarik bendera karena talinya super berat dan katrolnya berkarat. Diakhiri tangisan peserta upacara yang meledak tiba-tiba saat pembaca do’a melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an penggugah jiwa

Sekitar pukul setengah sembilan, upacara usai. Satu setengah jam lamanya mereka berdiri diguyur sinar mentari, panas memang, tapi tak ada seorang pun yang pingsan demi mengenang jasa pahlawan yang telah rela berkorban. Varo mengusap tetes-tetes keringat yang membasahi wajahnya. Upacara kali ini benar-benar penuh rintangan

Tapi, bukankah rintangan yang lebih berat sedang menantinya? Bukan lagi Belanda dan Jepang yang jadi musuh, bukan pula Inggris dan Portugis, melainkan diri mereka, bangsa mereka sendiri. Rasa malas, kesombongan, rendah diri, rasa putus asa itulah yang kini harus diperangi.

Setelah uapacara selesai, dan bell tanda pulang sekolah pun terdengar seluruh halaman sekolah. Sampainya dirumah, Abra Diam sekejap dan  melamun !!  lalu bertanya dan menceritakan apa yang telah ia rasakan hari ini pada kakeknya.

Abra : Aku jadi teringat kenangannya dengan  kakek. Dulu, saat aku masih kecil, kakek mengajaknya ke makam  buyutnya. Kakek pernah bilang  buyutnya adalah veteran pejuang. Abra yang begitu terkagum-kagum dengan kisah-kisah heroik kepahlawanan lantas bertanya, “Kakek, sekarang kan sudah tidak ada penjajah yang harus dilawan, bagaimana caranya menjadi pahlawan?”

Kakeknya tersenyum sekilas, sebelum menyusun jawaban dalam kata-kata bijak.

Kakek : “Abra”, (kakeknya berujar lembut memanggil nama kecilnya) “Setiap orang itu pahlawan. Orang tua adalah pahlawan bagi putra-putri mereka. Guru pahlawan bagi murid-muridnya. Dokter pahlawan bagi pasiennya…”.

Kalau Abra?”, (Abra menyela penjelasan kakeknya dengan wajah penasaran

Kakeknya tersenyum lagi, “Kamu pahlawan bagi dirimu sendiri. Laksanakan kewajibanmu, perjuangkan hakmu, cintai negeri ini dengan sepenuh hati. Itu saja, sudah cukup”

Tak sadar, Abra tersenyum mengingat petuah-petuah kakeknya. Betapa ia rindu menatap wajah keriput itu, betapa ia ingin kembali mendengar kisah-kisah heroik pahlawan bangsa, dari mulai perlawanan Kapitan Pattimura hingga kisah mempertahankan negara setelah merdeka.

Setelah itu dia pun mengambil bambu yang tingginya hampir 3 meter dan memasangkan bendera merah putih milik kakeknya, dan mentancapkan di depan halam rumahnya,

Ditatapnya sang saka merah putih yang terpasang rapi depan rumah. Bendera itu berkibar-kibar ditiup angin, tampak begitu gagah dilatari langit biru dan matahari yang bersinar cerah.

Perlahan, ia angkat tangan kanannya ke depan alis, menghormat pada sang bendera pusaka. Ia tak peduli pada tatapan heran orang-orang ataupun masyrakat di sekitarnya karena ia cinta negeri ini.

 

Oleh : Abdul Haris (Siswa Kelas XII Unggulan Bahasa SMA Nurul Jadid)

nasi tabheg belum matang

TABHEG: Cara Santri Eratkan Silaturahmi

TABHEG atau nasi Tabheg merupakan sajian makanan khas Jawa Timur, khususnya di daerah Tapal Kuda, berupa nasi yang dimasak dalam gulungan daun pisang. Tidak ada literatur yang menyebutkan asal-muasal pertama kali munculnya cara pembuatan nasi Tabheg itu, juga dari mana istilah itu muncul, namun ada kemungkinan istilah Tabheg berasal dari akar yang sama dengan Tabak dalam bahasa Indonesia yang berarti talam (tetampan) besar tempat menghidangkan makanan, sebab nasi Tabheg disajikan di atas alas daun pisang yang sangat lebar sehingga bisa dimakan bersama-sama.

Nasi Tabheg populer di kalangan pesantren Jawa Timur sebagai makanan khas santri yang biasanya dibawa oleh orang tuanya saat mengirim anaknya di pesantren. Dengan cara pembuatan dan pengemasan yang baik, nasi tabheg bisa tahan sampai dua hari.

Dengan banyaknya bisnis catering dan cara penyajian makanan yang semakin modern, saat ini nasi Tabheg memang sudah banyak digantikan dengan nasi kotak. Namun tetap saja di kalangan santri nasi, Tabheg menjadi makanan khas favorit yang punya daya tarik tersendiri. Itu disebabkan karena para santri biasa menikmati nasi Tabheg sebagai sarana mengikat persahabatan dan kebersamaan. Satu gulung nasi Tabheg bisa mencapai panjang 2 meter dan dapat dinikmati oleh 10-15 orang. (mbu)

Penasaran bagaimana resep membuat Nasi Tabheg? Silahkan juga dibaca tulisan menarik tentang resep membuat nasi Tabheg.

nasi tabheg hari santri nasional 2017 di Nurul Jadid

Tabheg Bukti Santri Membela Kaum Pinggiran

Tabheg dan santri tidak bisa dipisahkan, berbicara santri tentu akan ada cerita Tabheg di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Penyebutan Tabheg itu digunakan pada nasi yang dibungkus memakai daun pisang dan diikat memakai tali. Sepintas asumsi saya memaknai filosofi daun, adalah simbol bendera NU, meski di ikat memakai tali, sebagai bukti satu ikatan ideologi pancasila, ikatan selajutnya adalah berpegang teguh untuk menjaga NKRI.

Sebuah kebahagiaan yang tak terhingga, apabila santri dikirim oleh orang tuanya, karena dipastikan ada thabek yang dibawa. Santri yang setiap hari makan nasi dan lauk pauk seadanya, akan makan menu nasi Tabheg bersama dengan santri lainnya.

Tabheg adalah simbol kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian. Mentradisikan kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian adalah sebuah ajaran nilai yang selalu di gaungkan oleh Pondok Pesantren. Kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian upaya mewujudkan mental sejati seorang santri, dalam memaknai prilaku keagamaan yang baik.

Karena seorang santri tidak hanya belajar nahwu, shorrof, tafsir dan kitab kuning yang lain. Namun, ia belajar bagaimana menjadi manusia paripurna dalam segala sektor. Pengetahuan yang dimiliki tanpa diwujudkan dalam sikap dan mentality yang baik, maka tidak akan berarti.

Makan Tabheg bersama santri 10 ribu di Nurul Jadid, sebagai langkah memberikan gambaran, bahwa kemenangan tidak akan di dapatkan kecuali dengan kebersamaan.  Kita ingat kemenangan anak bangsa dari penjajah karena semangat kebersamaan terpatri didalam dadanya. Kini, bangsa kita tercerai oleh kepentingan kelompok, kepentinhan yang tanpa memberikan kontribusi nyata pada bangsa. Resolusi jihad mampu membakar semangat para pejuang negeri, hingga tak ada satu langkah pun, mundur dari memperjuangkan kemerdekaan. Karena kebersamaan menjadi kekuatan yang luar biasa

Tabheg, reaktualisasi kebersamaan, kesederhanaan serta kemandirian

Santri akan teruji kesetiakawanannya, apabila makan Tabheg bersama temannya, tidak hanya sendirian. Mengapa demikian? Keseruan akan tercipta meskipun terkadang satu Tabheg tidak cukup untuk beberapa santri, kekenyangan perut bukan orientasi dari makan Tabheg bersama.  Sifat bakhil sangat tidak disukai oleh agama, lebih lebih jika ada sesuatu yang bisa untuk berbagi dengan yang lain. Biasanya, santri yang pelit akan sedikit mempunyai teman bahkan bisa juga selalu di permainkan oleh temannya sendiri dengan barang barangnya sering hilang. Santri harus jauh dari kekikiran, sebab dia adalah pencari ilmu dan ilmu akan mudah di dapat apabila cahaya Allah diberikan padanya.

Sangat tidak elok sikap kikir ini dipelihara, karena identitas santri akan terganggu dengan hal tersebut

Tabheg sekarang mulai luntur, sejalan dengan arus globalisasi, padahal wali santri apabila mengirim santri dengan Tabheg adalah bukti keberpihakan pada rakyat kecil.  Di beberapa pasar baik pasar tanjung, pasar paiton juga pasar lainnya, penjual daun mulai tidak laku. Kapitalisme sudah merongrong keakar akar rusaha rakyat kecil. Pengusaha plastik sudah menguasai ekonomi dan penjual daun sering tertindas. Santri harus cermat pada setiap langkah para penjajah ekonomi rakyat kecil. Karena keberadaan santri akan tampak jika keberpihakannya pada pada rakyat benar benar kuat. Dulu, kiai abdul wahid zaini, membela petani tembakau dan rela mempertarukan segalanya demi kesejahteraan rakyat.

 

Oleh : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan, Anggota Social Community of Research)

nasi tabheg

Apa Nasi Tabheg? Bagaimana Resep Nasi Tabheg?

Setelah Santri Nurul Jadid memecahkan rekor muri makan Tabheg terbanyak, tidak sedikit warganet bertanya; apa nasi Tabheg? Bagaimana resep nasi Tabheg? Istilah Tabheg berasal dari bahasa Madura. Penulisan istilah ini bermacam-macam, ada yang menulis dengan Tabak, Tabek, Tabeg, Tabhek atau Tabegh. Bagi sebagian masyarakat Jawa Timur, istilah Tabheg ada yang menyebutnya dengan Nasi Gulung.

Santri pada umumnya adalah pelajar yang merantau dan bermukim di sebuah pesantren. Sedangkan kendaraan jaman dahulu tidaklah secanggih jaman saat ini. Perjalanan ke sebuah pesantren bisa memakan waktu lebih dari satu hari bahkan berhari-hari. Begitu pun orang tua santri tidak jarang pula mengunjungi putra-putrinya ke pondok, baik hanya sekedar mengetahui keberadaan putra-putrinya atau pun mengirim kebutuhan hidup. Perjalanan dari rumah tempat tinggal asal hingga ke sebuah pesantren yang memakan waktu cukup panjang ini, hampir selalu membawa bekal perjalanan dan oleh-oleh untuk para santri di pondok pesantren. Bekal perjalanan ini atau oleh-oleh untuk para santri, umumnya di Jawa Timur dinamai dengan Tabheg.

Perjalanan yang memakan waktu lama, bagaimana bekal atau oleh-oleh yang dibawa tidaklah cepat basi. Nasi Tabheg dibuat agar Nasi bisa bertahan berhari-hari dan tidak cepat basi. Ketahanan nasi Tabheg bisa bertahan hingga 3 hari. Sajian nasi Tabheg seringkali ditunggu-tunggu oleh para santri. Bagaimana tidak, para santri yang giat mencari ilmu siang dan malam, hampir tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan kebutuhan hidup (isi perut). Kebutuhan hidup para santri sering bersandar pada kiriman. Ketika orang tua salah seorang santri yang membawa Tabheg akan menjadi incaran bagi para santri lain dan semua mata tertuju pada nasi Tabheg.

Apa itu nasi Tabheg? Bagaimana bentuk nasi Tabheg? Bentuk khas nasi tabheg, yaitu nasi yang dibungkus dari daun pisang dan bentuk bungkusannya digulung. Kira-kira seperti pada gambar berikut.

nasi tabheg hari santri nasional 2017 di Nurul Jadid

nasi tabheg hari santri nasional 2017 di Nurul Jadid

Bagaimana cara membuat nasi Tabheg? Disini redaksi akan memberikan resep untuk membuat nasi Tabheg.

 

Bahan Membuat Nasi Tabheg

  1. Bahan utama yang digunakan adalah beras. Gunakan beras yang berkualitas bagus, bersih dan pulen supaya hasilnya lebih legit dan lezat.
  2. Jeruk nipis. Jeruk nipis 1 buah untuk beras 1 kg.
  3. Daun pisang.
  4. Tali Rafia.
  5. Bahan pelengkap untuk lauk sajian

 

Cara Membuat Nasi Tabheg

nasi tabheg belum matang

nasi tabheg belum matang

Cara membuat nasi Tabheg ini sebenarnya sangat sederhana. Langkah pertama hampir mirip sebagaimana menanak nasi dengan cara dikukus.

  1. Cuci beras hingga bersih hingga hilang bau dan kotoran yang menempel.
  2. Siapkan panci dan masukkan beras yang bersih kemudian berilah air hingga mencapai setengah ruas jari telunjuk tangan.
  3. Panaskan panci yg berisi beras dan air hingga mendidih.
  4. Pada saat nasi mendidih, berilah jeruk nipis kemudian diaduk hingga merata. Jeruk nipis inilah salah satu yang membuat nasi bisa bertahan lama.
  5. Aduk-aduklah nasi secara berkala agar tidak terjadi kerak dibagian bawah panci.
  6. Angkat nasi yang setengah matang ini dari panci.
  7. Pindahkan nasi yang setengah matang ke dalam panci kukus.
  8. Kukus nasi hingga benar-benar matang.

Langkah kedua, setelah nasi matang selanjutnya mempersiapkan untuk menjadikan Nasi Tabheg.

nasi tabheg sedang dikukus

nasi tabheg sedang dikukus

  1. Siapkan tali rafia dan lembar daun pisang untuk membungkus nasi.
  2. Tuangkan nasi di atas lembaran daun pisang yang sudah disiapkan.
  3. Nasi dalam lembaran daun pisang dibungkus dengan cara bungkusan menggulung.
  4. Ikat bungkus gulungan dengan tali rafia.
  5. Siapkan panci kukus. Pindahkan nasi yang dibungkus daun pisang menggulung ini ke dalam panci kukus.
  6. Kukus nasi yang sudah dibungkus gulungan daun pisang kurang lebih selama -+20 menit.
  7. Kukus hingga matang, terlihat daun pisang tampak berwarna layu.
  8. Selesai dikukus, angkat dan siap disajikan.

Nasi yang dibungkus daun pisang dimana bentuk bungkusannya berbentuk bungkus gulungan, inilah yang disebut dengan Nasi Tabheg.

nasi tabheg siap saji

nasi tabheg siap saji

 

 

Bahan Pelengkap Nasi Tabegh

  • Tempe kering
  • Tempe bacem
  • Daging rendang
  • Daging masak kecap
  • Telur dadar goreng yang di iris tipis tipis
  • Telur rebus dipotong potong
  • Telur masak bali
  • Kerupuk udang
  • Perkedel kentang
  • Sambal

 

Semoga tulisan sekelumit tentang Nasi Tabheg ini bisa memberikan gambaran jelas tentang nasi Tabheg, terutama bagi warganet yang berada di luar Jawa Timur. (aw)

 

Hari Santri ; Interkoneksi Pesantren dan Kemerdekaan Indonesia

Tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 menjadi titik musnahnya polarisasi sosial kaum santri dan abangan. Islamisasi pada masa sebelumnya, polarisasi sosial dan politis yang kini muncul bukan lagi antara abangan dan santri, sebab sudah tidak ada lagi tentangan yang serius terhadap Islamisasi lebih dalam.

Namun, sepertinya santri kemudian akan menjadi kelompok yang dicurigai akan merusak bangsa karena terlalu banyak kasus gembong teroris yang berkedok pesantren dan Islam.

Sebagai Negeri yang berhaluan demokrasi dan kemajemukan, Indonesia tentu sama sekali tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menjadi negeri khilafah yang diangkat oleh HTI and so on. Karena pesantren Ahlu sunnah wal jama’ah Indonesia tetap akan sesuai dengan model penerapan para pendahulu dalam konteks akidah dan tradisi. (Dhofier, 1982)

Pesantren dalam makna istilah dimaknai beragam, tentang sebuah tempat yang menjadi poros spiritual. (Faruq, 2015)

Terlepas dari beragamnya makna pesantren, Sejak awal berdirinya, kehadiran Pesantren di tengah-tengah masyarakat nusantara ini hanya diproyeksikan sebagai sebuah sarana dakwah dan pendidikan Islam. Dengan tujuan supaya para santri mengetahui dan memahami apa saja yang telah diturunkan Allah pada Muhammad Rasulullah Saw. Dengan demikian, para santri diharapkan mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memaksimalkan dua tugas utamanya sebagai manusia. Pertama, sebagai ‘abdu Allah (penyembah Allah). Kedua sebagai khalifatu fi al-ardl (wakil Allah di bumi, sebagai pengelola semesta).

Sebagai hamba, mereka diharapkan menjadi pribadi mukmin sejati yang ‘hanya’ menyembah, mengabdi dan menuju kepada Allah saja. Bukan mengabdi pada hawa nafsu, keinginan individu dan ambisi yang akan menjatuhkan derajat dirinya sebagai manusia menjadi pribadi binatang yang rakus.

Sebagai wakil Allah di bumi ini, mereka diharapkan mampu berpartipasi aktif mengelola dan memberdayakan keluarga, masyarakat, lingkungan dan Negara bahkan semesta. Tentunya hal ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan dan keadilan. Bukan malah menjual, membohongi dan mengorbankan masyarakatnya.

Baik sebagai hamba atau sebagai wakil Allah di bumi, manusia sudah selayaknya melakukan yang tebaik untuk masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai negeri yang demokrasi sudah bukan hal aneh jika negara kita menginginkan kemerdekaan bagi setiap individu yang berada di bawah naungannya.

Dalam Al-Quran surat An- Nisa’ ayat 49 dijelaskan, manusia sebagai seorang hamba harus mengabdi kepada Allah, patuh kepada Rasulullah dan ulul amri, dimana ulul amri disini diartikan sebagai penguasa atau pemimpin. Di Indonesia, sebagai negeri yang menganut sistem pemerintahan yang berasaskan demokrasi, patuh kepada UUD sebagai kepanjangan tangan dari Presiden adalah sebuah kewajiban.

Pemerintahan dan sistem yang telah ada di depan mata kita, tidak serta merta hadir untuk kita begitu saja melainkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Dalam sekian buku sejarah kemerdekaan Indonesia, dikatakan bahwa Indonesia dijajah selama dua abad sebelum akhirnya merdeka.

Dalam kisah perjuangan memerdekakan diri, Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pasukan santri yang dikawal oleh beberapa kyai yang menjadi pelopor kemerdekaan. Seperti petikan pidato KH. Hasyim Asy’ari “Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacaukan barisannya. Maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapapun orangnnya.” (Ricklefs, 2013)

14 oktober 1944, setelah adanya usulan sepuluh orang ulama kepada Heiko Shikikan  untuk dibentuk barisan sukarela dari kelompok Islam, terbentuklah laskar Hizbullah “tentara Allah” dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan Pembela Tanah Air (PETA). Lalu terbentuknya laskar Hizbullah dipublikasikan dalam majalah suara muslimin Indonesia. Para kyai yang tercatat sebagai perwira PETA mendapatkan tugas untuk melatih dasar-dasar latihan dan kemampuan militer terhadap para anggota Hizbullah, setelah sebelumnya jepang melalui beberapa pejabat di Jawa Hookokai meminta K.H. Wahid Hasyim untuk membantu dalam pengerahan tenaga muda pesantren untuk masuk Heiho. (Ricklefs, 2013)

Januari 1945 kepengurusan Hizbullah pusat tebentuk berdasarkan hasil rapat pleno masyumi ketika membicarakan kedudukan Hizbullah dihadapan peta.

Dalam perjalanannya, Hizbullah melakukan dua kali resolusi jihad. Yang pertama, resolusi jihad sebagai seruan membela NKRI. Menelurkan fatwa yang berisi tiga poin penting dalam perjuangan, yang kemudian dikukuhkan dalam sebuah rapat para kiai pada tanggal 21-22 oktober 1945.

Resolusi jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 oktober 1945  menjadi pegangan spiritual bagi sebagian besar pemuda dan pejuang di Surabaya dalam mengobarkan semngat perlawanan. Selain itu resolusi jihad ini juga mempunyai dua misi penting, yakni sebagai bahan untuk mempengaruhi pemerintah dan agar  segera menentukan sikap melawan kekuatan-kekuatan asing yang terindikasi hendak menggagalkan kemerdekaan. Kedua, jika himbauan yang ditujukan kepada pemerintah itu tidak terwujud maka resolusi akan bisa dijadikan pegangan moral bagi Hizbullah dalam menentukan sikap melawan kekuatan asing

Resolusi jihad yang kedua adalah sebagai bentuk menjaga semangat juang. Para kyai NU tetap semangat menyampaikan pesan-pesan dan dorongan mooral guna membakar semangat juang yang ditujukan kepada badan-badan perjuangan pembela Islam ditengah keprihatinan dan muncunlnya rasa ketidak puasan terhadap orientasi perjuangan yang telah berubah. (Ricklefs, 2013)

Pada tanggal 26-29 Maret 1946, diselenggarakan muktamar NU yang ke 16 di Purwokerto, Jawa Tengah. Dan kembali menelurkan sebuah resolusi yang ditujukan kepada upaya perjuangan dan pembelaan terhadap kemerdekaan bangsa. Muktamar yang diselenggarakan sebab rasa ketidakpuasan para pasukan Hizbullah dan pergeseran orientasi perjuangan serta keprihatinan atas timbulnya perpecahan-perpecahan sesama anak bangsa. Ungkapan pidato yang disampaikan K.H. Hasyim asy’ari juga menyiratkan sikap keprihatinan beliau. Selain itu, beliau juga mengingatkan tentang cara dan pola baru yang digunakan oleh kaum penjajah dalam upaya menggagalkan kemerdekaan Indonesia, serta mulai munculnya kegamangan dikalangan pemimpin Indonesia untuk menempuh perjuangan melalui perjuangan fisik.

Dengan mewakili Hizbullah Kyai Wahid Hasyim menjadi negarawan yang sangat berpengaruh dalam perumusan undang-undang dan perumusan pancasila yang sebelumnya tercatat sebagai piagam jakarta dengan merumuskan sila pertama “ ketuhanan yang maha esa” sebagai ganti dari kalimat “ketuhanan dengan kewajiban syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Karena kalimat “ketuhanan yang maha esa” dinilai lebih memenuhi kepentingan semua pihak dan sesuai dengan konsep tasamuh dalam Islam. (Suismanto, 2004)

Dalam perjuangan yang mayoritas perjuangan dengan pertempuran, tentu tidak bisa terlepaskan begitu saja dari senjata yang digunakan para anggota Hizbullah. Senjata yang paling ampuh kala itu hanya sebatas bambu runcing. Tentu jika dipikirkan dengan menggunakan nalar tanpa menggunakan mistisme tidak akan sesuai dengan kenyataan yang ada. Mana mungkin para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing dapat mengalahkan tentara dengan senjata lengkap bahkan bersenjatakan meriam.

Terkait dengan dunia mistifikasi. Ada banyak metode mistis yang dilakukan oleh para kyai sebelum berangkat ke medan pertempuran, mulai dari penyepuhan bambu runcing sebelum digunakan ke medan pertempuran, bambu runcingnya diberkahi, dijaza’ do’a mengsma’i nasi  manis, mengasma’i air wani hingga meminta doa dan wejangan kepada para kyai tentunya dengan kyai yang berbeda sesuai dengan ilmu yang beliau miliki. (Wahid, 2001)

Simbol perjuangan yang disertai adanya mistifikasi perjuangan telah menggerakkan pasukan dengan gagah berani maju ke medan pertempuran. Dalam hampir semua perjuangan senjata, para ulama, santri dan senjata bambu runcing hadir dan menjadi pengawal perjuangan.

Tak sampai disitu, setelah Indonesia merdeka, para kyai menciptakan beberapa karya yang tak lain untuk tetap merawat kemerdekaan dengan ilmu. Baik dengan karya berupa kitab atau buku, KH. Hasyim Asy’ari dengan kitab Adab Al Alim wa Al Muta’allim, Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi Tremas (w. 1920 M, menulis Ghaniyyah at-Thalabah fi Syarhit-Thayyibah fil-Qira’at as-Sab’ah), lalu KH Arwani Amin al-Qudsi Kudus (w. 1994, yaitu kitab yang sedang dibicarakan ini, Faidhul-Barakat), dan ulama kontemporer KH Prof. DR. Ahsin Sakho Muhammad Cirebon (Manba’ul-Barakat fi Sab’il-Qira’at).

Selain karya berupa kitab-kitab tersebut di atas, Kiai Zaini Mun’im, pendiri dan pengasuh pertama PP. Nurul Jadid juga menciptakan sebuah pijakan, dimana segala kegiatan, proses pedidikan dan program pesantren di masa depan harus berorentasi pada Panca Kesadaran Santri. Sebuah pemikiran lepas yang mempunyai arti mendalam bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Konsep tentang lima kesadaran (Panca Kesadaran) yakni : 1) Kesadaran Beragama, 2) Kesadaran Berilmu, 3) Kesadaran Bermasyarakat, 4) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5) Kesadaran Berorganisasi.

Selain lima kesadaran itu, Kiai Zaini Mun’im memberi kriteria (Trilogi Santri) khususnya bagi para santri Nurul Jadid, yang layak pula jadi pegangan bagi para santri pada umumnya, yaitu: 1) Memperhatikan perbuatan-perbuatan fardlu ain, 2) Memperhatikan untuk meninggalkan dosa-dosa besar, 3) Berbudi luhur kepada Allah dan kepada sesama makhluk. (Ridwan, 1996)

Dari berbagai bukti sejarah keterlibatan elemen pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perjuangan mengisi kemerdekaan dengan berbagai macam karya mampu menjadi garis penghubung atau jalur koneksi antara pesantren dan kemerdekaan Indonesia. Bahwa di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang elemen pesantren tidak mungkin menyuarakan pengkhianatan atas kemerdekaan yang telah diraih, akan tetapi elemen pesantren akan terus menyuarakan bagaimana mengisi kemerdekaan ala santri dengan penuh cinta dan tanggung jawab.

Hari Santri Nasional (HSN) yang selalu diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, sudah selayaknya mampu menjadi alarm pengingat untuk para tenaga edukasi, parlemen, politikus, tokoh agama, dan ulama’ nusantara, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa terlepaskan dari antusias dan pasrtisipasi kaum sarungan. Jadi, tidak mungkin ada istilah Negara Khalifah yang keluar dari elemen pesantren. Karena pesantren adalah bagian dari kemerdekaan dan demokrasi Indonesia. Pesantren hari ini juga berupaya untuk tetap ikut andil dalam mengisi kemerdekaan, hal tersebut terlihat dari banyaknya elemen pesantren yang ikut terlibat dalam politik, sosial dan budaya tidak lagi hanya diam di pondok dan mengkaji kitab kuning.

Upaya tersebut diharapkan pada akhirnya, output yang dihasilkan adalah santri yang mengisi kemerdekan dengan semangat juang tinggi dan menjadi pribadi kuat yang mampu mencegah diri dan lingkungannya dari beragam hal tidak baik yang dapat merugikan diri, lingkungan dan negar. Sebab waktu yang dihabiskan santri di pesantren tentu lebih banyak.

Santri yang pulang ke rumah setelah beberapa tahun mondok di pesantren akan selalu mengingat dan mengatakan bahwa kami tidak hanya diajari kitab klasik tapi juga diajari mengisi dan merawat penuh cinta kemerdekaan negeri. Di pesantren, kami tidak hanya di ajari berdo’a tapi juga diajari melakukan yang terbaik untuk negeri. Di pesantren kami tidak hanya diajari taat pada kyai tapi juga pada peraturan negeri. Pesantren kami adalah Indonesia. Kami adalah merah putih yang menyatu saling menjahit asa meerekatkan keberagaman karena pesantren, Islam dan Indonesia salah satu.

Syafiqiyah Adhimiy

(Mahasiswa Pasca Sarjana IAI Nurul Jadid sekaligus Khadimah di PP. Nurul Jadid)

tabheg

Makan Tabhek : Memper-erat Sosial dan Memper-irit Uang Saku

Bulan Oktober merupakan bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum sarungan (santri) sejak Pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari santri Nasional yang ditetapkan pada tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo melalui keputusan Presiden nomor 22 Tahun 2015.

Hari Santri Nasional merupakan peringatan untuk mengenang kembali jasa para Kiai-kiai dan kaum sarungan (santri) didalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari cengkraman para penjajah kala itu. Kesepakatan tanggal 22 sebagai Hari Santri Nasional berkenaan dengan Resolusi Jihad Kiai Haji Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 sebagai sebuah keputusan yang dihasilkan dari rapat besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, Jawa Timur.

Di Pesantrenku Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolingo merayakannya dengan beberapa serangkaian acara diantaranya adalah Seminar, Lomba, Stand Bazar, Upacara, dan tak kalah menariknya lagi adalah makan bersama atau di pesantrenku lebih dikenal dengan istilah Tabhek.

Makan Tabhek tersebut akan dilaksanakan dipenghujung acara yaitu 22 Oktober besok. Makan “Tabhek” tersebut akan diikuti oleh 10.000 Santri yang siap akan melahap Nasi Gulung (Nasi yang dibungkus daun pisang) secara bersama-sama. Dan ini merupakan pemecah rekor Muri.

Istilah Tabhek sudah tidak asing lagi di telinga ribuan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid, hampir tiap hari santri pasti melaksanakan yang namanya makan bersama Tabhek. Apalagi setiap ada wali santri yang menjenguk anaknya pasti membawa nasi dan pada saat itulah pasukan santri siap untuk menghabiskan kiriman tersebut seketika itu juga dengan cara “Tabhek”. Karena momentum seperti itulah yang diharapkan santri didalam merajut kebersamaan, pahit dan manis selalu dijalankan secara bersama.

Dalam keseharian santri, makan Tabhek ada beberapa keuntungan yang menarik disamping untuk memper-erat rasa solidaritas sosial juga memper-irit uang saku yang dikirim oleh orang tua. Kadang santri hanya sumbangan Rp 2000 Rupiah itu bisa kenyang salah satunya dengan makan Tabhek itu tadi. Karena didalam makan Tabhek itu sendiri ukuran kenyang tidak dapat di ukur dari berapa banyak uang yang kita miliki, dan berapa banyak Nasi dihidangkan, akan tetapi kebersamaanlah yang bisa merasakan kenyang itu sendiri.

Selain itu ada hikmah yang menarik didalam pelaksaan makan Tabhek itu sendiri. Pelaksaan makan Tabhek tidak sembarangan dimulai apabila peserta atau teman kita kurang lengkap. Kenapa demikian? karena kecepatan makan Tabhek bagaikan kecepatan kereta yang berjalan diatas Rel. Maklum saja kenapa makan Tabhek tersebut harus menunggu berkumpulnya santri agar semuanya kebagian dan merasakan kekompakan.

Makan secara Tabhek tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki oleh pesantren sebagai pembentuk rasa solidaritas sosial ditengah-tengah masyarakat kita yang sudah bersifat individualistik (mementingkan diri sendiri) akibat pengaruh budaya luar.

Untuk itu kita semua bisa mengambil pelajaran dari adanya makan Tabhek 10.000 santri yang diadakan oleh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo ini dalam rangka semarak Hari Santri Nasional di puncak acara 22 Oktober 2017.

Dengan adanya kegiatan tersebut bukan hanya sekedar makan yang kemudian kenyang lalu buang air besar. Namun harapan penulis agar supaya kekerabatan antara umat beragama berbangsa dan bernegara semakin solid tidak pecah belah demi Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah dibangun kokoh oleh para Ulama’ yang notabene lahir dari pesantren. Waallahua’lam

ACH. YANI (Nuruljadid.net)

Para Pencinta Tabheg

Kalau di salah satu saluran televisi setiap menjelang bulan Ramadhan menayangkan sinetron religi berjudul PPT singkatan dari Para Pencari Tuhan. Tapi kalau di Nurul Jadid setiap bulannya akan ada aksi santri di setiap gang bernama PPT singkatan dari Para Pecinta Tabheg. What is tabheg? Penulis mebaginya menjadi dua penjelasan. Tabheg dalam arti idealis dan dalam arti pragmatis.

Pertama, tabheg dalam arti idealis. Definisi ini terbilang ketat. Para pecinta tabheg yang masuk kategori ini tergolong esktrem, radikal, terstruktur, sistematis dan masif. Mereka yang ada di golongan ini mengatakan bahwa tabheg itu adalah nasi kiriman dan wali santri untuk putra atau putrinya yang dibungkus dan dikukus menggunakan daun pisang dan dimakan bersama-sama oleh penghuni kamar atau tetangga kamar si santri.

Hingga lunturan daun pisang yang agak bewarna hijau kekuningan menempel disetiap area pingggiran nasi. Dan setiap bungkusnya diikat dengan tali rafia. Agak mirip dengan lontong tapi bukan lontong. Kalau lontong berasnya manunggaling atau menyatu dengan beras lainnya. Tapi kalau nasi tabheg tidak menyatu seperti lontong. Nasi tabheg versi ini awet hingga dua hari. Bahkan ada yang mengatakan satu minggu. Untuk lauk tak jadi soal. Apapun lauknya akan terasa nikmat.

Bagaimana cara masaknya? Silahkan tanya kepada pakar tabheg. Dua mantan kepala Gang E Kang Jajan dan Ach Uday, alumni kamar E13 Irza Jauharul Maknun, Yudi Zulkarnain, Miftah Al Kindy, serta Bapak Talaen Tabheg Muhsin Alatas. Mereka semua masuk golongan para pecinta Tabheg idealis.

Kedua, tabheg dalam arti pragmatis. Para pecinta tabheg dalam golongan ini terbilang lentur, fleksibel, dan toleran. Lebih mengutamakan subtansi daripada bungkus. Apapun bungkusnya, meski dengan kertas minyak merk kucing sekalipun, kalau itu nasi kiriman wali santri untuk putra atau putrinya masuk kategori tabheg. Apapun lauknya walau hanya mie goreng dan telur dadar sungguh kenikmatan tiada tara.

Dalam golongan ini, lebih mengutamakan fungsi daripada melekatkan syarat ketat dan melekat pada tabheg. Lalu apa fungsinya?

Fungsi tabheg mengurangi pengeluaraan jatah bulanan. Biasanya sehari beli makan dua kali. Kalau ada nasi tabheg, bisa beli hanya satu kali. Kalau sekali makan menghabiskan 10 ribu rupiah, bayangkan kalau tersedia nasi tabheg hingga 30 hari, bisa menghemat uang 300 ribu rupiah. Bukankah tabheg pangkal kaya?

Dengan tabheg Indonesia bisa menumbuhkan indeks prestasi manusia. Bayangkan uang 300 ribu rupiah dibelanjakan untuk beli buku dan kitab setiap bulannya, penulis yakin Indonesia akan dahsyat dalam mengatasi bonus demografi.

Mungkin banyak santri berpikir kehidupan pesantren teramat tidak menyenangkan. Khususnya bagi santri baru. Semula bebas bisa main gadget, nonton televisi, dan segalanya serba ada saat tinggal di rumah.

Tapi semua rasa tidak menyenangkan itu tak berlaku bagi santri yang golongan para pencinta tabheg sejati. Bukan maksud ingin menciptakan aliran baru yang akan memecah belah persatuan dan kesatuan dengan memunculkan tabhegisme atau non tabhegisme.

Tapi bagi penulis, hampir semua santri Nurul Jadid adalah para pecinta tabheg. Jadi kalau ada santri NJ yang tidak suka tabheg atau bahkan membecinya berarti nyantrinya belum kaffah serta status santrinya masih dipertanyakan.

Jangan-jangan niat mondoknya bukan untuk mencari ilmu dan membina ahlakuk karimah. Dari tabheg kita diajarkan prinsip egaliter, gotong royong, dan toleran. Dalam satu bungkus kita gotong royong menghabiskan bersama-sama. Meski yang makan ada yang tidak cuci tangan kita tetap toleran terhadap mereka, tidak menghina bahkan tidak membully di sosial media.
Bayangkan besok di Hari Santri Nasional 22 Oktober 2017, Ponpes Nurul Jadid akan mengadakan apel akbar dan tasyakuran untuk memecahkan rekor muri makan tabheg 10 ribu santri, bukankah ini merupakan pelajaran berharga dari santri untuk negeri dalam prinsip egaliter, gotong royong dan toleran?

Rizam Syafiq
Mantan Kepala Sekolah Kelompok Kajian Pojok Surau PP Nurul Jadid dan Pimred gpansorsurabaya.or.id

 

Semarak Hari Santri Nasional Sebagai Upaya Santri Ber-NKRI

Telah diputuskan bahwasanya Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober. Lantas, Ada apa dengan Santri? Adakah Yang Istimewa? Setiap peristiwa pasti mempunyai sejarah tersendiri. Dan setiap sejarah pasti memiliki nilai filosofis yang harus diketahui. Bung Karno pernah berkata bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, Jas Merah!!!”.  Marilah kita review kembali peran para ulama dan santri untuk mempejuangkan kemerdekaan Indonesia.

Hari Santri Nasional pada tanggal 22 oktober telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi yang sebelumnya hanya sebuah wacana belaka yaitu tanggal 1 Muharram. Menanggapi hal itu, Ketua pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdhlatul Ulama (RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien menyerukan agar Jokowi menepati janjinya tersebut. Mengutip Dalam buletin NU Online Beliau mengatakan “Ribuan Pesantren dan jutaan santri sudah menunggu keputusan Presiden terkait Hari Santri Nasional. Kebijakan itu menguatkan marwah Negara”.

Di tetapkannya Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober lebih condong sebagai upaya untuk menghargai historis perjuangan para pahlawan kemerdekaan yang notabene nya adalah kaum santri dan para ulama dalam melawan para penjajah untuk memperjuangkan NKRI, namun dibalik itu juga pada tanggal 22 Oktober bertepatan dengan adanya fatwa “Resolusi Jihad” yang di usung oleh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.

Mengenai resolusi Jihad yang di usungkan oleh KH Hasyim Asy’ari tersebut terdapat nilai-nilai yang dapat dikontekstualisasikan pada zaman modern saat ini, khususnya dikalangan santri yang katanya kaum sarungan yang identic dengan kekolotan, gaptek, dan kumuh. Padahal realitanya tidaklah seperti itu, hanyalah oknum-oknum yang menafikan eksistensi dari santri dan pondok pesantren saja yang berasumsi demikian. Karena asumsi tanpa dasar itulah, banyak masyarakat awam enggan melirik pesantren dan lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum.

Kembali lagi berbicara mengenai resolusi Jihad bahwa itu adalah bentuk perhatian yang sangat besar dari ulama untuk menjaga keutuhan NKRI, bahkan ada yang mengatakan saat ini bahwa “NKRI harga mati!!!”. Namun sekarang Indonesia tidak butuh dengan kata-kata, Indonesia sekarang ini butuh peran yang produktif sehingga dapat menjawab tantangan globalisasi. Dan peran santrilah yang mampu menjawab tantangan globalisasi tersebut.

Diantaranya dapat kita terapkan nilai-nilai perjuangan ulama dan makna adanya fatwa resolusi jihad. Salah satunya dengan membentuk karakter santri yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu karena itu juga termasuk sebuah perjuangan. Dengan memiliki ghirah (semangat) yang bagus dalam menuntut ilmu kesempatan untuk membangun Indonesia maju sangatlah terbuka. Kemudian, dengan membangun rasa empati dan simpati dalam keseharian santri dengan sesama teman jikalau itu dibudayakan maka hal tersebut merupakan bukti bahwa santri memilik jiwa dan raga yang selalu siap untuk membela negara karena sesuai dengan Negara kita yang notabenenya adalah multikultural dan plural. Namun, inti dari semuanya adalah aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaimana cara kita sebagai santri dan sekaligus muda-mudi Indonesia untuk selalu bergerak, bergerak dan bergerak demi kemajuan bangsa Indonesia. Kita buktikan bahwa santri merupakan generasi emas abad modern.

Oleh: Andy Rosyidin
(Alumni MA PK Nurul Jadid Angkatan 21. Dan sekarang adalah Mahasiswa aktif semester 3 ilmu al-Quran dan Tafsir di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

 

“Kami Bangga Jadi Santri!!!”

 

Santri, Resolusi Jihad, dan Nasionalisme

Ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada hari Kamis, 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta mendapat respon positif dari masyarakat luas, terlebih bagi masyarakat kaum santri. Penetapan Hari Santri yang diresmikan presiden Joko Widodo merupakan bentuk penghargaan terhadap para kiai dan santri yang telah rela menyumbangkan segenap jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan dari tanggan penjajah.

Perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa memang tidak terlepas dari peran Kiai dan Santri. Pembentukan tentara Hisbullah dan Sabilillah, serta keterlibatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan adanya fatwa Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari yang menetapkan farduh ain untuk mempertahankan kemerdekaan merupakan wujud dari peran aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di era globalisasi, tantangan dan persoalan yang dihadapi kaum Santri semakin kompleks. Terutama menyangkut soal Nasionalisme. Muncuknya gerakan Transnasional yang dapat membahayakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian hari kian bertambah banyak. Untuk itu, peran Santri sangat dibutuhkan dalam menjaga dan melestarikan Indonesia sebagai Negara kesatuan.

Nasionalisme Santri

Berbicara soal Nasionalisme Santri. Bukti Nasionalisme Santri, menurut penulis, dapat dilihat dari beberapa fakta sejarah seperti; peristiwa Resolusi Jihad yang di fatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari, keterlibatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terciptanya Syair Syubbanul Wathon karya KH. Wahab Chasbullah, dan lain sebagainya.

Terjadinya peristiwa Resolusi Jihad merupakan salah satu bukti Nasionalisme Santri yang paling tampak dan paling besar pengaruhnya. Dilihat dari persepektif sejarah, Resolusi Jihad yang di fatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada seluruh umat islam di Indonesia untuk ikut serta dalam memerangi penjajah. Fatwa dalam membela Tanah Air yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari memberi dapak yang sangat luar biasa terhadap pembentukan Nasionalisme kaum santri.

Menurut Masdar Hilmy, seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari di masa-masa perang revolusi, misalnya, bias dilihat sebagai tonggak penancapan konsep nasionalisme non-primordial versi kiai atau pesantren, di mana serua panggilan jihad dikumandangkan guna mengusir penjajah dari bumi Indonesia yang multikultural, bukan untuk membela satu golongan atau kelompok agama tertentu.

Disisi lain Syair Syubbanul Wathon karya KH. Wahab Chasbullah juga bias dilihat sebagai tonggak dalam membentuk Nasionalisme kaum santri. Sebagaimana bunyi Syair Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air):

Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
(Puasaka Hati Wahai Tanah Airku)
Hubbul Wathon minal Iman
(Cintaku dalam Imanku)
Wala Takun minal Hirman
(Jangan Halangkan Nasibmu)
Inhadlu Alal Wathon
(Bangkitlah Hai Bangsaku)
Indonesia Biladi
(Indonesia Negriku)
Anta ‘Unwanul Fakhoma
(Engkau Panji Martabatku)
Kullu May Ya’tika Yauma
(Siapa Datang Mengancammu)
Thomihay Yalqo Himama
(Kan Binasa di bawah Durimu)

Menurut KH. Maimoen Zubair atau yang akrab di panggil Mbah Maimoen, mengatakan bahwa ketika beliau mondok di Tambak Beras dan belajar di sekolah “Syubbanul Wathon” menjadi lagu wajib dinyanyikan murid-murid sebelum masuk kelas. Dari sini kita bias melihat betapa kuatnya rasa Nasionalisme kaum Santri serta dalam pembentukan Nasionalisme seorang Santri yang dilakukan oleh para Kiai atau lembaga pesantren.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh George McTurnan Khain (1918-2000, Cornell University, USA), di dalam hasil penelitiannya, yang di tulis dalam “Nastionalisme and Revolution in Indonesia” (Connel University, Southeast Asia Program, 1952), Gorge McTurnan Khain menyimpulkan bahwa “Nasionalisme Indonesia berakar pada tradisi Islam Nusantara”: pesantren!
Dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa, Nasionalisme seorang Santri sudah tidak perlu diragukan lagi. Kalau toh ada santri yang mengancam keutuhan NKRI, mungkin itu bukan santri yang sebenarnya. Sejarah telah mengungkapkan bahwa sanya keterlibatan seorang santri dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tanggan penjajah, keterlibatan dalam BPUPKI, Serta adanya peran aktif dalam melestarikan NKRI.

 

Peran Santri dalam Melestarikan NKRI

Akhir-akhir ini, ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian hari kian membahayakan. Menguatnya gerakan-gerakan yang mengancam terhadap keutuhan NKRI, seperti yang disebutkan oleh Abd A’la sebagai kelompok fundamentalisme keagamaan yang saktarian dan fundamentalisme globalisasi eksternal. Sedangkan Masdar Hilmy, memakai istilah gerakan Transnasionalisme.

Adanya sebagian masyarakat Muslim di negeri ini yang hendak meng-Islam-kan konsep nasionalisme dengan cara menggantinya menjadi Dawlah/Khilafah Islamiyah atau Negara Islam Indonesia (NII). Di mata kelompok ini, konsep nasionalisme merupakan bentuk kekufuran berfikir, –lebih-lebih yang “sekuler” –karena megingkari bentuk Negara Islam yang mereka yakini sudah bersifat “given” sebagaimana dimandatkan oleh al-Qur’an dan Hadist. Ironisnya, kelompok penganjur konsep Khilafah atau NII bias eksis mengkampanyekan konsepnya dengan memanfaatkan ruang-ruang demokrasi yang dibuka lebar oleh rezim nasionalisme “sekuler”.

Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita harus sudah mulai mengkonstruk konsep “musuh bersama” (common enemy) yang bersifat perennial dan universal, bukan “musuh” dalam pengertian klasik. Hal ini tidak lain untuk mejaga keutuhan dan keragaman bangsa menuju kejayaan Indonesia. Tanpa itu semua, bangsa ini akan terninabobokkan oleh konsep nasionalisme klasik yang keberadaannya sudah tidak mampu mengakomodir tantangan zaman.

Dalam pengimplementasiannya, nasionalisme tidak cukup hanya diukur dengan sekedar hafal redaksi sumpah pemuda, lagu Indonesia Raya, dan lain sebagainya. Tapi lebih dari itu, pembumian konsep nasionalisme harus menyentuh kebutuhan dan tantangan kekinian bangsa Indonesia.

Dengan berbagai macam ancaman dan tantangan terhadap bangsa Indonesia, maka, peran santri sangat dibutuhkan. Santai sebagai orang yang mempunyai kecerdasan intelaktual, speritual, dan nasionalisme yang tinggi diharapkan mampu untuk mengatasi ancaman dan tantangan yang sedang melanda bumi pertiwi. Santri juga dirahapkan menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para kiai dan santri terdahulu.

Mudah-mudahan pada Hari Santri Nasional ini menjadi momentum bagi kita semua untuk dapat meningkatkan rasa nasionalisme, mengingat ancaman dan tantangan bagi bangsa Indonesia kedepan akan semakin kompleks. Maka dari itu, penulis berharap mudah-mudahan lewat tulisan ini rasa nasionalisme kita akan semakin kokoh. Amin!

 

Oleh: Muhammad Zainal Abidin S (Pengabdi di KAMANURJA)

 

DAFTAR RUJUKAN
Abd A’la, Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan Yogyakarta: LKSI, 2014
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama Yogyakarta: LKSI, 2011
Hans Khon, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya Jakarta: Erlangga, 1984
Masdar Hilmy, Islam, Politik, dan Demokrasi Surabaya: Imtiyaz, 2014
NU Online, 18/10/1016
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Jakarta: LP3ES, 2011

 

 

Kami, Santri Nurul Jadid, Berjuang Untuk NKRI (Refleksi Menyambut Hari Santri Nasional)

Tidak ada yang perlu diragukan dalam perjuangan kaum sarungan, berkait ke-ikut-sertaannya memperjuangkan kemerdekaan Nusantara. Semangat pantang menyerah, terbukti mampu meluluhlantakkan semangat agresi kolonealisme di Bumi Pertiwi. Pemikiran santri tidak terbatas pada keingin tahuan baca kitab kuning dan penguasaan terhadap Al-furudhul –Ainiyah. Melainkan terpatri sikap juang dalam membela Tanah Air dan jajahan para penjajah bangsa.  Ada pernyataan cukup fenomenal dalam memmbangkitkan semangat kaum sarungan, adalah Alm. Kiai Zaini Mun’im Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid pertama dalam pernyataannya bahwa “ Orang yang hidup di Indonesia, kemudian tidak melakukan perjuanga, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekonominya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak.  Satu diantara beberapa kiai pejuang bangsa yang pernah ada di negeri ini, Kiai Zaini, mampu menanamkan semangat patriot pada seluruh santri dan kawan seperjuangannya. Bahwa, perjuangan untuk kemaslahatan orang banyak merupakan keniscayaan yang harus menjadi prioritas perjuangannya. Orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri adalah mereka yang tidak layak untuk menempati bangsa ini. Karena, bangsa ini merdeka berkat perjuangan para pejuang yang rela mengorbankan jiwa-raga demi tercapainya kesejahteraan anak bangsa sendiri. Sangat disayangkan jika para pahlawan-pahlawan pesantren seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Zaini Mun’im dan beberapa kiai pejuang lainnya, hanya bagaikan cerita-cerita pelengkap dalam sejarah. Seyoyanya harus mampu menjadi  nafas perjuangan santri sesudahnya dalam mempertahankan bangsa dari kemerdekaan.

Santri Nurul Jadid Untuk NKRI

Semua santri, mempunyai komitmen dalam menjalankan amanah agama dan Negara. Melalui, sikap juangnya, meski terkadang memakai jalan yang berbeda-beda. Santri terlahir dari tempat dimana didalamnya terlatih untuk terus peka terhadap persoalan agama dan banga. Ideologinya senafas dengan ideologi NKRI. Maka, tidak salah jika bangsanya di usik mereka akan melakukan perlawanan sesuai dengan kapasitasnya. Lebih lebih saat ideologi Negara terancam oleh ideologi transnasional yang akan merusak karakter dan budaya bangsa. Banyak ancaman-ancaman yang sedang meng-ideologi-sasi rakyat, untuk melawan bahkan keluar dari ideologi Negara yang telah menjadi kesepakatan founding father. Dan, ini merupakan ancaman serius, akan akan membawa terhadap ketidak utuhan bangsa.  Ke-ingin-an (mereka) untuk merubah azas Negara, tidak perlu dipandang remeh, ini persoalan serius yang harus menjadi perhatian semua elemen. Kita tidak menginginkan Negara berada dalam perseteruan berkepanjangan, lebih-lebih terusik oleh anak bangsa sendiri.

Momentum Hari Santri Nasional, memang bukan satu-satunya alat untuk mempertahankan ideologi bangsa. Akan tetapi ini merupakan kesempatan untuk mensiarkan agar bangsa tetap berada pada jalan yang mana disana bangsa dilahirkan. Binnheka Tunggal Ika, tidak hanya semboyan belaka, namun ia merupakan filosofi negara untuk menjaga keutuhannya. Suku, ras, warna kulit, bahasa yang berbeda-beda, termaktub didalamnya, hingga mampu termanisfestasi menjadi Negara yang majemuk. Dengan, semangat persaudaraan-persatuan yang tiada duanya.

Perjuangan Belum Selesai

Santri Nurul Jadid, menjadikan hari bersejarah ini (HSN) sebagai moment untuk mengingat perjuangan berdarah-darah para pejuang. Tidak hanya, membalas budi para syuhada, akan tetapi untuk menanamkan spirit perjuangan, agar kita tidak menjadi bangsa yang lemah, hedonis dan terbawa arus untuk merusak azas bangsa. Patut, memperingati HSN sebagai wujud syukur akan kemenangan kaum sarungan. Dan, salurkan dalam nafas kita sebagai penerusnya agar kita tidak menjadi bangsa yang tak tau diri, hanya sebagai penikmat hasil perjuangan pejuang terdahulu.

Perkembangan IPTEK semakin tak terbantahkan, tuntutan penyesuaian sebuah keharusan. Disitulah, memerlukan spirit juang untuk bisa menjadi cultur broker. Tidak antipati, juga tidak larut hingga akhirnya mempertaruhkan nasib bangsa. Kapitalisme semakin meraja rela, para koorporat seakan tak terbendung melakukan aksinya, hingga nasib rakyat harus tetap terkawal agar bisa hidup nyaman di rumahnya sendiri. Indonesia rumah kita, tidak perlu kita gadaikan kepada para investor. Bagaimana nasib petani garam di Madura, mereka menangis kehilangan penghasilan layak. Tepat sekali KH. Abd. A’la menyuarakan nasib petani garam di depan Presiden RI Ir. H. Joko Widodo, saat menghadiri acara Hari Perdamaian Dunia. Saat (mereka) bukan santri tidak berani menyuarakan nasib para petani, santri harus mampu menjadi mediator, agar keinginan para rakyat kecil tersampaikan.

 

Oleh: Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantenan PP. Nurul Jadid sekaligus Sekretaris Kegiatan Hari Santri Nasional PP. Nuru Jadid)

kh zaini mun'im

Dakwah dalam Pandangan KH. Zaini Mun’im

“Hidup saya akan diwakafkan untuk penyiaran dan ketinggian Agama Islam”
— KH. Zaini Mun’im

Sebelum melangkah jauh tentang pembahasan Dakwah Dalam Pandangan KH. Zaini Mun’im, alangkah baiknya jika penulis mengulas biografi singkat KH. Zaini Mun’im. KH. Zaini Mun’im lahir di Galis Madura pada tahun 1906 dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Nyai Hamidah. Kiai Abdul Mun’im merupakan pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan Madura. Sebuah Pesantren yang dirintis oleh Kiai Madarik, kakek dari Kiai Zaini Mun’im. Jika di telusuri nasabnya, Kiai Zaini Mun’im masih keturunan Bangsawan. Dari jalur ayahnya Kiai Abdul Mun’im masih keturunan Raja-raja Sumenep yang menjulur ke belakang sampai Sunan Kudus. Sedangkan dari jalur Ibunya Nyai Hamidah masih keturunan Raja-raja Pamekasan.

Dari latar belakang pendidikan, Kiai Zaini Mun’im dikenal sebagai sosok yang selalu haus akan ilmu. Terbukti beliau menjadi santri kelana. Sejaka kecil beliau didik oleh Ibunya, terutama dalam pelajaran membaca Al-Qur’an. Selain itu beliau juga belajar Al-Qur’an kepada Ayahnya Kiai Abdul Mun’im dan kepada Sepupunya Kiai Shanhaji. Ketika umur 11 tahun Kiai Zaini Mun’im masuk sekolah Volk School (Sekolah Rakyat) sekolah Belanda yang ada pada zaman penjajah selama empat tahun.

Pada tahun 1921, Kiai Zaini Mun’im mulai nyantri, pesantren pertama yang beliau masuki adalah pesantren Kademangan asuhan KH. Muhammad Kholil Bangkalan dan menantunya KH. Muntaha. Di pesantren ini Kiai Zaini Mun’im memperdalam Ilmu Al-Qur’an dan Al-Fiyah selama satu tahun. Setelah itu pada tahun 1922, Kiai Zaini Mun’im melanjutkan nyantri di pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura asuhan KH. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Madjid. Dari kedua Kiai tersebut Kiai Zaini Mun’im menerima dan memperdalam Ilmu Agama seperti; Tafsir, Usul Fiqih, Fiqih, tadjwid, Bahasa Arab, dan Tasawuf.

Tepat pada tahun 1925, Kiai Zaini Mun’im merantau ke tanah Jawa untuk menimba ilmu di Pesantren Sidogiri. Yang pada waktu itu di asuh oleh KH. Nawawi. Selama di Sidogiri Kiai Zaini Mun’in memperdalam ilmu Agamanya. Tapi tak lama kemudian Kiai Zaini Mun’im harus pulang ke tanah kelahirannya (Madura) untuk meneruskan estafed perjuangannya ayahanda Kiai Abdul Mun’im yang baru wafat pada saat itu.

Sebagai sosok yang selalu haus akan ilmu, Kiai Zaini Mun’im kembali merantau ke tanah Jawa untuk memperdalam ilmunya di Pesantren Tebuireng Jombang. Di Pesantren Tebuireng yang pada waktu itu di asuh oleh hadratussyeh KH. Hasyim As’ary beserta putranya KH. Wahid Hasyim dan menantunya KH. Maksum bin Ali. Dari ketiga Kiai tersebut Kiai Zaini Mun’im memperdalam ilmunya, baik Ilmu Agama maupun Ilmu Pengetahuan.

Selama tiga tahun Kiai Zaini Mun’im Nyantri di Pesantren Tebuireng, lalu kemudian tepat pada tahun 1928, Kiai Zaini Mun’im berserta Nyai Hamidah (Ibunya), Kiai Zawawi Mun’im (Adiknya) dan Neneknya berangkat ke tanah suci (Mekkah). Di tanah suci Kiai Zaini Mun’im berserta keluarganya menetap di Sifirlain. Di smaping ibadah haji , Kiai Zaini Mun’im juga melanjutkan studinya di Mekkah. Di tanah Suci inilah Kiai Zaini Mun’im mendapatkan pelajaran tingkat tinggi dari para gurunya, antara lain: 1. K.H M Baqir dari Yogyakarta (Indonesia), 2. Syaikh Umar Hamdani Al-Maghrabi, 3. Syekh Alwi Al-Maliki ( Mufti Maliki di Mekkah), 4. Syekh Sa’id Al-Yamani (Mufti Syari’i di Mekkah) , 5. Syekh Umar Bayunid (Mufti Syafi’i di Mekkah), 6. Syekh yahya, 7. Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam Singkiti Kiai Zaini Mun’im mendapat izajah Thariqat Sadzaliyah. Dan Kiai Zaini Mun’im sepulang dari mekkah beliau masih sempat menetap di Madina selama enam bulan dan sering mengikuti pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa Ulama, salah satunya Syekh Ibrahim Barry.

Kiai Zaini Mun’im merupakan sosok ulama yang cinta akan ilmu, tidak heran kalau beliau mempunyai karya gemilang seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid yang sangat terkenal di seluruh pelosok Nusantara. Disamping mengasuh Pondok Pesantren, Kiai Zaini Mun’im juga di kenal sebagai Ulama yang produktif dan telah mengabdi diri dalam menegakkan kejayaan Umat Islam. Pada awal Kiai Zaini Mun’im hadir di desa Tanjung/Karanganyar Paiton Probolinggo, beliau terus berdakwa dalam menyebarkan agama Islam. Kiai Zaini Mun’im memilih NU sebagai wadah dalam meneruskan Perjuagannya, beliau sangat tekun dan gigih dalam berjuang melalui Organisasi Kemasyrakatan ini. Secara struktural Kiai Zaini Mun’im pernah menjadi Rais Syuriah NU di Kraksaan Probolinggo dan Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur mendampingi KH Mahrus Ali Lirboyo Kediri Jawa Timur.

Dakwah

Sebagai sosok ulama yang gigih dalam menegakkan kejayaan Islam, Kiai Zaini Mun’im telah mewariskan beberapa karya gemilang yang dapat kita jumpai hingga hari ini. Salah satu warisannya ialah tentang dakwah. Untuk melihat lebih jauh bagaimana dakwah dalam pandangan KH Zaini Mun’im, penulis akan mengulasnya dibawah ini;

Pertama, apa itu dakwah? Dakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im, adalah menyeru atau mengajak kepada kebaikan dengan cara-cara yang santun. Adapun faktor-faktor yang harus di perhatikan dalam berdakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im, yang pertama ialah dimulai dari lapangan operasi/objek dakwah yaitu manusia. Diantara makhluk Tuhan, manusia makhluk satu-satunya yang lebih sempurna. Karena manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani serta dilengkapi dengan akal fikiran, panca indera, perasaan dan nafsu. Berbeda dengan hewan yang hanya di berikan kekuatan fisik dan nafsu tanpa mempunyai akal fikiran. Kelengkapan unsur-unsur manusia tersebut yang mengakibatkan manusia mempunyai kesiapan dalam menuju kesempurnaan atau jatuh pada ke lembah kerendahan, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Tiin, 4-6. “Demi Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. Dengan demikian manusia menghadapi dua alternative bisa terjerumus kedalam lembah kerendahan atau meningkat ke derajat kebahagian yang tiada putus-putusnya. Untuk itu manusia tidak cukup hanya dengan mengandalkan akal, tapi harus ada bimbingan berupa hidayah dari Allah SWT, yang disampaikan melalui rasul-rasulnya yaitu iman dan syari’at yang di terapkan sebagai amal yang saleh.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat As-saba’, ayat 28, “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

Kedua, Materi Dakwah secara umum, menurut Kiai Zaini Mun’im, terbagi menjadi dua bagian; 1. Perbaikan yang masyru’ dan 2. Perbaikin yang ma’ruf.

Perbaikan yang masyru’, diantaranya: a) Bidang Akidah, dalam bidang ini kita harus meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah SWT dan meyakini pula, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Serta meyakini Rukun Iman yang telah di tentukan. b) Bidang Ibadah, dalam bidang ibadah ini kita harus menjalankan apa yang telah di perintahkan Allah SWT, seperti; sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Dan dalam ibadah ini harus diikuti bentuk materi serta factor-faktor yang menjadi persyaratan yang di tetapkan dalam ajaran Rasulullah SAW. c) Bidang Tata-tertib Kemasyarakatan, dalam bidang tata-tertib kemasyarakatan, islam mempunyai garis-garis peraturan yang jelas dalam menuju kehidupan masyarakat yang harmonis, baik dalam bidang ekonomi, pergaulan , adab, dan pembinaan rumah tangga. Oleh karena itu dalam bidang tata-tertib kemasyarakatan ini Islam sangat melarang segala bentuk yang membawa kepada akses kekerasan dan kekacauan. Baik itu ketika bergaul, berkerja, dan lain-lain.

Perbaikan yang ma’ruf, dalam hali ini yaitu perbaikan yang dikenal dalam Agama Islam dengan perkataan Al- Ma’ruf, artinya tiap-tiap perkara yang dianggap baik oleh masyarakat dan tidak menyalahi ajaran Agama Islam.

Ketiga, Metode Dakwah, dalam hal ini, menurut Kiai Zaini Mun’im, yang selalu menarik perhatian umat Islam pada tiap-tiap masa dan tempat. Sekarang masalahnya adalah: Bagaimana metode atau cara yang baik dalam menyampaikan dakwah? Menurut Kiai Zaini Mun’im, sebenarnya garis-garis dakwah sejak lahirnya Islam hingga akhir zaman adalah satu, yaitu seperti yang telah digariskan dalam firman Allah SWT: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl, 125)

Dalam ayat diatas sudah disebutkan rentetan cara-cara dakwah, yaitu: Dengan hikmah kebijaksanaan, peringatan-peringatan yang baik dan berdialog dengan cara yang baik pula. Dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah seorang juru dakwah harus mengetahui sasaran yang dituju serta media yang dipakai. Adapun sasaran yang dituju adalah masyarakat tentu juru dakwah harus mengetahui wataknya, kepercayaannya, kegemarannya, kelemahan-kelemahnya serta Bahasanya. Adapaun media yang di pakai adalah media yang tepat dan menarik minat masyarakat sehingga dapat mengesankan.

Keempat, Tujuan dakwah, bahwa tujuan dari dakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im ialah mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT: “Allah mengajak (manusia) kepada Negara sentosa/Darussalam” (QS. Yunus: 25).

Sebagai penutup, semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita, terlebih bagi seorang juru dakwah.

 

Oleh: Muhammad Zainal Abidin S (Alumni Santri Nurul Jadid dan Guru MTs Al-Ustmani Beddian Bondowoso)

 

 

hari santri nasional

Hari Santri, Hari Kemenangan NKRI

Hari Santri, merupakan upaya untuk mewujudkan semangat membara pada seluruh anak bangsa. Dimana tepat pada tanggal 22 Oktober hari bersejarah, para kaum sarungan ikut andil melawan para penjajah yang sekian lama menduduki bangsa. Dengan semangat yang tinggi kaum sarungan berkeinginan untuk mempertahankan nasib bangsa dari cengkraman kapitalisme. Dalam beberapa literatur sejarah, beberapa tokoh santri rela mengorbankan harta maupun nyawa demi membela tanah air, presiden Joko Widodo, mengatakan mengingat peran historis para santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti K.H. Hasyim As’yari dari Nahdlatul Ulama, K.H. Ahmmad Dahlan dari Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad dan Mas Abdul Rahman dari Matlaul Anwar serta mengingat pula 17 nama-nama perwira Pembela Tanah Air (Peta) yang berasal dari kalangan santri, pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Tidak bisa dipungkiri, jaringan ulama-santri telah berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan, menegakkan kedaulatan, keadilan bangsa pada masa revolusi, serta mengawal negeri pada masa awal kemerdekan. Peran para kiai dalam mengawal perjuangan tidak bisa dilupakan dalam narasi sejarah bangsa Indonesia. Kontribusi tak bisa dihilangkan dalam putaran sejarah, mereka terbukti kokoh dalam menguatkan pondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para santri membentengi Indonesia dari pelbagai ancaman selama beradab-abad, dari serbuan kolonial, agresi militer hingga ancaman terhadap ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa,” kata Munawir Aziz, penulis buku ‘Pahlawan Santri, Tulang Punggung Pergerakan Nasional’ dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Sabtu (7/5/2016).

Barisan pejuang kiai-santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah (dikomando Kiai Zainul Arifin), Laskar Sabilillah (dikomando Kiai Masykur) dan Laskar Mujahidin pimpinan Kiai Wahab Chasbullah, merupakan jaringan militer dari pesantren yang dibentuk sebagai tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Mereka bergabung bersama barisan militer dari pemuda dan tentara, sebagai penopang perjuangan kemerdekaan. Kontribusi para kiai dalam menggerakkan pemuda santri dan warga dalam mengawal kemerdekaan terjadi dengan koneksi yang berlangsung lama, dalam hubungan guru-murid antar pesantren di Nusantara.

Resolusi Jihad yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi pemantik semangat dan menginspirasi pejuang santri dan warga untuk terjun ke medan laga melawan penjajah. Pertempuran berlangsung di berbagai daerah secara serempak, demi mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan NKRI. Palagan Ambarawa di Jawa Tengah dan pertempuran di Surabaya, Jawa Timur pada November 1945 merupakan cermin kekuatan pemuda santri dan warga yang digerakkan oleh semangat jihad mempertahankan tanah air. Pertempuran heroik 10 November 1945 diabadikan sebagai ‘Hari Pahlawan’ oleh pemerintah Indonesia, untuk mengenang jasa-jasa pahlawan yang berjuang dengan nyawa, darah dan air mata.

“Sayangnya para pejuang militer dari kalangan santri tidak banyak ditulis dalam catatan sejarah. Dengan sumbangsih terhadap perjuangan kemerdekaan, sudah semestinya kiai-kiai pesantren mendapatkan perhatian utama sebagai pahlawan bangsa,” ujar Munawir yang pernah melakukan riset akademis di beberapa universitas di Jerman, Belanda, dan Prancis pada 2011 dan 2013.
Untuk itu, perayaan Hari Santri tidak hanya dipahami sebagai bentuk kenang dari perjuangan kaum santri dalam memberikan pengorbanannya terhadap bangsa, akan tetapi ini merupakan jalan agar setiap anak bangsa mampu meneladaninya. Paling tidak ada tiga hal yang harus didapat dalam semat patriot kaum sarungan. Pertama: Mengingat bahwa keutuhan dalam mempertahankan bangsa, terlahir dari masyarakat Pesantren. Kedua: Santri dengan caranya masing-masing bergabung bersama elemen bangsa, melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, dan mengajarkan kesadaran tentang arti kemerdekaan, seperti yang diutaran Presiden Jko Widodo. Hal ini mengisyaratkan bahwa perjuangan kaum santri dalam memerdekakan bangsa adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. ketiga: Pesantren tidak hanya mengajari hubungan mahluk pada khaliqnya, lebih dari itu, kecintaan terhadap tanah air merupakan kewajiban yang harus terpatri dalam jiwa raganya. Dengan pelaksanaan Hari Santri Nasional (HSN), anak bangsa mampu menumbuhkan semangat menyatukan dalam keberagaman, semangat menjadi satu nafas untuk Indonesia. Ditengah terpaan arus globalisasi dan tantangan dunia modern budaya melekat nilai-nilai untuk saling menghargai, saling menjaga toleransi, dan saling menguatkan tali persaudaraan antaranak bangsa terkadang menjadi ancaman cukup serius, sehingga Bhinneka Tunggal Ika akan menjadi taruhan. Sangat menggetarkan saat kalimat ini terungkap dari kaum santri “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu’ain atau wajib bagi setiap individu“. Ini menandakan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari kehidupannya. Itulah mengapa tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Dari Santri Untuk NKRI

Ponirin Mika
Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Muharram Bulan Muhasabah

“Momentum peringatan tahun baru Islam ini merupakan momentum untuk bermuhasabah”

(KH. Zuhri Zaini)

 

Muharram merupakan salah satu dari bulan-bulan yang dimuliakan (asyhur-alhurum). Yaitu meliputi Muharram, Dzulhijjah, Dzulqo’dah dan Rajab.  Dinamakan bulan yang dimuliakan, karena dipermulaan Islam kaum muslimin tidak diperboehkan melakukan pertempuran dalam bulan-bulan tersebut. Allah menjelaskan melalui firmannya dalam alqur’an :

سْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ. قُلْ قتِاَلٌ فِيْهِ كَبِير ُُ

Mereka bertanya kepada engkau tentang bulan haram, bagaimana berperang pada bulan itu? Katakanlah : berperang dibulan itu adalah besar (dosonya) (QS. Al-Baqorah : 217)

Walaupun ada beberapa penjelasan mengenai larangan berperang dibulan “asyhurul Hurum” pertama:  apabila ada pihak yang berbuat dhalim dan akan mengancam nyawa dan agama maka pada bulan tersebut diperbolehkan melakukan perlawanan (perang) sebagaimana dijelaskan  Ibnu Mu’thi Rahimahullah :

“Berdasarkan ijma’ ulama, boleh melakukan peperangan pada bulan-bulan dengan tujuan membela diri dari serangan penganiaya”(Al-Furu; 47/10 dan Zaadul Ma’aad:3/301) . kedua : sejumlah ulama yang lain berpendapat bahwa hukum haramnya berprang dibulan-bulan tersebut tetap ada dan tidak dihapus, berdasarkan firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-syiar Allah, dan janganlah melanggar kehormatan bulan-bulan haram” (QS. Al-Maidah:2).

Bulan Muharram juga disebut dengan    (bulan Allah), ini dapat diartikan bahwa bulan muharram memiliki keutamaan khusus, karenan disandarkan pada lafadz Allah. Para ulama’ menyatakan bahwa penyandaran sesuatu pada lafadz jalalah memiliki makna pemuliaan, seperti Baitullah, Rasulullah, Habibullah, Kholilullah dan lainnya.

Hikmah Tahun Baru Islam

Seperti yang di dawuh-kan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid bahwa, tahun baru islam adalah momentum untuk bermuhasabah terhadap prilaku, sikap maupun tutur kata selama satu tahun. Karena dengan bermuhasabah (evauasi diri) akan mampu mengawali hidup dengan lebih baik. Jika tidak mampu mengambil hikmah pada momentum perayaan tahun baru hijriyah ini, maka kita termasuk orang yang merugi. Sangat disayangkan apabila perayaan tahun baru hijriyah hanya dijadikan rutinitas tahunan yang bersifat seremonial, tanpa menggali makna hijrahnya Nabi untuk diwujudkan dalam kehidupan selanjutnya. Dengan muhasabah ini pula, prilaku yang kurang baik akan terekam untuk tidak dilakukan lagi dan prilaku baik semakin ditingkatkan. ada kalimat yang masyhur : barang siapa prilakunya hari ini lebih jelek dari perilaku yang kemarin maka ia termasuk orang yang celaka, barang siapa yang prilakunya sama seperti perilaku yang kemarin maka ia termasuk orang yang rugi, tapi barang siapa yang perilakunya lebih baik dari hari yang kemarin maka ia termasuk orang yang beruntung”. Evaluasi diri akan membantu seseorang mengetahui terhadap amaliyahnya, dan ini bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengakui dirinya sebagai hamba yang lemah dan tidak pernah alpa dari kesalahan-kesalahan.

Sementara bagi orang yang memelihara kesombongan, tidak akan melakukan muhasabah, karena ia merasa benar dan baik. Inilah pengaruh dari kesombongan,membuat hati buta dan tidak akan mengetahui terhadap kebenaran dan kebaikan. Disamping itu, ada tiga renungan didalam bulamn muharram :

  1. Bersyukur atas nikmat Allah

Umur adalah nikmat Allah yang begitu berharga, nafar yang keluar dari setiap orang adalah mutiara dan siapapun yang menyia-nyiakan maka dia termasuk orang yang akan menyesal, karena umur dan nafas tidak akan kembali. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa umur dan nafas sebagi nikmat besar yang harus disyukuri, oleh karenanya patut menggunakan umur dan nafar untuk memperbaiki kesalahan, menambah amal saleh sebagi ekal menghadap Allah.

  1. Muhasabah

Pergantian tahun baru bukan sekedar pergantian kelender  di rumah, namun merupakan peringatan, terhadap aktifias tahun sebelumnya, apakah sudah mellaksanakan kewajiban dengan baik atau tidak, juga apa yang akan dilakukan dalam kehidupan selanjutnya.

  1. Mengenang hijrah Rasulullah

Perisiwa hijrahnya Rasulullah SAW seyogyanya dijadikan sebagai pelajaran berharga dalam kehidupan sehar-hari. Betapapun beratnya menegakkan agama Allah, tetapi seorang muslim tidak layak berpangku tangan menyerah pada keadaan, namun semuanya bisa dijadikan sebagia motivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan maslahah

 

Oleh : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Prbolinggo)

“Metani” Wajah dan Makna Peran Perempuan

Satu makhluk Tuhan ini memang selalu unik, seksi dan menggairahkan untuk diperbincangkan. Tak habis-habisnya kata dimuntahkan dan tulisan ditorehkan untuk mengungkap misteri dari makhluk Tuhan yang paling seksi ini. Mulai dari berbentuk buku serius dan njlimet milik para pemikir yang tulisannya sulit diparkir sampai tulisan santai yang terus berantai di tembok sekolah, gudang beras, tembok terminal, tiang listrik, atau di pasir pantai. Rasa-rasanya saya sendiri kehabisan kata-kata untuk metani perempuan dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, bahkan sampai ke perok tetetnya, dimana perempuan masih terus mengeluarkan aura-aura misteri yang tak kunjung mati.

Selagi saya masih terkagum-kagum dan terseok-seok memahami sosok yang aduhai ini, paling tidak ini adalah curahan hati dan imajinasi penulis tentang perempuan. Mari kita mulai dengan metani sisi perwajahan perempuan. Oh iya…..bagi yang tidak faham metani; ini adalah ungkapan yang berasal dari bahasa jawa dari kata petan. Sederhananya adalah kegiatan yang dilakukan oleh—biasanya—ibu-ibu untuk mencari kutu di rambut. Kalau tidak salah bahasa maduranya alek-selek. Sekarang kembali lagi ke masalah metani sisi perwajahan perempuan hasil dari imajinasi saya selama njagongi dan “mengintip” perempuan . Pertama, sebagian besar asumsi akan membenarkan walaupun terkadang tidak jujur atau bersembunyi dibalik motif “melihat perempuan dengan tidak sebelah mata”, bahwa ketika perempuan tampil ke ranah publik sebagian besar yang dipandang adalah relasinya dengan penampilan. Apalagi kalau sudah menyentuh dunia entertain, pasti ukuran awalnya adalah perwajahan atau penampilan. Hanya untuk kepentingan tertentu saja menggunakan ukuran sebaliknya. Inilah yang biasa gamblang disebut dengan mitos kecantikan.

Begitupun pada ranah publik yang lain, banyak pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional, perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut, maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Bahkan pula, hal yang paling gampang-gampang sulit; persoalan pasangan. Disinilah kejujuran kaum adam dipertanyakan; tentang kesepakatan terselubung mereka untuk memilih tampilan. Well, saat itulah perempuan menjadi tersihir untuk tampil selalu cantik. Anda boleh sepakat atau tidak, percaya atau tidak saya kira begitulah kenyataannya.

Kedua, Secara otomatis pula, ketika perempuan mengejar untuk menjadi yang tercantik, saat itulah dia akan menjadi orang yang menderita, karena hidupnya dibayang-bayangi hantu keriput, jerawat, kegemukan, kulit hitam dan mitos-mitos lain tentang ciri-ciri perempuan yang mudah dipandang sebelah mata. Dengan begitu, masuklah kemudian kepentingan pasar global—yang memang sengaja diciptakan agar memiliki konsumen yang fanatis—terhadap image perempuan yang bisa menarik segala keberuntungan dengan membuat kriteria cantik menurut mereka, melalui iklan-iklan dan bualan-bualan di televisi maupaun di pasar-pasar.

Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Dengan malakukan operasi plastik mereka berusaha memenuhi tuntutan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan terjadinya kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan. Mengutip tulisan Naomi Wolf, “Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan.” Wal hasil asumsi ketiga, perempuan dijadikan sasaran dari eksploitasi produksi pasar kapitalis dengan terus menciptakan produk dan mempromosikan tentang perempuan idaman yang memiliki daya tarik. Kalau sudah demikian, ketika kaum adam disuguhi tentang citra perempuan yang dapat mendongkrak gengsinya, dengan kriteria yang telah dibuat sedemikian apik oleh kepentingan pasar, munculah asumsi yang keempat, perempuan akan selalu dipandang sebagai objek seksualitas; bukan kapasitas, hanya untuk memuaskan nafsu birahi; bukan iner beauty yang memancar dari keanggunan akal dan mental, jiwa dan kesopanan. Yang dimaksud dengan objek adalah pengeksploitasian tubuh secara berlebih, bukan untuk menjadi fokus utama, tetapi hanya sebagai pelengkap, produk sekunder saja. Ironisnya lagi, jika kita lihat media massa; termasuk obrolan di restoran, cafe bahkan warteg, menjadikan wanita sebagai pribadi sekunder, sebagai objek dari media itu. Hal ini jelas berimplikasi pada semakin menguatnya stigma yang melekat pada kesucian wanita. Superioritas pria semakin ditekankan, dan mempersuasi publik secara latent melalui media tersebut. Sekarang kembali kepada perempuan sendiri; mau terus menderita dihantui dengan menjadi cantik sebagaimana kategori dalam objek seksualitas, atau bangkit dan menjadi orang yang merdeka dengan menentukan cantiknya sendiri. Hmm…. Gampang-gampang sulit kayaknya ya…. Tapi saya yakin pembaca tulisan ini adalah perempuan kuat yang tampil dengan keanggunan fikir dan kemapanan akhlaknya. semoga!

Masih belum selesai….. monggo kita metani makna peran perempuan. Kekasih-kekasihku sebangsa dan setanah air; para kaum hawa, mengutip sedikit dari hadits nabi yang sudah tidak asing bunyinya لنساء عماد البلاد ان صلحت صلح البلاد وان فسدت فسد البلادا (perempuan adalah tiang negara apabila perempuan baik maka negara akan menjadi baik, jika perempuan jelek (akhlaqnya) maka negara akan menjadi jelek). Dengan demikian betapa mulya dan luar biasanya kedudukan perempuan sehingga bisa menjadi barometer bagi baik buruknya sebuah negara. Isi negara terdiri dari kumpulan masyarakat dengan satuan terkecil adalah keluarga. Lebih sederhananya, keluarga adalah ujung tombak negara dalam menciptakan kondisi yang adil, makmur, aman dan sentosa. Setiap keluarga menjadi tonggak negara dengan peran yang sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan. Lalu, setiap keluarga tentunya memiliki anggota keluarga dimana peran ibu menjadi sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai luhur tersebut. Maka, tidaklah berlebihan bunyi hadits diatas dengan mengatakan perempuan sebagai tiang Negara, karena masa depan generasi bangsa ada dalam genggamannya dan bagaimana seorang perempuan yang menyandang gelar “ibu” mengarahkan masa depan anak-anaknya. Sehingga menjadi hal yang wajar dan keharusan jika pendampingan yang ekstra kepada generasi bangsa dilakukan dengan intens. Sentuhan perempuan yang bergelar ibu tak bisa tergantikan dengan seribu tangan baby sister dengan alasan kesibukan apapun, apalagi hanya alasan mengejar karir dan tambahan pundi-pundi kekayaan keluarga. Sekarang pilihannya karir yang dikorbankan atau anak dan keluarga yang terlantar?!. Lebih memilih sukses sendiri atau menahan diri dengan mempersiapkan sepuluh (jika mau punya anak sepuluh hehehe) kader-kader bangsa yang dibimbing oleh perempuan sejati?!. Maka kembalilah wahai perempuan ke pangkuan nilai-nilai islami. Sebuah syiir melantun….الأم مدرسة إذا أعددتها أعدت جيلا طيب الأعراق  (Ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya, maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik) وإذا النساء نشأن فى أمية رضع الرجال جهالة وخمولا  (Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan, maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan). Syiir yang terakhir ini mengingatkan pada setiap perempuan: siapkanlah ilmumu. Bagi perempuan yang belum bergelar “ibu”, carilah ilmu sehebat mungkin. Isilah kantong-kantong fikiranmu dan akhlakmu dengan pengalaman yang seluas-luasnya. Lalu satu hal yang harus engkau janjikan: “semua itu adalah untuk anak-anakku!”

Sekarang pilihan ada ditanganmu wahai perempuan. Apakah engkau akan membiarkan anak-anakmu tidak mengenalmu atau sebaliknya bangga dengan memilikimu. Sehingga dalam setiap soal yang diajukan kepada anak-anakmu; siapakah pahlawan yang paling berjasa? dengan sigap, tegas dan lantang mereka menjawab: ibuku!

Rojabi Azharghany

(santri dan khodim Pesantren Nurul Jadid)
Dimuat pada majalah ALHASYIMY edisi kedua 2017.