Dakwah dalam Pandangan KH. Zaini Mun’im
“Hidup saya akan diwakafkan untuk penyiaran dan ketinggian Agama Islam”
— KH. Zaini Mun’im
Sebelum melangkah jauh tentang pembahasan Dakwah Dalam Pandangan KH. Zaini Mun’im, alangkah baiknya jika penulis mengulas biografi singkat KH. Zaini Mun’im. KH. Zaini Mun’im lahir di Galis Madura pada tahun 1906 dari pasangan KH. Abdul Mun’im dan Nyai Hamidah. Kiai Abdul Mun’im merupakan pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan Madura. Sebuah Pesantren yang dirintis oleh Kiai Madarik, kakek dari Kiai Zaini Mun’im. Jika di telusuri nasabnya, Kiai Zaini Mun’im masih keturunan Bangsawan. Dari jalur ayahnya Kiai Abdul Mun’im masih keturunan Raja-raja Sumenep yang menjulur ke belakang sampai Sunan Kudus. Sedangkan dari jalur Ibunya Nyai Hamidah masih keturunan Raja-raja Pamekasan.
Dari latar belakang pendidikan, Kiai Zaini Mun’im dikenal sebagai sosok yang selalu haus akan ilmu. Terbukti beliau menjadi santri kelana. Sejaka kecil beliau didik oleh Ibunya, terutama dalam pelajaran membaca Al-Qur’an. Selain itu beliau juga belajar Al-Qur’an kepada Ayahnya Kiai Abdul Mun’im dan kepada Sepupunya Kiai Shanhaji. Ketika umur 11 tahun Kiai Zaini Mun’im masuk sekolah Volk School (Sekolah Rakyat) sekolah Belanda yang ada pada zaman penjajah selama empat tahun.
Pada tahun 1921, Kiai Zaini Mun’im mulai nyantri, pesantren pertama yang beliau masuki adalah pesantren Kademangan asuhan KH. Muhammad Kholil Bangkalan dan menantunya KH. Muntaha. Di pesantren ini Kiai Zaini Mun’im memperdalam Ilmu Al-Qur’an dan Al-Fiyah selama satu tahun. Setelah itu pada tahun 1922, Kiai Zaini Mun’im melanjutkan nyantri di pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura asuhan KH. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Madjid. Dari kedua Kiai tersebut Kiai Zaini Mun’im menerima dan memperdalam Ilmu Agama seperti; Tafsir, Usul Fiqih, Fiqih, tadjwid, Bahasa Arab, dan Tasawuf.
Tepat pada tahun 1925, Kiai Zaini Mun’im merantau ke tanah Jawa untuk menimba ilmu di Pesantren Sidogiri. Yang pada waktu itu di asuh oleh KH. Nawawi. Selama di Sidogiri Kiai Zaini Mun’in memperdalam ilmu Agamanya. Tapi tak lama kemudian Kiai Zaini Mun’im harus pulang ke tanah kelahirannya (Madura) untuk meneruskan estafed perjuangannya ayahanda Kiai Abdul Mun’im yang baru wafat pada saat itu.
Sebagai sosok yang selalu haus akan ilmu, Kiai Zaini Mun’im kembali merantau ke tanah Jawa untuk memperdalam ilmunya di Pesantren Tebuireng Jombang. Di Pesantren Tebuireng yang pada waktu itu di asuh oleh hadratussyeh KH. Hasyim As’ary beserta putranya KH. Wahid Hasyim dan menantunya KH. Maksum bin Ali. Dari ketiga Kiai tersebut Kiai Zaini Mun’im memperdalam ilmunya, baik Ilmu Agama maupun Ilmu Pengetahuan.
Selama tiga tahun Kiai Zaini Mun’im Nyantri di Pesantren Tebuireng, lalu kemudian tepat pada tahun 1928, Kiai Zaini Mun’im berserta Nyai Hamidah (Ibunya), Kiai Zawawi Mun’im (Adiknya) dan Neneknya berangkat ke tanah suci (Mekkah). Di tanah suci Kiai Zaini Mun’im berserta keluarganya menetap di Sifirlain. Di smaping ibadah haji , Kiai Zaini Mun’im juga melanjutkan studinya di Mekkah. Di tanah Suci inilah Kiai Zaini Mun’im mendapatkan pelajaran tingkat tinggi dari para gurunya, antara lain: 1. K.H M Baqir dari Yogyakarta (Indonesia), 2. Syaikh Umar Hamdani Al-Maghrabi, 3. Syekh Alwi Al-Maliki ( Mufti Maliki di Mekkah), 4. Syekh Sa’id Al-Yamani (Mufti Syari’i di Mekkah) , 5. Syekh Umar Bayunid (Mufti Syafi’i di Mekkah), 6. Syekh yahya, 7. Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam Singkiti Kiai Zaini Mun’im mendapat izajah Thariqat Sadzaliyah. Dan Kiai Zaini Mun’im sepulang dari mekkah beliau masih sempat menetap di Madina selama enam bulan dan sering mengikuti pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa Ulama, salah satunya Syekh Ibrahim Barry.
Kiai Zaini Mun’im merupakan sosok ulama yang cinta akan ilmu, tidak heran kalau beliau mempunyai karya gemilang seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid yang sangat terkenal di seluruh pelosok Nusantara. Disamping mengasuh Pondok Pesantren, Kiai Zaini Mun’im juga di kenal sebagai Ulama yang produktif dan telah mengabdi diri dalam menegakkan kejayaan Umat Islam. Pada awal Kiai Zaini Mun’im hadir di desa Tanjung/Karanganyar Paiton Probolinggo, beliau terus berdakwa dalam menyebarkan agama Islam. Kiai Zaini Mun’im memilih NU sebagai wadah dalam meneruskan Perjuagannya, beliau sangat tekun dan gigih dalam berjuang melalui Organisasi Kemasyrakatan ini. Secara struktural Kiai Zaini Mun’im pernah menjadi Rais Syuriah NU di Kraksaan Probolinggo dan Wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur mendampingi KH Mahrus Ali Lirboyo Kediri Jawa Timur.
Dakwah
Sebagai sosok ulama yang gigih dalam menegakkan kejayaan Islam, Kiai Zaini Mun’im telah mewariskan beberapa karya gemilang yang dapat kita jumpai hingga hari ini. Salah satu warisannya ialah tentang dakwah. Untuk melihat lebih jauh bagaimana dakwah dalam pandangan KH Zaini Mun’im, penulis akan mengulasnya dibawah ini;
Pertama, apa itu dakwah? Dakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im, adalah menyeru atau mengajak kepada kebaikan dengan cara-cara yang santun. Adapun faktor-faktor yang harus di perhatikan dalam berdakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im, yang pertama ialah dimulai dari lapangan operasi/objek dakwah yaitu manusia. Diantara makhluk Tuhan, manusia makhluk satu-satunya yang lebih sempurna. Karena manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani serta dilengkapi dengan akal fikiran, panca indera, perasaan dan nafsu. Berbeda dengan hewan yang hanya di berikan kekuatan fisik dan nafsu tanpa mempunyai akal fikiran. Kelengkapan unsur-unsur manusia tersebut yang mengakibatkan manusia mempunyai kesiapan dalam menuju kesempurnaan atau jatuh pada ke lembah kerendahan, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Tiin, 4-6. “Demi Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. Dengan demikian manusia menghadapi dua alternative bisa terjerumus kedalam lembah kerendahan atau meningkat ke derajat kebahagian yang tiada putus-putusnya. Untuk itu manusia tidak cukup hanya dengan mengandalkan akal, tapi harus ada bimbingan berupa hidayah dari Allah SWT, yang disampaikan melalui rasul-rasulnya yaitu iman dan syari’at yang di terapkan sebagai amal yang saleh.
Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat As-saba’, ayat 28, “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Kedua, Materi Dakwah secara umum, menurut Kiai Zaini Mun’im, terbagi menjadi dua bagian; 1. Perbaikan yang masyru’ dan 2. Perbaikin yang ma’ruf.
Perbaikan yang masyru’, diantaranya: a) Bidang Akidah, dalam bidang ini kita harus meyakini bahwa tiada tuhan selain Allah SWT dan meyakini pula, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Serta meyakini Rukun Iman yang telah di tentukan. b) Bidang Ibadah, dalam bidang ibadah ini kita harus menjalankan apa yang telah di perintahkan Allah SWT, seperti; sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Dan dalam ibadah ini harus diikuti bentuk materi serta factor-faktor yang menjadi persyaratan yang di tetapkan dalam ajaran Rasulullah SAW. c) Bidang Tata-tertib Kemasyarakatan, dalam bidang tata-tertib kemasyarakatan, islam mempunyai garis-garis peraturan yang jelas dalam menuju kehidupan masyarakat yang harmonis, baik dalam bidang ekonomi, pergaulan , adab, dan pembinaan rumah tangga. Oleh karena itu dalam bidang tata-tertib kemasyarakatan ini Islam sangat melarang segala bentuk yang membawa kepada akses kekerasan dan kekacauan. Baik itu ketika bergaul, berkerja, dan lain-lain.
Perbaikan yang ma’ruf, dalam hali ini yaitu perbaikan yang dikenal dalam Agama Islam dengan perkataan Al- Ma’ruf, artinya tiap-tiap perkara yang dianggap baik oleh masyarakat dan tidak menyalahi ajaran Agama Islam.
Ketiga, Metode Dakwah, dalam hal ini, menurut Kiai Zaini Mun’im, yang selalu menarik perhatian umat Islam pada tiap-tiap masa dan tempat. Sekarang masalahnya adalah: Bagaimana metode atau cara yang baik dalam menyampaikan dakwah? Menurut Kiai Zaini Mun’im, sebenarnya garis-garis dakwah sejak lahirnya Islam hingga akhir zaman adalah satu, yaitu seperti yang telah digariskan dalam firman Allah SWT: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl, 125)
Dalam ayat diatas sudah disebutkan rentetan cara-cara dakwah, yaitu: Dengan hikmah kebijaksanaan, peringatan-peringatan yang baik dan berdialog dengan cara yang baik pula. Dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah seorang juru dakwah harus mengetahui sasaran yang dituju serta media yang dipakai. Adapun sasaran yang dituju adalah masyarakat tentu juru dakwah harus mengetahui wataknya, kepercayaannya, kegemarannya, kelemahan-kelemahnya serta Bahasanya. Adapaun media yang di pakai adalah media yang tepat dan menarik minat masyarakat sehingga dapat mengesankan.
Keempat, Tujuan dakwah, bahwa tujuan dari dakwah, menurut Kiai Zaini Mun’im ialah mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT: “Allah mengajak (manusia) kepada Negara sentosa/Darussalam” (QS. Yunus: 25).
Sebagai penutup, semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita, terlebih bagi seorang juru dakwah.
Oleh: Muhammad Zainal Abidin S (Alumni Santri Nurul Jadid dan Guru MTs Al-Ustmani Beddian Bondowoso)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!