Ini Cara Mengobati Iri Hati

Iri tanda tak mampu, slogan ini biasa kita temui di media social –facebook/whatsApp kata bijak ini cocok bagi orang yang selalu merasa iri kepada orang lain karena kesenangan yang ia rasakan. Tak jarang kita temui orang yang memiliki sifat iri hati baik dalam keluarga, kantor atau di lingkungan social, dalam keluarga biasa terjadi karena merasa ada ketidakadilan dari pemberian orang tua, anak yang merasa menerima sedikit akan iri kepada saudaranya yang dianggapnya mendapat banyak pemberian dan perhatian, di kantor satu pegawai merasa iri kepada yang lain yang karena promosi kerja yang tidak merata, di lingkungan social biasa terjadi karena tetangga mampu memiliki barang baru rumah, kendaraan, emas dan lain sebagainya, sementara yang iri tidak mampu untuk membeli.

Iri menurut kamus Bahasa Indonesia adalah merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain (beruntung dsb); cemburu; sirik; dengki, sifat iri sangat berbahaya bila dilakukan karena akan mengundang keburukan-keburukan lainnya seperti mencari-cari kejelekan untuk digosipkan kepada yang orang lain sehingga orang lain bisa benci kepada orang yang diirii atau bahkan akan melakukan tindakan yang lebih besar seperti barangnya dicuri, saling berrmusuhan dan lain sebagainya.
Dalam nash agama yakni al-Qur’an dan as-Sunnah telah dahulu melarang seorang memiliki sifat iri kepada orang lain yang dianggap lebih baik daripada dirinya. Allah berfirman:
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’ : 32)

Allah sudah melarang manusia untuk tidak saling iri terhadap karunia Allah yang tidak sama kepada setiap hambanya, sebagian dilebihkan sebagian yang lain tidak itu semua sudah karunia Allah yang harus disyukuri dan diterima dengan lapang dada, karena Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hambanya, kita hanya dituntut untuk berusaha dan kerja keras tetapi hasilnya diserahkan kepada Allah.
Lalu bagaimana seharusnya bersikap saat memandang kelebihan orang lain dalam hal dunia agar terhindar dari sifat iri, dalam hadist yang diriwayatkan imam muslim diterangkan.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه اُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ (رواه مسلم(
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.”

Dalam hadits diatas kita diperintah oleh Nabi Muhammad saw untuk memandang orang yang lebih rendah dalam hal dunia dari kita supaya tidak timbul rasa iri hati sehingga timbul rasa syukur atas karunia Allah dan tidak meremehkan nikmat Allah yang ada pada diri kita. Jika kita berangkat ke masjid naik motor maka pandanglah orang lain yang naik sepeda ontel, jika hanya naik sepeda ontel maka pandanglah orang yang berjalan kaki, jika kita hanya bisa berjalan kaki pandanglah orang yang sudah berbaring lemas tidak bisa kemana-mana karena penyakit stroke yang dideritanya. Itulah ajaran agama mengajarkan kepada kita, semoga kita senantiasa bersyukur kepada Allah dan dijauhkan dari sifat iri hati.

Agus Hasan Mustofa
Pengajar di STIT. Aqidah Usymuni Sumenep
(Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Mahasiswa Fakultas Syariah IAINJ Angkatan 2013)

KH. Abdul Hamid Wahid

Pendidikan Toleransi Harus Digencarkan

nuruljadid.net-Meningkatnya kasus intoleransi di Indonesia semakin memperihatinkan, pancasila sebagai dasar negara seakan tak lagi memiliki nilai, hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan yang telah ada di negara ini. Berikut hasil wawancara Moch. Fathoni Diya’ Ulhaq R. dan Tri Satria Purnomo dengan KH. Abdul Hamid Wahid Rektor Universitas Nurul Jadid (UNUJA).

  1. Menurut Kiai, apa pengertian intoleransi ?

                Intoleransi itukan berasal dari dua kata yakni In berarti tidak dan Toleransi berarti menghargai. Dalam dunia Islam kita mengenal tasammuh yakni menghargai keyakinan seseorang yang berbeda dari kita, itu dinamakan toleran, jadi intinya iyalah menghargai perbedaan, sedangkan intoleransi sendiri kebalikan dari toleransi.

  1. Dari mana asal pemicu timbulanya sikap intoleransi di Indonesia ?

        Toleran dan tidak toleran itu pada dasarnya pemahaman tentang pengetahuan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki 3 unsur di dalam jiwanya yakni pertama, keinginan-keinginan dasar seperti ingin tumbuh dan berkembang biak. Yang kedua ialah ego, ego sendiri bermakna bagaimana kebutuhan dirinya itu terpenuhi, kemudian sebagai makhluk sosial. Sebetulanya manusia itu punya bakat dasar tidak toleran dan untuk toleran, bagaimana dia bisa memikirkan posisi dirinya di antara orang lain sebagai makhluk sosial, bermoral dan normal.

  1. Bagaimana cara menangggulangi adanya intoleransi?

                Pendidikan di Indonesia haruslah menjunjung nilai toleransi, seperti pendidikan di negara Barat yang menjadikan toleransi sebagai pendidikan mulai tingkat dasar hingga tinggi, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang. Dalam agam Islam, ada yang namanya tasammuh (toleransi), tawassuth (tengah-tengah), tawazzun (seimbang), dan ta’adul (tegak lurus). Toleransi sendiri menjadi salah satu seni dasar yang artinya menengahi.

Jika dia merasa sebagai manusia utuh pasti dia akan toleran, karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Pendidikan di Indonesia juga harus megajarkan tentang toleransi seperti pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah mengajarkan bagaimana kita bisa hidup bersama.

  1. Bagaimana menyadarkan masyarakat agar bisa saling toleran?

                Kembali kepada toleransi dalam bentuk perpolitikan. Event politik itu adalah sesuatu yang sah. Jadi mendukung atau tidak mendukung presiden adalah hak individual yang dimiliki setiap orang. Orang punya dukungan sendiri, punya keyakinan sendiri itu sah-sah saja, tapi tinggal bagaimana agar konflik yang terjadi ini tidak dijadikan sebagai suatu wacana untuk menuju sebuah perpecahan.

Kalau sudah waktunya berakhir kita tinggal memilih siapa calonnya dan siapapun yang terpilih itu tetap sah, karena proses pemilihan tersebut secara bersamaan. Tinggal bagaimana menyadarkan pada peran dan event tahunan itu penting bagi warga negara jadi. Ya silahkan berjuang, silahkan punya keyakinan tapi  bukan dalam rangka perpecahan.

  1. Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi intoleransi ?

Jadi ini bukan hanya problem pemerintah saja melainkan problem kita bersama. Sebagaimana kita semua menyadari bahwa event 5 tahunan ini iyalah proses pembentukan pemimpin yang berbangsa dan bernegara. Dalam artian tidak hanya mementingkan warga yang sosialnya tinggi, namun pemimpin yang mementingkan warga yang sosialnya lebih rendah. Selebihnya setelah terbentuknya pemimpin yang sah, ya kita tinggal tunggu kapan masa jabatannya akan berakhir kalau memang mau mengganti pemimpin tersebut.

  1. Radikalisme di Indonesia merupakan pemicu adanya toleransi, bagaimana menurut kiai ?

                Intoleransi adalah bibit radikalisme. Orang yang bertindak tidak toleran pasti akan menjadi radikal, kemudian akan menjadi teroris. Dengan kata lain, intoleransi adalah bentuk dasar dari radikalisme. Banyak intoleransi yang dilakukan dalam aspek perbedaan, jadi menghargai perbedaan sangatlah penting.

  1. Apakah budaya Barat yang masuk ke Indonesia dapat mempengaruhi budaya kita sehingga menghasilkan intoleransi ?

                Budaya itu bermacam-macam. Orang memliki beragam cara dalam menghadapi intoleransi. Ada yang dengan cara mengikuti, ada yang tidak mengikuti, serta ada juga yang dapat menyeleksi dengan baik. Seharusnya kita bisa menyeleksi budaya tersebut dengan baik. Atau kita bisa meniru bangsa luar. Ketika ada budaya asing yang masuk dalam kehidupannya, mereka mendialogkan tentang budaya tersebut kemudian menerima sisi positifnya dan membuang sisi negatifnya.

  1. Bagaimana menyikapi tahun politik yang sangat sensitif terhadap isu SARA dan intoleransi ?

                Sebetulnya pembicaraan tentang isu SARA itu telah selesai semenjak tahun 1945 setelah merdekanya negara ini. Seharusnya tidak usah diungkit-ungkit lagi, kalau diungkit lagi takutnya akan membawa dampak negatif pada masyarakat, malah kita harus lebih kepada program dimana tawaran kebaikan itu ada. Tinggal bagaimana kesadaran kita kembali kepada posisi pemilu yang sebenarnya.

Kadang-kadang dalam pemilu ada orang yang ingin mencapai tujuannya dengan menggunakan cara apapun, nah inilah yang tidak boleh. Berpemilu sendiri itu positif, bersaing sendiri itu positif. Memilih pemimpin adalah sarana dari berpemilu, tinggal bagaimana kita bisa membawa efek positif dan menjauhi efek negatif yang dapat menghancurkan kebersamaan.

  1. Bagaimana cara menghadapi kelompok yang tidak terima akan hasil pemilu ?

                Sikap dewasa sangatlah penting. Penyadaran akan pentingnya pemilu harus terus dilakukan, apalagi terhadap para pemimpin yang harus membimbing masyarakatnya. Seharusnya masyarakat yang terpelajar seperti pemuda, harus bisa memberikan sumbangsih yang baik, bukan malah ikut-ikutan, dan kita juga harus bisa memilih.

  1. “Yang waras jangan mengalah” bagaimana dengan statemen tersebut di medsos dalam menyikapi intoleransi di tahun politik ini?

                Kita memang harus berbuat, namun perlu diingat juga bahwa kita harus berbuat sesuai kemampuan kita, kemudian sesuai dengan perasaanya. Setidaknya seminimal mungkin kita tidak ikut-ikutan untuk menyebarkan dan menghancurkan bangsa dengan sikap yang tidak benar ini, paling tidak kita mulai dari diri sendiri kemudian mempengaruhi lingkungan jika bisa.

  1. Harapan Kiai untuk pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi kasus intoleransi ?

                Pendidikan dan pemberdayaan terhadap masyarakat harus selalu dilakukan, tinggal bagaimana kita mendorong masyarakat agar bersikap dewasa dalam berpolitik. Memberikan keterwawasan tentang perpolitikan juga harus nampak dilakukan, agar perpolitikan di negara ini aman dan tentram.

Sumber : Majalah Kharisma MANJ

Kh. Moh. Zuhri zaini: Barokah itu Diukur Dari Kebermanfaatan

Peran Santri Dalam Meredam Intoleransi

nuruljadid.net-Toleransi ditinjau dari perspektif islam adalah tasammuh (menerima dan meghargai perbedaan), dalam artian tidak memusuhi dan mengingkari, namun bukan berarti kita juga mengikuti terhadapat perbedaan tersebut, melainkan kita hanya menghargai dan menghormati perbedaan tersebut. Karena, mengikuti dan menghargai itu berbeda makna.

Namun, seiring dengan berkembangnya zaman rasa toleransi sering kali terabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Terutama, bagi kaum radikalis yang sering kali menjadi biang kerok dibalik merebaknya kasus-kasus intoleransi di nusantara ini.

Perlu diketahui, radikalisme itu bersumber dari karakter masing-masing orang, namun radikalisme tak pernah diajarkan didalam agama islam. Sebab, dari historisnya (sejarahnya) agama islam merupakan agama yang mengajarkan toleransi, sebagaimana yang telah dipercontohkan oleh nabi Muhammad SAW.

Selain itu, perlu digaris bawahi juga bahwa radikal bukan hanya berbentuk kekerasan, namun juga bisa berbentuk pemikiran seperti filsafat, akan tetapi filsafat bukanlah radikal yang bersifat keras melainkan hanya berupa bentuk pemikiran.

Orang yang bersikap radikal rata-rata tidak bisa diajak kompromi, namun tak semua orang yang radikal tak bisa dikompromi, sebagian dari mereka masih bisa diajak kompromi, yakni orang radikal dalam aspek alur pemikiran bukan dalam sikap dan tindakan.

Berfikir radikal itu tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan radikal, karena yang menjadi masalah utama ialah tindakan radikal, jadi radikal masih bisa dibenarkan ialah bila tidak berbentuk tindakan, namun hanya berupa pikiran. Sungguh pun demikian radikal dalam pemikiran bisa saja berubah menjadi radikal dalam bentuk sikap dan tindakan.

Memasuki tahun pemilu, orang orang yang memiliki sifat radikal mulai bermunculan dan melakukan tindakan intoleransi, mereka berdalih bahwa tindakan yang mereka lakukan benar berdasarkan agama maupun faktor lain. Namun, itu hanyalah sebuah alasan belaka sebagai pembenar atas tindakan radikal atau intoleransi yang telah mereka lakukan.

Sejatinya tabi’at politik cenderung kepada perbedaan, masing masing partai politik pastilah memiliki pendapat yang berbeda beda, jadi perpolitikan sangatlah penuh kontroversi. Dalam dunia islam, kita juga mengenal khilafiyah, sebab, perpecahan yang terjadi dalam agam islam itu juga disebabkan oleh politik.

Seyogyanya partai politik, haruslah menjadi wadah untuk menampung aspirasi masyarakat, tentunya partai politik harus bisa menjalankan amanah yang mereka emban dengan sebaik mungkin. Sebab, partai politik juga pilar demokrasi.

Berdasarkan realitanya, banyak politisi tak lagi menjadi uswah (contoh) yang baik bagi masyarakat, melainkan mereka mengadu domba masyarakat, untuk mencari keuntungan bagi diri dan kelompoknya.
Demi terwujudnya kedamaian di indonesia, seharusnya toleransi perlu ditingkatkan. pemerintah seharusnya bersikap adil, karena penguasa jugalah berpolitik. Penguasa juga harus memberikan contoh yang baik dan jangan malah berbuat tindakan intoleransi.

Karena, hal itu dapat berimbas terhadap merebaknya kasus intoleran yang dilawan dengan intoleran, sehingga tindakan tersebut bukan menjadi solusi, melainkan akan menyebabkan situasi intoleran yang ada di Indonesia akan jauh lebih membengkak.

Indonesia juga merupakan negara yang berdasarkan hukum, sehingga segala penyelesaian permasalahan antara individu atau kelompok haruslah melalui jalur hukum. Jadi, ketika kita ingin meminimalisir kasus intoleransi yang terjadi, maka kita harus meredamnya dengan jalur hukum bukan malah membalasnya dengan perbuatan intoleran juga (menghakimi sendiri).

Sebagai kaum sarungan (santri),kita juga harus ikut serta dalam meredam kekerasan para kaum radikalis.Tentunya, sebagai santri yang berpegang teguh pada ajaran nabi Muhammad SAW, kita harus dapat mewujudkan ajaran toleransi yang telah diajarkan oleh beliau. Bukan malah ikut-ikutan dalam aksi-aksi yang berbau radikalis.

Ekstrim dan radikal memang punya keserupaan, keduanya merupakan sifat yang memang telah ada dalam diri manusia. Sifat ekstrim dan radikal bahaya jika saja tidak berbentuk tindakan kekerasan dan tidak melibatkan orang lain sebagai korbannya. Jadi, tindakan ekstrim dan radikal sangatlah bahaya jika dilakukan dengan kekerasan, karena memang mereka meliki perawakan yang keras jika ditinjau dari luar.

Setiap orang yang berpendirian, pastinya, akan mengartikan toleransi sebagai suatau kewajiban dalam bermasayarakat, dan mereka juga akan memaknainya sebagai suatau sifat penghormatan dan menghargai terhadap perbedaan. Bukan malah menjadikan toleransi sebagai tuntutan mengikuti pendapat yang salah.

Kendati demikian pun juga diperuntukkan bagi santri untuk harus tetap berpegang teguh terhadap ajaran ahlus sunnah wal jamaah yang mengajarkan tentang tasammuh (toleransi), dan menjadi solusi dari intoleransi yang terjadi. Sebab, santrilah manifestasi murni ajaran kanjeng nabi.

 

Penulis : Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Sumber : Majalah Kharisma MANJ

MASA DEPAN PESANTREN (Kaum Sarungan Menjawab Revolusi Industri 4.0)

nuruljadid.net- Kemarin malam (Jum’at, 6/9), setelah aktivitas rutin mendampingi santri SMP Nurul Jadid (SMPNJ) belajar, saya diajak makan bersama. Makan bersama sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan siswa SMPNJ menjadi “Duta Siswa Prestasi Nasional 2019’ yang sekaligus menjadi “Brand Ambassador The Platinum Skills” selama 1 tahun atas nama Wahyu Ilahi.

Tradisi makan bersama di Pondok, kadang berupa “tabek” yang dibungkus daun pisang. Satu “tabek” bisa dihidangkan untuk 8 sd 10 santri. Kadang beberapa “tabek” disatukan sehingga cukup untuk 30 sd 40 santri.

Kemarin malam itu bukan berupa tabek. Berupa hidangan (nasi dan lauk pauk) yang langsung digelar di tikar plastik memanjang. Kemudian para santri berkumpul melingkar dan menyantap hidangan secara bersama. Ustadz dan santri berkumpul jadi satu, tidak membedakan status. Tetapi tetap memperhatikan ahklakul karimah (sopan santun). Para ustadz dipersilakan degan sopan untuk bergabung bersama. Setelah doa kemudian sama-sama menikmati hidangan.


Hari sabtu (7/9) pagi saya mengajar di SMA Nurul Jadid (SMANJ). Aktivitas literasi (mencari sumber-sember referensi) masalah-masalah sosial di Perpistakaan SMANJ. Perpustakaan ini cukup luas (ukuran 9 x 12) dengan koleksi buku sekitar 7000 (tidak termasuk buku pelajaran).

Para santri sangat asyik membaca buku. Setelah mengambil buku dari raknya, kemudian berlajar bersama. Duduk melingkar seolah sedang makan. Malam hari menyantap makanan, siang hari menyantap buku-buku referensial. Itulah kebiasaan santri sarungan dalam aktivitas belajar hariannya.
***

Proses pendidikan di pesantren, mayoritas pesantren di Indonesia –tidak pernah usang dan ketinggalan– selalu dapat menjawab perubahan dan tantangan zaman. Terus berevolusi menemukan cara terbaik sesuai dengan tuntutan zamannya.

Kaidah yang menjadi pegangan “memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”. Kaidah lain yang terpatri kuat –dalam konteks pendidikan– terkenal quote (kutipan) pendapat yang berasal dari Ali bin Abi Thalib RA “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan dizamanmu”.

Pendapat Ali Bin Abi Thalib ini –menjadi perhatian dan diterapkan di pondok pesantren– jauh mendahului pendapat seorang fururulog dari Amerika Serikat, Alfin Toffler (1928-2016) yang menyatakan “Education mustsave in the future time” (Pendidikan harus selalu mengacu pada masa depan).

Pesantren terus dapat merespons dan mengadaptasi perkembangan teknologi dan informasi, revolusi industri 4.0 dan rentetan efek dari dinamika perubahan zaman itu sendiri. Di tengah kegagapan budaya (cultural gap) terjadi dalam dunia pendidikan.

Meskipun kemajuan teknologi dan informasi –seolah– semua persoalan dan ilmu pengetahuan dapat dicari (akses) jawabannya melalui internet, namun pesantren –sebagai pengelola pendidikan– tetap dapat tampil meyakinkan –ditengah– disrupsi kemapanan.
Pesantren adalah tempat dan proses menuntut Ilmu. Baik ilmu berkaitan dengan agama maupun ilmu pengetahuan lainnya.

Sabtu (7/9/2019) siangnya (Jam 10.30 sd 11.30) mendapat kunjungan dan sosialisasi “THE IMPORTANCE OF SOFT SKILLS FOR STUDENTS IN INDUSTRIAL REVOLUTION 4.0 dari THE PLATINUM SKILL INDONESIA di Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Terdapat dua santri yang berprestasi diajang duta siswa berprestasi tingkat Nasional. Selain Wahyu Ilahi dari SMPNJ ada juga Zeidan Izza Faris dari MTS Nurul Jadid. Sebelumnya terdapat 15 santri Nurul Jadid dari berbagai lembaga pendidikan, masuk 100 besar nominator tingkat Nasional. Menyisikan 972 peserta se Indonesia.

Pesantren secara umum dan khususnya Pondok Pesantren Nurul Jadid siap menghadapi tantangan global dan abad 21. Meskipun kebiasaan (tradisi) dengan pola makan “tabek” dan sarungan (kaum bersarung), tetap dapat menghasilkan prestasi.

Pondok Pesantren siap membekali santri memiliki daya saing yang tinggi dalam percaturan Internasional selain bekal ilmu agama yang menjadi pokok pembelajaran di Pesantren. Anak pesantren tidak ketinggalan zaman. Penguasaan bahasa asing (Inggris, Arab dan Mandarin) di atas rata-rata, kata Tim dari Platinum Skill.

Penulis : Didik Agung P Wicaksono

Editor  : Ponirin Mika

Jadilah Seperti Air

Siapa yang tak butuh air

Manusia, hewan, tanaman bahkan semua

Air memberi kesejukan

Pada setiap mahluk dalam kehidupan

Air mengalir disetiap sendi-sendi kehidupan

 

Begitu seharusnya kau nak,

Kata ibu tua

Sambil menepuk dada anaknya

Berjalanlah kau seperti air

Kau akan dapat kebahagiaan

 

20/08/2019

PUJANGGA PESISIR

 

 

Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Saudaraku

“Ketuhanan macam apa yang tengah diajarkan para pemerintah ini! Aku memang sejak awal risau pada kata “Ketuhanan yang Maha Esa”, Ulo Kamba memekikkan kalimat dengan tegap ditengah perkumpulan golongan yang memiliki pandangan serupa dengannya. Sudah sejak lama ia beserta komplotannya hidup terpisah dari orang kampung dengan hitungan beberapa mil saja.

Mereka adalah sebagian kecil orang yang menolak ketika mengisi kolom agama. Anjuran negara saat pendataan kartu identitas dengan berani mereka tolak mentah. Meski kartu identitas sebagai keabsahan seseorang akan dianggap menjadi bagian dari negara, yang katanya penuh dengan toleransi (tapi tiap tahun politik isu agama paling mudah dipermainkan kesana kemari), tetapi mereka memiliki alasan tersendiri atas penolakan tersebut. Ulo Kamba, akrabnya disapa Bang Ulo merupakan seorang terdidik alumnus Fakultas Agama Islam disalah satu Kampus Swasta, dia menjadi motorik utama gerakan tersebut.

Petugas dinas kependudukan yang bersikukuh menyodorkan pertanyaan untuk mengisi kolom agama sudah kesekian kali mereka tolak, jawaban akhirnya pasti “Kami akan mengisi kalau abang Ulo Kamba sudah memberi instruksi” Ulo Kamba sebagai biangkeladi pemikiran, golong itu memiliki prinsip agar pemerintah menghapus kolom agama pada kartu identitas.

****

 “Ini semua jelas, demi menutaskan peta kekuasaan politik, agar lebih mudah memetakan kekuatan. Hahahha. Kalian mengapa iya iya saja ketika diperbudak korporat! Sejauh ini kalian belum sadar jika keyakinan yang diagungkan itu tak lebih dari keju bagi para tikus berdasi. Segalanya lebih nikmat tatkala terjadi kultus mengkultuskan tentang siapa yang paling beragama, siapa yang paling bertuhan, siapa yang paling benar”, Ucap baru Sawo menegaskan pada seorang petugas dinas kependudukan yang memaksanya beserta beberapa orang lain untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas pribadi. Tak tanggung, bahkan petugas itu mengancam mereka tidak akan diakui sebagai bagian dari negaranya.

Pada siang menjelang surup petugas dinas kependudukan kembali bersikukuh pada Ulo Kamba agar bersedia mengisi kolom agama. Rino si petugas mendatangi Baro Sawo lantaran dia merupakan penggagas gerekan anti kolom agama, Rino berharap jika Ulo Kamba telah tunduk, warga lain juga turut tunduk.

“Lalu hendak kami tulis apa agamamu bang? Islam kah?, Kristen kan, Hindukah?, Budha? KongHu Cu? Atau Katolik?” ungkap Rino sembari mensilangkan kakinya meyakinkan Ulo Kamba.

“Hanya sebatas itu? Itu saja yang disediakan dinas kependudukan?”

“Lalu bang?”

“Beritahu pada ketuamu yang memahakan diri itu. Untuk disebut Islam aku bimbang memahami apa yang mereka sebut sebagai sahadat, salat, zakat, puasa, haji. Tapi aku sakit hati saat umat kristiani juga beberapa gereja katolik terancam keamannannya, aku tidak mau menciderai saudaraku yang beragama budha, aku juga sayang pada kawan kawan ku yang hindu, dan aku tak rela bila ada yang membuat onar pada agama yang dibawa Kong Fu Tze (Kong Hu Chu)”,

“Jadi Abang tidak bertuhan?” pertanyaan Rino membuat Ulo Kamba semakin geram untuk memperlua penjelasannya.

“Aku bukan tidak bertuhan, sebab tuhan ku menjelma semesta, terkadang menjadi satu kesatuan denganku! Nampaknya maha ketuamu perlu diberi pembelajaran soal Kapitayan, Banten Girang, Suluk dan beberapa kepercayaan lain yang hadir sebelum adanya agama yang ujug ujug menuhankan yang Satu!” Soal landasan golongan, Ulo Kamba memang sejak lama menggagas, tak heran jika para petugas gonta ganti mendatanginya dengan harapan mendapat kepastian kolom agama.

“Hmm Abang, soal omongan warga dari kampung sebelah yang men cap abang beserta beberapa warga yang tinggal disekitar rumah abang sebagai aliran sesat karena masih mempertahankan bau wangi wangian kemenyan, acap menyeruwat keris, hingga menuhakan pohon beringin, apa itu tidak dipertimbangkan?” Ucap pegawai dinas kependudukan kepada Bang Ulo Kamba. Dengan tatapan sinis, Ulo Kamba yang telah berumur lebih setengah abad kurang dua tahun memberikan klarifikasi. Suaranya yang khas, dengan intonasi cukup membuat orang getar getir, dan postur jangkungnya, cukup membuat Rino sedikit merunduk.

“Hah, kau tak usahlah mengurus urusi soal kepercayaan itu pula. A-gama. Berasal dari bahasa Sansekerta, yang dipahami sebagai A = Tidak, Gama = Kacau. Percuma beragamatapi saling baku hantam, sentil sedikit soal isu agama para ormas (organisasi masyarakat)ramai bergandengan. Memangnya mereka siapa? Memangnya mereka pemilik agama? Sejauhpemahaman saya selama ini Tuhan tidak pernah meminta dirinya untuk dibela!”

“Lalu apa yang abang kehendaki?”

“Bagimu agamamu, bagi ku mereka saudaraku. Sejak detik ini aku kembali menegaskan bahwa kami tetap bersikukuh kolom agama dihilangkan dari identitas diri! Sadari lah bahwa urusan beragama, erat kaitannya dengan Tuhan. Urusan tuhan dan manusianya merupakan urusan esensial yang tidak berhak diumbar umbar banyak orang.”

“Aku memang penganut dinamisme, aku bahkan masih percaya pada animisme. Tapi kau tak tahu bukan demi apa, dan untuk apa aku melakukan hal itu?”

Perjamauan menjelang surup itu terpenggal oleh matahari yang mulai kelindungan untuksegera menuntaskan sinarnya.

“Maaf bang, sebentar lagi gelap. Saya masih tidak bisa menuliskan agama abang, barangkaliesok atau lusa, dari dinas kependudukan akan kembali menemui abang!”

“Baiklah barangkali nanti aku sempat berfikir terkait usulanmu, meski jawaban akhirnya sudahbarang kau tahu, coba fikirkan juga pemikiranku”

“Sampai kapan pun, kau tetap akan menemui jawaban yang sama.”

“Kalau kau tidak sekekar itu sudah kugulingkan kau Ulo Kamba”, Rino membatin sembari meninggalkan gubuk Ulo Kamba, sementara surup mulai redup Ulo Kambasegera memandikan kerisnya bertepatan malam itu Jumat Kliwon.

****

Dua hari berselang, sejak perjamuan diambang “surup”. Kali ini Rino tengah bersama seorangkawan dekatnya kembali ke gubuk Ulo Kamba yang letaknya cukup jauh dari pemukimanwarga. Kawan Rino seorang ustad kondang yang namanya tersohor dimana mana lantaran gayaberpidatonya berapi api sehingga mampu menarik sanjungan banyak penonton.”Assalamualaikum” Ucap keduanya serempak

“Masuk saja”

“Astaghfirullah kenapa tidak menjawab salam Kami” ucap Gus Asin dengan legowo.

“Menjawab salam memang wajib bagi Agamamu bukan? Fardlu Ain katanya. Tapi kita lihat dulu siapa yang tengah memberi salam, dan kepada siapa dia memberi salam. Salam berarti mendoakan, Assalamualaikum hanya bahasa arab saja, kebanyakan seseorang memberi salam bukan niat mendoakan saudaranya, hanya dijadikan sapaan saja, jadi jika niatmu itu bukan doa, aku tidak wajib menjawabnya” Penuturan Ulo Kamba membuat kedua terdiam, lantaran memang benar Assalamualaikum tidak lebih dari serapah tanpa ada niatan untuk saling mendoakan sesama manusia.

“Apa lagi kau datang kesini?” sembari menyalakan kretek yang dipilinnya sendiri Ulo Kamba menatap sinis kedunya.

 “Bagaimana soal kolom agama dalam kartu identitas diri abang” ucap ustad Kondang hasilinstruksi dari Rino.

“Ya tetap saya menolak segala macam legitimasi dengan kendaraan agama, camkan!”

“Tapi ini hanya sekedar kolom agama bang, apa susahnya” ketus Rino

“Susah sekali, karena Tuhanku tidak sebatas tulisan “Islam” di KTP saja, lebih dari itu kewajiban yang masyarakat anggap sebagai animisme dinamisme aku kerjakan untuk meruwat alam. Bumi sudah tua kawan, berdoa menghadap pohon, sembari memegang keris, lalu menyeruap bau kemenyan bukan mengharap segala sesuatu darinya sebab segala sesuatu tetap saya nisbatkan kepada Allah, Tuhan saya yang Esa, yang saya ragukan bahwa kamu mengEsakan Nya.” dengan nada yakin, Ulo Kamba kembali menolak ajakan petugas dinas kependudukan.

“Tetapi ini sudah kewajiban seluruh warga negara bang, untuk mengisi kolom agama”

“Sekarang aku tanya, kau paham tujuan kolom agama itu apa”

“Tidak bang” keduanya serempak menjawab.

“Dinas begok, Ustad bodoh!” suara Ulo Kamba terdengar merendah, meski bahasa yang dipakainya sarkas.

“Sampeyan hati hati bang bicaranya” ucap ustad Kondang sembari menaikkan tempo pembicaraan.

“Memang begitu adanya. Kolom agama itu huru hara saja, bertujuan untuk mengkotak kotakan saudara kita. Sehingga jangan heran jika isu agama dengan mudah dimainkan hanya demi kepentingan elektoral, kepentingan golongan, hingga kepentingan politik. Bayangkan saja kolom agama itu hapus, kelinduran semua oknum penjaring agama agama”.

“Abang inikan alumni Fakultas Agama, bukankah sudah jelas dalam Al-Qur’an surah Al-Kafirun lakumdinukum waliyyadin” ungkap ustad membelagak kekuatan spiritualitasnya.

“Hahahah. Kamu melegitimasi ayat al-Qur’an, apakah kamu tidak miris melihat umat islam dengan fanatismenya seolah agama mereka yang paling benar, sama sepertimu, yang acap kali ikut campur itu, iya agama”, Ulo Kamba kembali memperkuat pendapatnya soal penghapusan kolom agama pada identitas kependudukan. Si ustad kondang yang tadinya membelagak, tertunduk lesu diamini Rino yang mulai tidak berkutik dengan penjalasan akhir Ulo Kamba.

“Sudahlah mau apa pun kalian berdua, tetap tidak bisa memaksa saya dan beberapa orangdi desa ini, karena satu hal yang haru kalian tau puncak dari agama adalah toleransi, dankemanusiaan. Sebab kita tidak bisa membenarkan seolah agama kita yang paling benar, dankita yang akan masuk surga. Bagimu agamamu bagi ku mereka saudaraku.”

Waalahua’lam bis showab

penulis : Muhammad Afnani Alifian, mahasiswa Aktif  Universitas Islam Malang (Unisma), jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia

(Alumni Siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid, Anggkatan 2018)

 

 

 

 

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Santri, merupakan identitas yang sangat sakral. Sebab, santri seringkali diyakini dan dipersepsikan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki konsen pada ilmu-ilmu agama di pondok pesantren. Dalam pengertian yang lebih subtansial, santri dimaknai sebagai sosok yang memiliki ketaatan pada ajaran dan nilai-nilai agama. Tak jarang pula, santri diyakini sebagai kelompok yang memiliki kemampuan literatur-literatur klasik yang memadai. Sehingga dengan kemampuan ini, santri seringkali disebut sebagai naibul ulama”(pengganti Ulama).

Namun belakangan, santri tidak hanya identik dengan literatur-literatur klasik, tapi sudah banyak santri yang terbuka terhadap ilmu-ilmu modern. Karena sudah banyak santri yang melanjutkan pendidikannya pada jenjang Perguruan Tinggi. Sehingga muncul istilah mahasiswa yang santri dan santri yang mahasiswa. Keduanya memiliki makna yang berbeda pula. Secara sederhana, mahasiswa yang santri dapat dimaknai sebagai sekelompok mahasiswa yang memiliki prilaku dan pola pikir seperti santri dan tidak meninggalkan nilai-nilai kesantrian yang telah ditekuni selama bertahun-tahun di pesantren. Sedangkan mahasiswa yang santri dapat dipahami sebagai santri yang memiliki corak berfikir ala mahasiswa dan setidaknya tetap istiqomah melaksanakan furudlul ainiyah.

Meskipun begitu, keduanya memiliki oreintasi yang sama yaitu pengembangan ilmu pengetahuan, baik bidang agama, sosial, budaya dan teknologi. Sehingga dengan dasar ini, maka santri dan mahasiswa bisa diharapkan menjadi pioner di masa yang akan datang bangsa ini. Karena mahasiswa dan santri tidak hanya diyakini sebagai komunitas yang memiliki basis keilmuan yang jelas tapi juga memiliki pijakan moral dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial disini bisa dimaknai secara universal, yakni adanya kepekaan terhadap realitas sosial yang sedang berkembang untuk kemudian diperbaiki dan diberdayakan melalui ilmu yang telah dipelajari di pesantren dan di kampus.

Problem Santri

Entitas santri yang dipaparkan di atas, saat ini nyaris tidak terlihat. Santri yang identik dengan aktivitas-aktivitas ilmiah saat ini mulai tergerus oleh perubahan zaman yang semakin memanjakan masyarakat. Santri kini “enggan sekali membaca, mutholaah dan diskusi (musyawarah)”. Mereka tak lagi terlihat menenteng kitab dan buku. Justru mereka lebih sering terlihat adalah notebook dan android yang menempel ketat di genggaman mereka. Ironisnya, notebook dan android yang dibawa bukan justru dijadikan sarana untuk mengembangkan potensi dirinya, melainkan digunakan untuk  facebook, twitteran, instagram, youtube dan lain-lain. Mereka seperti sudah terjerumus masuk ke dalam jurang modernisasi secara vulgar. Kecanggihan teknologi telah menyandera eksistensi santri, sehingga membuat mereka terasing dari dunia nyatanya, dunia kampus dan ilmiah.

Akibat dari itu semua, santri tidak lagi memiliki kepekaan terhadap problem-problem sosial yang tengah terjadi di sekelilingnya. Kini, dunia mereka telah menjadi “dunia lain”, jauh dari dunia yang senyatanya sebagai masyarakat santri. Mirisnya, di tengah kesemerawutan kondisi bangsa dewasa ini, tak ada kekhawatiran ataupun kegelisahan yang membuat mereka mau, secara sadar, untuk mengubah keadaan tersebut. Kitab dan buku, dalam pandangan mereka, dianggap suatu yang sakral, yang tak lagi bisa disentuh oleh sembarang orang. Dalam pikiran mereka telah tertanam kuat paradigma hidup yang mengutamakan sikap instan dan serba praktis. Semakin hari semakin kuat saja paradigma itu, membuat santri tak benar-benar mampu melepasnya. Bak akar tumbuhan, semakin dalam ia mencakar bumi, semakin kuat pula akar itu dan tak mudah mencabutnya.

Budaya diskusi dan kajian-kajian seputar isue-isue aktual tentang agama dan problem sosial,  keindonesiaan, kebangsaan atau kenegaraan yang dulu seringkali menghiasi aktivitas santri di waktu-waktu lowong sudah mulai hilang. Di waktu-waktu kosong seperti tidak ada pengajian dan atau waktu istirahat, sangat jarang—untuk mengatakan tidak ada—santri yang berkumpul berdiskusi dan membahas permasalahan bangsa. Mereka lebih sering terlihat cengar-cengir sendiri membalas komentar dari salah satu temannya di facebook. Begitu juga budaya literasi dan mutholaah yang selama ini menjadi karakter santri kian terkikis akibat hegemoni teknologi. Mereka lebih suka mengoperasikan gadjet daripada membuka lembaran-lembaran buku dan kitab yang selama ini menjadi ciri khas santri. Sehingga kita juga mulai kesulitan menemukan bibit unggul dalam komunitas santri.

Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Melihat beberapa fakta di atas, sudah saatnya ada formulasi baru dalam mengembangkan potensi santri, seperti menghidupkan kembali budaya literasi dan diskusi yang mulai tergerus oleh kecanggihan teknologi. Sebab, sebagai komunitas yang diyakini memiliki kapasitas keilmuan agama yang lebih, mereka memiliki banyak tanggung jawab. Adapun tanggung jawab yang pertama adalah keilmuan. Aspek keilmuan merupakan identitas yang tidak bisa ditawar oleh santri. Sebagai komunitas yang belajar belajar di Pesantren, sudah pasti santri berkewajiban untuk mengembangkan basis keilmuannya. Melalui metodologi yang dipelajari, mahasiswa seharusnya sudah cukup cakap dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karena itulah maka basis keilmuan harus tetap tersemat dalam diri santri, sehingga sebutan sebagai komunitas intelektual bisa dipertanggung jawabkan dalam ruang-ruang sosial.

Sedangkan apek yang kedua, adalah tanggung jawab sosial. Sebagai komunitas yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, tentu saja santri dituntut untuk menjadi aktor-aktor perubahan di masyarakat. Eksistensinya harus mengispirasi masyarakat dan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap problem sosial. Karena, salah satu aktualisasi dari nilai-nilai keilmuan adalah pengamalan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu santri dituntut dapat mengaktualisasikan ilmunya dengan cara melakukan pengabdian masyarakat, pendidikan dan advokasi (suluh agama). Kemudian, aspek tanggung jawab selanjutnya adalah moralitas. Moralitas merupakan kristalisasi dari semua komponen ilmu yang kita miliki. Ilmu tidak akan memiliki nilai di tengah-tengah masyarakat jika tidak seiring dengan moralitas. Karena itu, menjaga moral juga bagian dari tanggu jawab para pemilik ilmu pengetahuan, lebih-lebih jika seseorang berstatus sebagai santri, sehingga sudah cukup piawai dalam mengintegrasikan nilai-nilai santri.

Ala kulli hal, dalam rangka mewujudkan kualitas santri multi talenta sudah pasti membutuhkan instrumen-instrumen yang dapat menunjangnya. Dalam konteks ini, perlu adanya kesadaran komprehensif dari santri atas tantangan zaman yang semakin mengglobal. Dengan banyak belajar (ngaji), mutholaah, dan musyawarah santri dapat meningkatkan kualitas pengetahuan ilmiahnya. Dengan belajar dan membaca yang tekun, santri dapat meningkatkan daya nalar kritis mereka, sehingga tidak mudah terjerumus pada dinamika informasi yang semakin hari semakin semraut. Pihak Pesantren bisa memberikan isntrumen strategis agar budaya literasi dan diskusi terus hidup menjadi atmosfer Pesantren. Wallahu A’lam.

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Mushafi Miftah
Santri dan Dosen Universitas Nurul Jadid. Saat ini Aktif sebagai Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Jember

 

 

Hilangnya Religious Experience

Hilangnya Religious Experience

Ada fenomena keprihatinan yang semestinya menjadi kegelisahan kita semua sebagai umat beragama, khususnya umat Islam yang disebut sebagai mayoritas di negeri ini. Keprihatinan tersebut adalah menghilangnya rasa agama atau religious experience justru pada saat perintah agama tersebut dilaksanakan. Religious experience berupa ketenangan bersama keagungan Allah dalam istighatsah, menghilang, sehingga istighatsah yang dilakukan menjadi tidak bermakna apa-apa. Religious experience berupa kesejukan bersama keindahan Allah dalam haji dan umrah, lenyap, menjadikan haji dan umrah yang ada, tidak menebarkan kesejukan iman. Religious experience berupa kedamaian bersama rahman dan rahim Allah dalam shalat hajat dan tahajud, kabur, sehingga shalat hajat dan tahajud, tidak mampu mengkonstruksi keramahan dan kesetia kawanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai akibatnya, semakin bargairahnya umat Islam dalam melaksanakan perintah agama seperti istighatsah, di Munas -yang selama ini tak pernah ada- dan lain-lainnya, menjadi berbanding lurus dengan banyaknya korupsi yang diperbuat. Semakin digemarinya iabadah haji dan umrah dilaksanakan, menjadi searah dan sebangun dengan semakin merebaknya hoaks dan fitnah lainnya. Demikian juga semaraknya shalat hajat dan tahajud, tak terkecuali di gelora Bung Karno -yang selama ini tak pernah ada- , tidak menjadikan tindak kriminalitas dan abus of power menghilang di negeri ini. Satu dan lain hal, penyebabnya adalah hilangnya religious experience berupa ketenangan, kesejukan dan kedamaian, justru pada saat perintah agama itu dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 s/d 31 Maret 2019, penulis menyaksikan sendiri di jabal Uhud Madinah dan jabal Rahmah di Mekah, beberapa rombongan jamaah umrah meneriakkan takbir -الله اكبر -, disertai acungan tangan dan terikan yang menggambarkan kemenangan salah satu pasangan calon presiden RI. Secara psikologis, sekalipun mereka melakukan ibadah, kebencian terhadap lawan poltik akan mewarnai denyut jantung dan detak nafasnya. Pelaksanakan perintah agama yang demikian, bisa dipastikan akan menghilangkan religious experience yang semestinya mereka terima.

Fenomena hilangnya religious experience seperti ini, tentu bukan sekali jadi, melainkan jauh sejak pasca kemerdekaan republik ini. Diterimanya Pancasila sebagai filosofi dan dasar Negara oleh para ulama di Republik ini, adalah jalan tengah untuk menjadikan religious experience tidak menghilang dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam perkembangannya religious experience tersebut terus menghilang, karena apa yang dikerjakan dari perintah agama, seperti -istighatsah, haji dan umrah serta shalat hajat dan tahajud- dan lain-lainnya, secara vertical tidak diarahkan untuk mendapatkan rdlo Allah, tetapi berhenti di tingkat horizontal, hanya untuk mendapatkan keberhasilan kepentingan sesaat.

Secara kongkrit, keprihatinan tersebut ditunjukkan oleh KH. Zaini Mun’im, dengan menjadikan kesadaran beragama sebagai benteng bagi para santri pondok pesantren Nurul-Jadid. Artinya, sebagai calon pemimpin bangsa, para santri dengan kesadaran beragama,yang merupakan bagian dari pancakesadaran santri, diharapkan tidak akan menjadikan pelaksanaan perintah agama, berhenti ditingkat horizontal sebagai marketing God atau jualan Tuhan, tetapi naik ke tingkat vertical, yaitu, untuk mendapatkan ridlo Allah Swt. Karena itulah yang dikehendaki Allah dalam al-Qur’an surat Al-An’am 162,

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

Artinya, Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Sebagai santri Nurul-Jadid, penulis hanya berdo’a, semuga ma’unah dan hidayah Allah terus memayungi para santri, dan bangsa ini, agar religious experience yang menebarkan kesejukan, ketenangan dan kedamaian Allah Swt, mengantar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi baldatun thoyibatun warabun ghafur, amin.

Wallahu ‘alam,

M. Hasyim Syamhudi
Dekan Fakultas Hukum dan Humaniora UNUJA, Paiton, Probolinggo

Panca Kesadaran Santri

Panca Kesadaran Santri

Apakah Anda memiliki anak dan atau murid yang sulit diatur? Apakah Anda pernah menjumpai kelompok masyarakat yang enggan untuk diajak maju? Sebenarnya, mereka yang memang sulit diatur sebenarnya bukan tidak mau dididik, mereka yang nakal bukan enggan menjadi baik, tapi kerap kali orang tua, para guru, kiai dan pemimpin lupa bahwa anak-anak mereka adalah putera zaman, anak sang waktu dan kehidupan.

Nah, jika para santri adalah calon pengayom dan pendidik umat, idealnya mereka harus mempersiapkan dan menempa diri untuk menjadi orang tua bagi segala jenis kemungkinan masyarakat yang kelak akan mereka hadapi.

Mestinya setiap orang menjadi penghebat, penyemangat, pendamai, penyuluh, pecinta dan bahkan pelita bagi dirinya sendiri. Apa sebab? Kegelapan tidak pernah ada, kecuali bagi mereka yang enggan dan malas menggapai cahaya. Kebencian itu tak pernah ada, benci adalah nama lain bagi cinta yang diciderai dan disakiti. Begitu pula najis, ia tidak pernah ada. Najis dan kotor ada karena manusia enggan menjaga kesucian dan kebersihan. Akan tetapi, karena kesadaran adalah barang langka, harus selalu ada yang melestarikannya. Hal ini bukan semata ilmu, tapi juga mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Dalam ilmu, kesalahan nyaris selalu mendahului kebenaran, itulah mengapa kesimpulan para ilmuwan acapkali 99 kali adalah keliru, barulah yang ke-100 benar. Namun demikian, dalam keseharian, Anda tidak harus berpengetahuan dulu baru bertindak. Teramat banyak tindakan kita lebih digerakkan oleh intuisi dan keyakinan dari pada pengetahuan. Bahkan, tak jarang, tindakan manusia berdasarkan imajinasi sosiologisnya.

Ilmu pengetahuan pun juga telah mengalami reduksi dan penyempitan ruang, terutama saintek, terutama lagi pasca revolusi newtonian dan freudian. Ilmu sebatas fisika dan perilaku manusia adalah ketaksadaran belaka. Padahal, intuisi adalah ilmu, ilham dan wahyu juga ilmu, bahkan para santri sangat percaya dengan adanya ilmu Ladunni, yakni ilmu yang langsung dari Allah, tanpa melalui proses pembelajaran konvensional.

Begitu pula dengan perilaku dan tindakan manusia, para penganut Sigmund Freud meyakini bahwa tindakan manusia digerakkan oleh ketaksadaran atau pikiran bawah sadar. Ketaksadaran yang dimaksud adalah “program otomatis” di mana manusia berbuat dan bertindak berdasarkan isi program tersebut. Pandangan ini jelas bertentangan dengan dunia Timur dan khususnya Islam. Bahkan, filsuf dan sufi agung, Al-Ghazali sangat memberikan kedudukan yang istimewa untuk akal.

Nah, jika tidak semua ilmu akan mengantarkan manusia pada kesadaran, lantas, kesadaran macam apakah yang menjadi pusaka para santri di Pesantren? Adalah KH. Zaini Mun’im (w.1976), pendiri PP Nurul Jadid Paiton-Probolinggo yang mencetuskan Panca Kesadaran Santri dan otomatis para Santri wajib menjalankannya sebagai pusaka dan pedoman hidup.

Lima kesadaran itu adalah: (1) Kesadaran beragama, (2) Kesadaran berilmu, (3) Kesadaran berorganisasi, (4) Kesadaran bermasyarakat, (5) Kesadaran berbangsa dan bernegara.

Kesadaran beragama. Hal ini jelas tidak cukup bagi para santri untuk sekadar tahu dan alim soal agama, tetapi juga menyadari dan lalu menyadarkan orang lain perihal visi-misi agama, muatan agama, ajaran cinta-kasih dan moralitas dalam agama, bukan malah memperjual-belikan agama demi kepentingan perut dan jabatan semata-mata. Di tangan para santri, agama sangat dipertaruhkan, ia bisa menjadi payung horizontal dan penyambung tali silaturrahmi untuk saling menyadarkan dan mengingatkan.

Kesadaran berilmu. Adalah kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu, segala ilmu, tanpa terkecuali saintek dan ilmu digital, karena kemajuan hanya mungkin diraih dengan pengetahuan, bahkan tiap kronik perubahan zaman dan masa, meneropong masa depan sampai angkasa, hanya mungkin dijangkau oleh ilmu, menggagas pembangunan bangsa dan Negara, lagi-lagi dengan ilmu. Kesadaran berilmu juga bermakna kesadaran untuk mendayagunakan pengetahuan demi kemanusiaan dan kemaslahatan, bukan untuk kehancuran dan pemusnahan, sebab pengkhianatan dan perselingkuhan seorang ilmuwan jauh lebih berbahaya dari pada 1.000 kesalahan 1.000 orang awan sebanyak 1.000 kali.

Kesadaran berorganisasi. Tanpa yang satu ini, kebaikan dan kebenaran pun akan semrawut dan gampang dikalahkan oleh keculasan dan kepalsuan. Oleh karena itu, berorganisasi harus ditanamkan sejak dini. Dan, Pesantren telah mengajarkan prinsip dan kesadaran ini bahkan sejak di dalam kamar, lalu asrama, forum ngaji, sekolah, madrasah, perkuliahan, bahkan berdasarkan daerah asal-usul santri. Hal ini jelas untuk mendidik santri agar memahami banyak karakter manusia melalui organisasi, belajar menyampaikan pendapat, menerima saran dan kritik orang lain, belajar perilaku organisasi serta etika dalam berorganisasi.

Kesadaran bermasyarakat. Ya, tiap individu adalah bagian dari masyarakat. Tidak ada satu manusia pun yang independen dan terbebas dari orang lain. Maha filsuf Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yakni makhluk sosial, bukan makhluk individual. Dan, Pesantren adalah gambaran dan simulasi bagi kehidupan masayarakat luas dengan berbagai persoalannya. Sementara itu, masyarakat adalah tempat di mana santri akan mengamalkan ilmu dan baktinya. Dinamika masyarakat sangat kompleks, bahkan multikompleks, sehingga kesadaran bermasyarakat berarti kesadaran untuk manjadi bagian dari mereka, mendidik dan mencerdaskan mereka. Oleh karena betapa tinggi apresiasi dan penghargaan masyarakat kepada kaum santri, sehingga setiap orang tua hampir pasti menjodohkan anak-anak mereka dengan santri. Dengan kata lain, di bursa perjodohan, rating para santri terus menanjak dan laris-manis.

Yang terakhir, kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebuah kesadaran yang kini telah mengalami pergeseran makna dan perumitan bentuk. Inilah rahasia mengapa para santri tidak menjadi kelompok Islam radikal dan terlibat jaringan teroris. Sejak mula, mereka memang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Nasionalisme dan patriotisme ini memuncak dalam momentum resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 sehingga pertempuran 10 November Indonesia meraih kemenangan atas tentara Sekutu. Sekali lagi, mengapa kaum santri sanggup melakukan bela pati dan menjadi martir (syahid) demi bangsa dan negaranya kini terjawab sudah. Nah, pasca kemerdekaan kaum sarungan kini akan sangat ditunggu peranannya oleh masayarakat, umat, bangsa dan Negara. Apakah panca kesadaran itu masih berdenyut di jantung kita, mengalir dalam darah kita? Adakah ia sebatas kenyataan atau sejatinya tantangan bagi kaum santri untuk membangun peradaban sarung di negeri ini?

Salam ta’dzim

___________

Penulis:  Ach Dhofir Zuhry.

Penulis adalah alumni PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, penulis buku best seller PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

aku akan berpayung pelukanmu

Aku Akan Berpayung Pelukanmu

Gemerincing suara hati dalam khayalku

berteriak ingin mengelus pipimu yang halus

jiwaku meronta-ronta gemetar di pinggir sungai kemesraan

 

Ibu

kau yang memiliki bibir delima

telah kau campakkan hatiku di samudra jiwamu

hingga hatiku tersesat di pinggir jantungmu

 

aku lari mengejar kelopak matamu yang rindang

ku ingin berteduh berpayung pelukanmu

biar rasa ini menikmati bunga-bunga yang melilit tubuhmu itu

 

pagi ini bersama secangkir kopi

ku merindukan saat kau menatapku

 

Ibu kau puisiku tanpa judul

 

Penulis : PUJANGGA PESISIR

Rindu Belaianmu

Rindu Belaianmu

Ibu, Kini aku tumbuh dari janinmu

Janin yang suci dari proses benih-benihmu

kau adalah wanita yang dititipkan tuhan untuk menjaga anak-anakmu.

Ibu, kau adalah muara hidupku

Tapak sinarmu dalam keseharianku

Kini mulai kurindu belaian kasihmu

Maaf kan aku ibu yang tak sempat mencium kakimu

Kaki yang dipenuhi surga

wanita yang dipenuhi karomah .

Kini aku memohon maaf yang tiada tara

Keabadianku terlahir dari jerih payamu

Tanpa permohon maafmu tak bisa kuberjalan tegak sampai saat ini.

Maafkan dosa-dosaku dosa yang tak sempat ku ucapkan.

Kini aku hanya bisa memohon pada tuhan

“robbiu firli walidayya warham huma kama robbaya ni sogiro.

Ibu hanya Doa yang aku persembahkan

Dan usaha yang kuat untuk membahagiakanmu

Ibu salam santun dari anakmu yang merindukan belaianmu.

Penulis : Yahya (Pengurus LPBA PP. Nurul Jadid)

malaikat tak bersayap

Ibu

Kau lah malaikat tak bersayap sebagai penerima titipan malaikat kecil dari tuhan

Kau lah pejuang sejati tanpa balas jasa, tak berharap balas budi

Kau lah cahaya yang menerangi di petang dan senja

Kau lah bunga melati suci, indah semerbak yang tak lekang oleh waktu

Cinta yang tulus tak kan pernah pupus apalagi terhapus

Kasih yang abadi tak kan pernah  tertandingi dan tak terbagi

Belaian sayang kau curahkan tak peduli betapa letih, perih, dan pedihnya hanya untuk membuat anakmu sama dengan orang lain

Kini anakmu sudah dewasa,

Kini Anakmu sudah bahagia,

Kini Anakmu sudah menemukan tambatan hatinya,

Dan kini giliran anakmu untuk membalas segalanya

Izinkan untuk membasuh kakimu walaupun tak sebanding saat aku kecil dulu kau basuh dari ujung rambut sampai ujung kakiku

Izinkan untuk memelukmu walau tak sebanding dengan kehangatan pelukanmu saat kita kehujanan

Izinkan untuk mencium keningmu walau tak sebanding dengan jumlah ciumanmu saat-saat aku masih dalam ayunanmu

Ibu aku merinduimu selalu walau kita jauh dipandangan namun dekat dalam pikiran dan perasaan

Ibuku yang tangguh, tabah dan shalehah

Hanya doa lah yang daku panjatkan

Ya Allah ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana menyangiku di waktu kecil.

Selamat Hari Ibu

 

20181222_foto-penulis-hindun

Foto Penulis, Hindun, Alumni UNUJA 2016

 

mother’s day commemoration in building a good impression for children

Mother’s Day Commemoration in Building a Good Impression for Children

As an affection of incredible woman who is commonly called as mother toward the children is certainly started off when they are pregnant of their child.This is what mother expects the child to own great future in adult.Therefore,how big their affection is,they guide the child every time.But ironically,nowadays ,mostly childrens donot obey on the mother such childers who do not respect the mother caused by being influenced of a lot of online games there are really famous in the world.So, it becomes a question that on how to build a good impression for childrens by mothe’s day commemoration.

Basically,mother’s day is a day of mother’s affection commemoration.Where,it is commonly commemorated on 22nd December in every years.As prophet Muhammad ever once stated that “the great parent whose great affection in guiding child is mother’’.So,that statement which obligates us tobe obey our mother.

Broadly speaking,the affection of mother is the biggest than another parent because, mother is really strenuous in delivering their child.Also the first teacher who guides us is mother.such mother guide us on how to talk and others.In commemoratim mother’s day is not eworthy for all childerns.In order that becomes good impression for childerns.because of such the problem in the background above is numerous childrens do not have obedience toward the mother caused by influenced by a lot of online game in the world.Therefore,we as childerns and luckily there is great woman whom we belong that is mother.We must really love her.As what as the song of Roma irama “if you are obedienct of your king,you are better tobe obedient of your mother.If you love with your dear,you are better to love your mother because as commanmend of ALLAH”the blessing of ALLAH is at parents,and the heaven is in the foot of mother”caused by those we should realize together that mother is the most important part of humans being.

Unfortunately,exasperation complicates the world to actualize that mother is the most important human of human being,those are:

1.globalization westernizes the child to own western lifestyle that is individuality life,they will leave their parent when they have been adult

2.many young parents those are caused by free sex do not really care on the child

How to fix those?perhaps, by following these manners below we can fix it:

1.Indonesian as eastern people should always respect to the parent and selective in facing western culture

2.Shouldly,Indonesia young people leave bad environtment and selective in looking for friend

Last of all we as the young countrymen must respect on our parent especially mother who had born us to live with the current of this universe.

Penulis : Ainur Rosyid (Peserta Didik LIPS SMP Nurul Jadid)

Lembut mu

Lembut mu

Lembut mu…..

Kehidupan ini serasa tak terasa

Kehidupan ini kulalui dengan ria tawa

Yang menggema seakan terdengar oleh sorotan mata

Ku tak tau

Bagaimana dirimu selama kau

Membobotku kemana pun kau pergi

Rasa letih seakan tak pernah hadir

Di hari-harimu

Lembut mu…

Perjuangan mu begitu besar

Nyawaku bergantung pada mu

Sedih yang di iringi oleh tawa

Ketika dirimu memandang seseorang yang kecil

Dengan matanya yang sedang melihat indahnya dunia

Itulah diriku

Lembut mu…

Senyum yang selalu terukir di wajahmu

Sentuhanmu begitu lembut

Serasa seperti ada kenyamanan

Tapi diriku tak mengerti atas kenyamanan yang kau berikan

Kasih sayang yang kau hadirkan untuk ku

Lagi-lagi memberikan kenyamanan

Hanya satu kata jikalau diriku di sisi mu

Kenyamanan…

Akan tetapi ku tak mengerti apa itu kenyamanan

Lambat lalu hari-hariku

Ku alami dengan kesenangan

Seakan tiada hari tanpamu

Lembut mu…

Waktu yang terus berputar

Mengingatkan ku atas perlakuanmu yang membuatku

Melayang hingga langit ketujuh

Menyadarkanku atas semua itu

Tetapi bagaimana caraku membalas semuamu

Jiwa ini tak bisa menghadirkan hal yang sama

Entah bagaimana diriku terapung dalam kebingungan

Hanya hampa yang kau rasakan ketika di sisi ku detik ini

Tetapi mungkin satu kalimatku yang akan membuatmu teringat

Dalam satu ikatan hati”AKU CINTA IBU KARNA ALLAH”

 

Penulis : Ahmad Firdaus Perdana (Peserta Didik LIPS, SMP Nurul Jadid)

Ibu Maafkan Anakmu

Ibu

Ibu

Maafkan anakmu

Yang tak tau diri dan balas budi

Mikirin hidup hanya kepuasan pribadi

Sempat terlintas kau ku jadikan pembantu tuk naikkan karir

Sempat terbesit kau ku jadikan pesuruh tuk menghemat anggaran

Naif… itu kalkulasi matematikaku karena terlalu banyak berhitung

Itu perhitunganku karena terlalu sering pakai logika

Tenyata, itu hanya sesat pikirku

Aku baru sadar,

Sejarah tak pernah catat orang sukses dengan kesampingkan ibu

Tak ada orang damai dengan nomorduakan ibu

Ibu, kau rawat aku dengan belas kasih tanpa pamrih

Kau besarkan aku dengan cinta kasih tanpa kalkulasi

Maafkan anakku yang tak tau diri

Kaulah  yang pertama dan utama

Mutiara tiada tara

Kau raja hidupku

Namamu abadi dalam sanubariku

Selamat Hari Ibu

Pojok WPS, Rama Yakin, 22 Des 2018