Indikasi Kholwat Virtual dalam Kemasan Media Sosial

Indikasi Kholwat Virtual dalam Kemasan Media Sosial

(Konsepsi dan aplikasi Sadd adz-Dzari’ah dan Fath adz-Dzari’ah dalam menggapai Maqoshid asy-Syari’ah)

Semua hukum syari’at Islam tidak Allah SWT tetapkan melainkan untuk merealisasikan maslahat dan menolak mudlorot bagi seluruh umat Islam. Maslahat sebagai tujuan puncaknya menjadi sebuah tendensi dari disyari’atkannya hukum itu sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dan tiadalah Kami (Allah SWT) mengutus kamu (Muhammad SAW), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(Al-Anbiya’ 107).

Dalam ayat di atas disebutkan kata “rahmat” yang dalam pemahaman kontekstualnya terkandung ma’na menjaga terealisasinya maslahat dan menolak mudlorot. Hal inilah yang di dalam literatur ushul fiqh dikenal dengan istilah maqosid syari’ah.

Term hangat yang hampir tidak ada puncaknya menjadi perbincangan publik adalah media sosial yang dalam perkembangannya dari masa ke masa semakin pesat terutama dalam masa sekarang yang seolah-olah kaca buram terlihat sangat bening.

Dalam sisi lain, media sosial seakan menjadi kebutuhan pokok yang tak dapat ditinggalkan, bahkan orang yang masih buta akan media sosial bisa disebut dengan istilah Gaptek.

Tulisan ini akan memaparkan sedikit tentang hubungan antara kebutuhan akan media sosial dengan konsep sadd adz-dzari’ah, fath adz-dzari’ah yang akhirnya bermuara pada maqoshid syari’ah (tujuan-tujuan syari’at).

Media Sosial

Media sosial dalam perkembangannya seakan menjadi trend atau gaya hidup yang tak dapat dipungkiri. Dua sisi dalam penggunaannya memerlukan pertimbangan yang sangat matang, satu sisi manfaat dan sisi yang lain dapat menimbulkan mudlorot (hal yang membahayakan). Pernyataan sejenis juga dikemukakan oleh Menkominfo Rudiantara yang dilansir dalam berita harian Menkominfo:

“memang tidak dapat dipungkiri kehadiran medsos yang sangat ramai dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak telah mengubah pola pikir penggunanya, sehingga sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita harus tetap waspada dan berhati-hati dalam penggunaannya karena memang banya mudlorotnya dari pada manfaatnya”.

Oleh karena itu, Menkominfo dalam salah satu pernyataanya mengumumkan gerakan cerdas dalam menggunakan media sosial.

Menkominfo juga mengungkapkan bahwa, sekitar 63 juta warga Indonesia untuk saat ini menjadi pengguna internet baik dengan menggunakan Handphone, Laptop maupun alat elektronik lainnya, dan 95 % dari angka tersebut menjadi pengguna media dan jejaring sosial. Oleh karena itu, tak heran untuk saat ini Indonesia menempati peringkat ke 4 dalam pengguna facebook terbesar di dunia setelah USA, Brazil dan India dan menempati peringkat ke 5 pengguna twitter terbesar setelah USA, Brazil, Jepang dan Inggris. Beberapa indikasi kejahatan juga banyak terjadi akibat dari penggunaan media sosial ini, mulai dari trafiking, perdagangan ilegal, korban hoax, sexual dan lain sebagainya. Dengan demikian, kita perlu lebih cermat lagi dalam menggunakan media sosial ini. Salah satu konsep yang ditawarkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan adalah Sadd adz-Dzari’ah.

Sadd adz-Dzariah dan Fath adz-Dzari’ah

Sadd dzari’ah adalah salah satu metode istinbath dan penetapan hukum yang secara eksplisit dikemukakan oleh Imam malik, bahkan Imam asy-Syathibi menyebutkan dalam kitabnya al-I’tishom bahwa Imam Maliklah yang paling banyak menggunakan kaidah ini.

Dzari’ah menurut bahasa berarti wasilah atau mediator (penghubung). Sedangkan menurut ulama’ ushul sadd adz-dzari’ah berarti menutup jalan yang menjadi mediator atau penghubung kepada sesuatu yang dilarang yang mengandung mafsadat (kerusakan). Mediator kepada yang haram berarti hukumnya haram begitupula mediator kepada yang wajib maka hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, menurut Imam al-Qorofi dalam kitab at-Tathbiqot al-Mu’ashiroh li sadd adz-Dzari’ah hukum mengandung dua hal, pertama yaitu maqoshid (tujuan) yang mengandung maslahat dan mudlorot, kedua wasa’il/wasilah yaitu mediator atau penghubung. Hukum wasa’il mengikuti hukum maqoshid, jika maqoshidnya wajib maka hukumnya wajib, dan jika maqoshidnya haram maka wasailnya haram. Sebagaimana yang dicontohkan para ahli ushul bahwa zina hukumnya haram, maka melihat ‘aurot perempuan yang dapat menghubungkan kepada perzinahan hukumnya juga haram, karena melihat ‘aurot termasuk kategori wasa’il/wasilah (mediator atau penghubung) kepada zina. Demikian pula, sholat jum’at hukumnya adalah wajib, maka meninggalkan jual beli untuk melaksanakan sholat jum’at juga wajib.

Konsep sadd adz-dzari’ah ini bermula dari prinsip pertimbangan konsekwensi atas suatu perbuatan yang sangat erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat karena, konsekwensi suatu perbuatan merupakan hal yang dikehendaki dalam syari’at Islam sehingga sangat diperhatikan dalam penetapan hukum. Dengan demikian, seseorang tidak akan mencapai tujuan syara’ dengan tanpa adanya wasilah (mediator) sehingga, segala perbuatan dan tindakan yang mengarahkan seseorang terhadap suatu kemaslahatan maka orang itu dituntut untuk mengerjakannya (fath adz-dzari’ah), sebaliknya segala tindakan yang mengarahkan seseorang kepada kerusakan maka dituntut untuk meninggalkannya (sadd adz-dzari’ah).

Oleh karena itu, syari’at menutup segala wasilah (mediator) yang dapat menyampaikan seseorang terhadap mafsadat (kerusakan) dan mudlorot dan membuka jalan yang menyampaikan kepada maslahat. Dengan demikian, untuk meraih kemaslahatan, ada cara-cara atau mediator yang menyampaikan kita kepada kemaslahatan. Demikian pula untuk menolak kemafsadatan, ada cara-cara untuk menghindarinya. Cara yang menyampaikan kita kepada kemaslahatan disebut fath adz-dzari’ah (membuka jalan). Sedangkan cara untuk menghindarkan kita dari kemafsadatan disebut sadd adz-dzari’ah (menutup jalan).

Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu disebutkan, membuka wasilah (fath adz-dzari’ah)  dalam perkara yang kemungkinan maksiat diperbolehkan dengan beberapa catatan yang bersifat ketat. Pertama, apabila potensi untuk terjadi maksiat sangat sedikit, kedua, apabila kemaslahatan melakukannya lebih besar dibandingkan dengan kerusakan yang akan timbul. Dalam Furu’ fiqhiyyah (cabang-cabang fiqh) sering dicontohkan oleh para ulama’ bahwa, seorang dokter laki-laki ketika mengobati perempuan diperbolehkan untuk melihat aurot sensitif ketika ada hajat untuk mengobati bagian tersebut dan kemaslahatan yang ditimbulkan itu lebih besar dari pada mafsadatnya.

Simpulan

Dapat ditarik kesimpulan bahwa, dengan maraknya penyalahgunaan media sosial di masa sekarang, sangat perlu bagi kita untuk menimbang kembali kedua sisinya, negatif dan positifnya, manfaat dan tidaknya, maslahat dan mudlorotnya. Konsep sadd adz-dzari’ah sangat sesuai untuk diaplikasikan dalam hal ini. Oleh karena media sosial ini termasuk kategori wasilah (mediator), maka apabila penggunaan media sosial dengan segala macam jenisnya seperti facebook, WA dan twitter lebih memudahkan kita untuk Taqorrub kepada Allah dan untuk hal-hal positif lainnya maka penggunaannya diperbolehkan, akan tetapi apabila dalam penggunaannya menyebabkan jatuh kedalam maksiat, tindak kejahatan dan lain sebagainya, maka hukumnya tidak diperbolehkan. Sehingga dengan inilah tujuan dari pada hukum syari’at tercapai.

Catatan: latar belakang ulasan singkat ini adalah karena iseng dan rasa kagumnya kepada seorang Kiai dan beliau termasuk masyayikh PP. Nurul Jadid yang senantiasa selalu menuangkan ilmunya kepada para santrinya dan kepada penulis terutama maqoshid asy-syari’ah karena beliau memang pakarnya. Beliau pernah dawuh dalam salah satu sesi pengajian “mungkin media sosial ini bisa juga dikategorikan kholwat virtual (bersepi-sepi dengan lain jenis di dunia maya)”, dalam pengajian yang lain beliau dawuh “Alhamdulillah bagi kalian yang masih belum punya facebook”.

Juga rasa kagum terhadap seorang Kiai dari Rembang yang bernama Gus Baha’uddin bin Kiai Nur Salim yang sama sekali tidak menggunakan media sosial dan juga alat telekomunikasi lainnya, padahal beliau seorang kiai yang sangat tenar, pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh dan sebagainya. Landasan beliau tidak menggunakan media sosial yaitu berpedoman pada salah satu Qoidah Fiqhiyyah yang sangat populer berbunyi “Dar’u al-mafasid muqoddamun ‘ala jalbi al-masholih” yang berarti Menolak mafsadat lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan, kalau di dalam terminologi ushul fiqh dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Salah satu kutipan dawuh beliau:

Ya kalo rawan bahaya, lebih baik jangan

Karena menurut beliau “orang terkadang merasa terhegemoni pemikiran barat, arus pornografi dan macam-macam, ya karena mereka menggunakan”.

*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri

Editor : Ponirin Mika

Bersama Kita Melawan Corona

Mawas Diri, Mari Peduli

Indonesia tengah digemparkan oleh wabah virus yang akhir-akhir ini juga tengah menggemparkan kurang dari 157 negara. Covid – 19 (Corona Virus Deases 2019) atau yang akrab kita dengar dengan sebutan Corona, pertama kali muncul di wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Penularan dan penyebarannya yang sangat cepat tak dapat kita nafikan, bahwa berkontak langsung dengan si penderita, melalui perantara udara bahkan gesekan, virus itu akan langsung menggerogoti siapa saja tanpa pandang buluh. Virus tersebut tak hanya menjangkit dan mewabah di kota metropolitan saja, namun juga hingga ke pelosok – pelosok desa, bahkan Pondok Pesantren yang damai juga geger dibuatnya. Berbagai penangan telah digencarkan oleh pemerintah untuk segera meminimalisir jumlah kasus yang semakin hari semakin parah. Kepanikan sangat tergambar pada berita online maupun offline. Seluruh surat kabar berisikan segala perihal mengenai virus corona. Corona tersebut telah menjadi buah bibir masyarakat dari setiap elemen tanpa terkecuali, santri pun tak mau kalah update dan panik. Berbagai upaya juga digalakkan dari pihak pesantren, tidak hanya sekolah – sekolah diluar yang kini dilibur panjangkan. Pesantren juga memberhentikan sementara seluruh KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di lingkup pesantren.

Namun, disisi lain santri juga dicekoki berbagai doktrin dan pengarahan seputar pencegahan virus corona. Juga, jika kita menilik dari notabene santri yang merupakan kader estafet penerus perjuangan ulama dan ulama adalah tonggaknya bumi ini. Jadi, nilai spiritualitas dan religius sudah tidak usah diragukan lagi. Nilai tersebut telah melekat bahkan mendarah daging di jiwa seorang santri. Contoh konkretnya, seperti Pondok Pesantren Nurul Jadid, disana santri diijazahkan beberapa amalan, tapi amalan yang ditulis langsung, salah satunya oleh KH. Fadlurrahman Zaini, tepatnya di masjid jami’. Ikhtiar santri terus digembor – gemborkan secara dhohir maupun batin. Olahraga yakni senam pagi telah menjadi rutinitas setiap pagi, pembacaan amalan pun telah terjadwal secara istiqomah seusai shalat berjama’ah fardhu.

Dalam konteks ini, peran santri sangatlah urgen untuk turutanail dalam pencegahan kasus virus Covid – 19 mawas diri merupakan cara paling ampuh untuk pencegahan. Karena semua bermula dari diri kita, apalagi kita seorang santri yang pastinya rasa mawas diri telah termaktub pada setiap santri khususnya santri Nurul Jadid. Sebagaian besar dari ODP (Orang dalam pemantauan) dan PDP (Pemantauan dan penanganan) 80% sembuh dikarenakan daya tahan tubuhnya yang memang kuat atau kebal untuk melawan virus – virus. Di indonesia sendiri telah banyak sekali daerah yang berstatus zona merah, khususnya DKI Jakarta. Kepanikan pasti melanda pada setiap elemen masyarakat, namun kepanikan tersebut juga memiliki porsi tersendiri. Janganlah kita terlalu panik, tapi juga jangan meremehkan intinya adalah selalu mawas diri.

Seperti yang didawuhkan oleh KH. Najiburrahman Wahid pada pengajian kitab santri di pagi hari, bahwa virus corona adalah sebuah wabah yang dalam pengertian tersendiri mengenai arti wabah ialah azab, namun beliau menuturkan bahwa wabah merupakan rahmat bagi orang mukmin. Kita sebagai kaum islam, harus percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan garis takdir Allah SWT, sikap tawakal haruslah tetap terpatri dalam diri kita kaum santri dan mukmin.

Kepanikan yang melanda warga indonesia khususnya santri juga tidak luput dari kemulekan sosial media yang menyuguhkan berbagai literatur dan wacana yang terkadang dilebih – lebihkan. Negara kita memanglah merupakan negara yang sangat gampang untuk menjadi sasaran empuk berita hoax dan semacamnya. Kaum santri harus bangkit dan turut maju kedepan garis merah, santri juga harus pandai – pandai memfilterasi segala berita hoax dan meluruskan benang yang kusut. Indonesia juga harus bangkit dari segala keterpurukan akibat merebaknya kasus virus corona. Bersama santri, indonesia kembali bersinar dari keredupannya. Jangan mau diperbudak dengan berbagai linimasa yang kurang mengasah dan potensial. Sekali lagi, sikap mawas diri sangatlah urgen dari berbagai macam kasus manapun dan apapun semua bermula dan berakhir dari kita. Mawas dirilah pada setiap peristiwa, mawas diri juga harus di barengi dengan sikap kritis dan logis. Karena perubahan bermula dari hal kecil yakni diri kita. Dengan bermawas diri berarti kita peduli seluruh insan di bumi ini.

Untuk kesekian kalinya, kaum santri harus bangkit sekalipun mengaji kitab dan berdzikir di pagi hari. Wallahu a’lam.

Penulis : Nur Husna Roziqin, santri PP. Nurul Jadid pemenang juara I lomba Opini dalam Pekan Santri yang dihelat oleh FKO Nurul Jadid pada tanggal  29 Maret 2020.

Editor : Ponirin

Bersama Kita Melawan Corona

Santri Melek Corona dalam Pesta Upaya Pencegahan

Segala suguhan yang disajikan media akhir-akhir ini sedang didemo oleh wabah virus covid-19 atau yang lebih kaprah terdengar sebagai virus corona. Wabah virus yang berasal dari wuhan, china ini benar benar menjadi sosok hantu yang menakutkan yang menggangu ke stabilitas aktivitas manusia sehari-hari. Virus ini merupakan tipe virus yang menyerang sistem pernafasan manusia dan juga begitu mudahnya virus ini menyerang manusia melalui kontak interaksi langsung dan benda-benda yang tersentuh oleh pengidap virus corona. Sebab komplotan virus ini, segala bentuk parlement pemerintahan berbenah dalam beradaptasi memerangi virus ini, seperti pendidikan, birokrasi, ekonomi dan lain-lain. Virus ini juga menjadi propaganda yang memorat-maritkan ekonomi global , negara amerika yang menjadi poros adidaya duniapun kini sedang mengerjakan pr-nya dalam berbenah dan beradaptasi untuk mengantisipasi kemerosotan akibat virus yang tak kenal siapa dalam menyandang kasta pemerintahan maupun sosial ini.

Pondok pesantren mulai merancang segala bentuk kebijakan dalam upaya pencegahan virus corona. Antara lain seperti menambah aktifitas-aktifitas dalam memperkuat imunitas badan santri, yaitu menyediakan tempat cuci tangan santri mematisurikan bentuk pendidikan formal dalam lingkup pesantren. Semua kebijakan ini bermuarakan pada asas menjaga kesehatan santri.

Salah satu contoh fatwa kebijakan pesantren diatas bertujuan untuk keselamatan santri dari wabah corona. Lantas sebagai seorang santri harus menyikapi secara bijak dan cerdas kebijakan-kebijakan pesantren.

Meskipun secara nyata di kehidupan dalam lingkup pesantren santri tidak dapat bermedia secara kurun waktu yang lama yang membuat santri tidak begitu up date. Santri harus bisa ‘melek’ seputar virus corona ini sehingga santri mempunyai bekal pemahaman secara betul dan bisa menanggapi serta beradaptasi secara cerdas gejala, resiko dan kegiatan seperti apa yang bisa sumbangsihkan dalam memeriahkan upaya pencegahan virus corona dalam lingkup pondok pesantren.

Permasalahan juga timbul akibat kurangnya bermedia . Banyak dari santri mendapatkan berita berita dari lemparan mulut yang tak jelas dari mana sumbernya. Hal ini menimbulkan benih benih kegelisahan yang bersemayam pada asumsi berkelanjutan yang secara tidak langsung menurunkam nilai imunitas tubuhnya. Oleh karenanya, untuk menjadi santri yang cerdas dalam era dan tantangan media yang kian mendesak, santri diupayakan pintar memilih dan memilah mana berita yang dicap sebagai berita yang sohih dan mana berita yang tidak dapat dibenarkan.

Mengutip dari salah satu sabda nabi “diakhir zaman nanti akan ada suatu wabah yang menyerang ummatku, tapi mereka akan bebas darinya jika dia menjaga wudlu’nya”. Mencerna dari secuil hadits tersebut santri juga dapat menjaga pola kesehatan dan lingkungan agar terbebas dari wabah virus tersebut dengan merujuk pada pola hidup sehat yang telah diajarkan oleh agama islam dan telah dicerminkan dalam pola hidup sehat rasulullah saw

Penulis : Muhammad Izzul Haq, santri pp. Nurul jadid pemenang juara II lomba opini dalam pekan santri yang dihelat oleh fko nurul jadid pada tanggal  29 maret 2020.

Editor : Ponirin

Bersama Kita Melawan Corona

Peran Partisipasi Santri Terhadap Pencegahan Virus Covid-19

‘’Seberapa besarkah dampak dan partisipasi santri dalam pencegahan penyebaran covid-19?”

Mungkin memang tak asing saat kita semua mendengar kata covid-19 atau yang lebih dikenal dengan virus corona. virus ini telah menjadi virus internasional.  Yang awalnya sempat viral di Wuhan, China, namun kini covid-19 telah menjadi virus internasional. Hampir dari seluruh negara di dunia terkena covid-19. Dan sebagian kecil pasien covid-19 dapat sembuh kembali.

Maraknya virus covid-19 ini semakin membuat masyarakat panik dan ketakutan. Karena seiap hari, dan hampir tiap jam kita mendapat informasi tentang penyebaran covid-19 ini. Entah iformasi tersebut berasal dari android atau internet, Koran atau televisi.

Dan kini covid-19 telah mewabah hampir di seluruh Indonesia. Dampaknya mayoritas warga Indonesia mengisolasi diri dalam rumah, enggan keluar rumah masing-masing dengan menjadikan covid-19 alsannya. Hingga pemerintah pun meliburkan seluruh aktifitas diluar rumah seperti kegiatan belajar mengajar, aktififitas perkantoran daln lain sebagainya. Hal tersebut merupakan partisipasi dari pemerintah untuk meminimalisir wabah covid-19. tak hanya sekolah yang diliburkan, namun virus covid-19 ini juga berdampa ke beberapa pondok pesantren, contohnya pesantren yang saya tempati sekarang. Semua akifitas sekolah diliburkan sejak Senin, 23 Maret 2020. Mengapa demikian? Karena pesantren pun juga harus ikut aturan pemerintah. Dan pihak pesantren pun harus mengisolasi diri dengan aturan semua santri dilarang dikunjungi oleh siapapun. Tnentu saja hal itu membuat para santri terasa jenuh dan bosan. Sehingga pihak pesantren membuat agenda untuk mengisi kekosongan santri selama lockdown dan sebelum pihak pesantren memulangkan santri lebih cepat.

Dalam ragka berpartisipasi terhadap pencegahan penyebaran covid-19, tentu saja perasn santri dan pesantren sangatlah penting. mengapa demikian sebagai seorang sanri di pondok pesantren harusnya ketika mendengar situasi seperti ini setidaknya kita berlomba-lomba dalam pencegahan covid-19 dengan cara yang dapat kita lakukan di dalam pesantren. seperti contoh di beberapa pesantren dilakukan khotmil qur’an dan doa bersama dalam rangka pencegahan dan penyelamatan Bumi dari covid-19. Insyaallah semua hajat dan do’a para santri dikabulkan. Karena pesantren adalah tempat yang mulia dan do’anya orang yang menuntu ilmu juga para pendiri akan diistijabah oleh Allah SWT.

Beberapa contoh lainnya dalam dalam pencegahan virus covid-19 adalah membuat ramuan atau minuman herbal yang nantinya diberikan pada seluruh santri, bahkan ada yang menjualnya. Penguunaan hand sanitiezer mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pemakaian masker, itu semua merupakan partisipasi seorang santri terhadap pencegahan penyebaran covid-19 ini.

Peranan santri dalam pencegahan covid-19, saya angap penting karena di lingkup pesantren, para santri, pengasuh dan keluarga pengasuh dan sebagainya ikut serta dan selalu mendoakan agar virus covid-19 ini segera berakhir. Tak hanya mendoakan diri sendiri, namun para santri juga mendokan kesehatan, kesembuhan serta keamanan rakyat dari covid-19 ini. Mereka juga mendoakan seluruh dunia yang terjangkit covid-19 ini. Dan atas kehendak ALLAH Swt doa yang dipanjatkan oleh santri akan segera teristijabah. Karena setiap gerak gerik santri untuk kebaikan pasti mendapat pahala, bagaimana dengan doanya? Pasti teristijabah.

Oleh karena itu, peran santri sangtlah penting. Dengan dibantu oleh tirakat para santri dan pengasuh, perlahan virus ini akan menghilang dengan sendirinya. Tapi jangan hanya mengandalkan para santri dan pesantren namun pihak pemerintah pun harus ikut serta dalam mendoakan negeri dan bumi demi keamanan dan kesejahteraan bersama. Kitapun sebagai seorang santri harus tetap mengikuti aturan dan instruksi dari pihak pemerintah dalam pencegahan covid-19 tersebut

Penulis : Nala Maziqo, santri PP. Nurul Jadid pemenang juara III lomba Opini dalam Pekan Santri yang dihelat oleh FKO Nurul Jadid pada tanggal  29 Maret 2020.

Editor : Ponirin

Sya’ban, Bulan Penyucian Hati dan Jaminan Allah bagi Ahli As-Sya’ban

Sya’ban, Bulan Penyucian Hati

Selamat tinggal Rojab, selamat datang Sya’ban. Inilah kata yang sering kita dengar setelah melewati moment yang berharga dan akan menempuh moment yang lebih berharga lagi. Lazimnya, setelah kita melalui bulan yang mulia yaitu Rojab, kitab memasuki bulan yang juga mulia yaitu sya’ban. Di dalam beberapa hadits “Rojab, Sya’ban dan Romadlon” pasti disebutkan secara khusus dengan tartib dan ber-iringan. Rosulullah SAW bersabda:

إن رجب شهرالله وشعبان شهري ورمضان شهر أمتي (الحديث)

Artinya: “Sesungguhnya Rojab adalah bulannya Allah SWT, Sya’ban adalah bulan Ku dan Romadlon adalah bulan ummat Ku” .

Mengapa demikian? di dalam Kitab Durrotun Nasihin fil wa’dzi wal Irsyad Syekh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawiyyi mengatakan:

رجب لتطهير البدن وشعبان لتطهير القلب ورمضان لتطهير الروح, فإن من يطهر البدن في رجب يطهر القلب في شعبان, ومن يطهر القلب في شعبان يطهر الروح في رمضان, فإن لم يطهر البدن في رجب والقلب في شعبان, فمتى يطهر الروح في رمضان؟

                Artinya: “Bulan Rojab adalah bulan untuk mensucikan  badan, Sya’ban untuk mensucikan hati dan Romadlon untuk mensucikan Ruh. Maka sesungguhnya orang yang mensucikan badannya di Bulan Rojab, maka dia akan mensucikan hatinya di Bulan Sya’ban dan barangsiapa yang mensucikan hatinya di Bulan Sya’ban maka dia akan mensucikan ruhnya di Bulan Romadlon. Maka andaikata dia tidak mensucikan badan di Bulan Rojab dan Hati di Bulan Sya’ban, maka kapan dia bisa mensucikan ruh di Bulan Romadlon?”.

Dari perkataan di atas, ada sebuah pemahaman yang dapat kita petik bahwa pada tiga bulan ini ada sebuah ‘alaqoh (ikatan) yang kuat antara satu dengan lainnya. Andaikata kita bisa membuat sebuah analogi “mustahil seseorang dapat mengambil buah kelapa tanpa memanjat batangnya”. Ketika seseorang sudah membersihkan badan dan semua anggota tubuhnya dari dosa dan maksiat dengan ber-Istighfar di Bulan Rojab maka otomatis dia akan mudah memperbaiki dan menyucikan hatinya di Bulan Sya’ban dengan memperbanyak sholawat, tilawah al-Qur’an. Dengan amalan-amalan inilah maka dia akan mendapatkan kedudukan yang mulia dan syafa’at. Maka, tak hayal Yahya bin Mu’adz mengatakan:

إن في شعبان خمسة أحرف يعطى بكل حرف عطية للمؤمنين : بالشين الشرف والشفاعة, وبالعين العزة والكرامة, وبالباء البر, وبالألف الألفة, وبالنون النور.

Makna dari perkataan Yahya bin Mu’adz ini adalah “Sesungguhnya dalam kata Sya’ban itu ada 5 huruf yang pada setiap hurufnya ada ‘athiyyah (pemberian) yang diberikan kepada orang-orang mukmin : dengan huruf Syin Allah memberikan Syarof (kemuliaan) dan Syafa’at, dengan ‘Ain diberikanlah ‘Izzah (kemuliaan) dan Karomah, dengan Ba’ diberikanlah al- Birru (Kebaikan) padanya, dengan Alif maka diberikanlah al-Ulfah (Kasih sayang) pada dirinya dan dengan Huruf Nun maka dia akan mendapatkan an-Nur (cahaya). Inilah kemurahan dan anugerah Allah bagi orang yang mengagungkan bulan Sya’ban. Selain dari pada itu, Allah juga memberikan jaminan bagi orang yang mengagungkan bulan Sya’ban.

                Mati syahid merupakan salah satu jaminan Allah bagi Ahli as-Sya’ban yaitu orang yang mengagungkan Bulan Sya’ban dan menghidupkannya dengan amal-amal Ibadah seperti ber-puasa di dalamnya. Baginda Nabi SAW dalam haditsnya tegas menyampaikan:

من صام ثلاثة أيام من أول شعبان وثلاثة من أوسطه وثلاثة من آخره كتب الله له ثواب سبعين نبيا وكان كمن عبد الله تعالى سبعين عاما. وإن مات في تلك السنة مات شهيدا.(الحديث)

Artinya: “Barangsiapa berpuasa tiga hari di awal Sya’ban, tiga hari dipertengahan dan tiga hari di akhir Sya’ban, maka Allah mencatat pahala baginya seperti pahalanya 70 Nabi dan dia diseumpakan orang yang telah ber-ibadah kepada Allah selama 70 tahun. Jika dia mati di tahun itu, maka niscaya dia termasuk orang yang Mati Syahid”.

Penutup dari tulisan ini adalah bahwa dengan ini penulis mengajak kepada diri penulis sendiri dan semua khalayak mari muhasabahilah bulan Rojab dan benahilah diri di bulan Sya’ban serta mohon dan yakinlah bahwa dengan memuliakan dan mengagungkan bulan Sya’ban Allah juga akan menjauhkan dan mengangkat segala Bala’ dan penyakit sebagaimana Sabda Nabi SAW :

من عظم شعبان واتقى الله تعالى وعمل بطاعته وأمسك نفسه عن المعصية غفر الله تعالى ذنوبه وآمنه من كل ما يكون في تلك السنة من البلايا والأمراض كلها (الحديث)

Artinya: “Barangsiapa yang mengagungkan bulan Sya’ban dan bertakwa kepada Allah SWT dan mengerjakan ke ta’atan pada-Nya serta mencegah dirinya dari maksiat, maka niscaya Allah telah mengampuni dosanya dan menjamin keamanan dari segala perkara yang ada di tahun itu berupa Bala’ dan segala macam penyakit”.

Wallaahu a’lamu bisshowab. (24 Maret 2020)

Refrensi: Kitab Durrotun Nasihin fil wa’dzi wal Irsyad karangan Syekh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawiyyi

*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri

Editor : Ponirin Mika

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KESETARAAN GENDER

Gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk merealisasikan hak asasinya dan sama-sama berpotensi menyumbang kemajuan pembangunan. Kesetaraan gender muncul dikarenakan ketidakpuasaan perlakuan terhadap perempuan. Hal ini bukan tanpa alasan, perempuan yang merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar bahkan melebihi jumlah laki-laki berada sangat jauh dari laki-laki dalam hal partisipasinya di sektor public.

Jauh sebelum islam datang pandangan terhadap perempuan sangatlah negative bahkan mereka dianggap hina pada waktu itu. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Yunani Kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sungguh rendah. Perempuan hanya di pandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki sehingga perzinaan sangat merajalela. socrates ( 470-399 SM) berpendapat bahwa dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, filosof Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan “kehormatan” perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana/ hina sambil terdiam tanpa bicara.

Sejarah telah mencatat betapa perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Dalam masyarakat Yunani perempuan diposisikan sebagai makhluk yang rendah, yakni sebagi budak dan pemuas nafsu syahwat semata. Sehingga tidak heran pada zaman tersebut banyak perempuan yang menjadi pelacur. Bahkan perempuan pezina (pelacur) justru di anggap memiliki kedudukan yang tinggi, dan para pemimpin Yunani pada waktu itu berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Tak jauh berbeda dengan pandangan masyarakat Yunani terhadap perempuan, masyarakat Romawi pun juga menempatkan posisi perempuan sangat rendah dan hina. Kaumlelaki pada  masa itu memiliki hak mutlak terhadap keluarganya, ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan boleh membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Masyarakat Romawi memiliki tradisi yang justru tidak menempatkan posisi perempuan pada posisi yang terhormat yani; pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita dan tradisi mandi bersama antara laki-laki dan perempuan di muka umum. Bahkan dalam tradisi masyarakat India seorang istri harus di bakar hidup-hidup dengan mayat suaminya.

Namun saat islam datang, derajat dan martabat perempuan ditempatkan pada posisi yang terhormat oleh Rosulullah SAW. Perempuan harus dihormati dan dicintai. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan bahwa diciptakan untuk beliau apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian dan shalat menjadi buah mata kesukaannya (HR an-Nasa’i melalui Anas Ibnu Malik). Yang perlu digaris bawahi adalah antar laki-laki dan perempuan keduanya adalah manusia yang sama karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama (Adam & Hawa). Keduanya berhak memperoleh penghormatan yang sama sebagai manusia. Akan tetapi akibat adanya perbedaan, persamaan dalam bidang tertentu tidak menjadikan keduanya sepenuhnya sama. Namun, ketidaksamaan ini tidak mengurangi kedudukan satu pihak dan melebihkan yang lain. persamaan itu harus di artikan kesetaran, dan bila kesetaraan dalam hal tersebut telah terpenuhi keadilan pun telah tegak, karena keadilan tidak tidak selalu berarti persamaan. Contoh anda telah berlaku adil terhadap dua anak yang berbeda umur­-misalnya-jika anda memberikan baju yang sama dalam hal kualitasnya, walaupun ukurannya berbeda akibat perbedaan badan mereka. Di sisi lain, tidak adil bila anda menugaskan anak yang masih kecil untuk menyelesaikan pekerjaan orang dewasa. Tidak adil juga bila anda menuntut seorang dokter untuk membangun jembatan, dan seorang petani menangani pasien. Yang adil adalah menugaskan masing-masing sesuai kemampuannya.

Dalam beberapa ayat al-Qur’an, masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum, ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Hujurât ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status sama di mata Allah. Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah ditentukan oleh ketaqwaan, yaitu prestasi yang dapat diusahakan. Begitu pula  pahala yang mereka raih dari usaha mereka tidaklah dibeda-bedakan, bahkan kesetaraan tersebut ditegaskan secara khusus sebagaimana yang tersurat dalam surat al-Ahzâb ayat 35:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ

وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Begitu pula dalam surat al-Nisâ’ ayat pertama Allah menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang mengembangbiakkan manusia.Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.

Namun demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang penciptaan perempuan dalam al-Nisâ ayat 1, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Sebagian besar ulama menafsirkan kata nafs wâhidah dengan Adam, sedangkan kata zawj diartikan dengan Hawa, yakni isteri Adam yang diciptakan dari tulang rusuknya.[1][3]

Sedangkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ, dalam Tafsîr al-Manâr, menolak penafsiran tersebut di atas. Karena menurut mereka, surat al-Nisâ ayat 1 secara lahir tidak menyatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wâhidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya (Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan.

Namun berbeda dengan Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, terkesan tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di dalam tafsirnya, Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wâhidah wa khalaqa minhâ, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur’an (munâsabah). Shihab menulis:

Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imrân [3]:195). Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita.Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah lembutan wanita didambakan oleh pria.

Melihat tulisannya, dapat dipahami bahwa Shihab tidak mengakui adanya perbedaan dari segi kemanusiaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut bersifat given.Dari perbedaan inilah timbul komunikasi positif (hubungan saling menyempurnakan) antara keduanya dalam bingkai kemitraan. Bisa jadi, asumsi peneliti, kesetaraan yang ia  maksud adalah kemitraan.

Islam sangat mendukung adanya kesetaraan gender, namun hanya dalam beberapa aspek contohnya saja kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu. Hal ini berdasarkan apresiasi al-qur’an terhadap ilmu pengetahuan.hal ini dimulai dari betapa seringnya al-qurn menyebut kata ‘ilm ( yang berarti pengetahuan) dengan segala derivasinya yang mencapai lebih dari 800-an kali. Hal ini pun berdasarkan firman Allah dalam al-Quran surah al-‘alaq ayat 1-5 dan beberapa kontek ayat lainnya dalam al-Qur’an. Begitu pula dengan aktivitas lainnya, semisal olahraga, tentunya harus tetap mempeerhatikan norma-norma agama; khususnya dari segi pakaian dan penampilannya, juga jenis olahraga yang diminatinya. Kemudian perempuan dengan kesenian, memang terdapat khilafiyah mengenai aktivitas perempuan dalam bidang kesenian khususnya seni suara, hanya saja dalam konteks ini dapat kita nyatakan bahwa pada dasarnya islam tidak melarang seseorang-termasuk perempuan-untuk mengekspresikan talenta seninya seperti menyanyi, sepanjang dengan tujuan dan cara yang tidak melanggar syariat. Misalnya tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa cinta kepada Rosulullah, yang mendorong orang semakin seakin semangat beramal shaleh dan sebagainya.

Begitu pula dalam hal kepemimpinan, seorang perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya. Bukannya Islam membatasi terhadap kepemimpinan seorang perempuan hanya pad lingkup keluarganya saja akan tetapi Islam sebagai agama kasih sayang menginginkan kemaslahatan bagi para pemeluknya dengan menjadikan seorang laki-laki sebagai pemimpin tertinggi seperti halnya presiden. Karena akan lebih maslahat bagi suatu bangsa/ Negara apabila kepala Negara/ kepala daerahnya adalah seorang laki-laki yang memiliki kesehatan jasmani yang prima, dan didukung dengan kejujuran, keadilan, berpihak kepada kepentingan masyarakat, visioner, dan memiliki keluasan ilmu pengetahuan. Bukannya seorang perempuan yang kekuatan jasmaninya lemah. Oleh karea itu kepemimpinan perempuan hanya sebatas pada harta dan anak-anak suaminya saja. Sebagaimana hadis Nabi SAW:

Ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang Amir (kepala Negara) adalah pemimpin, dan dia akan dimintai petanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan dimintaipertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga dan anak-anak, dan ia kan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang budak (hamba sahaya) adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar).

Kesimpulan :

Kesetaraan gender adalah dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk memperjuangkan hak asasinya dan juga sama- sama  berpotensi menyumbangkan kemajuan pembangunan.

Pandangan islam terhadap kesetaraan gender adalah menempatkan posisi dan kedudukan seorang perempuan pada derajat yang mulia,tidak seperti yang terjadi pada masa kejayaan para filosof-filosof dan pandangan masyarakat non islam seperti Yunani, Romawi, India dan lainnya, yang justru menempatkan posisi perempuan hanya sebagai the second creation dan the second sex saja, bahkan mereka tak segan-segan membunuh perempuan pada waktu tertentu sebagaimana yang terjadi pada tradisi masyarakat Rusia tempo dulu sebelum datangnya islam.

Dengan adanya islam, maka apa yang selama ini permpuan inginkan akan terpenuhi, namun tetap harus sesuai dengan syariat islam, semisal dalam hal pekerjaan. Perempuan di perkenankan bekerja di luar rumah dengan catatan telah mendapat izin suami untuk membantunya dalam mencari nafkah keluarga, menutup aurat dan lain sebagainya. Namun namun peran perempuan dalam ranah public sangatlah terbatas karena demi kemaslahatan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu islam tidak menganjurkan suatu Negara/ bangsa dipimpin oleh seorang perempuan.

Penulis : Sulusiyah (Pengurus Asrama Program Keagamaan MAN 1 Probolinggo, Wilayah Az Zainiyah

Ekonom muslim dalam konteks Masyarakat Islam Tradisionalis dan Modernis

Ekonom muslim dalam konteks Masyarakat Islam Tradisionalis dan Modernis

Dalam realita dinamika kemasyarakatan, sejarah membuktikan bahwa peradaban perekonomian dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik ditinjau dari aspek sistem, administrasi maupun praktik-praktik yang ada.  Tentunya hal ini butuh perhatian yang lebih dari para pakar ekonomi saat ini. Peran dari para ahli ekonomi islam sangatlah dibutuhkan pada kondisi seperti ini.

Sebuah perekonomian yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah itulah Ekonomi Islam. Terjadi sebuah pergolakan sejarah bahwa tak dapat dipungkiri bahwa Ekonomi Islam dengan semua teori dan praktiknya adalah sebuah bantahan dari menggeloranya perekonomian konvensional yang dibawa para Ekonom Barat.

Pada masa klasik (tradisionalis) banyak para Ahli dan pemikir ekonomi Islam yang ikut menggalakkan sistem perekonomian yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah dan banyak berkontribusi dalam membentuk kesinambungan perekonomian masyarakat muslim dikala itu.  M. Nejatullah Shiddiqi salah satu pakar ekonomi islam menyebutkan bahwa, sejarah pemikiran ekonomi Islam terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama, di mulai dari abad awal hingga abad ke-5 H atau 11 M yang dikenal dengan fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis para Fuqoha’ (pakar fiqh) diikuti oleh sufi dan filosof. Beberapa tokoh pada fase ini antara lain seperti Zaid bin Ali, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Junaid Al-Baghdadi. Fase Kedua, dimulai pada abad ke-11 M sampai dengan abad ke-15 M yang dikenal dengan fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang berlimpah dan mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat Islam melaksanakan kegiatan ekonomi dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipelopori oleh beberapa tokoh seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan Al-Syatibi. Fase ketiga, dimulai pada tahun 1446-1932 M yang merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang terimplikasi pada nama fase ini yaitu dikenal dengan fase stagnasi. Beberapa tokohnya seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Fase-fase inilah yang mewakili masa klasik tradisionalis dalam menyematkan namanya dalam dunia perekonomian Islam hingga konsep Ekonomi Islam ini menjadi muncul lagi, tumbuh dan berkembang pada saat ini walaupun masih tercecer konsep dan sistem konvensional. Mengapa bisa sedemikian rupa? , jawabannya, karena para pakar fiqh di masa itu dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah) mencoba mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama. Konsep ini jelas bertentangan dengan konsep perekonomian konvensional yang lebih dahulu berkembang dimasa masyarakat modernis ini yang mereka tak kenal maslahah dan mafsadah. Inti dari perbedaan ini adalah bahwa para ekonom muslim lebih menitik beratkan pada kesejahteraan masyarakat yang sifatnya ukhrawi dari pada memperbanyak profit yang akan mereka dapatkan, sedangkan ekonom konvensional dengan sistem kapitalisme lebih menitik beratkan kepada mendapatkan materiil (profit/laba) sebanyak mungkin yang sifatnya duniawi.

Dengan perbedaan yang sangat mencolok ini antara masa klasik tradisionalis dan modernis, membuahkan sebuah natijah atau konklusi bahwa ekonomi Islam harus ditegakkan dengan berlandaskan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama’ dan Qiyas. Zaman boleh berbeda tapi tuntunan dalam bertransaksi ekonomi atau mu’amalah tetaplah sama. Dengan demikian wajib bagi seorang muslim yang melakukan transaksi ekonomi mengetahui hukum yang berkaitan dengan transaksi tersebut, karenanya dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 2 hal 55 disebutkan: Sayyidina Umar berkata : “Tidak boleh bertransaksi jual-beli di pasar kami, kecuali orang yang Faqih (Faham bener tentang Fiqh). Jika tidak, maka secara otomatis dia memakan riba baik dia kehendaki ataupun tidak.

Oleh karena itu, merupakan perjuangan yang cukup mendaki bagi para pakar ekonomi Islam dan kita selaku pelaksana ekonomi untuk membumikan Ekonomi Islam yang mengacu pada konsep fuqoha’ yaitu maslahat dan mafsadah demi berlangsungnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga kita para ekonom muslim benar-benar berbeda dengan para ekonom dengan ekonomi konvensionalnya yang berlandaskan sistem kapitalis, komunis, sosialis.*

*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri

Kaum Sarungan di Era Ultramodern

Kaum Sarungan di Era Ultramodern

Kaum sarungan, sebuah analogi khusus yang disematkan terhadap seseorang yang dalam kesehariannya tak luput dari sarung, mereka adalah para santri yang senantiasa menuntut ilmu, ilmu dan ilmu. Tapi ketika disebutkan kata sarungan, bukan berarti hal itu menafikan peran seorang santriwati yang mereka selalu memakai baju khas seorang perempuan, karena didalam kata sarungan terdapat persekutuan ma’na (isytiroqul ma’na) yaitu arti sarung berarti suatu penutup atau satir dan ma’na itu juga kita temukan dalam diri para santriwati yang senantiasa menutupi auratnya dengan pakaian yang menunjukkan tata budi pekerti dan akhlaqul karimah seperti qomis (gamis), jubah dan sebagainya.

Tak ubahnya mereka adalah manusia biasa sama seperti kebanyakan orang, tapi tak semua orang sama seperti mereka para santri. “Amazing” adalah sebuah mufrodat yang sangat layak diapresiasikan bagi mereka, mengapa demikian?..alasan pertama adalah karena keyakinannya pada seorang syaikh atau kiyai yang kedudukannya sebagai penyalur kemurahan Tuhan sangatlah kuat ; hal ini dibuktikan dari beberapa aspek kehidupan sehari-hari mereka yang tak banyak berbeda dari kehidupan Kiyainya seperti membiasakan hidup sederhana, tawadlu’ dan sebagainya. Oleh karena itu, Zamakhsyari Dzofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan bahwa “Para santri harus menunjukkan hormat dan kepatuhan mutlak kepada guru/Kiyainya, bukan sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akhirat”. Dari Terminologi inilah dikalangan Kiyai dan santri sudah masyhur kata yang disebut “Barokah”. Selanjutnya, bahwa para santri selalu memperoleh  siraman rohaniyah dari para Kiyai/masyayikh dan juga Asatidz yang hal demikian biasanya didapat melalui pengajian kitab klasik seperti kitab Al-Hikam, Aqidatul Awam,Ta’lim Al-Muta’allim, Kifayatul Atqiya’ dll baik dari tingkat pesantren yang dipimpin langsung oleh Kiyai atau dari kelas-kelas diniyah yang dipimpin oleh para ustadz. Alasan ketiga, adalah bahwa para santri adalah orang yang sering disebut “Thalib al-‘ilm” (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam. Dengan demikian pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren dan menyumbangkan terbangunnya kesatuan (homogenitas) sistem pendidikan pesantren, serta merupakan stimulasi bagi kemajuan ilmu.

Era modernitas menjadi tantangan utama bagi mereka, karenanya mereka harus benar-benar siap menghadapi tantangan tersebut. Sesuatu yang dulunya sangat rumit menjadi sangat simpel, seperti halnya kitab kuning klasik yang dulunya berbentuk lembaran-lembaran kertas dan terhimpun menjadi satu kitab, sekarang sangat mudah kita temukan “Copast” nya di internet dengan bentuk PDF dll, begitu pula hukum-hukum fiqh waqi’iyah sudah banyak kita temukan di duniya maya (Internet) tanpa harus repot-repot mencari ibarohnya dalam kitab orisinilnya, lebih-lebih waktu yang sangat berharga yang seharusnya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat sudah terdiskreditkan dengan hadirnya Gadget yang terfasilitasi dengan berbagai macam aplikasi media sosial seperti twitter,WA, facebook, line, BBM tanpa difungsikan dalam hal-hal yang bersifat Ukhrawi. Tentunya hal yang demikian (mendahulukan sesuatu yang kurang bermanfaat) tidak menjadi keiinginan para Kiyai-Kiyai pesantren, karena para Kiyai tetap berkeyakinan bahwa kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi tujuan dari kehidupan itu sendiri, tetapi semata-mata sebagai upaya untuk meninggikan derajat manusia dalam usahanya terus mengabdi kepada Tuhan, sehingga dengan demikian tidak melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat. Tujuan ini selaras dengan apa yang didawuhkan oleh Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim Al-Muta’allim:

“Banyak perbuatan manusia yang tampaknya hanya bertalian dengan urusan duniawi, tetapi karena niatnya yang bagus, maka perbuatan tersebut diterima oleh Allah sebagai amal akhirat. Tetapi banyak pula perbuatan manusia yang tampaknya bertalian dengan urusan-urusan akhirat, tetapi karena disertai dengan niat yang buruk, maka Tuhan tidak memberinya pahala yang sama.”

Pungkasnya, modernitas dengan segala fasilitas yang ditawarkan tak bisa dihindari. Sehingga hal itu memantik kita sebagai para santri untuk lebih memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Oleh karena waktu menjadi sesuatu yang sangat “Urgent” untuk dijaga, maka seyogyanya bagi para santri sebagai “Thalibul ‘ilm” hendaknya mempunyai kiat-kiat khusus untuk menjaganya sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh ‘Abdul fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Qimatuz Zaman ‘inda Al-Ulama’ :

“Sesungguhnya hal yang paling penting dijaga sebagai kontroling untuk menghasilkan waktu yang lebih manfaat yaitu: 1. Mengatur/menyusun pekerjaan (terjadwal) 2. Lari dari majlis (perkumpulan) yang sebatas omong kosong atau tidak bermanfaat 3. Meninggalkan bicara yang berlebihan (tidak bermanfaat) dalam segala sesuatu 4. Bersahabat dengan orang-orang yang cerdas dan mulia yang bersungguh-sungguh dalam menjaga waktunya.” Dll.*

*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri

Editor : Ponirin

Eksistensi Pendidikan Pesantren

Eksistensi Pendidikan Pesantren

Semenjak pelantikan presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan Indonesia untuk kedua kalinya, kita dapat melihat isu radikalisme, terorisme dan intolerasi menjadi perhatian khusus di periode kali ini. Hal ini ditegaskan dengan terpilihnya Fachrul Razi sebagai menteri Agama (tanpa melihat latar belakang), yang dianggap dapat menjadi ikon kuat untuk memukul mundur problem-problem di atas. Bukan main, di awal tugasnya menteri Agama mulai menunjukkan aksinya dengan pelarangan cadar dan celana cingkrang dalam instansi pemerintahan yang dianggapnya memiliki paham radikal.

Penelitian Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2017 mencatat sekitar 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Tidak sampai di situ, Menag mengatakan sebagian besar pelajar di Indonesia mendukung aksi radikalisme berbasis agama, beliau mengutip survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip), yang menyatakan 52 persen pelajar setuju aksi radikalisme. Yang mungkin seiring perjalanan waktu angka-angka tersebut terus bertambah. Rakyat Indonesia sepatutnya khawatir melihat hasil penelitian tersebut mengingat potensinya masih berlanjut. Namun, bukan berarti menjadi sebuah ‘kecemasan sosial’, saya katakan demikian selama tidak menghasilkan perbuatan destruktif dan masih dalam koridor aman. Tapi apakah penelitian tersebut dapat mereprentasikan “kelemahan” pendidikan di Indonesia?

Pergerakan islamisme-jihadisme

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dibilang variatif dari berbagai persepektif dan tidak terlalu rumit, akan tapi mencukupkan hasil survei sebagai nilai akhir dirasa kurang valid mengingat pergerakan radikalisme juga mengalami kesulitan di berbagai sektor pendidikan. Mungkin benar, saat ini pendidikan di Indonesia sangat rentan terjangkit radikalisme, kita dapat menyaksikan  aksi islamisme-jihadisme yang banyak diikuti oleh pelajar dari berbagai starata, mereka telah terbius oleh “rayuan surgawi” yang termuat komersial Agama.

Pergerakan Islamisme-jihadisme terbilang sangat mengkhawatirkan, bukan sekedar pemahaman  yang mengandung “morfin” yang memabukkan, melainkan pula karena prioritas konsumennya adalah kaum muda. Saya melihat kaum muda saat ini sedang mengalami pubertas beragama, yang sering melakukan aksi frontal dan terlalu fanatik dalam kepercayaannya yang mengakibatkan stagnasi dalam perkembangan dan pembaharuan berfikir. Mengenai hal ini, Grand syaikh Azhar prof. Ahmad at-Tayyib di dalam pembukaan konferensi internasional Tajdid al-Fikr wa al-Ulum al-Islamiyyah menyampaikan “sebab stagnasi ranah ijtihad dan gerakan pembaharuan di era modern ini, diakibatkan keengganan kuam muda dan umat Islam untuk mengemban tanggung jawab, dan membiarkan fanatisme beragama baik di dalam bidang pendidikan atau pendakwahan”. Islamisme-jihadisme juga acap kali membenturkan berbagai struktur sosial, budaya, tradisi, dengan dalil-dalil Agama, alih-alih untuk memuluskan tujuan yang terselubung dibalik itu semua.

Perputaran islamisme-jihadisme ini juga belum ditemukan buntutnya, meskipun setiap tahunnya jumlah pelajar yang mendukung islamisme-jihadisme bertambah, namun hal tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap tolerasi umat Islam Indonesia. Saya beranggapan itu semua terjadi, selama pertahanan pendidikan Pesantren tetap terjaga yang telah menemani berdirinya Negara ini.

Peran Pendidikan Pesantren dalam Toleransi

Saya memaksudkan pesantren di sini adalah pesantren dengan orientasi ideologi Ahlussunnah wal jamaah, jelas bukan pesantren Wahabiyah atau sering juga di sebut pesantren Salafi. Pendidikan pesantren tradisional (salaf) telah membuktikan perannya dalam membentuk generasi yang dibekali pemahaman beragama yang benar dan toleran. Saya juga beranggapan pendidikan pesantren menjadi satu-satunya institusi yang belum terpapar radikalisme. Hal ini dikarenakan pendidikan Pesantren tetap menjaga ke-aslian turats ulama salaf, melestarikan tradisi sanad yang jelas, dan bukan hanya sebatas teoritis melainkan praksis yang terus diajarkan oleh para Kiai.

Pendidikan pesantren juga berupaya melakukan pembaharuan seiring perubahan zaman, kita lihat beberapa pesantren sudah mulai mengembangkan berbagai fan keilmuan, tidak lagi berkutat pada kitab klasik (yang pada umumnya berwarna kuning, sehingga disebut kitab kuning). Namun, dari semua kemapanan pendidikan pesantran ini, saya melihat stagnasi didalamnya karena para santri hanya dituntut mengaji dan mengesampingkan mengkaji. Mungkin hal ini yang mengakibatkan santri sulit mengeksploitasi pengetahuannya di dalam teori atau ide yang lebih segar.

Ketahanan pesantren dalam menghadapi islamisme-jihadisme tidak mungkin bertahan lama kecuali adanya faktor pelindung. Di dalam tulisannya Prof. Azyumardi Azra bahwa ketahanan pesanteran dipengaruhi oleh beberapa faktor pelindung yaitu kiai, kitab kuning, tradisi pendidikan berorientasi kemasyaraktan, relasi baik dan workable dengan ormas Islam, tradisi akomodasi dan penerimaan perbedaan dan keragaman berbagai bidang. Saya juga menambahkan faktor pelindung lainnya adalah solidaritas santri dan kesadaran bermasyarakat meminjam dauh almarhum kiai Zaini Mun’im “ Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan rakyat banyak”. Wallahu A’lam.(*)

*Penulis Zainal Fanini adalah alumni santri PP. Nurul Jadid Asrama Diniyah lulusan MA Nurul Jadid angkatan 17 dan saat ini masih menempuh Pendidikan strata 1 di Universitas Al Azhar Mesir.

Editor : Ponirin

Membaca Ala Gus Dur

Membaca Ala Gus Dur

Satu hal yang patut dicontoh dari Gus Dur bagi pembaca adalah keistiqomahan dalam membaca dan menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan. Jangan biarkan pikiran berpuasa, beri ia makan dengan membaca dan beri ia minum dengan berdialektika.

Gus Dur, sapaan KH. Abdur Rahman Wahid adalah Presiden ke 4 Republik Indonesia.  Cucu dari Pendiri Nahdlatul Ulama’ ini (KH. Hasyim As’ari ) dan putra dari Kiai Wahid Hasyim mempunyai kegemaran dalam membaca buku. Saat ia masih belia hingga mau wafatpun ia masih membaca dengan mendengarkan Audiobook. Ketika kuliah di Universitas Al Azhar salah satu tempat kebiasaannya adalah perpustakaan. Ia terbiasa membaca di perpustakaan Universitas Amerika, Universitas Kairo, atau di perpustakaan Perancis. Gus Dur terbiasa membaca di mana saja, dan apa saja tanpa memilih tempat. Di rumah maupun di tempat menunggu bus ia membaca. Tak ada buku, potongan koranpun ia baca.  Bacaannya luas, tak sekedar kajian keagamaan, filsafat, sastra, puisi dan lain sebagainya. Ia membaca semua karya William Faulkner, novel-novel Ernest Hemingway, puisi Edgar Allan Poe dan John Done, Andre Gide, Kafka, Tolstoy, Pushkin, Karl Marx dan Lenin.  Ia senang berdiskusi dengan mahasiswa dan kaum cendikiawan di kedai-kedai kopi Kota Kairo. Kedai-kedai kopi baginya merupakan sekolah untuk mengasah dan mempertajam intelektualnya (Baca:The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid).

Tidak sampai disitu, Selain menjadi pembaca yang aktif, Gus Dur juga merupakan penulis yang sangat produktif. Semenjak mahasiswa ia menulis esai untuk beragam majalah maupun surat kabar. Karya-karyanya tersebar luas dan dapat dinikmati berbagai kalangan mahasiswa, pemuda dan lain-lain.

Budaya baca yang tinggi telah memberikan efek positif yang sangat besar dalam diri Gus Dur, akan tetapi sangat disayangkan bahwa kebiasaan membaca yang sangat tinggi kurang diimbangi dengan sikap membaca yang baik dan benar. Gus Dur biasa membaca dimana saja, bahkan sejak kecil terbiasa membaca dengan cahaya hanya dari teplok (lampu tempel). Dengan cahaya yang kurang sempurna, hal tersebut membuat efek buruk pada pandangan beliau. Pada usia muda ia sudah berkaca mata minus 15. Keadaan ini diperparah ketika stroke merampas penglihatan Gus Dur. Tetapi dasar Gus Dur, keadaan itu seakan tidak memusnahkan obor semangat untuk tetap membaca dan menambah ilmu.

Menelisik dari kisah diatas, tentu pembaca harus banyak belajar dari Gus Dur. Keteguhannya mencintai bangsa ini, membela mereka yang terpinggirkan tentu tak dapat diragukan lagi. Aspek yang sering dilupakan adalah bagaimana kemampuan Gus Dur dalam membaca dan mengkaji beragam perspektif keilmuan. Membaca berbagai buku yang tentu saja akan membuka kekayaan perspektif dalam memandang persoalan.  Keluwesan berpikirnya didukung oleh tradisi dan budaya kuatnya membaca buku. Ketika mahasiswa ia tak pernah memikirkan berapa uang yang yang ia miliki. Ia selalu memiliki uang yang cukup. Apalagi ia sudah menjadi salah satu kolumnis yang karyanya tersebar di berbagi media.

Tulisan sederhana ini mencoba secara singkat untuk membicarakan minimnya pembaca dan pecinta buku khususnya dikalangan pemuda. Hal ini bisa berkaca pada Negara perancis untuk bisa bangkit dan membudayakan membaca. Pada masa pemerintahan  Raja Louis XV, kondisi sosial politik  Perancis telah memanas akibat kerajaan yang semena-mena. Pada akhirnya terjadi revolusi Perancis yang mampu mengubah sejarah Perancis, bahkan Eropa. Salah satu yang menjadi pemicu revolusi Perancis adalah pemikiran sastrawan bernama Voltaire. Semenjak masyarakat dan kaum pemuda melek membaca, tulisan-tulisan Voltaire ramai diperbincangkan hingga akhirnya memicu gerakan revolusi Perancis pada tahun 1789. Akibatnya, Voltaire dihukum mati oleh pihak pemerintah pada tahun 1778 (Baca:Novel candide).

Negara perancis bisa dijadikan contoh untuk kalangan pemuda masa kini. Bangkit dari keterpurukan melalui peningkatan minat baca. Membudayakan membaca sebagai kebutuhan. Jika kebiasan ini terus digalakkan menjadi kebudayaan bahkan kebutuhan. Bukan tidak mungkin bangsa menjadi negara maju dengan sumber daya manusia yang berkualitas.

Tulisan ini perlu renungkan dan telaah bersama. Apalagi diera milenial ini cenderung  pemuda malas untuk membaca. Sehingga mudah untuk menuduh dan menghakimi mereka yang berbeda ideologi, keyakinan keagamaan, madzhab, kelas sosial, bahkan beda jamaah pengajian. Malas membaca akut menjaringi beragam kalangan masyarakat. lebih gemar membaca status, cuitan, broadcast di media sosial, dibanding membaca Al-Quran, kitab-kita karya ulama, maupun buku-buku karya penulis-penulis besar. Kita gemar menulis pesan-pesan penuh kebencian dibanding menuliskan kisah-kisah inspiratif penuh makna. Juga menyebarkan pesan-pesan penuh hasutan tanpa berpikir dan menakar serta mencari tahu kebenaraan akan pesan tersebut. malas mendiskusikan dan mendialogkan buku-buku tebal karena dianggap tak praktis dan membuang waktu.

Oleh karena itu, gus dur harus dijadikan contoh pada kehidupan maupun sosial kita dalam mencari ilmu dan kecintaanya pada buku. Warisan yang Gus Dur tinggalkan tidak hanya buku secara fisik, akan tetapi bukti nyata akan kecintaan dan keistiqomahan dalam mencintai buku dan ilmu. Pun warisan yang ditinggalkan Gus Dur. Tidak hanya untuk keluarganya, akan tetapi untuk anak-anak bangsa dan negara, bahwa kita harus cinta ilmu serta tak kenal lelah terus menambah wawasan dengan membaca dan membaca. Gus Dur telah mewariskan teladan yang nyata, dengan segala keterbatasannya. Dengan sakit jasmaninya tidak lantas meruntuhkan rohaninya dalam mengasah kemampuan intelektualnya dengan membaca dan membaca.

 

Penulis : Faruq Al-Mahbuby (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Genealogi Kecerdasan Paket Komplit milik Gus Dur

Genealogi Kecerdasan Paket komplit milik Gus Dur

Ada banyak sekali penulis baik dari kalangan dosen, mahasiswa, maupun pegiat literasi lainnya, yang sudah menggali, membedah dan meneliti secara ilmiah hingga melahirkan beberapa tulisan mulai dari buku, tesis, skripsi, jurnal, fragmen, sampai quote di lini masa sosial media, tentang sosok Gus Dur ini, ada yang menyebutnya sebagai bapak pelopor multikulturalisme, pluralisme dan nasionalisme serta banyak lagi gelar setara pahlawan yang disematkan kepada beliau. tetapi, ada satu sisi kehidupan Gus Dur yang belum banyak diketahui masyarakat secara umum, baik dunia nyata maupun dunia maya, yakni Darimanakah kecerdasan Gus Dur berasal? Teori genetika, tentulah bukan jawaban yang melegakan bila itu kita berikan sebagai jawaban. Sebab model kecerdasan Gus Dur, kayaknya tak dimiliki oleh saudaranya yang lain. Bahkan tak sedikit orang tua jenius, justru memiliki anak-anak idiot atau setidaknya bodoh dan bebal.

Penulis kurang begitu faham, apakah para neurolog dan dokter ahli bedah otak pernah meronsen struktur otak Gus Dur? Jika peronsenan itu sekiranya pernah dilakukan, penulis menduga bahwa kapasitas otak Gus Dur seyogyanya tak sama dengan otak kebanyakan orang. Sebab nyatanya, misteri otak Einstein telah mampu dipecahkan. Perbedaan sangat mencolok dari otak fisikawan itu, karena terdapat bagian daerah otak yang disebut dengan Area 39, yang jumlah selnya jauh lebih banyak dari umumnya rata-rata otak manusia. Di area inilah otak Einstein mengalami perkembangan dengan sangat pesat.

Menurut para neurolog, jika bagian dari Area 39 ini mengalami trouble-error, seseorang akan mengalami gangguan dalam hal ingatan, abstraksi, respon dan kesadaran, sehingga terjadi hambatan ketika mengeja kalimat atau menghitung angka. Intinya, apabila Area 39 di tabung otak seseorang tak berkembang, maka dirinya akan mengalami keterlambatan untuk mengembangkan potensi intelektualitasnya.

Namun adakah muasal kejeniusan Gus Dur juga sama persis dengan misteri kecerdasan Einstein? Sebab Gus Dur bukanlah kaum “akademisi modern”, yang sepenuhnya menyandarkan kecerdasannya pada keniscayaan logika rasionalitas. Bahkan Gus Dur nyaris tergolong ke dalam kelompok kaum tradisionalis, yang kerap menumpukan intelektualitas kecerdasannya pada tradisi pemikiran yang intuitif, supra-rasional, bahkan tak jarang pula agak irrasional.

Kaum akademisi modern kerap menyuguhkan gemerlap pemikiran yang mengkilap. Sementara para intelektual tradisional lebih menawarkan kesahajaan pemikiran. Sehingga pemikiran kaum akademikus kerap mendobrak kebekuan otak kita, sedangkan para pemikir tradisional senantiasa mengetuk kebuntuan hati nurani kita. Dengan kalimat yang agak konfrontatif, yang satu menyodorkan kecendekiawanan otak dan yang satunya lagi menghidangkan kecendekiaan hati.

Lantas, kedalam kelompok manakah kecerdasan Gus Dur mesti kita golongkan? Jika kita masukkan ke dalam kelompok kaum cendekiawan tradisional, kiranya itu terlampau dipaksakan. Sebab lompatan pemikiran Gus Dur justru seringkali melampaui tradisi pemikiran zaman. Sedangkan kalau kita golongkan pada kelompok kaum akademisi modern, Gus Dur tak begitu setia dengan landasan berpikir yang mereka gunakan.

Bagi perspektif akademisi modern, seluruh kekuatan intelektualitas manusia sepenuhnya disokong semata-mata oleh potensi otak. Bahkan otak tak hanya menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek IQ saja, melainkan juga EQ dan SQ. Dengan kata lain, bahwa seluruh potensi intelektualitas, potensi mentalitas dan potensi spiritualitas, adalah merupakan realitas dari aktivitas otak semata. Seakan-akan tak ada satu pun aktivitas manusia baik yang fisikal maupun non-fisikal -yang digerakkan oleh selain aktivitas otak.

Tapi kecerdasan Gus Dur lebih dari sekadar kecerdasan neurologis tersebut. IQ Gus Dur telah berpadu dengan fuâd (potensi hati yang bertanggung jawab pada masalah-masalah rasionalitas). Berbeda dengan otak kognitif yang terkadang bisa “menipu”, fuâd senantiasa berpikir dengan merujuk pada realitas yang objektif. Meminjam idiom al-Quran, fuâd itu tidak mendustakan apa yang dilihat (QS. an-Najm: 11).

Jika Daniel Goleman melahirkan teori intelegensi emosional (EQ) yang dibangun oleh simpul-simpul saraf emosi yang bersarang di otak, tapi Gus Dur beranjak jauh ke depan. EQ Gus Dur telah bertemu dengan shadr (potensi hati yang mengurusi soal kreativitas). Itulah yang membuat kreativitas pikiran intuitif Gus Dur kerapkali melompati ruang dan waktu kekinian. Begitu juga ketika Danah Zohar dan Ian Marshall melengkapai teorinya Daniel Coleman dengan mencetuskan teori kecerdasan spiritual (SQ)SQ Gus Dur malah telah memperoleh bimbingan dari bashirah (kecermatan mata hati) dan lubb (ketajaman pusat hati atau hati nurani). Itulah yang membuat Gus Dur juga dikenal piawai menembus pintu langit (alam metafisik). Dalam konteks ini, kecerdasan Gus Dur jauh melampaui Einstein. Sebab Gus Dur memiliki kecanggihan berpikir dengan menggunakan akal hati yang kejeniusan semacam itu tak dimiliki oleh Einstein. Dengan kata lain, Gus Dur tak saja memiliki kecerdasan yang bersarang di otak semata, melainkan pula memperoleh anugerah kecerdasan yang diselipkan-Nya di lumbung hatinya. Kecerdasan semacam inilah yang penulis sebut dengan istilah Laduni Quotient (LQ). Dengan memadukan IQ, EQ, SQ dan LQ inilah, yang membuat Gus Dur sanggup mempertemukan beragam bentuk pemikiran yang bertolak belakang sekalipun, dan sanggup memecahkan berbagai persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh orang-orang kebanyakan.

Adanya “kecerdasan Gus Dur” tersebut, hendaknya membuat kita waspada ketika memperbincangkan perihal otak manusia. Sebab para neurolog terlanjur menyimpulkan, bahwa kumparan energi yang menggerakkan triliunan sel-sel saraf yang tertampung dalam tabung otak itu tumbuh secara internal-kodrati. Anggapan mereka kalau otak itu berdiri sendiri dan tak ada energi lain yang menyokong gerakannya tersebut, agaknya merupakan suatu kesimpulan yang sungguh agak gegabah. Sebab Gus Dur telah menunjukkan hal itu. Kecerdasan IQ Bapak Guru Bangsa itu telah mendapatkan bimbingan dari fuad, dan pikiran intuitifnya (EQ) memperoleh pula bimbingan dari shadr. Begitupun dengan SQ Gus Dur, juga telah dibimbing oleh bashirah dan lubb.

Itulah yang membuat Gus Dur berhasil menampung dan sekaligus merangkum dua kutub belahan peradaban besar Timur dan Barat, yang hingga kini tokoh-tokoh dunia belum bisa mempertemukannya secara mesra. Kalau sedikit kita tarik ke ranah sosiologis, keberagamaan Gus Dur itu “laa syarqiyyah walaa gharbiyyah”. Keber-Islam-an yang tak hanya melingkupi Timur dan Barat saja, melainkan merahmati pula Utara-Selatan dan seluruh penjuru alam (rahmatan lilalamin).

Dengan kecerdasan model Gus Dur inilah, pertentangan antara peradaban Barat yang dimotori oleh kecendekiawanan otak dan peradaban Timur yang digerakkan oleh kecendekiaan hati dapat dipertemukan secara mesra. Sebab peradaban Barat yang meyakini bahwa otak sebagai pusat segala-galanya dan telah menyediakan kepastian jawaban bagi semua bentuk persoalan, akan berpeluang untuk menghidupkan dan mendengarkan kecermelangan suara hati. Begitupun dengan peradaban Timur yang telah jauh tertinggal di bidang kecerdasan otak, akan rela pula menengok kepiawaian analisis pikiran.

Maka untuk menyelesaikan beragam persoalan hidup yang kian masif, menurut penulis, perlu kiranya kita mencangkok kecerdasan model Gus Dur ini. Sebab Gus Dur telah sanggup menjahit antara kecerdasan otak dan kecerdasan hati dengan benang al-aql. Sebab akal memiliki pikiran juga sekaligus mempunyai hati. Akal pikiran berfungsi untuk memahamai sesuatu yang bersifat kesemestaan; yang faktual, rasional, dan objektif ilmiah. Sementara akal hati, adalah untuk memahami hal-hal yang intuitif dan yang bersifat ruhaniah. Kinerja otak yang digerakkan oleh energi akal, akan berproses menuju pencerahan ruhaniah; sebuah hati nurani yang berkeilahian.

Barangkali potret kecerdasan model Gus Dur inilah, yang selama ini tengah kita idamkan-idamkan bersama; berpikir rasional-ilmiah, mengerti kebenaran dan berpengetahuan ilahiah, faham tentang kearifan, bersifat universal, otentik dan juga abadi.

Penulis : Hamdan Mufidi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Belajar Kepemimpinan dari Teladan Terbaik

Belajar Kepemimpinan dari Teladan Terbaik

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik…”(QS. Al-Ahzab:21)

Dalam bukunya yang berjudul Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager , Dr. M. Syafii Antonio menjelaskan; Salah satu krisis terbesar yang melanda dunia saat ini adalah krisis keteladanan. Akibat yang ditimbulkan oleh krisis ini jauh lebih dahsyat dari krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi dan air. Menurutnya krisis itu disebabkan oleh, absennya pemimpin yang visioner, kompeten dan memiliki integritas yang tinggi sehingga mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan semakin sulit terjangkau, manajemmen transportasi semakin amburadul, Pendidikan semakin kehilangan Nurani welas asih yang berorientasi kepada akhlak mulia, sungai dan air tanah semakin tercemar dan sampah menumpuk dimana mana.

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa, bangsa dan umat ini membutuhkan suri tauladan yang layak untuk di tiru dan sanggup untuk membawa setiap insan Indonesia lebih maju dan bermartabat. Indonesia membutuhkan teladan hampir dalam semua spektrum kehidupan, Lantas siapa kemudian sosok yang layak di jadikan suri tauladan dalam menghadapi krisis besar yang menimpa bangsa ini?

 Berbicara sosok tauladan sejati Dalam Islam, Sebagaimana yang telah dijelaskan  di  dalam  Al-Quran, “Sesungguhnya  telah  ada  pada  (diri) Rasulullah  itu  uswatun  hasanah  (suri tauladan  yang  baik)  bagimu  (yaitu)  bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari  kiamat dan  dia banyak  menyebut  Allah.”  (QS.  Al-Ahzaab:  21). Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan  sosok  teladan yang baik (uswatun khasanah) bagi setiap penganutnya.

Kehidupan  Rasulullah  saw memberikan  kepada  kita  contoh-contoh mulia,  baik  sebagai  pemuda  Islam  yang lurus perilakunya dan terpercaya di antara kaum  dan  juga  kerabatnya,  ataupun sebagai  da’i  kepada Allah  dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala  kemampuan untuk  menyampaikan risalahnya.  Juga  sebagai  kepala  negara yang  mengatur  segala  urusan  dengan cerdas  dan  bijaksana,  sebagai  suami teladan dan seorang ayah yang penuh kasih sayang,  sebagai  panglima  perang  yang mahir, sebagai negarawan yang pandai dan jujur,  dan  sebagai  Muslim  secara keseluruhan  (kaffah)  yang  dapat melakukan  secara  imbang  antara kewajiban  beribadah  kepada  Allah  dan bergaul  dengan  keluarga  dan  sahabatnya dengan baik

Keteladanan yang  diberikan  oleh  Nabi Muhammad  saw  memiliki  makna  yang sangat  luas.  Bukan  hanya  keteladanan dalam  hal  ibadah  ritual  keagamaan  saja, melainkan  keteladanan  dalam  seluruh sektor  kehidupan.,  termasuk  di  dalamnya keteladanan dalam hal kepemimpinan  dan manajemen

Dalam hal kepemimpinan, Misalnya; Empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership) yang dikembangkan oleh Stephen Covey. Konsep ini menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empat fungsi kepemimpinan, yakni sebagai perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (emporwering), dan panutan (modeling). semua fungsi ini ditemukan pada diri nabi Muhammad SAW.

Fungsi perintis, mengungkapkan bagaimana upaya sang pemimpin memahami  dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholder-nya, misi dan nilai-nilai yang dianutnya, serta yang berkaitan dengan visi dan strateginya, yaitu ke mana institusi dan lembaganya akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai ke sana.

Fungsi ini ditemukan dalam diri nabi Muhammad SAW karena beliau melakukan berbagai langkah  dalam mengajak umat manusia ke jalan yang benar. Nabi Muhammad SAW telah berhasil membangun suatu tatanan sosial yang modern dengan memperkenalkan nilanilai kesetaraan universal, semangat kemajemukan dan multikulturalisme, rule of law , dan sebagainnya. Sistem sosial yang diakui terlalu modern dibanding zamannya itu dirintis oleh nabi Muhammad SAW dan kemudian dikembangkan oleh para khalifah sesudahnya.

Fungsi penyelaras, bagaimana pemimpin menyelaraskan keseluruhan sistem dalam organisasi agar mampu bekerja dan saling sinergis.

Nabi Muhammad SAW mampu menyelaraskan berbagai strategi untuk mencapai tujuannya dalam menyiarkan agama islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern. Sebagai contoh dalam perjanjian hudaibiyah yang pada akhirnya menguntungkan kaum muslimin, nabi muhammad juga dapat menjalin hubungan diplomasi dengan suku-suku sekitar Madinah.

Fungsi pemberdayaan, upaya pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan agar setiap orang dalam organisasi mampu melakukan yang terbaik dan selalu mempunyai komitmen yang kuat.

Sejarah membuktikan bahwa beliau mampu mensinergikan  berbagai potensi yang dimiliki pengikutnnya untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh; bagaimana mempersaudarakan sahabat anshar dan sahabat muhajirin.

Fungsi panutan, bagaimana pemimpin dapat menjadi panutan bagi karyawan, bagaimana bertanggung jawab atas tutur kata, sikap, dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Sejauh mana dia melakukan apa yang dikatakannya.

Nabi Muhammad merupakan seseorang yang melaksanakan apa yang beliau katakan (walk the talk).  Sebagai contoh: dalam hal dermawan beliau orang yang paling dermawan, pribadi yang bagus, beliau memikul batu, membawa linggis ketika menggali parit (khandak).

Oleh karena itu kita, sebagai umatnya sudah sepantasnya menempatkan dan memposisikan beliau sebagai sosok tauladan yang ideal dalam berbagai spektrum kehidupan. Sebagaimana yang telah di sampaikan weinngan maxim mantan panglima pasukan Prancis  yang pernah juga menjabat duta besar di Syria dan Lebanon dalam sambutannya pada acara maulid nabi di Beirut pada pada tahun 1925, ia menyampaikan; “meskipun umat islam memperingati maulid nabi Muhammad, namun hal itu sangat kecil artinya. Karena dia telah memberi kepada mereka sebuah agama yang lebih tinggi dari seluruh agama yang ada. Dia perwujudan pribadi besar, seorang moralis besar dan dalam syariatnya ia adalah imam para nabi. Maka kepada orang berkeadilan jika diserukan untuk memperingati semua tokoh sejarah, maka di antara mereka yang berada di urutan teratas adalah nabi Muhammad sang penglima tertinggi itu, untuk mewujudkan syariat Allah di muka bumi dan untuk memusatkannya ke dalam dada semua orang”

Rujukan;

Dr. M. Syafii Antonio. (2015). Muhammad SAW The Super Leader Super manager. Jakarta:Tazkia Publishing

Dr. Al-Buty. (2009). THE GREAT EPISODES OF MUHAMMAD SAW. Menghayati Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw. Jagakarsa :Noura Books.

Khalil Yasin. (1989). Muhammad di Mata cendikiawan barat. Jakarta:Gema Insani Press

Penulis : Imron Sadewo (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Cara Meneladani Sifat Rasulullah

Cara Meneladani Sifat Rasulullah

Meninjau kepada aspek kehidupan tidak akan terlepas dari suatu pembahasan mengenai peran manusia selaku makhluk sosial dan pelakunya. Manusia diciptakan Allah Swt. dengan keadaan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk Allah lainnya. Guna mengatur setiap aspek kehidupan manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk melalui seorang hamba pilihan-Nya, yaitu Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. menjadi patokan tindak tanduk setiap manusia, berbagai macam contoh dan keteladanan sikap dan sifat Beliau sejatinya sudah mampu menjadi patokan perilaku kehidupan manusia di dunia. Akhlak yang dimilikinya, serta seluruh sifat yang muncul dari fitrahnya membuat sebuah konsep kehidupan yang lebih manusiawi dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kebersamaan.

Kewajiban bagi umat manusia terutama muslim adalah beriman kepada Rasulullah Saw. dengan sepenuh hati dan keyakinannya. Dalam hal ini, manusia seyogyanya meniru sikap dan perilaku beliau dalam setiap aspek kehidupan di dunia. Mulai dari hal terkecil misalnya makan dan minum sampai pada hal-hal besar yang menyangkut interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping sebuah kewajiban untuk mencontoh seluruh perilaku baik dari Rasulullah Saw. manusia sudah seharusnya mencintai Rasulullah Saw. dan merindukan pertemuan dengannya. Dengan giat dan gigihnya Beliau membawa ajaran Islam yang benar meski menuai banyak cobaan baik berbentuk fisik maupun non-fisik. Suatu teladan yang sangat baik bagi kehidupan manusia seutuhnya.

Kembali pada proses mencintai Nabi, untuk sampai pada cinta terhadap Nabi, tidak hanya dengan kata-kata semata, melainkan harus selayaknya orang yang benar-benar cinta. Mengikuti segala macam perilaku serta karakteristiknya dan mencontoh segala sikap yang ada dalam teladan yang sempurna tersebut adalah wujud dari mencintai Nabi sebenar-benarnya cinta.

Tidak sampai disana, kewajiban taat dan patuh pada semua sunnah yang diperintahkannya termasuk dalam wujud kasih sayang yang nyata. Karena meski tidak bertemu dengan Beliau, kita merasakan kehadiran Beliau dengan melakukan segala bentuk perbuataan baik ibadah maupun perilaku keseharian sesuai dengan tuntutan dan ajaran Rasulullah Saw.

Proses meneledani Rasulullah memang tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang ikhlas dan benar-benar didasari iman yang kokoh didalamnya. Beliau dengan segala sifat sempurnanya dan perilaku mulianya adalah standar yang paling tepat untuk solusi dan contoh bagi kehidupan umat manusia.

Dengan predikat yang diberikan kepada Nabi, seperti Shidiq, Amanah, Fathonah dan tabligh Rasulullah memiliki berbagai macam bentuk perilaku yang sudah sepatutnya kita menjadikan hal tersebut sebagai rujukan dalam bertindak dan berbuat. Tujuan dari ini semua tidaklah sekedar aplikasi dari rasa cinta kepada Rasulullah, namun mengikuti apa yang Beliau ajarkan akan membawa kita pada ketentraman hidup dan derajat yang mulia.

Penulis : Muhammad Lutfi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Memorandum Maulid Nabi Muhammad Saw; Pesan Perdamaian Negeri Ibu Pertiwi

Memorandum Maulid Nabi Muhammad Saw; Pesan Perdamaian Negeri Ibu Pertiwi

1441 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah jerit tangis manusia paling mulia di muka bumi pertama kali menggema menyapa bumi. Pada hari itu adalah hari dilahirkannya seorang pionir islam yang nama dan jasanya akan dikenang sampai kapanpun. Manusia itu bernama Muhammad bin Abdillah. Sehingga, sejak saat dan hari itu sampai saat ini ditandai sebagai hari diperingatinya kelahiran Nabi Muhammad SAW atau lebih familiar disebut dengan Maulid Nabi oleh umat Islam diseluruh penjru dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Dalam hal kajian asal usul awal mula peringatan maulid ini, tokoh pengkaji Islam dari Universitas Leiden Belanda, Noco Kptein dalam riset disertasinya mengenai Maulid Nabi dengan mengambil rujukan kitab Tarikh al-Ihtifal bi al-Mauli al-Nabawiy Karya Imam al-sandubi menyimplkan bahwa bahwa peringatan maulid ini pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, tepatnya pada masa pemerintahan al-Mu’izz li Dinillah yang berkuasa pada pertengahan abad X Masehi (953-975 M). sedangkan di kalangan Sunni, berdasrkan catatan pakar sejarah, peringatan maulid pertama kali digelar oleh penguasa Suriah, Sultan Attabiq Nuruddin (w. 575 H). Pada masa itu, Maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan syair-syair yang berisi pemujaan terhadap raja (ode) dan sangat kental nuansa politiknya. Peringatan Maulid pernah dilarang pada masa pemerintahan al-Afdhal Amirul Juyusy, karena dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Kemudian pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi, tradisi ini dihidupkan kembali. Bagi sebagian kalangan, Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah orang pertama yang mengadakan perayaan maulid nabi. Hal ini bisa benar jika yang dimaksud adalah yang pertama, yaitu menghidupkan kembali tradisi yang telah mati dan sama sekali bukan untuk kepentingan politik.

Terlepas dari catatan sejarah yang masih abu-abu mengenai peletak pertama kali dirayakannya maulid Nabi, bahwa ada hal yang sebenarnya perlu kita selami dari peringatan tahunan ini yaitu pengejawentahan nilai-nilai Maulid Nabi ini dengan dimaknai dengan spirit aktualisasi visi Islam //rahmatan li al-‘alamin// (agama cinta dan kasih sayang bagi semesta raya). Spirit ini meniscayakan sistem peradaban dan hidup yang disemai dengan perdamaian, harmoni, dan penuh toleransi karena eksistensi dan substansi ajarannya adalah ajaran salam (damai, harmoni), penuh toleransi, dan antikonfrontasi yang akhir-akhir ini mulai tercemar nilai-nilai tersebut dengan hegemoni kontestasi politik dan konfrontasi antar  ras beragama yang mewarnai kusamnya negeri Ibu pertiwi.   Karena itu, pesan damai dan harmoni dalam Maulid Nabi SAW sangat penting dikontekstualisasikan dan diaktualisasikan dengan nalar dan sikap kebangsaan, kebinekaan, persatuan, dan keutuhan NKRI.

Kelahiran Nabi SAW pada Rabiul Awal (musim semi) yang sarat dengan simbol keindahan dan kedamaian. Karena musim semi di banyak negara, khususnya Timur Tengah, merupakan musim yang indah dan sangat dirindukan. Saat kelahiran Nabi SAW, yang dikenal dengan Tahun Gajah, tindak konfrontatif dan agresif terjadi, dilakukan oleh tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah. Namun, dengan nalar harmoni, kakek Nabi, Abdul Mutallib, menghadapinya dengan damai dan secara dialogis. “Jika harta benda yang kalian inginkan, kami tidak memiliki apa-apa. Namun, jika kalian hendak menghancurkan Ka’bah, ketahuilah bahwa ia ada yang menjaganya (Allah),” kata Abdul Mutallib,

Dengan kepongahan dan kesombongannya, tentara gajah itu bersikeras melakukan konfrontasi pada  Ka’bah karena rasa iri sebab ramainya umat yang berkunjung dan melakukan transaksi bisnis di sekitarnya, sementara “Ka’bah palsu” yang dibuatnya sepi pengunjung. Sikap dan tindakan ageresif ini kemudian dihentikan oleh “tentara langit” (burung Ababil) yang membawa batu dan melemparinya yang dapat menghancurkan tentara gajah seperti daun-daun yang dimakan ulat (QS al-Fil [105]: 1-5).

Jadi, peristiwa Maulid Nabi SAW pada Tahun Gajah sangat sarat pesan perdamaian kepada pasukan yang hendak menghancurkan rumah suci, Ka’bah. Nalar damai dan harmoni yang ditawarkan Abdul Mutallib itu sesungguhnya menyediakan ruang kebajikan dan kerendahhatian dengan tidak melampiaskan kedengkian dengan tindak kekerasan. M Bassam Rushdi al-Zayn  dalam The Prophet’s School: Lessons & Lights (2002), mendeklarasikan, bahwa semua rasul yang diutus adalah mengemban misi pendidikan dengan membawa nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan kebajikan, tak terkecuali nabi akhir zaman. Afirmasi Nabi Muhammad SAW sendiri mendeklarasikan bahwa “Aku diutus oleh Allah sebagai pendidik” (HR Malik); dan “Aku diutus sebagai bukan pelaknat, melainkan penebar rahmat” (HR Muslim).

Kesuksesan Nabi Muhammad SAW mengubah masyarakat jahiliyah yang dikenal keras kepala dan berkultur kekerasan bertransformasi menjadi masyarakat madani yang beradab, antara lain, karena visi dakwah dan pendidikannya damai, tidak berorientasi kekerasan. Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW adalah agama perdamaian. Akidah tauhid yang menjadi fondasi ajaran Islam juga mengajarkan keyakinan bahwa Allah itu Maha damai (as-Salam).Ketika bertemu dan berinteraksi dengan sesama Muslim, identitas dan doa utama yang sangat dianjurkan adalah menebar senyum dan salam  “Assalamu’alaikum” (semoga kedamaian dan keselamatan dilimpahkan kepada kalian).

Nabi Muhammad SAW sendiri digelari sebagai nabiyyu ar-rahmah wa Rasul as-Salam (Nabi sang pembawa ajaran kasih sayang, dan utusan Allah penyeru perdamaian). Pesan perdamaian yang dibawa Nabi sejatinya kunci pembuka surga Allah, kampung akhirat yang penuh damai. Beliau bersabda, “Tebarkan perdamaian, berilah makan kepada fakir miskin, sambungkanlah tali silaturahim dan shalatlah (di waktu malam) di saat kebanyakan orang tidur, niscaya kalian dimasukkan ke dalam surga Tuhan kalian, Dar as-Salam (kampung kedamaian) (HR Muslim).

Karena itu, indikator keberislaman seseorang itu diukur dengan sikap damai dan harmoninya terhadap orang lain. Orang Islam itu adalah orang yang membuat orang lain hidup damai dn selamat dari tutur kata dan perbuatan tangannya.” (HR Muslim). Pesan damai Maulid Nabi SAW adalah pesan universal dan aktual yang sangat urgen diimplementasikan kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pesan damai, harmoni, dan integrasi dari Maulid Nabi SAW tersebut sangat penting diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan padasaat ini.

Kemerdekaan dan persatuan bangsa ini dapat diraih dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa dan raga warga bangsa yang mayoritas Muslim dengan sangat mahal. Karena itu, NKRI sebagai negeri perjanjian dan pembuktian aktualisasi pesan damai, harmoni, dan integrasi harus dijaga dan dipertahankan. Pembuktian pesan damai itu harus dimulai dengan penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap siapapun yang bertindak intoleran, kekerasan, teror, dan mengancam ideologi negara dan NKRI. Dengan demikian, momentum Maulid Nabi SAW hendaknya dimaknai dalam rangka peneguhan sikap dan aktualisasi nilai-nilai perdamaian, apresiasi terhadap kebinekaan, perbedaan pendapat dan keyakinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tanpa ada pelanggaran HAM, penistaan antar umat beragama, intolerasi antar umat beragama dan penjarahan kekayaan bangsa melalui korupsi berjamaah.

Terakhir, bahwa titik tumpu beberapa paragraf diatasadalah bagimana pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW ini harus diwujudkan melalui cara berfikir, bersikap dan berperilaku keberagamaan yang santun, rukun, toleran, saling menghormati, dan menerima perbedaan keyakinan. Sebab, Tanpa nalar damai, harmoni, integrasi, dan budaya toleransi yang madani, bangsa ini akan mengalami stagnansi atau bahkan dekadensi dan kembali ke era penjajahan, sehingga mengalami disintegrasi yang destruktif dan kontraproduktif.

Melalui pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW, kita perlu mengambil pelajaran penting dari berbagai konfrontasi dan perang berkepanjangan di Irak, Suriah, Yaman, dan sebagainya yang membuat negeri mereka porak-poranda dan hidup sengsara. Perdamaian itu memang tidak murah karena mengharuskan kita memiliki komitmen kuat menjaga hati yang damai dan harmoni yang tentunya harus dimulai dari diri kita sendiri. Tanpa hati yang damai, maka perdamaian dan harmoni hanya akan menjadi angan belaka.

Penulis : Ilfan Tufail (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Kaum Santri, Ujung Tombak Harapan Negeri

Sejak tahun 2015 tanggal 22 Oktober resmi ditetapkan sebagai hari santri berdasarkan Keputusan Presiden nomor 22 tahun 2015. Hari untuk kembali mengingat dan mengenang peran besar kaum santri pada negeri.

Seorang santri sudah tidak perlu diragukan lagi menyangkut Imtaq. Apalagi, dengan segala kemajuan dunia pesantren ilmu pengetahuan dan tekhnologi informasi sudah menyeruak secara gamblang. Sudah banyak prestasi yang ditorehkan santri, melanglang buana mulai tingkat nasional hingga manca negera. Tidak berlebihan rasanya, jika mengatakan santri sebagai ujung tombak harapan negeri di tengah kecamuk berbagai permasalah. Mengapa demikian?

Dari segi kepribadiaan, santri telah di didik menjadi pribadi dengan elektabilitas diri dan komitmen yang tinggi. Seorang santri memiliki suatu ciri khas tersendiri yang membedakan dari kelompok lain. Pertama, kemandirian, sejak dilepas secara ikhlas oleh orang tua dengan memasrahkan sepenuhnya pada kiai atau segenap elemen pesantren seorang santri memiliki jiwa kemandirian yang baik. Betapa ia harus mengatur keungan sendiri, makan, minum, cuci pakaian, segenap pekerjaan keseharian diampunya dengan ulet dan penuh ketelatenan.

Faktor kedua kepatuhan, bahkan tanpa disuruh seorang santri akan menundukkan kepala tat kala ada keluarga pengasuh melintas atau lewat didepannya. Tidak heran, jikalau sekembalinya pada masyarakat luas, santri dapat memposisikan diri mematuhi sekaligus mengatur pola kehidupan yang baik untuk lingkungannya.

Ketiga, budaya gotong royong dunia pesantren juga tidak lupa menjadi alasan kuat. Budaya asli bangsa Indonesia yang mulai tergerus dengan hadirnya pola individualisme, hedonisme, dan konsumerisme. Santri dapat mencuat lagi spirit gotong royong ini.

Dunia pesantren sebagai tempat tempaan santri memiliki budaya yang mengharuskan adanya titik berhubung (saling membutuhkan) sehingga membentuk gotong royong kuat. Kesamaan tujuan yaitu menimba ilmu dengan kondisi sama sama jauh dari orang tua telah membentuk untuk saling bahu membahu dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

Indonesia membutuhkan jiwa-jiwa yang mampu saling membantu, bergotong-royong demi kemajuan bersama, terlebih saat ini masyarakat semakin berfikir bahwa dengan kekayaan sumber daya alam mereka yang banyak bisa menjamin kemajuan negara, padahal tidak. Karena hakikatnya bangsa yang maju di tentukan oleh intelektual yang di milikinya.

Lebih jauh, santri memiliki peluang begitu besar untuk terjun langsung mengabdikan dirinya kepada Negera. Obat mujarab yang dapat meredam segala sakit yang tengah di ampu negeri akan mampu ditawarkan oleh sosok seorang santri. Keterlatihan jiwa dan spiritinya sejak berada di dunia pesantren tidak perlu diragukan lagi.

Banyak hal yang dapat ditawarkan kaum santri yang relevan dengan kebutuhan negara saat ini. Spirit hari santri sebagai bentuk memutar ulang ingatan bahwa zaman penjajah dahulu kiai dan para santri berada pada garda terdepan dalam merengkuh kemerdekaan Indonesia.

Maka kini, melalui kesadaran bersama kaum santri harus mulai bangkit membangun tatanan kenegeraan, budaya, ekonomi, dan Pendidikan demi memunculkan kembali warisan spirit yang telah di contoh kan oleh para pendahulu kaum santri. Santri secara sadar dan beralasan harus terus giat memperbaiki kualitas, kredibilitas dan elektabilitas.

Dengan dilantiknya Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf ini, terlihat sudah betapa besar kekuatan kaum santri ini.

Sebagai orang yang masih merasa santri saya merasa ujung tombak harapan negeri ini berada di tangan kaum santri.

Tempaan Pendidikan pesantren yang penuh disiplin “niat mondok untuk mengaji dan membina akhlakuk karimah”, tentu akan senantiasa tertanam dalam diri seorang santri dimanapun bertempat.

Santri ibarat ujung tombak yang terus diasah dalam pesantren, begitu kuat komitmen dan kejujuran saat menancapkan dirinya pada kebutuhan negeri.

Penulis : Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, Alumni santri Pondok Pesantren Nurul Jadid,