Genealogi Kecerdasan Paket Komplit milik Gus Dur

Genealogi Kecerdasan Paket komplit milik Gus Dur

Ada banyak sekali penulis baik dari kalangan dosen, mahasiswa, maupun pegiat literasi lainnya, yang sudah menggali, membedah dan meneliti secara ilmiah hingga melahirkan beberapa tulisan mulai dari buku, tesis, skripsi, jurnal, fragmen, sampai quote di lini masa sosial media, tentang sosok Gus Dur ini, ada yang menyebutnya sebagai bapak pelopor multikulturalisme, pluralisme dan nasionalisme serta banyak lagi gelar setara pahlawan yang disematkan kepada beliau. tetapi, ada satu sisi kehidupan Gus Dur yang belum banyak diketahui masyarakat secara umum, baik dunia nyata maupun dunia maya, yakni Darimanakah kecerdasan Gus Dur berasal? Teori genetika, tentulah bukan jawaban yang melegakan bila itu kita berikan sebagai jawaban. Sebab model kecerdasan Gus Dur, kayaknya tak dimiliki oleh saudaranya yang lain. Bahkan tak sedikit orang tua jenius, justru memiliki anak-anak idiot atau setidaknya bodoh dan bebal.

Penulis kurang begitu faham, apakah para neurolog dan dokter ahli bedah otak pernah meronsen struktur otak Gus Dur? Jika peronsenan itu sekiranya pernah dilakukan, penulis menduga bahwa kapasitas otak Gus Dur seyogyanya tak sama dengan otak kebanyakan orang. Sebab nyatanya, misteri otak Einstein telah mampu dipecahkan. Perbedaan sangat mencolok dari otak fisikawan itu, karena terdapat bagian daerah otak yang disebut dengan Area 39, yang jumlah selnya jauh lebih banyak dari umumnya rata-rata otak manusia. Di area inilah otak Einstein mengalami perkembangan dengan sangat pesat.

Menurut para neurolog, jika bagian dari Area 39 ini mengalami trouble-error, seseorang akan mengalami gangguan dalam hal ingatan, abstraksi, respon dan kesadaran, sehingga terjadi hambatan ketika mengeja kalimat atau menghitung angka. Intinya, apabila Area 39 di tabung otak seseorang tak berkembang, maka dirinya akan mengalami keterlambatan untuk mengembangkan potensi intelektualitasnya.

Namun adakah muasal kejeniusan Gus Dur juga sama persis dengan misteri kecerdasan Einstein? Sebab Gus Dur bukanlah kaum “akademisi modern”, yang sepenuhnya menyandarkan kecerdasannya pada keniscayaan logika rasionalitas. Bahkan Gus Dur nyaris tergolong ke dalam kelompok kaum tradisionalis, yang kerap menumpukan intelektualitas kecerdasannya pada tradisi pemikiran yang intuitif, supra-rasional, bahkan tak jarang pula agak irrasional.

Kaum akademisi modern kerap menyuguhkan gemerlap pemikiran yang mengkilap. Sementara para intelektual tradisional lebih menawarkan kesahajaan pemikiran. Sehingga pemikiran kaum akademikus kerap mendobrak kebekuan otak kita, sedangkan para pemikir tradisional senantiasa mengetuk kebuntuan hati nurani kita. Dengan kalimat yang agak konfrontatif, yang satu menyodorkan kecendekiawanan otak dan yang satunya lagi menghidangkan kecendekiaan hati.

Lantas, kedalam kelompok manakah kecerdasan Gus Dur mesti kita golongkan? Jika kita masukkan ke dalam kelompok kaum cendekiawan tradisional, kiranya itu terlampau dipaksakan. Sebab lompatan pemikiran Gus Dur justru seringkali melampaui tradisi pemikiran zaman. Sedangkan kalau kita golongkan pada kelompok kaum akademisi modern, Gus Dur tak begitu setia dengan landasan berpikir yang mereka gunakan.

Bagi perspektif akademisi modern, seluruh kekuatan intelektualitas manusia sepenuhnya disokong semata-mata oleh potensi otak. Bahkan otak tak hanya menyediakan komponen anatomisnya untuk aspek IQ saja, melainkan juga EQ dan SQ. Dengan kata lain, bahwa seluruh potensi intelektualitas, potensi mentalitas dan potensi spiritualitas, adalah merupakan realitas dari aktivitas otak semata. Seakan-akan tak ada satu pun aktivitas manusia baik yang fisikal maupun non-fisikal -yang digerakkan oleh selain aktivitas otak.

Tapi kecerdasan Gus Dur lebih dari sekadar kecerdasan neurologis tersebut. IQ Gus Dur telah berpadu dengan fuâd (potensi hati yang bertanggung jawab pada masalah-masalah rasionalitas). Berbeda dengan otak kognitif yang terkadang bisa “menipu”, fuâd senantiasa berpikir dengan merujuk pada realitas yang objektif. Meminjam idiom al-Quran, fuâd itu tidak mendustakan apa yang dilihat (QS. an-Najm: 11).

Jika Daniel Goleman melahirkan teori intelegensi emosional (EQ) yang dibangun oleh simpul-simpul saraf emosi yang bersarang di otak, tapi Gus Dur beranjak jauh ke depan. EQ Gus Dur telah bertemu dengan shadr (potensi hati yang mengurusi soal kreativitas). Itulah yang membuat kreativitas pikiran intuitif Gus Dur kerapkali melompati ruang dan waktu kekinian. Begitu juga ketika Danah Zohar dan Ian Marshall melengkapai teorinya Daniel Coleman dengan mencetuskan teori kecerdasan spiritual (SQ)SQ Gus Dur malah telah memperoleh bimbingan dari bashirah (kecermatan mata hati) dan lubb (ketajaman pusat hati atau hati nurani). Itulah yang membuat Gus Dur juga dikenal piawai menembus pintu langit (alam metafisik). Dalam konteks ini, kecerdasan Gus Dur jauh melampaui Einstein. Sebab Gus Dur memiliki kecanggihan berpikir dengan menggunakan akal hati yang kejeniusan semacam itu tak dimiliki oleh Einstein. Dengan kata lain, Gus Dur tak saja memiliki kecerdasan yang bersarang di otak semata, melainkan pula memperoleh anugerah kecerdasan yang diselipkan-Nya di lumbung hatinya. Kecerdasan semacam inilah yang penulis sebut dengan istilah Laduni Quotient (LQ). Dengan memadukan IQ, EQ, SQ dan LQ inilah, yang membuat Gus Dur sanggup mempertemukan beragam bentuk pemikiran yang bertolak belakang sekalipun, dan sanggup memecahkan berbagai persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh orang-orang kebanyakan.

Adanya “kecerdasan Gus Dur” tersebut, hendaknya membuat kita waspada ketika memperbincangkan perihal otak manusia. Sebab para neurolog terlanjur menyimpulkan, bahwa kumparan energi yang menggerakkan triliunan sel-sel saraf yang tertampung dalam tabung otak itu tumbuh secara internal-kodrati. Anggapan mereka kalau otak itu berdiri sendiri dan tak ada energi lain yang menyokong gerakannya tersebut, agaknya merupakan suatu kesimpulan yang sungguh agak gegabah. Sebab Gus Dur telah menunjukkan hal itu. Kecerdasan IQ Bapak Guru Bangsa itu telah mendapatkan bimbingan dari fuad, dan pikiran intuitifnya (EQ) memperoleh pula bimbingan dari shadr. Begitupun dengan SQ Gus Dur, juga telah dibimbing oleh bashirah dan lubb.

Itulah yang membuat Gus Dur berhasil menampung dan sekaligus merangkum dua kutub belahan peradaban besar Timur dan Barat, yang hingga kini tokoh-tokoh dunia belum bisa mempertemukannya secara mesra. Kalau sedikit kita tarik ke ranah sosiologis, keberagamaan Gus Dur itu “laa syarqiyyah walaa gharbiyyah”. Keber-Islam-an yang tak hanya melingkupi Timur dan Barat saja, melainkan merahmati pula Utara-Selatan dan seluruh penjuru alam (rahmatan lilalamin).

Dengan kecerdasan model Gus Dur inilah, pertentangan antara peradaban Barat yang dimotori oleh kecendekiawanan otak dan peradaban Timur yang digerakkan oleh kecendekiaan hati dapat dipertemukan secara mesra. Sebab peradaban Barat yang meyakini bahwa otak sebagai pusat segala-galanya dan telah menyediakan kepastian jawaban bagi semua bentuk persoalan, akan berpeluang untuk menghidupkan dan mendengarkan kecermelangan suara hati. Begitupun dengan peradaban Timur yang telah jauh tertinggal di bidang kecerdasan otak, akan rela pula menengok kepiawaian analisis pikiran.

Maka untuk menyelesaikan beragam persoalan hidup yang kian masif, menurut penulis, perlu kiranya kita mencangkok kecerdasan model Gus Dur ini. Sebab Gus Dur telah sanggup menjahit antara kecerdasan otak dan kecerdasan hati dengan benang al-aql. Sebab akal memiliki pikiran juga sekaligus mempunyai hati. Akal pikiran berfungsi untuk memahamai sesuatu yang bersifat kesemestaan; yang faktual, rasional, dan objektif ilmiah. Sementara akal hati, adalah untuk memahami hal-hal yang intuitif dan yang bersifat ruhaniah. Kinerja otak yang digerakkan oleh energi akal, akan berproses menuju pencerahan ruhaniah; sebuah hati nurani yang berkeilahian.

Barangkali potret kecerdasan model Gus Dur inilah, yang selama ini tengah kita idamkan-idamkan bersama; berpikir rasional-ilmiah, mengerti kebenaran dan berpengetahuan ilahiah, faham tentang kearifan, bersifat universal, otentik dan juga abadi.

Penulis : Hamdan Mufidi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *