Ekonom muslim dalam konteks Masyarakat Islam Tradisionalis dan Modernis
Dalam realita dinamika kemasyarakatan, sejarah membuktikan bahwa peradaban perekonomian dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik ditinjau dari aspek sistem, administrasi maupun praktik-praktik yang ada. Tentunya hal ini butuh perhatian yang lebih dari para pakar ekonomi saat ini. Peran dari para ahli ekonomi islam sangatlah dibutuhkan pada kondisi seperti ini.
Sebuah perekonomian yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah itulah Ekonomi Islam. Terjadi sebuah pergolakan sejarah bahwa tak dapat dipungkiri bahwa Ekonomi Islam dengan semua teori dan praktiknya adalah sebuah bantahan dari menggeloranya perekonomian konvensional yang dibawa para Ekonom Barat.
Pada masa klasik (tradisionalis) banyak para Ahli dan pemikir ekonomi Islam yang ikut menggalakkan sistem perekonomian yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah dan banyak berkontribusi dalam membentuk kesinambungan perekonomian masyarakat muslim dikala itu. M. Nejatullah Shiddiqi salah satu pakar ekonomi islam menyebutkan bahwa, sejarah pemikiran ekonomi Islam terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama, di mulai dari abad awal hingga abad ke-5 H atau 11 M yang dikenal dengan fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis para Fuqoha’ (pakar fiqh) diikuti oleh sufi dan filosof. Beberapa tokoh pada fase ini antara lain seperti Zaid bin Ali, Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Junaid Al-Baghdadi. Fase Kedua, dimulai pada abad ke-11 M sampai dengan abad ke-15 M yang dikenal dengan fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang berlimpah dan mampu menyusun konsep tentang bagaimana umat Islam melaksanakan kegiatan ekonomi dengan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipelopori oleh beberapa tokoh seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan Al-Syatibi. Fase ketiga, dimulai pada tahun 1446-1932 M yang merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang terimplikasi pada nama fase ini yaitu dikenal dengan fase stagnasi. Beberapa tokohnya seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Fase-fase inilah yang mewakili masa klasik tradisionalis dalam menyematkan namanya dalam dunia perekonomian Islam hingga konsep Ekonomi Islam ini menjadi muncul lagi, tumbuh dan berkembang pada saat ini walaupun masih tercecer konsep dan sistem konvensional. Mengapa bisa sedemikian rupa? , jawabannya, karena para pakar fiqh di masa itu dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah) mencoba mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama. Konsep ini jelas bertentangan dengan konsep perekonomian konvensional yang lebih dahulu berkembang dimasa masyarakat modernis ini yang mereka tak kenal maslahah dan mafsadah. Inti dari perbedaan ini adalah bahwa para ekonom muslim lebih menitik beratkan pada kesejahteraan masyarakat yang sifatnya ukhrawi dari pada memperbanyak profit yang akan mereka dapatkan, sedangkan ekonom konvensional dengan sistem kapitalisme lebih menitik beratkan kepada mendapatkan materiil (profit/laba) sebanyak mungkin yang sifatnya duniawi.
Dengan perbedaan yang sangat mencolok ini antara masa klasik tradisionalis dan modernis, membuahkan sebuah natijah atau konklusi bahwa ekonomi Islam harus ditegakkan dengan berlandaskan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama’ dan Qiyas. Zaman boleh berbeda tapi tuntunan dalam bertransaksi ekonomi atau mu’amalah tetaplah sama. Dengan demikian wajib bagi seorang muslim yang melakukan transaksi ekonomi mengetahui hukum yang berkaitan dengan transaksi tersebut, karenanya dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 2 hal 55 disebutkan: Sayyidina Umar berkata : “Tidak boleh bertransaksi jual-beli di pasar kami, kecuali orang yang Faqih (Faham bener tentang Fiqh). Jika tidak, maka secara otomatis dia memakan riba baik dia kehendaki ataupun tidak.
Oleh karena itu, merupakan perjuangan yang cukup mendaki bagi para pakar ekonomi Islam dan kita selaku pelaksana ekonomi untuk membumikan Ekonomi Islam yang mengacu pada konsep fuqoha’ yaitu maslahat dan mafsadah demi berlangsungnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga kita para ekonom muslim benar-benar berbeda dengan para ekonom dengan ekonomi konvensionalnya yang berlandaskan sistem kapitalis, komunis, sosialis.*
*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!