Begal dan Kekeringan Spritualitas
Dalam realitas kehidupan sehari-hari kita sering kali diperhadapkan pada situasi-situasi dimana persoalan baik dan buruk menjadi demikian pelik. Realitas hidup yang tak selalu mudah memaksa kita untuk bergulat dengan pilihan-pilihan moral yang tidak dengan serta merta semudah memilah antara hitam dan putih.
Kehidupan sekarang semakin kompleks, perubahan yang sangat cepat, persaingan tidak bisa dihindari pertukaran nilai yang tak bisa dibendung. Kemajuan filsafat, sains, teknologi, telah menghasilkan kebudayan yang semakin maju, proses itu disebut globalisasi kebudayaan. Namun kebudayaan yang semakin maju mengglobal ternyata sangat berdampak terhadap aspek moral.
Manusia saat ini kebanyakan menjadikan kehidupan dunia adalah kehidupan yang abadi, sehingga melakukan apa saja seakan tanpa terikat dengan aturan agama. Untuk itu , Otak kita hanya diisikan oleh realita, bahkan untuk sekedar berharap saja rupanya membutuhkan sebuah keberanian daqn taat akan aturan-atauran ilahi, yang memang dibuat untuk menjaga kemaslahatan hmba.
Salah satu perbuatan yang sangat mengerikan saat ini adalah begal. Begal adalah suatu perbuatan jahat berupa perampasan barang atau harta yang dipakai atau dikenakannya, ini seperti kasus kejahatan berupa penjambretan, penjarahan, serta perampasan. Bahkan, begal itu adalah sebuah segerombolan atau biasanya terdiri dari beberapa orang (lebih dari satu) yang melakukan tindak kejahatan berupa perampasan harta benda serta penjarahan perhiasan yang dikenakan oleh korban.
Dalam setiap agama apapun tindakan kejahatan suatu perbuatan tercela. Perbuatan ini adalah prilaku dimana tuhan tidak akan membiarkan tindakan semacam ini dan pasti ada tindakan tegas berupa siksa.
Akal tak Lagi Berfungsi
Ada kerusakan akal pada pelaku begal ini, nilai logik berkaitan dengan berpikir, memahami, dan mengingat akan tindakan yang dilakukannya tidak lagi berfungsi. Seharusnya akal mampu menjadi sopir aktifitas kesehariannya. Agar mampu menghasilkan pikiran, pemahaman, pengertian, peringatan (ingat) adalah menjadi buahnya. Nilai ini menjadi dasar untuk berbuat, bertindak. Allah dalam alquran banyak berfirman agar kita berfikir dengan sebutan lubb atau aqal dalam memahami alam ini diantaranya.
“dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran : 7).
Dalam ajaran islam akal memiliki kedudukan yang tinggi dan sering dimanfaatkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perkembangan ajaran-ajaran islam. Sebab kita meyakini juga bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Pelaku kejahatan tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik, hal ini bisa jadi karena lemahnya pendidikan. Pendidikan merupakan proses untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan. Jika transpormasi pengetahuan menjadi ilmu dalam dirinya, maka akan sulit untuk melakukan tindakan tidakan yang salah.
Kejahatan dan Kekeringan Spritualitas
Baik dan buruk adalah sebuah pilihan dalam hidup, tuhan memberikan dua bentuk (jahat dan baik) sebagai ujian bagi hambanya untuk mengetahui kualitas keimanannya. Bagi hamba yang tergerak untuk selalu menjadi yang terbaik dalam kesehariannya (sabiqun bil khoirot) adalah mereka yang sangat beruntung karena hati dan pikirannya mendapatkan cahaya ilahi. Begitu juga sebaliknya, bagi hamba tuhan yang melakukan kejahatan, ia kurang berupaya menggunakan potensi akalnya, sehingga ia kalah dengan ajakan-ajakan nafsu. Kekeringan spritualitas merupakan problem utama dalam diri seseorang yang selalu melakukan tindakan tindakan yang kurang baik.
Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi. Bagaimana hal itu bisa dicegah dan diatasi? Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri kita sudah tertanam nilai-nilai keilahian dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan dan saling menghargai. Itulah nilai-nilai ilahi yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan beraklak moral tinggi.
Agama-agama yang dianut masyarakat kita juga telah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut. Persoalannya, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar sudah tertanam dan mewujud dalam cara hidup (pikiran, perasaan dan tindakan) kita? Pertanyaan lebih lanjut, apakah cara beragama kita sungguh sudah otentik, atau hanya sekedar formalitas? Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar “spirit”: ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Roh (Yang Ilahi) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita.
Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan kepedulian dalam seluruh hidupnya. Kedalaman spiritualitas seseorang akan dapat dilihat bukan sekedar dalam ritual, simbol-simbol dan praktek formal keagamaan yang dilakukan, namun sungguh nyata dalam seluruh kehidupan sehari-hari.
Wallahu’alam
Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid dan Anggota Comics (Community of Critical Social Research) Probolinggo)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!