Pos

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KESETARAAN GENDER

Gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk merealisasikan hak asasinya dan sama-sama berpotensi menyumbang kemajuan pembangunan. Kesetaraan gender muncul dikarenakan ketidakpuasaan perlakuan terhadap perempuan. Hal ini bukan tanpa alasan, perempuan yang merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar bahkan melebihi jumlah laki-laki berada sangat jauh dari laki-laki dalam hal partisipasinya di sektor public.

Jauh sebelum islam datang pandangan terhadap perempuan sangatlah negative bahkan mereka dianggap hina pada waktu itu. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Yunani Kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sungguh rendah. Perempuan hanya di pandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki sehingga perzinaan sangat merajalela. socrates ( 470-399 SM) berpendapat bahwa dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, filosof Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan “kehormatan” perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana/ hina sambil terdiam tanpa bicara.

Sejarah telah mencatat betapa perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Dalam masyarakat Yunani perempuan diposisikan sebagai makhluk yang rendah, yakni sebagi budak dan pemuas nafsu syahwat semata. Sehingga tidak heran pada zaman tersebut banyak perempuan yang menjadi pelacur. Bahkan perempuan pezina (pelacur) justru di anggap memiliki kedudukan yang tinggi, dan para pemimpin Yunani pada waktu itu berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Tak jauh berbeda dengan pandangan masyarakat Yunani terhadap perempuan, masyarakat Romawi pun juga menempatkan posisi perempuan sangat rendah dan hina. Kaumlelaki pada  masa itu memiliki hak mutlak terhadap keluarganya, ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan boleh membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Masyarakat Romawi memiliki tradisi yang justru tidak menempatkan posisi perempuan pada posisi yang terhormat yani; pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita dan tradisi mandi bersama antara laki-laki dan perempuan di muka umum. Bahkan dalam tradisi masyarakat India seorang istri harus di bakar hidup-hidup dengan mayat suaminya.

Namun saat islam datang, derajat dan martabat perempuan ditempatkan pada posisi yang terhormat oleh Rosulullah SAW. Perempuan harus dihormati dan dicintai. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan bahwa diciptakan untuk beliau apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian dan shalat menjadi buah mata kesukaannya (HR an-Nasa’i melalui Anas Ibnu Malik). Yang perlu digaris bawahi adalah antar laki-laki dan perempuan keduanya adalah manusia yang sama karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama (Adam & Hawa). Keduanya berhak memperoleh penghormatan yang sama sebagai manusia. Akan tetapi akibat adanya perbedaan, persamaan dalam bidang tertentu tidak menjadikan keduanya sepenuhnya sama. Namun, ketidaksamaan ini tidak mengurangi kedudukan satu pihak dan melebihkan yang lain. persamaan itu harus di artikan kesetaran, dan bila kesetaraan dalam hal tersebut telah terpenuhi keadilan pun telah tegak, karena keadilan tidak tidak selalu berarti persamaan. Contoh anda telah berlaku adil terhadap dua anak yang berbeda umur­-misalnya-jika anda memberikan baju yang sama dalam hal kualitasnya, walaupun ukurannya berbeda akibat perbedaan badan mereka. Di sisi lain, tidak adil bila anda menugaskan anak yang masih kecil untuk menyelesaikan pekerjaan orang dewasa. Tidak adil juga bila anda menuntut seorang dokter untuk membangun jembatan, dan seorang petani menangani pasien. Yang adil adalah menugaskan masing-masing sesuai kemampuannya.

Dalam beberapa ayat al-Qur’an, masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum, ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Hujurât ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status sama di mata Allah. Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah ditentukan oleh ketaqwaan, yaitu prestasi yang dapat diusahakan. Begitu pula  pahala yang mereka raih dari usaha mereka tidaklah dibeda-bedakan, bahkan kesetaraan tersebut ditegaskan secara khusus sebagaimana yang tersurat dalam surat al-Ahzâb ayat 35:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ

وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Begitu pula dalam surat al-Nisâ’ ayat pertama Allah menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang mengembangbiakkan manusia.Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.

Namun demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang penciptaan perempuan dalam al-Nisâ ayat 1, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Sebagian besar ulama menafsirkan kata nafs wâhidah dengan Adam, sedangkan kata zawj diartikan dengan Hawa, yakni isteri Adam yang diciptakan dari tulang rusuknya.[1][3]

Sedangkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ, dalam Tafsîr al-Manâr, menolak penafsiran tersebut di atas. Karena menurut mereka, surat al-Nisâ ayat 1 secara lahir tidak menyatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wâhidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya (Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan.

Namun berbeda dengan Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, terkesan tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di dalam tafsirnya, Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wâhidah wa khalaqa minhâ, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur’an (munâsabah). Shihab menulis:

Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imrân [3]:195). Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita.Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah lembutan wanita didambakan oleh pria.

Melihat tulisannya, dapat dipahami bahwa Shihab tidak mengakui adanya perbedaan dari segi kemanusiaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut bersifat given.Dari perbedaan inilah timbul komunikasi positif (hubungan saling menyempurnakan) antara keduanya dalam bingkai kemitraan. Bisa jadi, asumsi peneliti, kesetaraan yang ia  maksud adalah kemitraan.

Islam sangat mendukung adanya kesetaraan gender, namun hanya dalam beberapa aspek contohnya saja kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu. Hal ini berdasarkan apresiasi al-qur’an terhadap ilmu pengetahuan.hal ini dimulai dari betapa seringnya al-qurn menyebut kata ‘ilm ( yang berarti pengetahuan) dengan segala derivasinya yang mencapai lebih dari 800-an kali. Hal ini pun berdasarkan firman Allah dalam al-Quran surah al-‘alaq ayat 1-5 dan beberapa kontek ayat lainnya dalam al-Qur’an. Begitu pula dengan aktivitas lainnya, semisal olahraga, tentunya harus tetap mempeerhatikan norma-norma agama; khususnya dari segi pakaian dan penampilannya, juga jenis olahraga yang diminatinya. Kemudian perempuan dengan kesenian, memang terdapat khilafiyah mengenai aktivitas perempuan dalam bidang kesenian khususnya seni suara, hanya saja dalam konteks ini dapat kita nyatakan bahwa pada dasarnya islam tidak melarang seseorang-termasuk perempuan-untuk mengekspresikan talenta seninya seperti menyanyi, sepanjang dengan tujuan dan cara yang tidak melanggar syariat. Misalnya tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa cinta kepada Rosulullah, yang mendorong orang semakin seakin semangat beramal shaleh dan sebagainya.

Begitu pula dalam hal kepemimpinan, seorang perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya. Bukannya Islam membatasi terhadap kepemimpinan seorang perempuan hanya pad lingkup keluarganya saja akan tetapi Islam sebagai agama kasih sayang menginginkan kemaslahatan bagi para pemeluknya dengan menjadikan seorang laki-laki sebagai pemimpin tertinggi seperti halnya presiden. Karena akan lebih maslahat bagi suatu bangsa/ Negara apabila kepala Negara/ kepala daerahnya adalah seorang laki-laki yang memiliki kesehatan jasmani yang prima, dan didukung dengan kejujuran, keadilan, berpihak kepada kepentingan masyarakat, visioner, dan memiliki keluasan ilmu pengetahuan. Bukannya seorang perempuan yang kekuatan jasmaninya lemah. Oleh karea itu kepemimpinan perempuan hanya sebatas pada harta dan anak-anak suaminya saja. Sebagaimana hadis Nabi SAW:

Ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang Amir (kepala Negara) adalah pemimpin, dan dia akan dimintai petanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan dimintaipertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga dan anak-anak, dan ia kan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang budak (hamba sahaya) adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar).

Kesimpulan :

Kesetaraan gender adalah dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk memperjuangkan hak asasinya dan juga sama- sama  berpotensi menyumbangkan kemajuan pembangunan.

Pandangan islam terhadap kesetaraan gender adalah menempatkan posisi dan kedudukan seorang perempuan pada derajat yang mulia,tidak seperti yang terjadi pada masa kejayaan para filosof-filosof dan pandangan masyarakat non islam seperti Yunani, Romawi, India dan lainnya, yang justru menempatkan posisi perempuan hanya sebagai the second creation dan the second sex saja, bahkan mereka tak segan-segan membunuh perempuan pada waktu tertentu sebagaimana yang terjadi pada tradisi masyarakat Rusia tempo dulu sebelum datangnya islam.

Dengan adanya islam, maka apa yang selama ini permpuan inginkan akan terpenuhi, namun tetap harus sesuai dengan syariat islam, semisal dalam hal pekerjaan. Perempuan di perkenankan bekerja di luar rumah dengan catatan telah mendapat izin suami untuk membantunya dalam mencari nafkah keluarga, menutup aurat dan lain sebagainya. Namun namun peran perempuan dalam ranah public sangatlah terbatas karena demi kemaslahatan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu islam tidak menganjurkan suatu Negara/ bangsa dipimpin oleh seorang perempuan.

Penulis : Sulusiyah (Pengurus Asrama Program Keagamaan MAN 1 Probolinggo, Wilayah Az Zainiyah

Alumni Nurul Jadid Asal Jember Jadi Budayawan Nasional

 nuruljadid.net- SUASANA sunyi dan sepi memasuki kawasan Kebun Sanggar Bermain (KSB) di Jalan Agus Salim 32 Mumbulsari. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan yang menghadirkan kesejukan. Ketika memasuki pintu gerbang, tampak beberapa pendapa yang sepertinya sangat indah untuk dijadikan tempat berekreasi.

Setelah Radar Jember Jawa Pos mengucapkan salam, istri dari pemilik KSB tersebut mempersilahkan masuk di ruang tamu yang berbentuk pendapa. Selang beberapa menit, lelaki berambut panjang dengan kumis dan jenggot memutih yang bernama Oonk Fathorrahman tersebut menyapa. Dia merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid.

KSB tersebut didirikan pada 1987 oleh pria yang biasa disapa Gus Oonk ini. Berangkat dari kekecewaan terhadap pendidikan yang hanya menekankan aspek pengetahuan tanpa membekali siswa dengan karakter dan mental kehidupan. “Jadi pada masa orde baru, siswa hanya dicekoki dengan pengetahuan saja tanpa ada pemberian pemahaman pada siswa tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan benar,” jelas Oonk.

Selain itu, kegelisahan terhadap akhlak para pemuda yang semakin tidak terarah, mengantarkannya pada kemantapan untuk mendirikan sanggar tersebut. Karena pondasi utama yang harus dimiliki oleh manusia adalah mental dan karakter atau akhlak yang baik. “Saya merasakan sendiri waktu itu bagaimana pemuda itu membutuhkan ruang untuk bergerak mengekspresikan diri tapi terarah,” ungkapnya.

Hal yang lebih menginspirasi pendirian KSB tersebut yakni ketika membaca sejarah pemuda Ashabul Kahfi. Menurutnya, para pemuda tersebut lari dari seorang raja yang zalim yang selalu memberikan teror terhadap perkembangan kepribadian manusia. Sehingga mereka memasuki goa untuk menghilangkan segala hal yang meneror dirinya. “Goa itulah yang saya analogkan dengan KBS. Agar orang-orang yang masuk di dalamnya bisa menyelami arti sesungguhnya dari kehidupan. Sehingga ketika keluar mereka menjadi orang yang tangguh,” tambah Oonk.

Dari sanalah KSB mulai berdiri dan didatangi beberapa pemuda yang ingin mencari filosofi kehidupan. Namun, yang masuk ke sanggar tersebut adalah mereka yang memiliki kenakalan yang luar biasa, tapi tidak menemukan wadah. “Mereka pemuda yang orang tuanya sudah tidak sanggup mengasuh karena sangat nakal,” akunya.

Selain itu, yang ikut bergabung dengan sanggar tersebut adalah anak jalanan yang tidak menemukan kemerdekaan dalam dirinya. Bahkan mereka tinggal di sanggar tersebut hingga menikah dan membina rumah tangga di lingkungan sekitar. “Ada yang saya temui di jalanan, lalu saya ajak kesini,” imbuh ayah angkat penyanyi religi Opick ini.

KSB tersebut mendidik para pemuda untuk peka terhadap lingkungannya dengan menekankan pada kepedulian terhadap alam dan manusia serta kesadaran akan nilai-nilai kehidupan. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, KSB memiliki beberapa kegiatan yang mendukung tercapainya keinginan itu.

Pendidikan kepada para pemuda tersebut difasilitasi oleh KSB sendiri, sesuai dengan potensi yang dimiliki. Seperti kesenian teater, melukis, berpuisi, mengukir, maupun bermain musik. “Jadi setiap minggu mereka menyetor satu puisi. Ada yang setoran lukisan,” tambah lelaki yang pernah menjadi anak asuh W.S. Rendra ini.

Bahkan, teater anak-anak di KSB pernah tampil di beberapa negara, seperti Jerman, Jepang, Filipina, dan Vietnam. Hal tersebut sebagai latihan bahwa mereka memiliki mental yang kuat meskipun tinggal di daerah terpencil.

Dalam mengajarkan kepekaan terhadap segala hal, di sanggar tersebut diajarkan olah badan, nyanyian jiwa, dan menari. “Misal gerakan-gerakan menari yang diikuti dengan zikir pada Allah SWT,” tandasnya.

Setiap Selasa malam dan Kamis malam, mereka rutin berkumpul untuk melakukan introspeksi. Anak-anak tersebut diberi kesempatan mengungkapkan segala kegelisahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pembentukan karakter pada mereka yakni dengan sikap-sikap yang baik. Seperti kedisplinan. Bila ada anak yang mentalitasnya buruh, maka mereka diberi tugas untuk membuang sampah. Sebab disana mereka bisa belajar tentang kecerobohan manusia. “Sehingga dia tahu kecerobohan yang diperbuat manusia melalui sampah yang dibuangnya. Lalu ketika dia sukses di situ, dipindahkan menyapu halaman,” kata Oongk mencontohkan sikap kedisiplinan tersebut.

Di samping itu, KSB tersebut juga melatih para pemuda untuk bertahan hidup dengan segala keadaan. Mereka tidak hanya diajarkan tentang arti kehidupan, namun juga diberikan pemahaman tentang dunia kerja. “Jadi kami juga ajarkan mereka cara bertahan untuk hidup, seperti menjual bakso, membuka laundry, dan sebagainya. Kami dengan keras mengajarkan mereka untuk tidak meminta-minta dan bermalas-malasan,” tegasnya.

Di sanggar tersebut tidak ada struktur organisasi. Sebab, ikatan yang terjalin bersifat kekeluargaan. Sehingga panggilan kepada pendiri sanggar tersebut adalah ayah dan ibu. Sedangkan untuk beberapa yang bergiat di sanggar tersebut adalah saudara.

Seluruh kebutuhan hidup penghuni sanggar ditanggung ditanggung oleh Gus Oonk. “Bahkan dari makan sampai uang transport untuk kuliah, kami yang tanggung. Karena saya memposisikan diri sebagai ayah,” terangnya.

 

Sumber Berita : p4njjember.com

Belajar Kepemimpinan dari Teladan Terbaik

Belajar Kepemimpinan dari Teladan Terbaik

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik…”(QS. Al-Ahzab:21)

Dalam bukunya yang berjudul Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager , Dr. M. Syafii Antonio menjelaskan; Salah satu krisis terbesar yang melanda dunia saat ini adalah krisis keteladanan. Akibat yang ditimbulkan oleh krisis ini jauh lebih dahsyat dari krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi dan air. Menurutnya krisis itu disebabkan oleh, absennya pemimpin yang visioner, kompeten dan memiliki integritas yang tinggi sehingga mengakibatkan biaya pelayanan kesehatan semakin sulit terjangkau, manajemmen transportasi semakin amburadul, Pendidikan semakin kehilangan Nurani welas asih yang berorientasi kepada akhlak mulia, sungai dan air tanah semakin tercemar dan sampah menumpuk dimana mana.

Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa, bangsa dan umat ini membutuhkan suri tauladan yang layak untuk di tiru dan sanggup untuk membawa setiap insan Indonesia lebih maju dan bermartabat. Indonesia membutuhkan teladan hampir dalam semua spektrum kehidupan, Lantas siapa kemudian sosok yang layak di jadikan suri tauladan dalam menghadapi krisis besar yang menimpa bangsa ini?

 Berbicara sosok tauladan sejati Dalam Islam, Sebagaimana yang telah dijelaskan  di  dalam  Al-Quran, “Sesungguhnya  telah  ada  pada  (diri) Rasulullah  itu  uswatun  hasanah  (suri tauladan  yang  baik)  bagimu  (yaitu)  bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

(kedatangan) hari  kiamat dan  dia banyak  menyebut  Allah.”  (QS.  Al-Ahzaab:  21). Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan  sosok  teladan yang baik (uswatun khasanah) bagi setiap penganutnya.

Kehidupan  Rasulullah  saw memberikan  kepada  kita  contoh-contoh mulia,  baik  sebagai  pemuda  Islam  yang lurus perilakunya dan terpercaya di antara kaum  dan  juga  kerabatnya,  ataupun sebagai  da’i  kepada Allah  dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala  kemampuan untuk  menyampaikan risalahnya.  Juga  sebagai  kepala  negara yang  mengatur  segala  urusan  dengan cerdas  dan  bijaksana,  sebagai  suami teladan dan seorang ayah yang penuh kasih sayang,  sebagai  panglima  perang  yang mahir, sebagai negarawan yang pandai dan jujur,  dan  sebagai  Muslim  secara keseluruhan  (kaffah)  yang  dapat melakukan  secara  imbang  antara kewajiban  beribadah  kepada  Allah  dan bergaul  dengan  keluarga  dan  sahabatnya dengan baik

Keteladanan yang  diberikan  oleh  Nabi Muhammad  saw  memiliki  makna  yang sangat  luas.  Bukan  hanya  keteladanan dalam  hal  ibadah  ritual  keagamaan  saja, melainkan  keteladanan  dalam  seluruh sektor  kehidupan.,  termasuk  di  dalamnya keteladanan dalam hal kepemimpinan  dan manajemen

Dalam hal kepemimpinan, Misalnya; Empat fungsi kepemimpinan (the 4 roles of leadership) yang dikembangkan oleh Stephen Covey. Konsep ini menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empat fungsi kepemimpinan, yakni sebagai perintis (pathfinding), penyelaras (aligning), pemberdaya (emporwering), dan panutan (modeling). semua fungsi ini ditemukan pada diri nabi Muhammad SAW.

Fungsi perintis, mengungkapkan bagaimana upaya sang pemimpin memahami  dan memenuhi kebutuhan utama para stakeholder-nya, misi dan nilai-nilai yang dianutnya, serta yang berkaitan dengan visi dan strateginya, yaitu ke mana institusi dan lembaganya akan dibawa dan bagaimana caranya agar sampai ke sana.

Fungsi ini ditemukan dalam diri nabi Muhammad SAW karena beliau melakukan berbagai langkah  dalam mengajak umat manusia ke jalan yang benar. Nabi Muhammad SAW telah berhasil membangun suatu tatanan sosial yang modern dengan memperkenalkan nilanilai kesetaraan universal, semangat kemajemukan dan multikulturalisme, rule of law , dan sebagainnya. Sistem sosial yang diakui terlalu modern dibanding zamannya itu dirintis oleh nabi Muhammad SAW dan kemudian dikembangkan oleh para khalifah sesudahnya.

Fungsi penyelaras, bagaimana pemimpin menyelaraskan keseluruhan sistem dalam organisasi agar mampu bekerja dan saling sinergis.

Nabi Muhammad SAW mampu menyelaraskan berbagai strategi untuk mencapai tujuannya dalam menyiarkan agama islam dan membangun tatanan sosial yang baik dan modern. Sebagai contoh dalam perjanjian hudaibiyah yang pada akhirnya menguntungkan kaum muslimin, nabi muhammad juga dapat menjalin hubungan diplomasi dengan suku-suku sekitar Madinah.

Fungsi pemberdayaan, upaya pemimpin untuk menumbuhkan lingkungan agar setiap orang dalam organisasi mampu melakukan yang terbaik dan selalu mempunyai komitmen yang kuat.

Sejarah membuktikan bahwa beliau mampu mensinergikan  berbagai potensi yang dimiliki pengikutnnya untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh; bagaimana mempersaudarakan sahabat anshar dan sahabat muhajirin.

Fungsi panutan, bagaimana pemimpin dapat menjadi panutan bagi karyawan, bagaimana bertanggung jawab atas tutur kata, sikap, dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Sejauh mana dia melakukan apa yang dikatakannya.

Nabi Muhammad merupakan seseorang yang melaksanakan apa yang beliau katakan (walk the talk).  Sebagai contoh: dalam hal dermawan beliau orang yang paling dermawan, pribadi yang bagus, beliau memikul batu, membawa linggis ketika menggali parit (khandak).

Oleh karena itu kita, sebagai umatnya sudah sepantasnya menempatkan dan memposisikan beliau sebagai sosok tauladan yang ideal dalam berbagai spektrum kehidupan. Sebagaimana yang telah di sampaikan weinngan maxim mantan panglima pasukan Prancis  yang pernah juga menjabat duta besar di Syria dan Lebanon dalam sambutannya pada acara maulid nabi di Beirut pada pada tahun 1925, ia menyampaikan; “meskipun umat islam memperingati maulid nabi Muhammad, namun hal itu sangat kecil artinya. Karena dia telah memberi kepada mereka sebuah agama yang lebih tinggi dari seluruh agama yang ada. Dia perwujudan pribadi besar, seorang moralis besar dan dalam syariatnya ia adalah imam para nabi. Maka kepada orang berkeadilan jika diserukan untuk memperingati semua tokoh sejarah, maka di antara mereka yang berada di urutan teratas adalah nabi Muhammad sang penglima tertinggi itu, untuk mewujudkan syariat Allah di muka bumi dan untuk memusatkannya ke dalam dada semua orang”

Rujukan;

Dr. M. Syafii Antonio. (2015). Muhammad SAW The Super Leader Super manager. Jakarta:Tazkia Publishing

Dr. Al-Buty. (2009). THE GREAT EPISODES OF MUHAMMAD SAW. Menghayati Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw. Jagakarsa :Noura Books.

Khalil Yasin. (1989). Muhammad di Mata cendikiawan barat. Jakarta:Gema Insani Press

Penulis : Imron Sadewo (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Cara Meneladani Sifat Rasulullah

Cara Meneladani Sifat Rasulullah

Meninjau kepada aspek kehidupan tidak akan terlepas dari suatu pembahasan mengenai peran manusia selaku makhluk sosial dan pelakunya. Manusia diciptakan Allah Swt. dengan keadaan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk Allah lainnya. Guna mengatur setiap aspek kehidupan manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk melalui seorang hamba pilihan-Nya, yaitu Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. menjadi patokan tindak tanduk setiap manusia, berbagai macam contoh dan keteladanan sikap dan sifat Beliau sejatinya sudah mampu menjadi patokan perilaku kehidupan manusia di dunia. Akhlak yang dimilikinya, serta seluruh sifat yang muncul dari fitrahnya membuat sebuah konsep kehidupan yang lebih manusiawi dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kebersamaan.

Kewajiban bagi umat manusia terutama muslim adalah beriman kepada Rasulullah Saw. dengan sepenuh hati dan keyakinannya. Dalam hal ini, manusia seyogyanya meniru sikap dan perilaku beliau dalam setiap aspek kehidupan di dunia. Mulai dari hal terkecil misalnya makan dan minum sampai pada hal-hal besar yang menyangkut interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Di samping sebuah kewajiban untuk mencontoh seluruh perilaku baik dari Rasulullah Saw. manusia sudah seharusnya mencintai Rasulullah Saw. dan merindukan pertemuan dengannya. Dengan giat dan gigihnya Beliau membawa ajaran Islam yang benar meski menuai banyak cobaan baik berbentuk fisik maupun non-fisik. Suatu teladan yang sangat baik bagi kehidupan manusia seutuhnya.

Kembali pada proses mencintai Nabi, untuk sampai pada cinta terhadap Nabi, tidak hanya dengan kata-kata semata, melainkan harus selayaknya orang yang benar-benar cinta. Mengikuti segala macam perilaku serta karakteristiknya dan mencontoh segala sikap yang ada dalam teladan yang sempurna tersebut adalah wujud dari mencintai Nabi sebenar-benarnya cinta.

Tidak sampai disana, kewajiban taat dan patuh pada semua sunnah yang diperintahkannya termasuk dalam wujud kasih sayang yang nyata. Karena meski tidak bertemu dengan Beliau, kita merasakan kehadiran Beliau dengan melakukan segala bentuk perbuataan baik ibadah maupun perilaku keseharian sesuai dengan tuntutan dan ajaran Rasulullah Saw.

Proses meneledani Rasulullah memang tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang ikhlas dan benar-benar didasari iman yang kokoh didalamnya. Beliau dengan segala sifat sempurnanya dan perilaku mulianya adalah standar yang paling tepat untuk solusi dan contoh bagi kehidupan umat manusia.

Dengan predikat yang diberikan kepada Nabi, seperti Shidiq, Amanah, Fathonah dan tabligh Rasulullah memiliki berbagai macam bentuk perilaku yang sudah sepatutnya kita menjadikan hal tersebut sebagai rujukan dalam bertindak dan berbuat. Tujuan dari ini semua tidaklah sekedar aplikasi dari rasa cinta kepada Rasulullah, namun mengikuti apa yang Beliau ajarkan akan membawa kita pada ketentraman hidup dan derajat yang mulia.

Penulis : Muhammad Lutfi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Memorandum Maulid Nabi Muhammad Saw; Pesan Perdamaian Negeri Ibu Pertiwi

Memorandum Maulid Nabi Muhammad Saw; Pesan Perdamaian Negeri Ibu Pertiwi

1441 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah jerit tangis manusia paling mulia di muka bumi pertama kali menggema menyapa bumi. Pada hari itu adalah hari dilahirkannya seorang pionir islam yang nama dan jasanya akan dikenang sampai kapanpun. Manusia itu bernama Muhammad bin Abdillah. Sehingga, sejak saat dan hari itu sampai saat ini ditandai sebagai hari diperingatinya kelahiran Nabi Muhammad SAW atau lebih familiar disebut dengan Maulid Nabi oleh umat Islam diseluruh penjru dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Dalam hal kajian asal usul awal mula peringatan maulid ini, tokoh pengkaji Islam dari Universitas Leiden Belanda, Noco Kptein dalam riset disertasinya mengenai Maulid Nabi dengan mengambil rujukan kitab Tarikh al-Ihtifal bi al-Mauli al-Nabawiy Karya Imam al-sandubi menyimplkan bahwa bahwa peringatan maulid ini pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, tepatnya pada masa pemerintahan al-Mu’izz li Dinillah yang berkuasa pada pertengahan abad X Masehi (953-975 M). sedangkan di kalangan Sunni, berdasrkan catatan pakar sejarah, peringatan maulid pertama kali digelar oleh penguasa Suriah, Sultan Attabiq Nuruddin (w. 575 H). Pada masa itu, Maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan syair-syair yang berisi pemujaan terhadap raja (ode) dan sangat kental nuansa politiknya. Peringatan Maulid pernah dilarang pada masa pemerintahan al-Afdhal Amirul Juyusy, karena dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Kemudian pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi, tradisi ini dihidupkan kembali. Bagi sebagian kalangan, Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah orang pertama yang mengadakan perayaan maulid nabi. Hal ini bisa benar jika yang dimaksud adalah yang pertama, yaitu menghidupkan kembali tradisi yang telah mati dan sama sekali bukan untuk kepentingan politik.

Terlepas dari catatan sejarah yang masih abu-abu mengenai peletak pertama kali dirayakannya maulid Nabi, bahwa ada hal yang sebenarnya perlu kita selami dari peringatan tahunan ini yaitu pengejawentahan nilai-nilai Maulid Nabi ini dengan dimaknai dengan spirit aktualisasi visi Islam //rahmatan li al-‘alamin// (agama cinta dan kasih sayang bagi semesta raya). Spirit ini meniscayakan sistem peradaban dan hidup yang disemai dengan perdamaian, harmoni, dan penuh toleransi karena eksistensi dan substansi ajarannya adalah ajaran salam (damai, harmoni), penuh toleransi, dan antikonfrontasi yang akhir-akhir ini mulai tercemar nilai-nilai tersebut dengan hegemoni kontestasi politik dan konfrontasi antar  ras beragama yang mewarnai kusamnya negeri Ibu pertiwi.   Karena itu, pesan damai dan harmoni dalam Maulid Nabi SAW sangat penting dikontekstualisasikan dan diaktualisasikan dengan nalar dan sikap kebangsaan, kebinekaan, persatuan, dan keutuhan NKRI.

Kelahiran Nabi SAW pada Rabiul Awal (musim semi) yang sarat dengan simbol keindahan dan kedamaian. Karena musim semi di banyak negara, khususnya Timur Tengah, merupakan musim yang indah dan sangat dirindukan. Saat kelahiran Nabi SAW, yang dikenal dengan Tahun Gajah, tindak konfrontatif dan agresif terjadi, dilakukan oleh tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah. Namun, dengan nalar harmoni, kakek Nabi, Abdul Mutallib, menghadapinya dengan damai dan secara dialogis. “Jika harta benda yang kalian inginkan, kami tidak memiliki apa-apa. Namun, jika kalian hendak menghancurkan Ka’bah, ketahuilah bahwa ia ada yang menjaganya (Allah),” kata Abdul Mutallib,

Dengan kepongahan dan kesombongannya, tentara gajah itu bersikeras melakukan konfrontasi pada  Ka’bah karena rasa iri sebab ramainya umat yang berkunjung dan melakukan transaksi bisnis di sekitarnya, sementara “Ka’bah palsu” yang dibuatnya sepi pengunjung. Sikap dan tindakan ageresif ini kemudian dihentikan oleh “tentara langit” (burung Ababil) yang membawa batu dan melemparinya yang dapat menghancurkan tentara gajah seperti daun-daun yang dimakan ulat (QS al-Fil [105]: 1-5).

Jadi, peristiwa Maulid Nabi SAW pada Tahun Gajah sangat sarat pesan perdamaian kepada pasukan yang hendak menghancurkan rumah suci, Ka’bah. Nalar damai dan harmoni yang ditawarkan Abdul Mutallib itu sesungguhnya menyediakan ruang kebajikan dan kerendahhatian dengan tidak melampiaskan kedengkian dengan tindak kekerasan. M Bassam Rushdi al-Zayn  dalam The Prophet’s School: Lessons & Lights (2002), mendeklarasikan, bahwa semua rasul yang diutus adalah mengemban misi pendidikan dengan membawa nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan kebajikan, tak terkecuali nabi akhir zaman. Afirmasi Nabi Muhammad SAW sendiri mendeklarasikan bahwa “Aku diutus oleh Allah sebagai pendidik” (HR Malik); dan “Aku diutus sebagai bukan pelaknat, melainkan penebar rahmat” (HR Muslim).

Kesuksesan Nabi Muhammad SAW mengubah masyarakat jahiliyah yang dikenal keras kepala dan berkultur kekerasan bertransformasi menjadi masyarakat madani yang beradab, antara lain, karena visi dakwah dan pendidikannya damai, tidak berorientasi kekerasan. Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW adalah agama perdamaian. Akidah tauhid yang menjadi fondasi ajaran Islam juga mengajarkan keyakinan bahwa Allah itu Maha damai (as-Salam).Ketika bertemu dan berinteraksi dengan sesama Muslim, identitas dan doa utama yang sangat dianjurkan adalah menebar senyum dan salam  “Assalamu’alaikum” (semoga kedamaian dan keselamatan dilimpahkan kepada kalian).

Nabi Muhammad SAW sendiri digelari sebagai nabiyyu ar-rahmah wa Rasul as-Salam (Nabi sang pembawa ajaran kasih sayang, dan utusan Allah penyeru perdamaian). Pesan perdamaian yang dibawa Nabi sejatinya kunci pembuka surga Allah, kampung akhirat yang penuh damai. Beliau bersabda, “Tebarkan perdamaian, berilah makan kepada fakir miskin, sambungkanlah tali silaturahim dan shalatlah (di waktu malam) di saat kebanyakan orang tidur, niscaya kalian dimasukkan ke dalam surga Tuhan kalian, Dar as-Salam (kampung kedamaian) (HR Muslim).

Karena itu, indikator keberislaman seseorang itu diukur dengan sikap damai dan harmoninya terhadap orang lain. Orang Islam itu adalah orang yang membuat orang lain hidup damai dn selamat dari tutur kata dan perbuatan tangannya.” (HR Muslim). Pesan damai Maulid Nabi SAW adalah pesan universal dan aktual yang sangat urgen diimplementasikan kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pesan damai, harmoni, dan integrasi dari Maulid Nabi SAW tersebut sangat penting diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan padasaat ini.

Kemerdekaan dan persatuan bangsa ini dapat diraih dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa dan raga warga bangsa yang mayoritas Muslim dengan sangat mahal. Karena itu, NKRI sebagai negeri perjanjian dan pembuktian aktualisasi pesan damai, harmoni, dan integrasi harus dijaga dan dipertahankan. Pembuktian pesan damai itu harus dimulai dengan penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap siapapun yang bertindak intoleran, kekerasan, teror, dan mengancam ideologi negara dan NKRI. Dengan demikian, momentum Maulid Nabi SAW hendaknya dimaknai dalam rangka peneguhan sikap dan aktualisasi nilai-nilai perdamaian, apresiasi terhadap kebinekaan, perbedaan pendapat dan keyakinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tanpa ada pelanggaran HAM, penistaan antar umat beragama, intolerasi antar umat beragama dan penjarahan kekayaan bangsa melalui korupsi berjamaah.

Terakhir, bahwa titik tumpu beberapa paragraf diatasadalah bagimana pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW ini harus diwujudkan melalui cara berfikir, bersikap dan berperilaku keberagamaan yang santun, rukun, toleran, saling menghormati, dan menerima perbedaan keyakinan. Sebab, Tanpa nalar damai, harmoni, integrasi, dan budaya toleransi yang madani, bangsa ini akan mengalami stagnansi atau bahkan dekadensi dan kembali ke era penjajahan, sehingga mengalami disintegrasi yang destruktif dan kontraproduktif.

Melalui pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW, kita perlu mengambil pelajaran penting dari berbagai konfrontasi dan perang berkepanjangan di Irak, Suriah, Yaman, dan sebagainya yang membuat negeri mereka porak-poranda dan hidup sengsara. Perdamaian itu memang tidak murah karena mengharuskan kita memiliki komitmen kuat menjaga hati yang damai dan harmoni yang tentunya harus dimulai dari diri kita sendiri. Tanpa hati yang damai, maka perdamaian dan harmoni hanya akan menjadi angan belaka.

Penulis : Ilfan Tufail (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Jadilah Seperti Air

Siapa yang tak butuh air

Manusia, hewan, tanaman bahkan semua

Air memberi kesejukan

Pada setiap mahluk dalam kehidupan

Air mengalir disetiap sendi-sendi kehidupan

 

Begitu seharusnya kau nak,

Kata ibu tua

Sambil menepuk dada anaknya

Berjalanlah kau seperti air

Kau akan dapat kebahagiaan

 

20/08/2019

PUJANGGA PESISIR

 

 

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Santri, merupakan identitas yang sangat sakral. Sebab, santri seringkali diyakini dan dipersepsikan sebagai komunitas masyarakat yang memiliki konsen pada ilmu-ilmu agama di pondok pesantren. Dalam pengertian yang lebih subtansial, santri dimaknai sebagai sosok yang memiliki ketaatan pada ajaran dan nilai-nilai agama. Tak jarang pula, santri diyakini sebagai kelompok yang memiliki kemampuan literatur-literatur klasik yang memadai. Sehingga dengan kemampuan ini, santri seringkali disebut sebagai naibul ulama”(pengganti Ulama).

Namun belakangan, santri tidak hanya identik dengan literatur-literatur klasik, tapi sudah banyak santri yang terbuka terhadap ilmu-ilmu modern. Karena sudah banyak santri yang melanjutkan pendidikannya pada jenjang Perguruan Tinggi. Sehingga muncul istilah mahasiswa yang santri dan santri yang mahasiswa. Keduanya memiliki makna yang berbeda pula. Secara sederhana, mahasiswa yang santri dapat dimaknai sebagai sekelompok mahasiswa yang memiliki prilaku dan pola pikir seperti santri dan tidak meninggalkan nilai-nilai kesantrian yang telah ditekuni selama bertahun-tahun di pesantren. Sedangkan mahasiswa yang santri dapat dipahami sebagai santri yang memiliki corak berfikir ala mahasiswa dan setidaknya tetap istiqomah melaksanakan furudlul ainiyah.

Meskipun begitu, keduanya memiliki oreintasi yang sama yaitu pengembangan ilmu pengetahuan, baik bidang agama, sosial, budaya dan teknologi. Sehingga dengan dasar ini, maka santri dan mahasiswa bisa diharapkan menjadi pioner di masa yang akan datang bangsa ini. Karena mahasiswa dan santri tidak hanya diyakini sebagai komunitas yang memiliki basis keilmuan yang jelas tapi juga memiliki pijakan moral dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial disini bisa dimaknai secara universal, yakni adanya kepekaan terhadap realitas sosial yang sedang berkembang untuk kemudian diperbaiki dan diberdayakan melalui ilmu yang telah dipelajari di pesantren dan di kampus.

Problem Santri

Entitas santri yang dipaparkan di atas, saat ini nyaris tidak terlihat. Santri yang identik dengan aktivitas-aktivitas ilmiah saat ini mulai tergerus oleh perubahan zaman yang semakin memanjakan masyarakat. Santri kini “enggan sekali membaca, mutholaah dan diskusi (musyawarah)”. Mereka tak lagi terlihat menenteng kitab dan buku. Justru mereka lebih sering terlihat adalah notebook dan android yang menempel ketat di genggaman mereka. Ironisnya, notebook dan android yang dibawa bukan justru dijadikan sarana untuk mengembangkan potensi dirinya, melainkan digunakan untuk  facebook, twitteran, instagram, youtube dan lain-lain. Mereka seperti sudah terjerumus masuk ke dalam jurang modernisasi secara vulgar. Kecanggihan teknologi telah menyandera eksistensi santri, sehingga membuat mereka terasing dari dunia nyatanya, dunia kampus dan ilmiah.

Akibat dari itu semua, santri tidak lagi memiliki kepekaan terhadap problem-problem sosial yang tengah terjadi di sekelilingnya. Kini, dunia mereka telah menjadi “dunia lain”, jauh dari dunia yang senyatanya sebagai masyarakat santri. Mirisnya, di tengah kesemerawutan kondisi bangsa dewasa ini, tak ada kekhawatiran ataupun kegelisahan yang membuat mereka mau, secara sadar, untuk mengubah keadaan tersebut. Kitab dan buku, dalam pandangan mereka, dianggap suatu yang sakral, yang tak lagi bisa disentuh oleh sembarang orang. Dalam pikiran mereka telah tertanam kuat paradigma hidup yang mengutamakan sikap instan dan serba praktis. Semakin hari semakin kuat saja paradigma itu, membuat santri tak benar-benar mampu melepasnya. Bak akar tumbuhan, semakin dalam ia mencakar bumi, semakin kuat pula akar itu dan tak mudah mencabutnya.

Budaya diskusi dan kajian-kajian seputar isue-isue aktual tentang agama dan problem sosial,  keindonesiaan, kebangsaan atau kenegaraan yang dulu seringkali menghiasi aktivitas santri di waktu-waktu lowong sudah mulai hilang. Di waktu-waktu kosong seperti tidak ada pengajian dan atau waktu istirahat, sangat jarang—untuk mengatakan tidak ada—santri yang berkumpul berdiskusi dan membahas permasalahan bangsa. Mereka lebih sering terlihat cengar-cengir sendiri membalas komentar dari salah satu temannya di facebook. Begitu juga budaya literasi dan mutholaah yang selama ini menjadi karakter santri kian terkikis akibat hegemoni teknologi. Mereka lebih suka mengoperasikan gadjet daripada membuka lembaran-lembaran buku dan kitab yang selama ini menjadi ciri khas santri. Sehingga kita juga mulai kesulitan menemukan bibit unggul dalam komunitas santri.

Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Melihat beberapa fakta di atas, sudah saatnya ada formulasi baru dalam mengembangkan potensi santri, seperti menghidupkan kembali budaya literasi dan diskusi yang mulai tergerus oleh kecanggihan teknologi. Sebab, sebagai komunitas yang diyakini memiliki kapasitas keilmuan agama yang lebih, mereka memiliki banyak tanggung jawab. Adapun tanggung jawab yang pertama adalah keilmuan. Aspek keilmuan merupakan identitas yang tidak bisa ditawar oleh santri. Sebagai komunitas yang belajar belajar di Pesantren, sudah pasti santri berkewajiban untuk mengembangkan basis keilmuannya. Melalui metodologi yang dipelajari, mahasiswa seharusnya sudah cukup cakap dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karena itulah maka basis keilmuan harus tetap tersemat dalam diri santri, sehingga sebutan sebagai komunitas intelektual bisa dipertanggung jawabkan dalam ruang-ruang sosial.

Sedangkan apek yang kedua, adalah tanggung jawab sosial. Sebagai komunitas yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, tentu saja santri dituntut untuk menjadi aktor-aktor perubahan di masyarakat. Eksistensinya harus mengispirasi masyarakat dan memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap problem sosial. Karena, salah satu aktualisasi dari nilai-nilai keilmuan adalah pengamalan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu santri dituntut dapat mengaktualisasikan ilmunya dengan cara melakukan pengabdian masyarakat, pendidikan dan advokasi (suluh agama). Kemudian, aspek tanggung jawab selanjutnya adalah moralitas. Moralitas merupakan kristalisasi dari semua komponen ilmu yang kita miliki. Ilmu tidak akan memiliki nilai di tengah-tengah masyarakat jika tidak seiring dengan moralitas. Karena itu, menjaga moral juga bagian dari tanggu jawab para pemilik ilmu pengetahuan, lebih-lebih jika seseorang berstatus sebagai santri, sehingga sudah cukup piawai dalam mengintegrasikan nilai-nilai santri.

Ala kulli hal, dalam rangka mewujudkan kualitas santri multi talenta sudah pasti membutuhkan instrumen-instrumen yang dapat menunjangnya. Dalam konteks ini, perlu adanya kesadaran komprehensif dari santri atas tantangan zaman yang semakin mengglobal. Dengan banyak belajar (ngaji), mutholaah, dan musyawarah santri dapat meningkatkan kualitas pengetahuan ilmiahnya. Dengan belajar dan membaca yang tekun, santri dapat meningkatkan daya nalar kritis mereka, sehingga tidak mudah terjerumus pada dinamika informasi yang semakin hari semakin semraut. Pihak Pesantren bisa memberikan isntrumen strategis agar budaya literasi dan diskusi terus hidup menjadi atmosfer Pesantren. Wallahu A’lam.

Santri, Tanggung Jawab Ilmiah, Sosial dan Moral

Mushafi Miftah
Santri dan Dosen Universitas Nurul Jadid. Saat ini Aktif sebagai Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Jember

 

 

Hilangnya Religious Experience

Hilangnya Religious Experience

Ada fenomena keprihatinan yang semestinya menjadi kegelisahan kita semua sebagai umat beragama, khususnya umat Islam yang disebut sebagai mayoritas di negeri ini. Keprihatinan tersebut adalah menghilangnya rasa agama atau religious experience justru pada saat perintah agama tersebut dilaksanakan. Religious experience berupa ketenangan bersama keagungan Allah dalam istighatsah, menghilang, sehingga istighatsah yang dilakukan menjadi tidak bermakna apa-apa. Religious experience berupa kesejukan bersama keindahan Allah dalam haji dan umrah, lenyap, menjadikan haji dan umrah yang ada, tidak menebarkan kesejukan iman. Religious experience berupa kedamaian bersama rahman dan rahim Allah dalam shalat hajat dan tahajud, kabur, sehingga shalat hajat dan tahajud, tidak mampu mengkonstruksi keramahan dan kesetia kawanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai akibatnya, semakin bargairahnya umat Islam dalam melaksanakan perintah agama seperti istighatsah, di Munas -yang selama ini tak pernah ada- dan lain-lainnya, menjadi berbanding lurus dengan banyaknya korupsi yang diperbuat. Semakin digemarinya iabadah haji dan umrah dilaksanakan, menjadi searah dan sebangun dengan semakin merebaknya hoaks dan fitnah lainnya. Demikian juga semaraknya shalat hajat dan tahajud, tak terkecuali di gelora Bung Karno -yang selama ini tak pernah ada- , tidak menjadikan tindak kriminalitas dan abus of power menghilang di negeri ini. Satu dan lain hal, penyebabnya adalah hilangnya religious experience berupa ketenangan, kesejukan dan kedamaian, justru pada saat perintah agama itu dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 s/d 31 Maret 2019, penulis menyaksikan sendiri di jabal Uhud Madinah dan jabal Rahmah di Mekah, beberapa rombongan jamaah umrah meneriakkan takbir -الله اكبر -, disertai acungan tangan dan terikan yang menggambarkan kemenangan salah satu pasangan calon presiden RI. Secara psikologis, sekalipun mereka melakukan ibadah, kebencian terhadap lawan poltik akan mewarnai denyut jantung dan detak nafasnya. Pelaksanakan perintah agama yang demikian, bisa dipastikan akan menghilangkan religious experience yang semestinya mereka terima.

Fenomena hilangnya religious experience seperti ini, tentu bukan sekali jadi, melainkan jauh sejak pasca kemerdekaan republik ini. Diterimanya Pancasila sebagai filosofi dan dasar Negara oleh para ulama di Republik ini, adalah jalan tengah untuk menjadikan religious experience tidak menghilang dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam perkembangannya religious experience tersebut terus menghilang, karena apa yang dikerjakan dari perintah agama, seperti -istighatsah, haji dan umrah serta shalat hajat dan tahajud- dan lain-lainnya, secara vertical tidak diarahkan untuk mendapatkan rdlo Allah, tetapi berhenti di tingkat horizontal, hanya untuk mendapatkan keberhasilan kepentingan sesaat.

Secara kongkrit, keprihatinan tersebut ditunjukkan oleh KH. Zaini Mun’im, dengan menjadikan kesadaran beragama sebagai benteng bagi para santri pondok pesantren Nurul-Jadid. Artinya, sebagai calon pemimpin bangsa, para santri dengan kesadaran beragama,yang merupakan bagian dari pancakesadaran santri, diharapkan tidak akan menjadikan pelaksanaan perintah agama, berhenti ditingkat horizontal sebagai marketing God atau jualan Tuhan, tetapi naik ke tingkat vertical, yaitu, untuk mendapatkan ridlo Allah Swt. Karena itulah yang dikehendaki Allah dalam al-Qur’an surat Al-An’am 162,

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

Artinya, Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Sebagai santri Nurul-Jadid, penulis hanya berdo’a, semuga ma’unah dan hidayah Allah terus memayungi para santri, dan bangsa ini, agar religious experience yang menebarkan kesejukan, ketenangan dan kedamaian Allah Swt, mengantar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi baldatun thoyibatun warabun ghafur, amin.

Wallahu ‘alam,

M. Hasyim Syamhudi
Dekan Fakultas Hukum dan Humaniora UNUJA, Paiton, Probolinggo

Panca Kesadaran Santri

Panca Kesadaran Santri

Apakah Anda memiliki anak dan atau murid yang sulit diatur? Apakah Anda pernah menjumpai kelompok masyarakat yang enggan untuk diajak maju? Sebenarnya, mereka yang memang sulit diatur sebenarnya bukan tidak mau dididik, mereka yang nakal bukan enggan menjadi baik, tapi kerap kali orang tua, para guru, kiai dan pemimpin lupa bahwa anak-anak mereka adalah putera zaman, anak sang waktu dan kehidupan.

Nah, jika para santri adalah calon pengayom dan pendidik umat, idealnya mereka harus mempersiapkan dan menempa diri untuk menjadi orang tua bagi segala jenis kemungkinan masyarakat yang kelak akan mereka hadapi.

Mestinya setiap orang menjadi penghebat, penyemangat, pendamai, penyuluh, pecinta dan bahkan pelita bagi dirinya sendiri. Apa sebab? Kegelapan tidak pernah ada, kecuali bagi mereka yang enggan dan malas menggapai cahaya. Kebencian itu tak pernah ada, benci adalah nama lain bagi cinta yang diciderai dan disakiti. Begitu pula najis, ia tidak pernah ada. Najis dan kotor ada karena manusia enggan menjaga kesucian dan kebersihan. Akan tetapi, karena kesadaran adalah barang langka, harus selalu ada yang melestarikannya. Hal ini bukan semata ilmu, tapi juga mendialogkan ilmu dengan kehidupan.

Dalam ilmu, kesalahan nyaris selalu mendahului kebenaran, itulah mengapa kesimpulan para ilmuwan acapkali 99 kali adalah keliru, barulah yang ke-100 benar. Namun demikian, dalam keseharian, Anda tidak harus berpengetahuan dulu baru bertindak. Teramat banyak tindakan kita lebih digerakkan oleh intuisi dan keyakinan dari pada pengetahuan. Bahkan, tak jarang, tindakan manusia berdasarkan imajinasi sosiologisnya.

Ilmu pengetahuan pun juga telah mengalami reduksi dan penyempitan ruang, terutama saintek, terutama lagi pasca revolusi newtonian dan freudian. Ilmu sebatas fisika dan perilaku manusia adalah ketaksadaran belaka. Padahal, intuisi adalah ilmu, ilham dan wahyu juga ilmu, bahkan para santri sangat percaya dengan adanya ilmu Ladunni, yakni ilmu yang langsung dari Allah, tanpa melalui proses pembelajaran konvensional.

Begitu pula dengan perilaku dan tindakan manusia, para penganut Sigmund Freud meyakini bahwa tindakan manusia digerakkan oleh ketaksadaran atau pikiran bawah sadar. Ketaksadaran yang dimaksud adalah “program otomatis” di mana manusia berbuat dan bertindak berdasarkan isi program tersebut. Pandangan ini jelas bertentangan dengan dunia Timur dan khususnya Islam. Bahkan, filsuf dan sufi agung, Al-Ghazali sangat memberikan kedudukan yang istimewa untuk akal.

Nah, jika tidak semua ilmu akan mengantarkan manusia pada kesadaran, lantas, kesadaran macam apakah yang menjadi pusaka para santri di Pesantren? Adalah KH. Zaini Mun’im (w.1976), pendiri PP Nurul Jadid Paiton-Probolinggo yang mencetuskan Panca Kesadaran Santri dan otomatis para Santri wajib menjalankannya sebagai pusaka dan pedoman hidup.

Lima kesadaran itu adalah: (1) Kesadaran beragama, (2) Kesadaran berilmu, (3) Kesadaran berorganisasi, (4) Kesadaran bermasyarakat, (5) Kesadaran berbangsa dan bernegara.

Kesadaran beragama. Hal ini jelas tidak cukup bagi para santri untuk sekadar tahu dan alim soal agama, tetapi juga menyadari dan lalu menyadarkan orang lain perihal visi-misi agama, muatan agama, ajaran cinta-kasih dan moralitas dalam agama, bukan malah memperjual-belikan agama demi kepentingan perut dan jabatan semata-mata. Di tangan para santri, agama sangat dipertaruhkan, ia bisa menjadi payung horizontal dan penyambung tali silaturrahmi untuk saling menyadarkan dan mengingatkan.

Kesadaran berilmu. Adalah kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu, segala ilmu, tanpa terkecuali saintek dan ilmu digital, karena kemajuan hanya mungkin diraih dengan pengetahuan, bahkan tiap kronik perubahan zaman dan masa, meneropong masa depan sampai angkasa, hanya mungkin dijangkau oleh ilmu, menggagas pembangunan bangsa dan Negara, lagi-lagi dengan ilmu. Kesadaran berilmu juga bermakna kesadaran untuk mendayagunakan pengetahuan demi kemanusiaan dan kemaslahatan, bukan untuk kehancuran dan pemusnahan, sebab pengkhianatan dan perselingkuhan seorang ilmuwan jauh lebih berbahaya dari pada 1.000 kesalahan 1.000 orang awan sebanyak 1.000 kali.

Kesadaran berorganisasi. Tanpa yang satu ini, kebaikan dan kebenaran pun akan semrawut dan gampang dikalahkan oleh keculasan dan kepalsuan. Oleh karena itu, berorganisasi harus ditanamkan sejak dini. Dan, Pesantren telah mengajarkan prinsip dan kesadaran ini bahkan sejak di dalam kamar, lalu asrama, forum ngaji, sekolah, madrasah, perkuliahan, bahkan berdasarkan daerah asal-usul santri. Hal ini jelas untuk mendidik santri agar memahami banyak karakter manusia melalui organisasi, belajar menyampaikan pendapat, menerima saran dan kritik orang lain, belajar perilaku organisasi serta etika dalam berorganisasi.

Kesadaran bermasyarakat. Ya, tiap individu adalah bagian dari masyarakat. Tidak ada satu manusia pun yang independen dan terbebas dari orang lain. Maha filsuf Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoon politikon, yakni makhluk sosial, bukan makhluk individual. Dan, Pesantren adalah gambaran dan simulasi bagi kehidupan masayarakat luas dengan berbagai persoalannya. Sementara itu, masyarakat adalah tempat di mana santri akan mengamalkan ilmu dan baktinya. Dinamika masyarakat sangat kompleks, bahkan multikompleks, sehingga kesadaran bermasyarakat berarti kesadaran untuk manjadi bagian dari mereka, mendidik dan mencerdaskan mereka. Oleh karena betapa tinggi apresiasi dan penghargaan masyarakat kepada kaum santri, sehingga setiap orang tua hampir pasti menjodohkan anak-anak mereka dengan santri. Dengan kata lain, di bursa perjodohan, rating para santri terus menanjak dan laris-manis.

Yang terakhir, kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebuah kesadaran yang kini telah mengalami pergeseran makna dan perumitan bentuk. Inilah rahasia mengapa para santri tidak menjadi kelompok Islam radikal dan terlibat jaringan teroris. Sejak mula, mereka memang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan NKRI. Nasionalisme dan patriotisme ini memuncak dalam momentum resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 sehingga pertempuran 10 November Indonesia meraih kemenangan atas tentara Sekutu. Sekali lagi, mengapa kaum santri sanggup melakukan bela pati dan menjadi martir (syahid) demi bangsa dan negaranya kini terjawab sudah. Nah, pasca kemerdekaan kaum sarungan kini akan sangat ditunggu peranannya oleh masayarakat, umat, bangsa dan Negara. Apakah panca kesadaran itu masih berdenyut di jantung kita, mengalir dalam darah kita? Adakah ia sebatas kenyataan atau sejatinya tantangan bagi kaum santri untuk membangun peradaban sarung di negeri ini?

Salam ta’dzim

___________

Penulis:  Ach Dhofir Zuhry.

Penulis adalah alumni PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo, penulis buku best seller PERADABAN SARUNG (Veni, Vidi, Santri)

Rindu Belaianmu

Rindu Belaianmu

Ibu, Kini aku tumbuh dari janinmu

Janin yang suci dari proses benih-benihmu

kau adalah wanita yang dititipkan tuhan untuk menjaga anak-anakmu.

Ibu, kau adalah muara hidupku

Tapak sinarmu dalam keseharianku

Kini mulai kurindu belaian kasihmu

Maaf kan aku ibu yang tak sempat mencium kakimu

Kaki yang dipenuhi surga

wanita yang dipenuhi karomah .

Kini aku memohon maaf yang tiada tara

Keabadianku terlahir dari jerih payamu

Tanpa permohon maafmu tak bisa kuberjalan tegak sampai saat ini.

Maafkan dosa-dosaku dosa yang tak sempat ku ucapkan.

Kini aku hanya bisa memohon pada tuhan

“robbiu firli walidayya warham huma kama robbaya ni sogiro.

Ibu hanya Doa yang aku persembahkan

Dan usaha yang kuat untuk membahagiakanmu

Ibu salam santun dari anakmu yang merindukan belaianmu.

Penulis : Yahya (Pengurus LPBA PP. Nurul Jadid)

Ibu Maafkan Anakmu

Ibu

Ibu

Maafkan anakmu

Yang tak tau diri dan balas budi

Mikirin hidup hanya kepuasan pribadi

Sempat terlintas kau ku jadikan pembantu tuk naikkan karir

Sempat terbesit kau ku jadikan pesuruh tuk menghemat anggaran

Naif… itu kalkulasi matematikaku karena terlalu banyak berhitung

Itu perhitunganku karena terlalu sering pakai logika

Tenyata, itu hanya sesat pikirku

Aku baru sadar,

Sejarah tak pernah catat orang sukses dengan kesampingkan ibu

Tak ada orang damai dengan nomorduakan ibu

Ibu, kau rawat aku dengan belas kasih tanpa pamrih

Kau besarkan aku dengan cinta kasih tanpa kalkulasi

Maafkan anakku yang tak tau diri

Kaulah  yang pertama dan utama

Mutiara tiada tara

Kau raja hidupku

Namamu abadi dalam sanubariku

Selamat Hari Ibu

Pojok WPS, Rama Yakin, 22 Des 2018

Menilik Sejarah Hari Ibu

Menilik Sejarah Hari Ibu

Hari ibu kini senantiasa diperingati dengan berbagai cara, berbagai kreatifitas, mulai dari kata-kata romantis penuh cinta buat sang ibu, sampai acara-acara yang diperuntukkan untuk kaum ibu-ibu. Tapi mirisnya, kebanyakan dari perayaan itu tidak ada yang berhubungan dengan tema-tema yang disampaikan pada Kongres Perempuan dulu, yaitu sebuah kongres yang menjadi titik awal lahirnya hari ibu.

Di sebuah Pendopo Dhalem Jayadipuran milik Raden Tumenggung Joyodipoero, sabtu malam, 22 Desember 1928, ratusan orang berkumpul. Acara resepsi dimulai sejak pukul 19.00 WIB, dimulai dengan nyanyian penghormatan dari anak-anak untuk para tamu.

Para tamu juga disuguhi drama tanpa suara tentang cerita Dewi Sinta membakar diri, Srikandi, dan Perikatan Istri Indonesia. Dari pukul 21.00 WIB hingga 23.00 WIB, para tamu saling berkenalan. Tiap utusan diberi kesempatan untuk mengurai problem perkumpulannya. Begitu yang dicatat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007).

Kongres ini dihadiri juga wakil-wakil dari perkumpulannya Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Muhammadiyah, dan Jong Islamieten Bond. Tokoh-tokoh populer yang datang antara lain Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D. Haani (Walfadjri).

Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng alias Nyonya Toemenggoeng, istri dari Patih Datoek Toemenggoeng yang jadi bawahan Charles Olke van der Plas, hadir juga dalam acara itu. Setelah acara itu usai, perempuan Minang ini menulis laporan berjudul “Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehouden te Jogjakarta van 22 tot 25 Desember 1928”. Sekitar 600 perempuan dari berbagai latar pendidikan dan usia hadir dalam kongres Perempuan Indonesia Pertama ini.

Esok harinya, acara dimulai sejak pukul 08.00 WIB. Setelah acara dibuka dengan pertunjukan menyanyi dari anak-anak, Siti Soekaptinah menyampai asas kongres tersebut. Ternyata, pada pertemuan hari kedua kongres ini juga ada bahasan perkawinan anak yang disampaikan oleh Moega Roemah.

Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan pidatonya tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Lalu disusul Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan”. Nyi Hajar Dewantara—tentu saja istri dari Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.

Selain pidato soal perkawinan anak, ada pidato berjudul “Iboe” yang dibacakan Djami dari Darmo Laksmi. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena ia anak perempuan.

Jika seorang anak hendak dilahirkan, Djami berkata, “bapak dan ibunya meminta kepada Tuhan, laki-lakilah hendaknya anaknya.”

Di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Tempat perempuan, dalam pikiran banyak orang Indonesa, akhirnya tak jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pandangan usang itu mengakar kuat dan pendidikan bagi perempuan tak dianggap penting. Perempuan tak perlu pintar, bukankah akhirnya ia akan ke dapur juga?

Tapi Djami berpendapat lain. Meski menekankan pentingnya pendidikan perempuan dalam kerangka perannya sebagai ibu, pandangan Djami sudah maju untuk ukuran zaman itu.

“Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” katanya.

Jika perempuan sudah bodoh, pendidikan terhadap anak yang dikandung dan dibesarkannya sebetulnya terancam. Djami melanjutkan: “selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya, karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”

Itulah kenapa pembangunan sekolah-sekolah untuk memajukan perempuan seperti yang dilakukan Rohana Koedoes, Kartini juga Dewi Sartika begitu penting perannya. Ibu yang pandai akan punya modal besar untuk menjadikan anaknya pandai. Anak-anak yang pandai di masa depan akan membuat kehidupan sebuah masyarakat akan lebih baik. Pergerakan Nasional Indonesia, tentu perlu anak-anak pandai dari ibu-ibu yang pandai juga.

Dalam Kongres yang berlangsung hingga 25 Desember 1928 ini, Siti Soendari yang belakangan menjadi istri dari Muhammad Yamin juga hadir. Siti yang seorang guru juga memberikan pidatonya. Dia memakai bahasa Indonesia, meski Nyonya Toemenggoeng berpendapat bahasa Indonesianya tidak pas dan agak berlebihan.

Ketika itu bahasa Indonesia, yang sebetulnya bahasa Melayu pasar, baru saja disepakati sebagai bahasa persatuan Indonesia dua bulan sebelumnya pada 28 Oktober 1928.

Dalam pertemuan tersebut, organisasi-organisasi perempuan berfusi menjadi Perserikatan Perempuan Indonesia. Setahun kemudian, pada 1929, mereka berganti nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia.

Menurut Slamet Muljana, dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), dua tahun setelah kongres, perempuan-perempuan itu menyatakan bahwa gerakan perempuan adalah bagian dari pergerakan nasional. Bagi mereka, perempuan wajib ikut serta memperjuangkan martabat nusa dan bangsa.

Seperti kongres Pemuda II, Kongres Perempuan ini juga menekankan pentingnya persatuan. Mereka tak ingin dipecah belah dengan apapun, termasuk oleh masalah agama. Nyonya Toemenggoeng mencatat: Roekoen Wanidijo mengusulkan masalah agama sebisa mungkin mereka hindari untuk dibicarakan agar tidak terjadi perpecahan. Bahkan, tokoh yang menjadi anggota organisasi keagamaan tidak dapat dipilih menjadi ketua.

Menurut Slamet Muljana, penyelenggara kongres ini berasal dari bermacam etnis dan agama di Indonesia. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyelenggaraan itu antara lain: Wanita Utomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyah, Wanita Mulyo, perempuan-perempuan Sarekat Islam, perempuan-perempuan Jong Java, Jong Islamten Bond, dan Wanita Taman Siswa.

Gedung tempat acara itu diselenggarakan akan dipergunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.

Acara ini, menurut Susan Blackburn, membuat kesal kaum feminis Eropa di Indonesia, sebab acara ini hanya diperuntukkan bagi perempuan-perempuan atau ibu-ibu pribumi Indonesia. Kala itu, banyak perkumpulan Eropa juga membatasi diri hanya untuk orang Eropa.

Setelah kemerdekaan, kongres ini dianggap penting. Sukarno mengenang semangat perempuan juga ibu-ibu dalam pergerakan nasional demi perbaikan kehidupan perempuan era kolonial itu.

Maka, pada 22 Desember 1959, dalam peringatan kongres ke-25, melalui Dekrit Presiden RI No.316 Tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai: Hari Ibu.

Penulis : Muhammad Lutfi (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

Iboe

Iboe

           Ia peluk tubuh dingin itu sangat erat. Sembari menangis, Anna Marie Jarvis masih belum bisa menerima kepergian ibunya. Sampai pipinya basah, air matanya berurai disertai isak yang dalam. Anna tak percaya ibunya benar-benar telah tiada.

            Namun apalah daya, Anna bukan Nabi Isa, utusan Tuhan yang dikaruniai mukjizat bisa mehidupkan orang mati. Ia hanya manusia biasa yang mencintai ibunya. Cinta yang tak pernah ia bagi dengan lelaki manapun, kecuali Ayah dan Tuhannya.

            Sebelum ibunya meninggal, Anna teringat pada suatu hari, di taman kawasan Philadelphia, ia mengajak ibunya yang sakit jantung itu menghirup udara segar pagi musim semi. Dengan suara lirih dan napas sengal, ibunya berpesan pada Anna, “kelak ketika aku tiada, aku berharap manusia menghargai pelayanan tanpa batas yang diberikan ibu mereka. Dan Negara memperingati hari ibu sebagai sebuah memorial, karena seorang ibu berhak atas itu.”

            Pesan itu terekam jelas. Anna kembali menatap wajah ibunya yang layu, sekujur tubuhnya yang kaku. Ia pegang erat-erat tangan ibunya lalu kemudian berjanji di dalam hati, “harapanmu harus dibayar tuntas.” Ann Reeves Jarvis (baca: Ibu Anna Marie Jarvis) meninggal pada 9 Mei 1905.

            Tiga tahun setelah kematian ibunya, tahun 1908, Anna mengadakan peringatan untuk menghormati ibunya dan semua kaum ibu di Gereja Episcopal Methodist Andrews, Grafton, West Virginia. Sebelum seluruh negara bagian di Amerika Serikat menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur pada tahun 1911. Lalu diresmikan oleh Woodrow Wilson dengan menandatangi Deklarasi Hari Ibu sebagai hari libur nasional yang jatuh pada hari minggu kedua bulan Mei.

            Hari Ibu yang digagas Anna Marie Jarvis semakin populer. Meski di sebagian besar dunia, Hari Ibu dirayakan dengan cara, hari, dan tanggal yang berbeda. Ia merasa sedikit lega, cita-cita ibunya telah tertunaikan.

Tapi sore itu, ditengah senja tertutup salju, Anna merasa ganjal. Hari Ibu yang masyhur itu ia anggap gagal karena dijadikan ‘tambang mas’ sebagian korporat. Baginya Hari Ibu telah kehilangan makna akibat dilindas mesin konsumerisme buatan tangan kaum kapitalis.

Anna tak ingin Hari Ibu sekejadar jadi tren, yang dilakukan tapi tak membekas. Karena menurutnya kasih sayang seorang ibu tak sebanding dengan pembelian dan pemeberian bunga, permen, dan kartu ucapan. Ia mengutuk keras formalitas itu, meski tak seluruhnya menyalahkan. Ia ingin lebih, Hari Ibu harus sakral.

Bersama asosiasi the Mother Day Internasional Association, Anna berusaha mengembalikan makna asli Hari Ibu. Hari yang sepatutnya dijadikan momentum untuk menghargai jasa seorang ibu bagi keluarganya; anak dan suaminya ataupun lingkungan sosialnya. Ia mengajak kita tenggelam dalam lautan kasih sayang ibu yang tanpa parih dan tak lekang. Dengan sadar sepenuhnya, bukan sebutuhnya.

Dalam buku Memorirializing Motherhood: Anna Jarvis and the Defense of Her Mother’s Day, sejarawan Katharine Antilini dari West Virginia Wesleyan College menyitir perkataan Anna soal kasih sayang ibu yang ia lambangkan seperti White Dianthus Caryophyllus:

“Warna putihnya adalah untuk melambangkan kebenaran, kemurnian dan kasih sayang yang luas dari cinta ibu; aroma, ingatannya, dan do’anya. Anyelir tidak menjatuhkan kelopkanya, tetapi memeluk mereka sampai ke jantung ketika mati, dan demikian juga, ibu-ibu memeluk anak-anak mereka ke hati mereka, cinta ibu mereka tidak pernah mati. Ketika saya memilih bunga ini, saya teringat tempat tidur ibu saya yang berwarna merah muda.”

            Usaha ulet Anna untuk mereformasi Hari Ibu terus berlanjut sampai tahun 1940an. Pada tahun 1948 ia meninggal di usia 84 tahun di Philadelphia’s Marshall Square Sanitarium. Ia tak meninggalakan apa-apa. Ia tak pernah jadi seorang ibu bagi anaknya, kecuali memantaskan diri jadi anak untuk ibunya. Anna Marie Jarvis bukan seorang ibu, ia lebih dari itu, yaitu Ibu dari Hari Ibu (The Mother of Mother’s Day).

            Kurang lebih dua dekade sebelum Anna Marie Javis meninggal, di belahan dunia lainnya; Nusantara hidup seorang Djami. Perempuan keturunan Pribumi totok yang nyaris tak ada dalam catatan sejarah, selain sebagai salah satu aktifis organisasi Darmo Laksmi.

Djami bingung, kenapa takdir lahir sebagai perempuan dianggap inferior. Padahal ia tak pernah minta dilahirkan sebagai perempuan. Namun ia yakin sepenuh iman, Tuhan menciptakan perempuan tak untuk direndahkan. Baginya, lelaki atau siapapun yang mencela kodrat perempuan, sama juga menistakan kuasa Tuhan.

Ingatan itu masih terasa segar. Pada masa Djami kecil, perempuan bukan hanya direndahkan oleh Kolonial Belanda dengan membatasi partisipasi perempuan dalam domain publik. Namun masyarakat Pribumi pun demikian, stigma perempuan begitu mengakar. Djami paham betul, ia tak bisa merubah sejarah masa lalu. Namun ibarat kapal, sejarah bisa berganti arah haluan. Djami punya harapan, percaya masa depan.

Maka dalam Deklarasi Perempuan Indonesia di Yogyakarta tahun 1928, Djami berpidato dengan judul “Iboe”. Dalam pidatonya ia melampiaskan sesuatu yang tertahan; menuntut keadilan gender. Meminta kesamaan hak termasuk dalam ranah pendidikan. Agar definisi perempuan tidak sebatas urusan sumur, kasur, dan dapur.

Akses pendidikan bagi perempuan menurut Djami sangat penting. Sebab perempuan adalah calon ibu, yaitu madrasah pertama bagi anaknya. “Tak ada seorangpun akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya kalau bukan karena ibu atau istrinya yang tinggi juga pengetahuan dan budinya,” kata Djami dalam pidatonya di depan peserta Kongres..

Membaca kembali pidato Djami adalah mengikuti alur cerita yang alot, penuh sarkastik, dan lugas. Campur aduk antara kepedihan atas ke-peremupuan-nya dan optimisme yang memuncak. Waktu itu bicara status perempuan dan ibu masih tabu. Namun ia menyusun teks itu dengan semangat perubahan paradigma berpikir dan rasionalitas pemikiran yang memadai.

Kesedihan saya membacanya lagi pidato Djami bukan karena atas segala kisah pilu seorang Djami. Tapi karena pidato Djami adalah puncak dari gunung es di permukaan air laut. Ada yang lebih makro dari Djami, yakni pengebirian perempuan secara sosial tanpa mengingat jasa-jasa mereka (baca: perempuan), lebih-lebih seorang ibu.

Dalam penutup pidatonya sekali lagi ia tegaskan bagaiaman seorang perempuan harus mendapat kelas sosial dan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Karena bagaimanapun kata Djami, dalam buku Lady Emilly Lutyans yang ia kutip: Ibu akan mengajarkan anaknya sejak dalam kandungan. Pidato Djami usai.

Sedasawarsa kemudian, pada Kongres Perempuan Indonesia III. Peserta Kongres menyepakati tangal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Mereka turut andil pula dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perbaikan keadaan perempuan Indonesia. Misalnya perbaikan gizi ibu dan anak balita, menghentikan pernikahan dini, apalagi perdagangan perempuan dan anak.

Indonesia pun telah merdeka. Mereka terus mengambil peran dalam pembangunan negara. Maka pada tanggal 22 Desember 1953, dalam peringatan Kongres Perempuan Indonesia yang ke-25, Presiden Soekarno mentapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati Hari Ibu, melalui Dekrit Presiden RI No. 316 Tahun 1953.

Mungkin dua kisah di atas sedikit cukup menggambarkan sejarah lahir Hari Ibu. Tinggal bagaimana kita, khusunya saya pribadi, dapat menangkap pesan tersirat dari peringatan ini. Tentu bukan sekedar membuat ucapan “Selamat Hari Ibu” yang mewarnai media sosial, melainkan rasa terima kasih yang sangat mendalam atas jasa dan kasih sayang tanpa pamrih mereka.

Dalam Islam, setidaknya ada dua pendapat yang berbeda ketika memandang perayaan Hari Ibu. Diskursus kajian hukum ini memang sudah dibahas oleh sejumlah pakar. Antara lain ulama Al-Ahzar Mesir, sedikitnya ada empat ulama yang mengatakan Hari Ibu haram di lakukan oleh umat Islam. Sebut saja misalkan Syekh Mutawalli as-Sya’rawi dan Syehk Ali Mahfudh serta sejumlah cendekiawan seperti Musthafa al-Adawi dan Abdul Hamid Kisyk.

Mereka beranggapan bahwa dalam syariat Islam tradisi demikian tak pernah ada. Lebih pada itu dalam pandangan mereka, mengapa perayaan ini tidak dibolehkan karena taklid buta terhadap tradisi Barat. Barat menciptakan peringatan ini sebagai bentuk hipokrit. Perayaan demikian merupakan instrumen menebus abai yang sudah mereka lakukan akibat terlalu materialistik. Kendati demikian, para ulama tersebut tak memvonis kafir bagi Muslim yang melakukan perayaan dimaksud.

Di sisi lain, Syehk Yusuf al-Qaradhawi menilai peringatan Hari Ibu bukan termasuk perkara yang haram karena syariat tidak melarang. Meski ia sendiri tak terlalu tertarik untuk melakukan perayaan tersebut. Asal menurutnya jangan sampai disamakan dengan menggunakan istilah I’d (hari raya) yang korelasinya sangat dekat dengan agama.

Beliau menambahkan, jangan sampai perayaan ini malah menyinggung perasaan anak yatim piatu. Jika beliau harus memilih antara merayakan Hari Ibu dengan memperhatikan nasib dan kondisi anak yatim piatu, beliau cenderung pada pilihan yang kedua. Meski beliau mengakui dengan perayaan ini dapat membahagiaka ibu, namun dalam Islam kewajiban membahagiakan ibu tak dibatasi waktu, sesuai prinsip Surat Luqman Ayat 14.

Terlepas dari itu semua, sudahkah kita berbuat baik pada orang tua, terutama ibu kita? Atau malah terjebak pada tren dan formalitas belaka? Anda sekalian lebih tau menjawabnya.

Sepekan yang lalu, pada tanggal 13 Desember lalu, salah satu media massa mengabarkan pembunuhan. Kabar mirisnya adalah orang tua yang dibunuh anak kandungnya. Sebelum ibunya dibunuh, anak bengal itu menyeret ibunya yang kemudian berakhir dibacok dengan golok. Perempuan setengah baya itu meregang nyawa. Anak itu jadi durhaka.

Saya tidak mengatakan anak jaman now lupa suatu tempat yang kata Zawawi Imron dalam puisi Ibunya ‘gua pertapaan yang kasih sayangnya seluas samudera’. Biarlah sabda Nabi Muhammad membuktikan bahwa salah satu tanda akhir zaman ialah ketika ibu melahirkan majikannya.

Selamat Hari Ibu…

Penulis : Rahmat Hidayat (santri aktif di Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Ibu, Sang Altruis Abadi

Ibu, Sang Altruis Abadi

“Sebagai seorang wanita, saya memasuki rumah politik dengan dimensi tambahan – Seorang Ibu”. Benazir Bhutto

Ibu (Maha Karya Allah Azza Wa jalla) yang altruis biasanya bersikap untuk tidak mementingkan kepentingan dirinya pribadi. Tindakan-tindakan yang ia lakukan bisa berpusat pada alasan ingin selalu memajukan keluarga, dan ia sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa pun untuk dirinya sendiri sehingga tidak terjebak pada “pengabdi amatiran”. Telah sekian lama perilaku “Altruis” menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan baik yang beragama maupun tak beragama bahkan yang memiliki prinsip tak bertuhan, oleh karena inilah sebuah tauladan sikap yang mulia. Perlu dicamkan, altruis bukanlah sebuah sikap yang mengorbankan diri sendiri ibarat lilin rela terbakar demi menerangi sekelilingnya namun rela berkorban, peduli, dan ikhlas. Sikap altruis mementingkan kesejahteraan keluarga dan kebersamaan.

Bukanlah Ibu altruis jika mengasumsikan dirinya sebagai obyek pasif dan tak berdaya bahkan terjerumus pada sikap inferior terhadap dirinya sendiri, manipulatif, dan tidak melakukan sebuah kebaikan dengan motivasi tersembunyi yang hanya bersumber kepada kepentingan pribadi. Altruis merupakan sikap positif yang juga berkaitan erat dengan integritas, kejujuran, dan rendah hati. Tanpa disadari ada peran Ilahiyyat dibalik sikap altruistik.

Ibu dalam bahasa arab disebut dengan ummun, ia terambil dari kata amma yaummu “sesuatu yang banyak dituju”. Bukankah seorang anak jika membutuhkan dan meminta sesuatu tanpa disadari dia akan menghampiri ibunya ?. ketergantungan seorang anak begitu besar pada ibu, sebab seorang anak pernah menjadi “alaqoh” segumpal darah yang kemudian berlanjut pada fase-fase berikutnya hingga tiba sembilan bulan. Oleh karenanya begitu besar keterikatan seorang anak pada ibunya.

Dalam Islam telah dijelaskan terang benderang betapa ibu memiliki dimensi menciptakan atau khaliqiyat atau mampu menciptakan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang yang dominan pada seorang ibu ini menjadi potensi besar untuk mendidik generasi, oleh karena itu awal dan permulaan  pendidikan dalam sebuah masyarakat dimulai dari pernikahan dan keluarga bahkan jauh sebelum melangkahkan kaki menuju lorong penikahan, dengan demikian ibu memiliki tanggung jawab sentral (subjek) dalam keluarga bahkan masyarakat yaitu pertama, mendidik dirinya sendiri, kedua, mendidik anak-anaknya, dan ketiga jika perlu mendidik suaminya. Betapa besar peran ibu dalam mendidik sehingga Rasulullah tidak sedang menggombal saat beliau bersabda “Syurga berada di bawah telapak kaki ibu”. Tak diragukan lagi bahwa generasi-generasi brilian dalam semua dimensi kehidupan lahir dari ibu yang sukses mendidik penuh cinta dan kasih sayang, inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah bersabda demikian, Menakjubkan.

Betapapun kelamnya keadaan keluarga, lingkungan sekitar, dan semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat dunia dari masalah nasional, regional, dan internasional yang harus diselesaikan dengan bijaksana. Seorang ibu masih saja mampu menciptakan atmosfer surgawi bagi suami dan anak-anaknya hingga anak cucunya bahwa dunia masih anggun semampai sampai saat ini. Penulis tidak berlebihan mengasumsikan bahwa alam raya ini juga memiliki ketergantungan pada seorang ibu, ibu lebih istimewa dari pada surga dan seisinya. Tak dapat dibayangkan porak-porandanya alam raya bila ibu alpa akan peran luar biasanya.

Terlepas dari kelompok misoginis-sentimental, keberlangsungan konflik struktural-kultural dalam kehidupan sistem sosial antara Patriarkhi dan Matriarkhi, Feminin dan Maskulin genting untuk dibahas ulang di hari nan mulia – hari Ibu, sehingga tidak sebatas menjadi perayaan simbolis dan fiktif, nyatanya seorang ibu di abad milenial berada di persimpangan jalan kebebasan dan pengekangan, ketaatan dan kenikmatan. Konflik dominasi tak ada ujungnya selama kedua sistem sosial enggan mengekang hasrat merepresi lawan jenis, baik Ptriarkhi maupun Matriakhi dapat dengan mudah diterapkan seadil-adilnya di suatu wilayah selagi rasa mengayomi dan rela untuk tidak membangkang ataupun bertindak sewenang-wenang demi tercapainya cita-cita memuliakan Sang Ibu. Seperti fenomena Matriarkhisme di tanah Minangkabau atau fenomena Patriarkhisme ekstrim di Pulau dewata.

Persaingan saling mendominasi memaksakan para ibu-ibu turut andil demi menunjukkan status sosial. Alih-alih memuntut kebebasan dan HAK,  ibu-ibu yang memiliki kesibukan di dunia kerja dan disibukkan oleh situasi yang memperalat di segala bidang justru jauh lebih tersiksa kendatipun mereka seringkali nyaman dan tenteram mendapatkan perlakuan tidak berprikemanusiaan dari masalah  pelecehan, hak cuti hamil dan melahirkan hingga nekat melakukan tindakan aborsi demi mematuhi peraturan kerja di perusahaan manapun. Moral ibu-ibu kini telah terpeleset dalam jurang “komodifikasi kaum hawa”. Cobalah para boss pemimpin perusahaan sesekali membasuh akal hingga jernih sebelum mengenakannya sebagai kacamata pandang, barangkali cara memandangi kaum ibu-ibu telah begitu teruk.

Di hari ibu, ada beberapa hal yang perlu dihayati kembali bahwa ibu atau istri merupakan pasangan hidup dengan kemampuan multitasking bahkan polymath dan jika tidak berlebihan mereka lebih hebat dari revolusi 4.0, istimewa, bukan ?. jadi sudahkah papa layak dan pantas mengampanyekan poligami, hak madu, hak pelakor, serta jajan-jajan yang papa simpan dibalik kantong celana. Papa seringkali khilaf tak tahu membedakan rasa nyaman dan rasa kagum dan papa terjebak pada permainan meninggalkan yang nyaman demi ia yang dikagumi. Papa egois tidak sayang mama pasti berdalih “Surga di bawah telapak kaki Ibu, Tuhan di bawah telapak sabda Papa”. Bisa jadi kejantanan, kekuatan, dan penyematan gelar imam pada-mu sebatas ilusi. jangan mudah ngiler, ingat ibu, Papa. Dampingi ibu menjadi altruis sejati. Hubungan kalian saling mempengaruhi, saling melindungi, dan menghormati serta setara dalam kebersamaan yang sempurna. Langit itu maskulin dan bumi adalah wanita; apapun yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah”. Pesan Rumi.

Emak-emak rempong, kini ada gelagat yang mendiskreditkan para ibu, memojokkannya menjadi manusia menyebalkan, menyusahkan, dan membuat anak pusing kepala karna ulah emak-emak rempong berdaster. Saat di jalan tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, ceriwis, shopaholic, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, emak-emak gemar mengadakan pengajian atau muslimatan di kampung-kampung bahkan nekat menaiki kendaraan/mobil tak beratap sembari mengadakan arisan dan saling adu fashion agar tak kalah gengsi walaupun dengan berhutang tanpa sepengetahuan suami. Sebaliknya, jika acara rutinan sekaliber muslimatan yang super-religius yang dihadiri mereka dengan hijabnya menyentuh mata kaki ditelisik secara sosioantropologis maka akan ditemukan titik optimistis dengan syarat acara muslimatan juga diiringi dengan penggalangan dana (fundraising) dengan tujuan terciptanya rasa empati dan berbelas kasihan kepada para anak jalanan baik yatim maupun diyatimkan, ibu-ibu yang berada di luar komunitasnya seperti, ibu-ibu janda single-parent, ibu-ibu buruh, ibu-ibu pelakor, dan bahkan ibu-ibu di pinggiran pelayan hidung belang.

 Memberdayakan, memberi modal dari hasil penggalangan dana di kegiatan muslimatan, dan keterampilan kepada mereka tentu lebih bermakna dari pada sebatas arisan, pamer fashion, dan make up. Setidaknya, acara muslimatan dapat membangkitkan semangat ibu-ibu di luat lingkaran muslimatan membangun ekonomi mandiri serta bermartabat. Tidak mengapa hidup kere/ngere (ngebangun ekonomi diri sendiri) gaya hidup tidak umum dan biasa-biasa saja justru lebih istimewa, Asal urusan finansial tidak menggantungkan pada suami orang atau menormalkan larangan Tuhan.  Sehingga, cita-cita menjadi ibu altruis abadi bukan sekedar cita-cita utopia dan mimpi siang bolong.

Terakhir, para ustadzah calon ibu (mahasiswi/non-mahasiswi) pengurus pesantren dimanapun berada. Dewasa ini, khalayak di luar sana berada pada titik nadir kedahagaan hendak meneguk bimbingan dari kalangan ustadzah yang sedang menempa diri, mengolah hati, dan dididik langsung (face to face) oleh kalangan Ning dan Bu Nyai keluarga para Kiai. Membentengi emak-emak muslimatan dari radiasi paham sektarian, komoditas empuk para politisi, adu domba media dakwah Ustadzah google, ustadzah Youtube, Ustadzah instagram, dan mendidik generasi muda. Sudah sepatutnya para Ustadzah berada di garda depan menegakkan, membela, melawan atau merayu seperti rayuan Syahrazad pada Sang raja mahajana Syahrazar mejadi kemayu dan urung membunuh dalam hikayat seribu satu malam.

Adakalanya, Ustadzah pengurus pesantren perlu lebih memfokuskan diri untuk mewaqafkan masa mudanya, kecantikannya, bersenang-senangnya, dan hasrat hidup glamournya demi ilmu dan mengayomi anak didik. Jangan sampai enggan membaca dan membeli buku namun merunduk dibawah melangitnya bandrol pakaian branded sekelas tuneeca terbaru, tas kosmopolitan, sepatu high heels, dan sebagainya.

 Bagai dua perempuan bersaudara dalam sejarah berdirinya Universitas pertama di dunia Al Qurawiyyin – pada masa dinasti Idrisiyah – oleh Fatimah Al Fihri, wanita bergelimang harta warisan dari mendiang ayahnya lebih tertarik mendedikasikan dirinya dengan cara gemilang mendirikan Unversitas beserta rekan adiknya Maryam Al Fihri. Beliau, fatimah dan maryam patut dijadikan tauladan di era milenial bersama perempuan hebat lainnya seperti Sya’wanah guru para Ulama’ di masanya, Benazir Bhutto, Cut Nyak Dien, dan Rahmah El Yunusiyah pejuang yang terlahir dari keluarga bersistem sosial Matriarkhat. Begitu banyak wanita muslim “Altruis” patut dijadikan suri tauladan bagi para Ustadzah kekinian dari Negri Andalusia hingga Negri Andalas.

Kalau boleh memberi saran. Menulislah. Jika tidak, menikahlah bagaimanapun keadaannya dan siapapun suami anda kelak. Anda akan segera menjadi seorang salik dan altruis abadi dadakan. Mohon, selamatkan hari ibu 22 Desember 2018, Ustadzah !

Ibu altruis, nyata ada di sekeliling kita, di rumah kita masing-masing.

Penulis : Salman Al-farisi (Pengurus aktif LPBA Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Maskulinitas (keheroikan) Sosok Ibu

Maskulinitas (Keheroikan) Sosok Ibu

Bertepatan tanggal 22 Desember, adalah tanggal diperingatinya hari ibu di Indonesia, Hari dimana Pahlawan yang jejaknya tak direkam sejarah, perjuangannya tak diabadikan buku-buku sekolah, dan namanya tak disejajarkan dengan deretan para pahlawan-pahlawan negara, ya beliaulah ibu kita tercinta, beliau adalah simbol nyata dari pengejawantahan cinta yang sebenarnya, beliau membuktikannya, bahwa cinta sejati tak lekang oleh masa itu benar adanya, teruntuk anak tercinta, asahnya seikhlas hujan, asihnya seluas lautan, asuhnya tak bisa di nominalkan, bahkan nyawanya sekalipun rela digadaikan demi kebahagian anak tersayang, tidak berlebihan kiranya kalimat diatas kami narasikan untuk menggambarkan kisah kasih sayangnya yang setara luas jagat raya.

Menjadi sebuah paradigma yang kurang pas ditengah peradaban kita hari ini, ada simplifikasi makna antara maskulin dan feminim, dimana kesalahfahaman pemaknaan istilah maskulin yang disamakan dengan makna lelaki dan juga istilah feminim yang diartikan sebagai perempuan, sebelum memahami dua variabel kata maskulin dan feminim tersebut kita harus terlebih dahulu bisa membedakan pengertian antara arti gender dan arti kelamin, karena secara terminologi keduanya sudah sangat jauh berbeda, secara sederhana kelamin adalah pembagiaan antara jantan (lelaki) dan betina (perempuan) yang ditentukan secara biologis oleh Allah dan tidak dapat diubah keberadaanya, berbeda dengan gender, gender sendiri merupakan tipologi karakter yang melekat pada lelaki dan perempuan serta di konstruk secara sosial maupun kultural, misalnya: ada gender maskulin (tegas, kuat dll) yang selalu identik dengan laki-laki dan ada yang feminim (lembut, halus, melayani dll) selalu identik dengan tipologi karakter perempuan.

Berlandaskan pengertian maskulin dan feminim diatas, kurang pas kiranya ketika kata feminim disamakan dan digelarkan kepada perempuan saja juga kata maskulin yang esensi terminologinya hanya dipersempit untuk lelaki saja, bukankah beratnya perjuangan seorang ibu untuk anaknya juga masuk dalam kategori tipologi karakter maskulin?. Serta apakah tidak masuk kategori feminim?, sifat mengayominya seorang bapak terhadap keluarga dan anak, serta tak jarang bapak yang tipologi karakternya penyabar. Kita sebagai manusia entah lelaki atau perempuan harus punya dua kualitas tipologi karakter sekaligus (maskulin dan feminim) agar hidup kita indah dan berirama, bayangkan saja jika semua manusia di dunia memiliki sifat feminim semua, pasti dunia akan sepi, sebaliknya jika semua manusia punya sifat maskulin semua, pasti dunia akan rusak dan hancur.

 

Sejarah Hari Ibu

Hampir semua Negara di belahan dunia mempunyai hari spesial untuk menghormati perjuangan mulia seorang ibu, hanya saja tiap Negara berbeda dalam hal tanggal pelaksanaannya, karena beberapa faktor historis yang melatar belakanginya. di negara-negara Eropa misalnya, hari ibu dilaksanakan pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, peringatan hari ibu jatuh pada pertengahan bulan Mei.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Hari Ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional, sejarah Hari Ibu di Indonesia dilatar belakangi dari pertemuan para pejuang wanita, dengan mengadakan Kongres Perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan (didirikan tahun 1912 yang diprakarsai oleh para pahlawan wanita abad-19 seperti Cut Nyak Dien, Cut  Mutiah, R.A Kartini, dkk), membentuk Kongres Perempuan yang dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres ini bisa dikatakan merupakan dampak dari peristiwa Sumpah Pemuda kepada kalangan wanita, Ada semacam semangat dan tanggung jawab untuk menyamakan derap dan tekad agar dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negara.  Presiden Soekarno kemudian menetapkannya melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga sekarang.

 

Keheorikan Perjuangannya

Tugas domestik ibu adalah sebagai istri dari suaminya dan juga sebagai ibu untuk anak-anaknya, jika kita mau sedikit mengingat, begitu sangat militan perjuangan, pengorbanan seorang ibu untuk buah hatinya, sedari mengandung, beliau menanggung berat beban bayi selama sembilan bulan diperutnya, susah dan tersiksa mau beraktivitas karena terganggu oleh perut buncitnya, belum lagi menahan sakitnya proses melahirkan yang sangat luar biasa bahkan bisa nyawa seorang ibu jadi taruhannya, saat sang bayi sudah lahir beliau dengan sabar mengurus, menyusui dari pagi, siang dan malam, mengasuh dan membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Beliau orang yang pertama kali mengajarkan kita berbicara, menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, dari rahimnya lahir penerus bangsa, dari didikannya ditentukan nasib bangsa dan negara.

Selain melaksanakan tugas domestiknya, tak jarang seorang ibu merangkap peran ganda dengan bekerja layaknya seorang ayah, karena berbagai faktor yang memaksanya, mayoritas realita ibu yang hidup di desa dengan kondisi ekonomi keluarga lemah dan berbagai faktor yang melatar  belakanginya, dengan penuh sukacita dan terpaksa, tak jarang seorang ibu yang bekerja menjadi petani, menjadi buruh bahkan tidak sedikit yang menjadi kuli, membantu suami untuk mencukupi nafkah anak-anaknya, sungguh heroik perjuangannya, hanya demi kebahagian dan kecerahan nasib anak-anaknya dimasa depan, beliau berani mengorbankan apa saja sekalipun nyawanya.

Jauh sebelum dunia menetapkan betapa pentingya menghargai jasa-jasanya, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik RA : الجنة تحت اقدام الامهات   yang artinya : “surga dibawah telapak kaki ibu”, Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia hingga seolah-olah surga yang begitu indah nan agung saja tidak lebih tinggi daripada seorang ibu, karena diibaratkan berada dibawah telapak kakinya. Kita semua tahu bahwa telapak kaki adalah bagian paling bawah atau rendah dari organ tubuh manusia. Namun maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak mungkin seorang anak bisa masuk surga tanpa ketundukan dan kepatuhan kepada ibunya. Sebagaimana Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah RA :

مَنْ أحَقُّ الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك

“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu  bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi,  siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi. Nabi kemudian menjawab, kemudian ayahmu.”

Bahkan dari saking harus dihormatinya seorang ibu, jika di ranking ibu menempati ranking satu sampai tiga (berdasarkan hadits diatas) dalam kategori manusia yang paling berhak dihormati, baru setelah itu bapak menempati harapan satu. tidakkah cukup untuk meyakinkan diri kita seorang uwais Al-Qarni, Syekh Abdul Qadir Al-jaelani dan ulama lainnya, yang diangkat derajatnya karena hormat dan takdzimnya kepada ibunya, Sudah selayaknya kita sebagai anak tidak perlu berpikir dua kali dan terlalu banyak teori untuk menghormatinya, melihat keheroikan perjuangannya yang tak bisa di angka, semua murni berlandaskan relasi cinta, serta ikhlas hanya demi anak-anaknya.

 

Penulis : Hamdan Mufidi (Pengurus Asrama Diniyah PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo)