Ibu, Sang Altruis Abadi
“Sebagai seorang wanita, saya memasuki rumah politik dengan dimensi tambahan – Seorang Ibu”. Benazir Bhutto
Ibu (Maha Karya Allah Azza Wa jalla) yang altruis biasanya bersikap untuk tidak mementingkan kepentingan dirinya pribadi. Tindakan-tindakan yang ia lakukan bisa berpusat pada alasan ingin selalu memajukan keluarga, dan ia sama sekali tidak mengharapkan imbalan apa pun untuk dirinya sendiri sehingga tidak terjebak pada “pengabdi amatiran”. Telah sekian lama perilaku “Altruis” menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan baik yang beragama maupun tak beragama bahkan yang memiliki prinsip tak bertuhan, oleh karena inilah sebuah tauladan sikap yang mulia. Perlu dicamkan, altruis bukanlah sebuah sikap yang mengorbankan diri sendiri ibarat lilin rela terbakar demi menerangi sekelilingnya namun rela berkorban, peduli, dan ikhlas. Sikap altruis mementingkan kesejahteraan keluarga dan kebersamaan.
Bukanlah Ibu altruis jika mengasumsikan dirinya sebagai obyek pasif dan tak berdaya bahkan terjerumus pada sikap inferior terhadap dirinya sendiri, manipulatif, dan tidak melakukan sebuah kebaikan dengan motivasi tersembunyi yang hanya bersumber kepada kepentingan pribadi. Altruis merupakan sikap positif yang juga berkaitan erat dengan integritas, kejujuran, dan rendah hati. Tanpa disadari ada peran Ilahiyyat dibalik sikap altruistik.
Ibu dalam bahasa arab disebut dengan ummun, ia terambil dari kata amma yaummu “sesuatu yang banyak dituju”. Bukankah seorang anak jika membutuhkan dan meminta sesuatu tanpa disadari dia akan menghampiri ibunya ?. ketergantungan seorang anak begitu besar pada ibu, sebab seorang anak pernah menjadi “alaqoh” segumpal darah yang kemudian berlanjut pada fase-fase berikutnya hingga tiba sembilan bulan. Oleh karenanya begitu besar keterikatan seorang anak pada ibunya.
Dalam Islam telah dijelaskan terang benderang betapa ibu memiliki dimensi menciptakan atau khaliqiyat atau mampu menciptakan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang yang dominan pada seorang ibu ini menjadi potensi besar untuk mendidik generasi, oleh karena itu awal dan permulaan pendidikan dalam sebuah masyarakat dimulai dari pernikahan dan keluarga bahkan jauh sebelum melangkahkan kaki menuju lorong penikahan, dengan demikian ibu memiliki tanggung jawab sentral (subjek) dalam keluarga bahkan masyarakat yaitu pertama, mendidik dirinya sendiri, kedua, mendidik anak-anaknya, dan ketiga jika perlu mendidik suaminya. Betapa besar peran ibu dalam mendidik sehingga Rasulullah tidak sedang menggombal saat beliau bersabda “Syurga berada di bawah telapak kaki ibu”. Tak diragukan lagi bahwa generasi-generasi brilian dalam semua dimensi kehidupan lahir dari ibu yang sukses mendidik penuh cinta dan kasih sayang, inilah salah satu rahasia mengapa Rasulullah bersabda demikian, Menakjubkan.
Betapapun kelamnya keadaan keluarga, lingkungan sekitar, dan semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat dunia dari masalah nasional, regional, dan internasional yang harus diselesaikan dengan bijaksana. Seorang ibu masih saja mampu menciptakan atmosfer surgawi bagi suami dan anak-anaknya hingga anak cucunya bahwa dunia masih anggun semampai sampai saat ini. Penulis tidak berlebihan mengasumsikan bahwa alam raya ini juga memiliki ketergantungan pada seorang ibu, ibu lebih istimewa dari pada surga dan seisinya. Tak dapat dibayangkan porak-porandanya alam raya bila ibu alpa akan peran luar biasanya.
Terlepas dari kelompok misoginis-sentimental, keberlangsungan konflik struktural-kultural dalam kehidupan sistem sosial antara Patriarkhi dan Matriarkhi, Feminin dan Maskulin genting untuk dibahas ulang di hari nan mulia – hari Ibu, sehingga tidak sebatas menjadi perayaan simbolis dan fiktif, nyatanya seorang ibu di abad milenial berada di persimpangan jalan kebebasan dan pengekangan, ketaatan dan kenikmatan. Konflik dominasi tak ada ujungnya selama kedua sistem sosial enggan mengekang hasrat merepresi lawan jenis, baik Ptriarkhi maupun Matriakhi dapat dengan mudah diterapkan seadil-adilnya di suatu wilayah selagi rasa mengayomi dan rela untuk tidak membangkang ataupun bertindak sewenang-wenang demi tercapainya cita-cita memuliakan Sang Ibu. Seperti fenomena Matriarkhisme di tanah Minangkabau atau fenomena Patriarkhisme ekstrim di Pulau dewata.
Persaingan saling mendominasi memaksakan para ibu-ibu turut andil demi menunjukkan status sosial. Alih-alih memuntut kebebasan dan HAK, ibu-ibu yang memiliki kesibukan di dunia kerja dan disibukkan oleh situasi yang memperalat di segala bidang justru jauh lebih tersiksa kendatipun mereka seringkali nyaman dan tenteram mendapatkan perlakuan tidak berprikemanusiaan dari masalah pelecehan, hak cuti hamil dan melahirkan hingga nekat melakukan tindakan aborsi demi mematuhi peraturan kerja di perusahaan manapun. Moral ibu-ibu kini telah terpeleset dalam jurang “komodifikasi kaum hawa”. Cobalah para boss pemimpin perusahaan sesekali membasuh akal hingga jernih sebelum mengenakannya sebagai kacamata pandang, barangkali cara memandangi kaum ibu-ibu telah begitu teruk.
Di hari ibu, ada beberapa hal yang perlu dihayati kembali bahwa ibu atau istri merupakan pasangan hidup dengan kemampuan multitasking bahkan polymath dan jika tidak berlebihan mereka lebih hebat dari revolusi 4.0, istimewa, bukan ?. jadi sudahkah papa layak dan pantas mengampanyekan poligami, hak madu, hak pelakor, serta jajan-jajan yang papa simpan dibalik kantong celana. Papa seringkali khilaf tak tahu membedakan rasa nyaman dan rasa kagum dan papa terjebak pada permainan meninggalkan yang nyaman demi ia yang dikagumi. Papa egois tidak sayang mama pasti berdalih “Surga di bawah telapak kaki Ibu, Tuhan di bawah telapak sabda Papa”. Bisa jadi kejantanan, kekuatan, dan penyematan gelar imam pada-mu sebatas ilusi. jangan mudah ngiler, ingat ibu, Papa. Dampingi ibu menjadi altruis sejati. Hubungan kalian saling mempengaruhi, saling melindungi, dan menghormati serta setara dalam kebersamaan yang sempurna. “Langit itu maskulin dan bumi adalah wanita; apapun yang dimasukkan ke dalamnya menghasilkan buah”. Pesan Rumi.
Emak-emak rempong, kini ada gelagat yang mendiskreditkan para ibu, memojokkannya menjadi manusia menyebalkan, menyusahkan, dan membuat anak pusing kepala karna ulah emak-emak rempong berdaster. Saat di jalan tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, ceriwis, shopaholic, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, emak-emak gemar mengadakan pengajian atau muslimatan di kampung-kampung bahkan nekat menaiki kendaraan/mobil tak beratap sembari mengadakan arisan dan saling adu fashion agar tak kalah gengsi walaupun dengan berhutang tanpa sepengetahuan suami. Sebaliknya, jika acara rutinan sekaliber muslimatan yang super-religius yang dihadiri mereka dengan hijabnya menyentuh mata kaki ditelisik secara sosioantropologis maka akan ditemukan titik optimistis dengan syarat acara muslimatan juga diiringi dengan penggalangan dana (fundraising) dengan tujuan terciptanya rasa empati dan berbelas kasihan kepada para anak jalanan baik yatim maupun diyatimkan, ibu-ibu yang berada di luar komunitasnya seperti, ibu-ibu janda single-parent, ibu-ibu buruh, ibu-ibu pelakor, dan bahkan ibu-ibu di pinggiran pelayan hidung belang.
Memberdayakan, memberi modal dari hasil penggalangan dana di kegiatan muslimatan, dan keterampilan kepada mereka tentu lebih bermakna dari pada sebatas arisan, pamer fashion, dan make up. Setidaknya, acara muslimatan dapat membangkitkan semangat ibu-ibu di luat lingkaran muslimatan membangun ekonomi mandiri serta bermartabat. Tidak mengapa hidup kere/ngere (ngebangun ekonomi diri sendiri) gaya hidup tidak umum dan biasa-biasa saja justru lebih istimewa, Asal urusan finansial tidak menggantungkan pada suami orang atau menormalkan larangan Tuhan. Sehingga, cita-cita menjadi ibu altruis abadi bukan sekedar cita-cita utopia dan mimpi siang bolong.
Terakhir, para ustadzah calon ibu (mahasiswi/non-mahasiswi) pengurus pesantren dimanapun berada. Dewasa ini, khalayak di luar sana berada pada titik nadir kedahagaan hendak meneguk bimbingan dari kalangan ustadzah yang sedang menempa diri, mengolah hati, dan dididik langsung (face to face) oleh kalangan Ning dan Bu Nyai keluarga para Kiai. Membentengi emak-emak muslimatan dari radiasi paham sektarian, komoditas empuk para politisi, adu domba media dakwah Ustadzah google, ustadzah Youtube, Ustadzah instagram, dan mendidik generasi muda. Sudah sepatutnya para Ustadzah berada di garda depan menegakkan, membela, melawan atau merayu seperti rayuan Syahrazad pada Sang raja mahajana Syahrazar mejadi kemayu dan urung membunuh dalam hikayat seribu satu malam.
Adakalanya, Ustadzah pengurus pesantren perlu lebih memfokuskan diri untuk mewaqafkan masa mudanya, kecantikannya, bersenang-senangnya, dan hasrat hidup glamournya demi ilmu dan mengayomi anak didik. Jangan sampai enggan membaca dan membeli buku namun merunduk dibawah melangitnya bandrol pakaian branded sekelas tuneeca terbaru, tas kosmopolitan, sepatu high heels, dan sebagainya.
Bagai dua perempuan bersaudara dalam sejarah berdirinya Universitas pertama di dunia Al Qurawiyyin – pada masa dinasti Idrisiyah – oleh Fatimah Al Fihri, wanita bergelimang harta warisan dari mendiang ayahnya lebih tertarik mendedikasikan dirinya dengan cara gemilang mendirikan Unversitas beserta rekan adiknya Maryam Al Fihri. Beliau, fatimah dan maryam patut dijadikan tauladan di era milenial bersama perempuan hebat lainnya seperti Sya’wanah guru para Ulama’ di masanya, Benazir Bhutto, Cut Nyak Dien, dan Rahmah El Yunusiyah pejuang yang terlahir dari keluarga bersistem sosial Matriarkhat. Begitu banyak wanita muslim “Altruis” patut dijadikan suri tauladan bagi para Ustadzah kekinian dari Negri Andalusia hingga Negri Andalas.
Kalau boleh memberi saran. Menulislah. Jika tidak, menikahlah bagaimanapun keadaannya dan siapapun suami anda kelak. Anda akan segera menjadi seorang salik dan altruis abadi dadakan. Mohon, selamatkan hari ibu 22 Desember 2018, Ustadzah !
Ibu altruis, nyata ada di sekeliling kita, di rumah kita masing-masing.
Penulis : Salman Al-farisi (Pengurus aktif LPBA Pondok Pesantren Nurul Jadid)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!