Maskulinitas (keheroikan) Sosok Ibu

Maskulinitas (Keheroikan) Sosok Ibu

Bertepatan tanggal 22 Desember, adalah tanggal diperingatinya hari ibu di Indonesia, Hari dimana Pahlawan yang jejaknya tak direkam sejarah, perjuangannya tak diabadikan buku-buku sekolah, dan namanya tak disejajarkan dengan deretan para pahlawan-pahlawan negara, ya beliaulah ibu kita tercinta, beliau adalah simbol nyata dari pengejawantahan cinta yang sebenarnya, beliau membuktikannya, bahwa cinta sejati tak lekang oleh masa itu benar adanya, teruntuk anak tercinta, asahnya seikhlas hujan, asihnya seluas lautan, asuhnya tak bisa di nominalkan, bahkan nyawanya sekalipun rela digadaikan demi kebahagian anak tersayang, tidak berlebihan kiranya kalimat diatas kami narasikan untuk menggambarkan kisah kasih sayangnya yang setara luas jagat raya.

Menjadi sebuah paradigma yang kurang pas ditengah peradaban kita hari ini, ada simplifikasi makna antara maskulin dan feminim, dimana kesalahfahaman pemaknaan istilah maskulin yang disamakan dengan makna lelaki dan juga istilah feminim yang diartikan sebagai perempuan, sebelum memahami dua variabel kata maskulin dan feminim tersebut kita harus terlebih dahulu bisa membedakan pengertian antara arti gender dan arti kelamin, karena secara terminologi keduanya sudah sangat jauh berbeda, secara sederhana kelamin adalah pembagiaan antara jantan (lelaki) dan betina (perempuan) yang ditentukan secara biologis oleh Allah dan tidak dapat diubah keberadaanya, berbeda dengan gender, gender sendiri merupakan tipologi karakter yang melekat pada lelaki dan perempuan serta di konstruk secara sosial maupun kultural, misalnya: ada gender maskulin (tegas, kuat dll) yang selalu identik dengan laki-laki dan ada yang feminim (lembut, halus, melayani dll) selalu identik dengan tipologi karakter perempuan.

Berlandaskan pengertian maskulin dan feminim diatas, kurang pas kiranya ketika kata feminim disamakan dan digelarkan kepada perempuan saja juga kata maskulin yang esensi terminologinya hanya dipersempit untuk lelaki saja, bukankah beratnya perjuangan seorang ibu untuk anaknya juga masuk dalam kategori tipologi karakter maskulin?. Serta apakah tidak masuk kategori feminim?, sifat mengayominya seorang bapak terhadap keluarga dan anak, serta tak jarang bapak yang tipologi karakternya penyabar. Kita sebagai manusia entah lelaki atau perempuan harus punya dua kualitas tipologi karakter sekaligus (maskulin dan feminim) agar hidup kita indah dan berirama, bayangkan saja jika semua manusia di dunia memiliki sifat feminim semua, pasti dunia akan sepi, sebaliknya jika semua manusia punya sifat maskulin semua, pasti dunia akan rusak dan hancur.

 

Sejarah Hari Ibu

Hampir semua Negara di belahan dunia mempunyai hari spesial untuk menghormati perjuangan mulia seorang ibu, hanya saja tiap Negara berbeda dalam hal tanggal pelaksanaannya, karena beberapa faktor historis yang melatar belakanginya. di negara-negara Eropa misalnya, hari ibu dilaksanakan pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Thailand, Hong Kong, peringatan hari ibu jatuh pada pertengahan bulan Mei.

Sedangkan di Indonesia sendiri, Hari Ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional, sejarah Hari Ibu di Indonesia dilatar belakangi dari pertemuan para pejuang wanita, dengan mengadakan Kongres Perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan (didirikan tahun 1912 yang diprakarsai oleh para pahlawan wanita abad-19 seperti Cut Nyak Dien, Cut  Mutiah, R.A Kartini, dkk), membentuk Kongres Perempuan yang dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres ini bisa dikatakan merupakan dampak dari peristiwa Sumpah Pemuda kepada kalangan wanita, Ada semacam semangat dan tanggung jawab untuk menyamakan derap dan tekad agar dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negara.  Presiden Soekarno kemudian menetapkannya melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga sekarang.

 

Keheorikan Perjuangannya

Tugas domestik ibu adalah sebagai istri dari suaminya dan juga sebagai ibu untuk anak-anaknya, jika kita mau sedikit mengingat, begitu sangat militan perjuangan, pengorbanan seorang ibu untuk buah hatinya, sedari mengandung, beliau menanggung berat beban bayi selama sembilan bulan diperutnya, susah dan tersiksa mau beraktivitas karena terganggu oleh perut buncitnya, belum lagi menahan sakitnya proses melahirkan yang sangat luar biasa bahkan bisa nyawa seorang ibu jadi taruhannya, saat sang bayi sudah lahir beliau dengan sabar mengurus, menyusui dari pagi, siang dan malam, mengasuh dan membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Beliau orang yang pertama kali mengajarkan kita berbicara, menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya, dari rahimnya lahir penerus bangsa, dari didikannya ditentukan nasib bangsa dan negara.

Selain melaksanakan tugas domestiknya, tak jarang seorang ibu merangkap peran ganda dengan bekerja layaknya seorang ayah, karena berbagai faktor yang memaksanya, mayoritas realita ibu yang hidup di desa dengan kondisi ekonomi keluarga lemah dan berbagai faktor yang melatar  belakanginya, dengan penuh sukacita dan terpaksa, tak jarang seorang ibu yang bekerja menjadi petani, menjadi buruh bahkan tidak sedikit yang menjadi kuli, membantu suami untuk mencukupi nafkah anak-anaknya, sungguh heroik perjuangannya, hanya demi kebahagian dan kecerahan nasib anak-anaknya dimasa depan, beliau berani mengorbankan apa saja sekalipun nyawanya.

Jauh sebelum dunia menetapkan betapa pentingya menghargai jasa-jasanya, Rasulullah SAW telah meletakkan dasar teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik RA : الجنة تحت اقدام الامهات   yang artinya : “surga dibawah telapak kaki ibu”, Hadits tersebut menegaskan bahwa seorang ibu memiliki kedudukan yang mulia hingga seolah-olah surga yang begitu indah nan agung saja tidak lebih tinggi daripada seorang ibu, karena diibaratkan berada dibawah telapak kakinya. Kita semua tahu bahwa telapak kaki adalah bagian paling bawah atau rendah dari organ tubuh manusia. Namun maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak mungkin seorang anak bisa masuk surga tanpa ketundukan dan kepatuhan kepada ibunya. Sebagaimana Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah RA :

مَنْ أحَقُّ الناس بِحُسْن صَحابتي ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أمُّك، قال : ثم مَنْ ؟ قال : أبُوك

“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulillah SAW. Orang itu  bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi,  siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu  bertanya lagi. Nabi kemudian menjawab, kemudian ayahmu.”

Bahkan dari saking harus dihormatinya seorang ibu, jika di ranking ibu menempati ranking satu sampai tiga (berdasarkan hadits diatas) dalam kategori manusia yang paling berhak dihormati, baru setelah itu bapak menempati harapan satu. tidakkah cukup untuk meyakinkan diri kita seorang uwais Al-Qarni, Syekh Abdul Qadir Al-jaelani dan ulama lainnya, yang diangkat derajatnya karena hormat dan takdzimnya kepada ibunya, Sudah selayaknya kita sebagai anak tidak perlu berpikir dua kali dan terlalu banyak teori untuk menghormatinya, melihat keheroikan perjuangannya yang tak bisa di angka, semua murni berlandaskan relasi cinta, serta ikhlas hanya demi anak-anaknya.

 

Penulis : Hamdan Mufidi (Pengurus Asrama Diniyah PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *