Memorandum Maulid Nabi Muhammad Saw; Pesan Perdamaian Negeri Ibu Pertiwi
1441 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah jerit tangis manusia paling mulia di muka bumi pertama kali menggema menyapa bumi. Pada hari itu adalah hari dilahirkannya seorang pionir islam yang nama dan jasanya akan dikenang sampai kapanpun. Manusia itu bernama Muhammad bin Abdillah. Sehingga, sejak saat dan hari itu sampai saat ini ditandai sebagai hari diperingatinya kelahiran Nabi Muhammad SAW atau lebih familiar disebut dengan Maulid Nabi oleh umat Islam diseluruh penjru dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Dalam hal kajian asal usul awal mula peringatan maulid ini, tokoh pengkaji Islam dari Universitas Leiden Belanda, Noco Kptein dalam riset disertasinya mengenai Maulid Nabi dengan mengambil rujukan kitab Tarikh al-Ihtifal bi al-Mauli al-Nabawiy Karya Imam al-sandubi menyimplkan bahwa bahwa peringatan maulid ini pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, tepatnya pada masa pemerintahan al-Mu’izz li Dinillah yang berkuasa pada pertengahan abad X Masehi (953-975 M). sedangkan di kalangan Sunni, berdasrkan catatan pakar sejarah, peringatan maulid pertama kali digelar oleh penguasa Suriah, Sultan Attabiq Nuruddin (w. 575 H). Pada masa itu, Maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan syair-syair yang berisi pemujaan terhadap raja (ode) dan sangat kental nuansa politiknya. Peringatan Maulid pernah dilarang pada masa pemerintahan al-Afdhal Amirul Juyusy, karena dianggap sebagai bid’ah yang terlarang. Kemudian pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi, tradisi ini dihidupkan kembali. Bagi sebagian kalangan, Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah orang pertama yang mengadakan perayaan maulid nabi. Hal ini bisa benar jika yang dimaksud adalah yang pertama, yaitu menghidupkan kembali tradisi yang telah mati dan sama sekali bukan untuk kepentingan politik.
Terlepas dari catatan sejarah yang masih abu-abu mengenai peletak pertama kali dirayakannya maulid Nabi, bahwa ada hal yang sebenarnya perlu kita selami dari peringatan tahunan ini yaitu pengejawentahan nilai-nilai Maulid Nabi ini dengan dimaknai dengan spirit aktualisasi visi Islam //rahmatan li al-‘alamin// (agama cinta dan kasih sayang bagi semesta raya). Spirit ini meniscayakan sistem peradaban dan hidup yang disemai dengan perdamaian, harmoni, dan penuh toleransi karena eksistensi dan substansi ajarannya adalah ajaran salam (damai, harmoni), penuh toleransi, dan antikonfrontasi yang akhir-akhir ini mulai tercemar nilai-nilai tersebut dengan hegemoni kontestasi politik dan konfrontasi antar ras beragama yang mewarnai kusamnya negeri Ibu pertiwi. Karena itu, pesan damai dan harmoni dalam Maulid Nabi SAW sangat penting dikontekstualisasikan dan diaktualisasikan dengan nalar dan sikap kebangsaan, kebinekaan, persatuan, dan keutuhan NKRI.
Kelahiran Nabi SAW pada Rabiul Awal (musim semi) yang sarat dengan simbol keindahan dan kedamaian. Karena musim semi di banyak negara, khususnya Timur Tengah, merupakan musim yang indah dan sangat dirindukan. Saat kelahiran Nabi SAW, yang dikenal dengan Tahun Gajah, tindak konfrontatif dan agresif terjadi, dilakukan oleh tentara gajah yang dipimpin Raja Abrahah. Namun, dengan nalar harmoni, kakek Nabi, Abdul Mutallib, menghadapinya dengan damai dan secara dialogis. “Jika harta benda yang kalian inginkan, kami tidak memiliki apa-apa. Namun, jika kalian hendak menghancurkan Ka’bah, ketahuilah bahwa ia ada yang menjaganya (Allah),” kata Abdul Mutallib,
Dengan kepongahan dan kesombongannya, tentara gajah itu bersikeras melakukan konfrontasi pada Ka’bah karena rasa iri sebab ramainya umat yang berkunjung dan melakukan transaksi bisnis di sekitarnya, sementara “Ka’bah palsu” yang dibuatnya sepi pengunjung. Sikap dan tindakan ageresif ini kemudian dihentikan oleh “tentara langit” (burung Ababil) yang membawa batu dan melemparinya yang dapat menghancurkan tentara gajah seperti daun-daun yang dimakan ulat (QS al-Fil [105]: 1-5).
Jadi, peristiwa Maulid Nabi SAW pada Tahun Gajah sangat sarat pesan perdamaian kepada pasukan yang hendak menghancurkan rumah suci, Ka’bah. Nalar damai dan harmoni yang ditawarkan Abdul Mutallib itu sesungguhnya menyediakan ruang kebajikan dan kerendahhatian dengan tidak melampiaskan kedengkian dengan tindak kekerasan. M Bassam Rushdi al-Zayn dalam The Prophet’s School: Lessons & Lights (2002), mendeklarasikan, bahwa semua rasul yang diutus adalah mengemban misi pendidikan dengan membawa nilai-nilai kasih sayang, perdamaian, dan kebajikan, tak terkecuali nabi akhir zaman. Afirmasi Nabi Muhammad SAW sendiri mendeklarasikan bahwa “Aku diutus oleh Allah sebagai pendidik” (HR Malik); dan “Aku diutus sebagai bukan pelaknat, melainkan penebar rahmat” (HR Muslim).
Kesuksesan Nabi Muhammad SAW mengubah masyarakat jahiliyah yang dikenal keras kepala dan berkultur kekerasan bertransformasi menjadi masyarakat madani yang beradab, antara lain, karena visi dakwah dan pendidikannya damai, tidak berorientasi kekerasan. Islam yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW adalah agama perdamaian. Akidah tauhid yang menjadi fondasi ajaran Islam juga mengajarkan keyakinan bahwa Allah itu Maha damai (as-Salam).Ketika bertemu dan berinteraksi dengan sesama Muslim, identitas dan doa utama yang sangat dianjurkan adalah menebar senyum dan salam “Assalamu’alaikum” (semoga kedamaian dan keselamatan dilimpahkan kepada kalian).
Nabi Muhammad SAW sendiri digelari sebagai nabiyyu ar-rahmah wa Rasul as-Salam (Nabi sang pembawa ajaran kasih sayang, dan utusan Allah penyeru perdamaian). Pesan perdamaian yang dibawa Nabi sejatinya kunci pembuka surga Allah, kampung akhirat yang penuh damai. Beliau bersabda, “Tebarkan perdamaian, berilah makan kepada fakir miskin, sambungkanlah tali silaturahim dan shalatlah (di waktu malam) di saat kebanyakan orang tidur, niscaya kalian dimasukkan ke dalam surga Tuhan kalian, Dar as-Salam (kampung kedamaian) (HR Muslim).
Karena itu, indikator keberislaman seseorang itu diukur dengan sikap damai dan harmoninya terhadap orang lain. Orang Islam itu adalah orang yang membuat orang lain hidup damai dn selamat dari tutur kata dan perbuatan tangannya.” (HR Muslim). Pesan damai Maulid Nabi SAW adalah pesan universal dan aktual yang sangat urgen diimplementasikan kedalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pesan damai, harmoni, dan integrasi dari Maulid Nabi SAW tersebut sangat penting diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan dan keumatan padasaat ini.
Kemerdekaan dan persatuan bangsa ini dapat diraih dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa dan raga warga bangsa yang mayoritas Muslim dengan sangat mahal. Karena itu, NKRI sebagai negeri perjanjian dan pembuktian aktualisasi pesan damai, harmoni, dan integrasi harus dijaga dan dipertahankan. Pembuktian pesan damai itu harus dimulai dengan penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap siapapun yang bertindak intoleran, kekerasan, teror, dan mengancam ideologi negara dan NKRI. Dengan demikian, momentum Maulid Nabi SAW hendaknya dimaknai dalam rangka peneguhan sikap dan aktualisasi nilai-nilai perdamaian, apresiasi terhadap kebinekaan, perbedaan pendapat dan keyakinan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tanpa ada pelanggaran HAM, penistaan antar umat beragama, intolerasi antar umat beragama dan penjarahan kekayaan bangsa melalui korupsi berjamaah.
Terakhir, bahwa titik tumpu beberapa paragraf diatasadalah bagimana pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW ini harus diwujudkan melalui cara berfikir, bersikap dan berperilaku keberagamaan yang santun, rukun, toleran, saling menghormati, dan menerima perbedaan keyakinan. Sebab, Tanpa nalar damai, harmoni, integrasi, dan budaya toleransi yang madani, bangsa ini akan mengalami stagnansi atau bahkan dekadensi dan kembali ke era penjajahan, sehingga mengalami disintegrasi yang destruktif dan kontraproduktif.
Melalui pesan damai dalam Maulid Nabi Muhammad SAW, kita perlu mengambil pelajaran penting dari berbagai konfrontasi dan perang berkepanjangan di Irak, Suriah, Yaman, dan sebagainya yang membuat negeri mereka porak-poranda dan hidup sengsara. Perdamaian itu memang tidak murah karena mengharuskan kita memiliki komitmen kuat menjaga hati yang damai dan harmoni yang tentunya harus dimulai dari diri kita sendiri. Tanpa hati yang damai, maka perdamaian dan harmoni hanya akan menjadi angan belaka.
Penulis : Ilfan Tufail (Pengurus Asrama Diniyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!