Pos

Pilpres dan Fenomena Post Truth

Pilpres dan Fenomena Post Truth

Di tengah maraknya berita-berita hoax, diperparah lagi dengan makin leluasanya setiap pengguna media sosial (Medsos) mengupload, mengolah, menggoreng, mempublikasikan informasi seenaknya sendiri seolah-seolah makin membuat kabur mana kebenaran dan mana kebohongan. Kebenaran dan kebohongan seperti menjadi satu, membaur saling menerima sekaligus menegasi, menolak sebagian sekaligus menerima bagian yang lain. Bahkan yang lebih ekstrim, sebuah kebohongan dibalik seolah sebuah kebenaran, dan diterima sebagai kebenaran, sementara kebenaran tenggelam dianggap sebuah kebohongan. Setiap orang memiliki kuasa untuk mengatur kebenarannya sendiri sehingga apa yang diinformasikan di tengah-tengah publik diyakini sebuah kebenaran. Persoalannya kemudian bagaimana kebenaran dan kebohongan bekerja di tengah-tengah publik sehingga ia menguasai setiap orang. Konsumen informasi medsos seakan tidak perlu lagi menelusuri dan mengidentifikasi lebih jauh kebenaran atau kebohongan yang sesungguhnya?.

Era Pasca Kebenaran

Menurut teori korespondensi, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang sesuai dan berkorespondensi dengan kenyataan (reality). Sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan dianggap sebuah kebohongan. Artinya kebenaran merupakan sebuah realita, ia bukan anggapan, opini, isu dan bukan pula wacana. Ia adalah kenyataan sejarah, bukan impian dan bukan pula masa depan. Ia memiliki landasan empirik, sebuah perjalanan masa lalu yang berangkat dari fakta-fakta emperis. Oleh karenanya kebenaran dapat diukur, diuji, diverifikasi karena sifatnya objekif. Sebaliknya jika sesuatunya tidak memiliki landasan empirik, hanya berupa informasi-informasi liar yang tidak mempunyai sejarah, maka ia dapat dipahami sebagai kebohongan. Keduanya, kebenaran dan kebohongan, belakangan saling menguat dan mengklaim dirinya sebagai kebenaran.

Ajang pilkada, pilgub, pilpres dan pil-pil yang lain menemukan momentumnya untuk bertarung di tengah semrawutnya kebenaran dan kebohongan. Masing-masing Pasangan Calon (Paslon) mendapatkan angin segar untuk membuat kebenarannya masing-masing. Antara satu dengan yang lain saling mengklaim sebagai yang benar. Serang-menyerang, mencemooh, membuli, bahkan mengakfirkan antar Paslon menjadi sebuah pemandangan dan suguhan sehari-sehari. Masyarakat pun semakin bingung mana sebenarnya informasi yang benar dan yang bohong tentang masing-masing Paslon. Di tengah sulitnya membedakan keduaya (kebenaran dan kebohongan), pada akhirnya “kebenaran semu” dalam menjadi sebuah proyek. Artinya setiap paslon berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan masyarakat meyakini apa yang diinformasikan dan apa yang dilakukan adalah sebuah kebenaran. Akhirnya citra positif di depan publik menjadi proyek utama untuk mempengaruhi dan menyakinkan publik bahwa ia sebagai yang benar, yang lain adalah salah. Sekalipun kerja-kerja pencitraan juga merupakan kebohongan yang dibungkus seolah sebagai kebenaran.

Dalam momentum seperti ini fakta senyatanya tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding dengan emosi dan keyakinan personal, itulah yang disebut fenomena post truth. Sebuah era pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing sedemikian rupa dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus bersaing dengan media sosial yang semakin mengaburkan antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan non fiksi.

Oleh karenanya, yang diperebutkan oleh Paslon adalah hati masyarakat dengan pendekatan yang bersifat primordial-emosional dari pada pendekatan yang rasional. Sehingga menjadi wajar kemudian jika penggunaan isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagai instrumen politik yang paling ampuh untuk menjual serta meningkatkan elektabilitas Paslon tertentu. Sebab isu tersebut sangat dekat dengan emosi setiap orang dan sangat sensistif karena bersentuhan langsung dengan personal seseorang. Sehingga isu SARA tetap menjadi alat politik yang paling seksi yang dapat memancing hati calon pemilih. Lihat saja misalnya sejak terjadinya Pilpres 2014 hingga sekarang isu yang paling seksi dan trend adalah isu yang berkaitan dengan SARA.

Maka dari itu, penggunaan media sosial dirasa memiliki  efektif untuk menggerakkan, mengarahkan seseorang pada pilihan Paslon tertentu. Makanya tidak heran jika Medsos menjadi makhluk baru yang paling berkuasa belakangan. Kebebasan menyampaikan opini, informasi dan berita dan sebagainya satu sisi bernilai positif untuk mengawal kekuasaan dan proses demokrasi, tapi pada sisi lain sangat merusak dan mengganggu stabilitas kekuasaan. Berangkat dari hal itu, Jurgen Habermas, Filsuf Jerman, pernah mengatakan bahwa konektifitas media sosial (Medsos) akan mengganggu stabilitas penguasa otoriter, tapi juga akan mengikis kepercayaan publik pada demokrasi. Medsos bisa berperan membuka ruang demokrasi dan pluralisme secara global serta menghubungkan orang-orang agar suara mereka didengar. Sebaliknya medsos juga bisa menjadi ancaman bagi tegaknya demokrasi dan pluralisme.

Di Rusia misalnya, Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya seperti Ukhraina, Perancis dan Jerman. Bahkan kemenangan Donal Trump disinyalir karena kampanye hitam lewat medsos. Termasuk kemenangan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte yang disinyalir membuat keyboard army untuk menyebarluaskan narasi palsu dan lain sebagainya. Pada posisi ini, orang tidak lagi melihat kebenaran dengan mengonfirmasi fakta, tapi lebih dipengaruhi opini yang berkembang. Pada akhirnya siapa yang mampu memerankan dan mengendalikan opini publik ia akan menjadi penguasa bahkan menentukan kebenaran. kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta-fakta, melainkan ditentukan oleh siapa media sosial digerakkan dan dikuasai. Ujungnya masyarakat akan tersegmentasi pada kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan kecendrungan dan kedekatan emosionalnya. Kedekatan emosional biasanya ditentukan oleh hal-hal primordial seperti paham keagamaan atau agama, golongan, daerah, ras dan suku bangsa. Dengan demikian ancaman berikutnya adalah pluralsime. Yakni, perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masyarakat tidak lagi dipelihara dan dijaga sebagai kekayaan dengan membangun toleransi dan kesalingpengertian tapi dibikin ektrim agar saling memisah dan berhadap-hadapan hanya untuk merebut suara masyarakat. Atara satu golongan dibenturkan dengan golongan yang lain, dengan memperuncing perbedaan dari pada mencari persamaan.

Pada level ini, informasi yang diolah dan dikemas sedemikan rupa lambat laun mengikis kesadaran dan daya kritis masyarakat. Opini publik yang menguasai masyarakat apakah berupa kebenaran atau sebaliknya kebohongan, penipuan maupun fiktif dengan tanpa sadar diterima dan dipercaya sebagai kebenaran. Hilangnya kesadaran dan daya kritis inilah sebagai penanda keberhasilan medsos yang menyebarkan berita propaganda dalam mengontrol pikiran bahkan kesadaran seseorang. Inilah era post truth, sebuah fase pasca kebenaran.

Penulis: Ainul Yakin, Dosen UNUJA, Pegiat di Community of Critical Sosial Research (Commics) Probolinggo.

Terorsime dan Bahaya Laten Korupsi

Terorsime dan Bahaya Laten Korupsi

Ada yang luput dari perhatian kita tentang munculnya terorisme. Selama ini kita teralalu fokus pada kejahatan terorisme dengan pendekatan logika hukum yang sifatnya represif. Hingga seolah-seolah perlu hukuman dan penanggulangan terorisme ektraketat. Dengan bangunan logika tersebut terorismedi bayangkan akan musnah. Sementara pada sisi lain tidakan korupsi makin merajalela dan menjadi-jadi bahkan pola tindakan koruptor pun semakin canggih. Jika kita konsisten dengan asumsi dan logika yang dibangun sejak awal, bahwa munculnya terorisme adalah akibat terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial di masyarakat.  Singkatnya terorisme lahir akibat dari ketikdakadilan social. Sebenarnya yang tidak kalah bahayanya adalah tidakan korupsi. Korupsi yang hanya menguntungkan pihak tertentu setidaknya  telah  berkontribusi besar adanya ketimpangan di masyarakat.

Sebagaimana kita disadari bersama bahawa korupsi merupakan  tindakan yang sudah membudaya dan mendarah daging di negeri ini. Bahkan di semua lapisan dan instasi pemerintah pernah tersandung yang namanya kejahatan korupsi. Kejahatan tersebut seolah menjadi lingakran setan yang sangat sulit dicari pangkal dan ujungnya. Antara satu bagian berjalin kelindan dengan bagian yang lain. Hingga mencari akarnya pun perkara yang tidak mudah. Hingga yang terjadi bukan menyembuhkan penyakit korupsi tapi meraba-meraba mencoba mencari obat yang ampuh untuk mengobati penyakit tersebut. Akhirnya yang terjadi bukan memulihkan tapi asal tebang.

Bahaya Korupsi

Sepintas, seolah-seolah bahaya korupsi tidak sejahat terorisme. Hanya karena korban kejatan tersebut tidak bersentuhan langsung dengan fisik atau nyawa seseorang. Beda halnya dengan teroris yang korbannya langsung besentuhan dengan fisik dan  nyawa. Secara manefes hal tersebut bisa dibenarkan.  Namun secara laten koruspsi lebih berbahaya dan labih menyikasa  sebab korbannya dibunuh secara pelan-pelan, semacam pembuhuna secara mutilasi. Korban korupsi dibunuh organ-orannya sedikit demi sedikit dan satu persatu, tidak dibunuh sekaligus. Beda dengan korban terorisme yang langsung menghilangkan nyawa sesorang.

Sebut saja misalnya, korupsi di bindang anggaran pendidikan, yang mestinya anggaran tersebut jatahnya untuk masyarakat miskin, tapi karena dikorupsi maka anggaran tersebut tidak sampai kepada yang berhak. Hingga yang terjadi adalah hilangnya akses masyarakat terhadap pendidikan. Maka jangan heran, jika banyak orang yang tidak mampu secara ekonomi akhirnya  putus sekolah, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak seperti yang dinikmati oleh orang yang berada. Akibat  putus sekolah, tentu saja tidak punya wawasan dan keterampilan, sehingga menjadi pengangguran di masyarakat.  Jika pengangguran makin banyak maka kemiskinan menjadi meningkat. Walhasil, akibatnya banyak kemiskinan, maka kejahatan sosial dan tindakan kriminal pun meningkat misalnya tindakan terorisme, perampukan dan kejahatan sosial yang lain.

Mereka yang terpinggirkan di masyarakat sejatinya bukan cita-citanya menjadi orang yang terbelakang, menjadi orang jahat dan seterusnya. Tapi harus dipahami bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari adanya desakan situasi dan kondisi yang menyelimutinya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Sebuah analogi lain, tindakan korupsi di pembangunan infrastrukur jalan desa  akan melahirkan  transportasi perjalan desa yang sulit, biaya mahal, akses ke luar tertutup dan setersunya.  Infrastrukutur desa yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, akhirnya melahirkan biaya akomodasi yang mahal dan  tinggi. Sehingga ujung-ujungnya yang jadi korban tetap masyarakat miskin. Semestinya masyarakat menikamati  fasilitas desa, pendidikan, infras yang layak tapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Akhirnya mencari jalan pintas “alternative” untuk bertahan hidup salah satunya dengan cara melawan norma dan nilai-nilai yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Lebih jauh,  internalisasi nilai-nilai kebangsaan lewat pendidikan pun akhirnya terhambat bahkan terancam gagal. Akibat tertutupnya akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang unggul, mereka berpeluang untuk diisi dengan ideologi baru yang mungkin saja berbahaya bagi keutuhan bangsa oleh pihak yang berkepentingan. Celah dan ruang akibat adanya kesenjangan sosial di masyarakat lambat laun akan menjadi bom waktu yang berbahaya bagi keutuhan bangsa. Itu bahaya laten dan jangka panjang maraknya tindakan korupsi. Demikian juga misalnya korupsi yang terjadi di bidang pembangunan infrastrukur, politik, keuangan dan lain-lain. Akan menimbulkan biaya hidup yang makin mahal, maka mereka yang jadi korban  lebih memilih bertahan dengan jalan pintas dan jalan alternative dari pada harus terbebani biaya hidup yang tidak terjangkau.

Selain itu,  hasil korupsi yang hanya dimonopoli dan dinikmati segelintir orang, sementara yang lain adalah korban. Setiap kali ada tindak pidana korupsi setiap kali itu pula bibit terorisme muncul. Dan, semakin tinggi angka korupsi dalam sebuah Negara maka semakin tinggi pula angka teror yang terjadi di masyarakat, apa pun bentuknya. Artinnya, kejahatan terorisme tidak bisa hanya dilihat sebagai kejahatan otonom-independen. Ia memiliki keterkaitan dengan kejatahan yang lain, utamanya tindakan korupsi yang sudah mendarah daging dan menbudaya yang dilakukan secara terus menerus oleh oktom elit politik tanpa menghiraukan kepentingan rakyat banyak.  Walhasil, kejahatan tindak pidana korupi secara laten telah menyumbang lahirnya teroris dan terorisme gaya baru.

Lalu, Siapa yang paling bertanggungjawab mengatasi kejahatan tersebut, dan menanggung dosa terorisme. Secara kelembagaan tentu pemerintah, pemegang kebijakan, dan mereka yang mendapatkan amanah menjalankan roda pemerintahan dalam sebuah Negara. Secara teologis, dalam ajaran Islam disebukan dalam sebuah hadits yang mengatakan bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Pemimpin rakyat adalah pemerintah. Pemimpinan keluarga adalah orang tua, pemimpin siswa adalah guru, peminpin desa adalah kepala desa, pemimpin pesantren adalah pengasuh / kiyai    dan seterusnya. Aritnya dalam konteks terjadinya terorisme dalam sebuah Negara yang paling bertanggungajwab sekaligus menangung dosanya adalah Negara dalam hal ini dalam pemerintah. Jadi, dapat dihami bahwa munculnya kejahatan terorisme adalah kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewenangannya menciptakan kemakmuran dan keadilan hukum dalam masyarakat.

Sejatinya terorisme sama saja dengan kejahatan yang lain, seperti separatsime, perampokan, penjamretan, pencabulan, pencurian dan pemerkosaan. Namun dinggap lebih parah karena  korbannya bukan hanya satu dua orang tapi banyak orang yang diiringi dengan ancaman yang terorganisir. Namun kejahatan yang tidak kalah parah dan bahayanya adalah  tindakan korupsi. Ia adalah kejahatan terselubung, rapi dan sistematis. Kejahatan korupsi sama halnya dengan menabung kerusuhan sosial. Ia membunuh warga dengan cara pelan-pelan, sedikit demi sedikit dengan cara memutilasi. Ia telah membunuh kreatifitas warga, mematikan akses masa depan dan kehidupannya. Akhirnya, akibat  kejahatan yang berlangsung cukup lama tersebut menimbulkan akumulasi  kekecewaan massal yang berkelanjutan. Kekecewaan yang mengkristal dalam tubuh masyarakat  akibat ketidakadilan hukum maka akan menimbulkan kejahatan sosial seprti perampukan, pencurian dan lain-lain.  Sebenarnya kebodohan,  keterbelakangan, kemiskinan dan terorisme adalah buah dari pohon yang namanya korupsi. Itulah bahaya laten  exsta ordinary crime yang bernama korupsi.

Penulis: Ainul Yakin, Dosen Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, E-mail: [email protected]

20181028_sumpah pemuda

Hari Sumpah Pemuda | Pendidikan Berkarakter Pemuda Masa Kini Khalifah Masa Depan

Hari sumpah pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober menjadi momentum untuk kembali membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan yang terasa semakin luntur di hati rakyat Indonesia khususnya pemuda. Perbedaan yang diperinci telah membuat rasa persatuan dan kesatuan yang dulu pernah membuat bangsa Indonesia merdeka, saat ini seolah berbalik menjadi sarana pemecah persatuan bangsa. Tidak sedikit kasus yang menyebabkan nyawa pemuda melayang hanya karena secuil perbedaan pendapat dan dukungan. Rusuh karena berbeda tim sepak bola, berbeda sekolah, berbeda organisasi, berbeda pilihan pemimpin, berbeda agama dan perbedaan-perbedaan lain yang seharusnya membuat kita semakin dewasa terhadap keberagaman, justru menjadi bibit permusuhan. Bukankah dari dulu perbedaan itu telah ada dan kita tidak pernah terusik dengan perbedaan tersebut, kenapa sekarang hal tersebut seolah menjadi halangan utama dalam bersatu?

Jawaban sederhana dari pertanyaan itu adalah karena semakin lunturnya rasa saling menghormati, menghargai, kerja sama, cinta tanah air, dan berbagai hal yang berkaitan dengan persatuan. Untungnya, pemerintah telah menyadari betul penyebab masalah tersebut dan telah mengambil langkah konkret penanganan yaitu penanaman dan penguatan pendidikan karakter sejak dini, khususnya pada pendidikan formal.

Penguatan Pendidikan Berkarakter

Pendidikan menjadi sarana strategis dalam implementasi pendidikan karakter bangsa mengingat telah memiliki struktur, sistem dan perangkat yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dari pusat hingga daerah. Melalui dunia pendidikan maka pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan secara masif dan sistematis khususnya melalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program PPK diharapkan dapat menumbuhkan semangat peserta didik dalam belajar karena sekolah akan mengkondisikan diri sebagai rumah yang ramah bagi peserta didik sebagai tempat tumbuh dan berkembang. Tujuan program PPK adalah menanamkan nilai-nilai pembentukan karakter bangsa secara masif dan efektif melalui implementasi nilai-nilai utama gerakan nasional revolusi mental (religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas) yang menjadi fokus pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan, sehingga pendidikan karakter bangsa benar-benar dapat memperbaiki perilaku, cara berpikir dan bertindak seluruh bangsa Indonesia.

Sekolah sebagai wadah proses peserta didik harus memiliki program untuk dapat melaksanakan kegiatan yang ber-orientasi kepada ketercapaian nilai utama Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)  yang harus ditanamkan kepada peserta didik, baik itu dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun pembiasaan budaya sekolah. Guru sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas juga harus mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang berorientasi kepada PPK khususnya pada lima nilai utama yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas.

Lima Nilai Karakter Utama

Menurut Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Sekretariat Jenderal Kemendikbud (2017: 8 – 9) menyebutkan bahwa dimensi nilai religius meliputi tiga relasi sekaligus yaitu hubungan antara individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan), ditunjukkan dalam perilaku mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai religius antara lain: damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan dan melindungi yang kecil dan tersisih.

Nilai karakter Nasionalis merupakan cara Berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Adapun subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri menjaga kekayaan bangsa sendiri, rela berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keragaman budaya, suku dan agama. Contoh konkrit, sekolah dapat menerapkannya dengan membiasakan siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza setiap pagi sebelum memulai pembelajaran, hal ini sangat baik untuk membangkitkan rasa cinta tanah air terhadap diri siswa.

Nilai Karakter Mandiri merupakan Sikap dan Perilaku yang tidak bergantung dengan orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran, waktu, untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Sedangkan subnilai mandiri antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh dan tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Nilai karakter Gotong-royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan bahu-membahu dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan. Adapun subnilai gotong-royong antara lain saling menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas putusan bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan dan sikap kerelawanan.

Nilai karakter Integritas merupakan nilai yang melandasi perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan, memiliki komitmen dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral).

Karakter Integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, mellaui konsistensi tindakan dan perbuatan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan dan menghargai martabat individu (terutama kepada penyandang disabilitas)

Kelima nilai utama karakter tersebut bukanlah nilai yang dapat berdiri sendiri, melainkan nilai yang berinteraksi satu dengan yang lain dan berkembang secara dinamis membentuk keutuhan pribadi. Oleh karena itu, guru dalam membelajarkan siswa harus mau dan mampu memberikan prioritas pada penanaman kelima karakter tersebut.

Presiden ke-1 RI, Ir Soekarno pernah berkata, “Beri aku 10 pemuda niscaya  akan ku guncang dunia”. Hal tersebut jelas mengisyaratakan bagaimana kedahsyatan atas kemampuan yang dimiliki pemuda jika dibina dengan benar. Untuk itu, sekolah sebagai tempat utama penanaman dan penguatan karakter, harus rela sedikit bekerja lebih keras demi tumbuhnya pemuda tangguh dan berkarakter untuk Indonesia yang semakin Super.

Penulis : Muhammad Nuris

Editor : Ponirin Mika

20180827_artikel-islam-nusantara

Islam Nusantara Sebagai Payung Bangsa

Agama Islam hadir ditengah-tengah masyarakat sebagai agama untuk memberi kedamaian, kesejahteraan dan perlindungan hidup bagi seluruh manusia. Sebagian besar ajaran-ajarannya membahas tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kehidupan baik berkait kehidupan di dunia dan juga kehiduapan akhirat. Dibawa tangan Rasululllah Islam datang untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, bahwa segala tindak tanduk yang merugikan terhadap diri sendiri dan orang lain merupakan prilaku yang tidak terpuji. Dan islam dengan tegas tidak membenarkannya. Terlebih tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran prnsip-prinsip agama dan keberagamaan. Diakui atau tidak, setelah wafatnya Rasulullah ajaran islam mulai banyak ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan politik, sehingga disana sini ada perpecahan. Politik akan lebih mementingkan aku bukan kita dan mementingkan kami bukan kita, sedangkan ajaran islam lebih banyak berbicara tentang kita dari pada semua itu. Pembahasan ajaran islam tentang kita biasanya menyangkut persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan tidak berbicara tentang persoalan-persoalan hubungan individu dengan Tuhannya, karena persoalan individu dengan Tuhannya merupakan kewajiban personal. Mengapa islam lebih banyak menyinggung persoalan kita, karena islam bukan agama individualistik yang terpaku pada pembahasan holistik. Islam adalah agama sosial, ajaran-ajarannya adalah refresentasi dari gejala-gejala sosial.

Rasulullah sangat memahami akan hal ini, sehingga dalam perjalanan kehidupan rasul selalu mededikasikan dirinya sebagai pelayan ummat dan bangsa untuk kemaslahatan ammah dan menghindarkan diri dalam mengambil kesempatan untuk kemaslahatan diri, keluarga dan bahkan kelompoknya. Tauladan yang dilakukan Rasulullah seyogyanya menjadi cermin bagi masyarakat, terutama masyarakat muslim dalam berfikir dan beramal. Dalam pribadi Rasulullah berisi ajaran islam kaffah dan terwujud secara komprehensif. Maka dengan memahami ajaran islam secarah utuh yang dipraktikkan oleh rasulullah ini, akan membawa kepada islam yang mernafas nilai-nilai universal bukan partikular atau sektoral.

Mengapa Harus Islam Nusantara

Islam Nusantara seringkali dipahami sebagai islam yang keluar dari ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah. Pandangan seperti ini mengira bahwa Islam Nusantara, ajaran baru yang dibuat oleh ulama nusantara, dan dipandang telah menciderai ajaran-ajaran isalam sebagai  wahyu Tuhan. Dan bahkan ada yang mengklaim bahwa yang membuat istilah Islam Nusantara adalah orang yang akan mengkaburkan antara ajaran yang dibawa olen Nabi Muhammad dengan ajaran yang dibawa oleh ulama nusantara. Padahal Islam Nusantara itu ya Islam NU, Islam Ahlusunnah wal Jmaahan-Nahdhiyah. Isinya lama dalam botol baru. Tidak ada yang berubah basis teologinya asy’ari dan almaturidi, basis fiqhnya syafi’i, maliki, hanafi dan hambali dan basis tasawufnya junaid albagdhadi dan imam al-ghazali. Sederhananya adalah islam Nusantara adalah ajaran islam yang dibawa oleh Rasulullah yang di amalkan dalam wadah Nusantara, sebagimana sudah dijalankan oleh NU selama ini. Islam itu agama, yang memiliki nilai-nilai universal tidak terikat ruang dan waktu. Sementara manusia bersifat temporal-partikular, terikat dengan situasi dan kondisi. Dan manusia merupakan mahluk yang berbudaya. Setelah agama yang ajarannya bersifat universal masuk kedalam diri manusia maka ekspresinya beragam sesuai dengan budaya setempat. Islam yang diamalkan oleh bangsa-bangsa lain, baik bangsa yang ada di Timur Tengah dan di Barat, tentu mempunyai karakterstik yang berbeda. Perbedannya ditingkat cabang (furu’) bukan pokok (ushul). Yang pokok bersifat universal dan tidak akan berubah selama-lamanya.

Islam Nusantara bukanlah hal baru (bid’ah) Islam Nusantara adalah pandangan politik yang ber-sintesis Islam dan Kebangsaan. NKRI harga final tidak ada khilafah sebagai sistem politik kebangsaan. NKRI cerminan dari keutuhan ajaran islam yang sebenarnya dan itu harus di jaga oleh anak bangsa yang peduli terhadap keislaman dan kebangsaan. Tidak ada lagi upaya membentuk Negara Islam, walaupun itu bersifat opurtunis. Gerakan Islam Nusantara itu bukan hanya dalam pandangan agama, tetapi juga dalam persoalan sosial-ekonomi (asiyasah wal iqtishadiyah) sehingga fikroh siyasah NU dalam menjaga keutuhan NKRI dari segala ancaman-ancaman ajaran transnasinal adalah Islam Nusantara. Kita tidak menyalahkan islam arab itu keliru, itu benar karena budayanya akan tetapi menjadi kurang tepat apabila meng-arabi-sasi Islam Indonesia. Sebab, kultur Indonesia dan Arab sangat berbeda dan Islam menghargai budaya yang berbeda dimanapun.

Islam Nusantara : Milik Kita bukan Kami

Islam Nusantara adalah nama baru bukan soal isi baru, isinya sudah berpuluh-puluh tahun dipakai sejak puluhan tahun. Bahwa, kontroversi Islam Nusantara terletak pada muatan isi, berarti Islam Nusantara dipakai oleh sebagian orang yang mempunyai kepentingan pragmatis. Islam Nusantara cara menyelamatkan bangsa dari segala sektor, baik berkait sektor agama, politik, sosial dan budaya. Islam Nusantara milik kita bukan kami, kita yang dimaksud adalah masyarakat nusantara tanpa melihat ras, suku dan agama. Karena mision dari Islam Nusantara adalah meneguhkan Islam Nusantara sebagai payung bangsa. Wallahu’alam

 

Oleh : Ponirin Mika, Pengurus Sekretariat PP. Nurul Jadid dan Anggota Community Of Critical Social Research (Commics) Paiton Probolinggo

Pelantikan Pengurus Pesantren Masa Bakti 2018 - 2022

Sang Pengabdi

Bersama ribuan para mahluk suci,

Sabdamu kau untai dalam bait bait,

Merangkai kata sejuta makna,

Menghujam kalbu.

Malam bersejarah di rumah Tuhan,

kau baca janji setia,  dengan khidmat,

Para bibir bibir bergetar,  mengikuti sepatah dua patah,

Bagai Tuhan mengikrarkan pada adam sebagai khalifah bumi.

Kini,  janji itu Ter-amanahkan,

Dalam pundak mereka,  para  khalifah bumi ma’had Nurul Jadid.

Raihlah shirad Tuhan,

Meski gelombang ombak memutar kehidupan,

Bismillah, Hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula, Wani’nal nashir. La haula walakuwwata illa billah.

Oleh : Ponirin Mika Sang Pujangga Pesisir, Kepala Sub Bagian Protokuler Nurul Jadid (Panji Pelopor NJ)

Nurul Jadid sebagai Agent of Change (Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat)

           Akhir-akhir ini, banyak orang memahami Pesantren adalah wadah yang mengurusi persoalan keagamaan, mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah mereka menilai bahwa pesantren tidak hadir untuk memperjuangkan nasib masyarakat dari ketimpangan ekonomi dan keterpurukan. sehingga Pesantren dipahami sebagai kaum fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang meengabaikan kehidupan dunia. Adalah Kiai Abdul Hamid Wahid, selaku Kepala Pesantren Nurul Jadid, menginginkan agar Pesantren mampu mensejahterakan masyarakat. ia memandang bahwa pesantren tidak hanya institusi yang berkutat pada kegiatan yang berhubungan dengan Allah (vertikal), namun, pesantren harus mampu menjadi jembatan kemakmuran sosial masyarakat (horizontal).

            Pada saat saya mendengarkan keinginan Kepala Pesantren Nurul Jadid, di kediamannya, ia menginginkan bahwa Pesantren harus bergerak ikut memikirkan ekonomi kerakyatan, baik pada masyarakat sekitar pesantren maupun pada Alumni Pesantren Nurul Jadid. Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya, mempersiapkan terhadap kebutuhan-kebutuhan pada zaman ini, menjadi keniscayaan. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya, akibat doktri kemasyarakatan yang menjadi salah satu pembelajaran di Pesantren-Pesantren dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. pesantren mesti membutuhkan masyarakat dan begitu juga masyarakat membutuhkan pesantren. Ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap pesantren tidak bisa di hindarkan, terutama masyarakat sejkitar pesantren.  Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya. Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.

Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah sosial-budaya.

Menciptakan SDM demi meningkatkant Perekonomian Masyarakat

            Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.  SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.  Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).

            Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam Islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.

Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.

Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.

Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.

Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.

Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.

Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.

Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.

Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala permasalahan yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren juga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya..[1]

[1] Memodifikasi dari Makalah dan buku Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat, serta mengambil dari beberapa tulisan artikel dari Media.

– Tulisan ini, menggambarkan bahwa Pesantren dan Masyarakat merupakn simbiosis mutualisme, antara satu sama olain saling membutuhkan.

Oleh : Ponirin Mika

Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Tehnik Melawan “HOAX”

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, seringkali beberapa orang mendapatkan informasi palsu berkait segala apapun berkait dirinya, keluarga dan sanak famili. Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, tidak hanya bisa mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,  ternyata di sisi lain menimbulkan tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat. Berita bohong terkadang dilakukan karena iseng, ingin menipu dan bahkan ingin membuat hati orang lain tidak tenang.

Hoax adalah informasi bohong, yang bisa tersebar melalui media apa saja. Hoax tidak hanya berpotensi memberitakan para selebriti, namun, hoax bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapaun. Dalam agama Islam Hoax adalah perilaku yang tidak terpuji dan berhukum haram. Karena, hoax adalah fitnah nyata, sedangkan fitnah adalah lebih kejam dari pembunuhan. Dengan maraknya media dan semakin canggihnya teknologi, maka hoax bukan mustahil tidak terjadi. Untuk itu,  ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk melawan hoax

  1. Periksa judul berita/informasi yang provokatif

Judul berita yang menarik dan menghebohkan adalah berita kontroversial itu sangat memancing untuk di share. Apalagi, berkait dengan hal yang berkaitan dengan keluarga dan lainnya.

  1. Telilti sumbernya dan cek situs media yang menginformasikan

Salah satu cara yang paling mudah untuk menelusuri apakah berita tersebut fakta atau palsu. Dengan mengecek situs web, no telpon dan alat informasi lainnya yang menjadi sumber berita, ini dapat mengidentifikasi mana yang fakta dan mana yang hoax.

  1. Berita ‘HOAX’ tidak mengutip opini dari Ahli

Biasanya, narasumber yang dikutip oleh sebuah media akan terlihat jelas dan disebutkan asal-usulnya. Jika menemukan artikel atau informasi yang kontroversial, cek terlebih dahulu apakah artikel/informasi tersebut sekedar memuat sebuah opini dari seseorang/kalangan atau merupakan sebuah laporan berita yang faktual dengan pendapat ahli. Sebisa mungkin jangan sampai langsung ditelan mentah.

  1. Tanyakan langsung kepada yang berwenang

Andai kata, informasi itu mengatasnamakan institusi, maka seharusnya berkoordinasi dan berkomonikasi kepada pihak yang berwenang, klarifikasi penting ditingkatkan. Agar hoax bisa dilawan.

Oleh : Ponirin Mika

Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Begal dan Kekeringan Spritualitas

Dalam realitas kehidupan sehari-hari kita sering kali diperhadapkan pada situasi-situasi dimana persoalan baik dan buruk menjadi demikian pelik. Realitas hidup yang tak selalu mudah memaksa kita untuk bergulat dengan pilihan-pilihan moral yang tidak dengan serta merta semudah memilah antara hitam dan putih.

Kehidupan sekarang semakin kompleks, perubahan yang sangat cepat, persaingan tidak bisa dihindari  pertukaran nilai yang tak bisa dibendung. Kemajuan filsafat, sains, teknologi, telah menghasilkan kebudayan yang semakin maju, proses itu disebut globalisasi kebudayaan. Namun kebudayaan yang semakin maju mengglobal ternyata sangat berdampak terhadap aspek moral.

Manusia saat ini kebanyakan menjadikan kehidupan dunia adalah kehidupan yang abadi, sehingga melakukan apa saja seakan tanpa terikat dengan aturan agama. Untuk itu , Otak kita hanya diisikan oleh realita, bahkan untuk sekedar berharap saja rupanya membutuhkan sebuah keberanian daqn taat akan aturan-atauran ilahi, yang memang dibuat untuk menjaga kemaslahatan hmba.

Salah satu perbuatan yang sangat mengerikan saat ini adalah begal. Begal adalah suatu perbuatan jahat berupa perampasan barang atau harta yang dipakai atau dikenakannya, ini seperti kasus kejahatan berupa penjambretan, penjarahan, serta perampasan. Bahkan, begal itu adalah sebuah segerombolan atau biasanya terdiri dari beberapa orang (lebih dari satu) yang melakukan tindak kejahatan berupa perampasan harta benda serta penjarahan perhiasan yang dikenakan oleh korban.

Dalam setiap agama apapun tindakan kejahatan suatu perbuatan tercela. Perbuatan ini adalah prilaku dimana tuhan tidak akan membiarkan tindakan semacam ini dan pasti ada tindakan tegas berupa siksa.

 

Akal tak Lagi Berfungsi

Ada kerusakan akal pada pelaku begal ini, nilai logik berkaitan dengan berpikir, memahami, dan mengingat akan tindakan yang dilakukannya tidak lagi berfungsi. Seharusnya akal mampu menjadi sopir aktifitas kesehariannya. Agar mampu menghasilkan pikiran, pemahaman, pengertian, peringatan (ingat)  adalah menjadi buahnya. Nilai ini menjadi dasar untuk berbuat, bertindak. Allah dalam alquran banyak berfirman agar kita berfikir dengan sebutan lubb atau aqal dalam memahami alam ini diantaranya.

 “dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Ali Imran : 7).

Dalam ajaran islam akal memiliki kedudukan yang tinggi dan sering dimanfaatkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perkembangan ajaran-ajaran islam. Sebab kita meyakini juga bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.

Pelaku kejahatan tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik, hal ini bisa jadi karena lemahnya pendidikan. Pendidikan merupakan proses untuk memberikan penyadaran dan pengetahuan. Jika transpormasi pengetahuan menjadi ilmu dalam dirinya, maka akan sulit untuk melakukan tindakan tidakan yang salah.

Kejahatan dan Kekeringan Spritualitas

Baik dan buruk adalah sebuah pilihan dalam hidup, tuhan memberikan dua bentuk (jahat dan baik) sebagai ujian bagi hambanya untuk mengetahui kualitas keimanannya. Bagi hamba yang tergerak untuk selalu menjadi yang terbaik dalam kesehariannya (sabiqun bil khoirot) adalah mereka yang sangat beruntung karena hati dan pikirannya mendapatkan cahaya ilahi. Begitu juga sebaliknya, bagi hamba tuhan yang melakukan kejahatan, ia kurang berupaya menggunakan potensi akalnya, sehingga ia kalah dengan ajakan-ajakan nafsu. Kekeringan spritualitas merupakan problem utama dalam diri seseorang yang selalu melakukan tindakan tindakan yang kurang baik.

Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi. Bagaimana hal itu bisa dicegah dan diatasi? Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri kita sudah tertanam nilai-nilai keilahian dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan dan saling menghargai. Itulah nilai-nilai ilahi yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan beraklak moral tinggi.

Agama-agama yang dianut masyarakat kita juga telah mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut. Persoalannya, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar sudah tertanam dan mewujud dalam cara hidup (pikiran, perasaan dan tindakan) kita? Pertanyaan lebih lanjut, apakah cara beragama kita sungguh sudah otentik, atau hanya sekedar formalitas? Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar “spirit”: ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Roh (Yang Ilahi) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita.

Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan kepedulian dalam seluruh hidupnya. Kedalaman spiritualitas seseorang akan dapat dilihat bukan sekedar dalam ritual, simbol-simbol dan praktek formal keagamaan yang dilakukan, namun sungguh nyata dalam seluruh kehidupan sehari-hari.

Wallahu’alam

 

Penulis : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid dan Anggota Comics (Community of Critical Social Research) Probolinggo)

renungan

Renungan

Membaca bukan hanya suatu kebutuhan bagi setiap orang. Melainkan, membaca adalah suatu kewajiban bagi setiap orang terutama di kalangan santri. Kegiatan membaca ini tidak hanya di anjurkan dikalangan santri saja, akan tetapi kewajiban untuk membaca ini dianjurkan bagi seluruh umat islam sebagaimana ayat yang pertama kali diturunkan dalam kitab suci al-Qur’an yang berbunyi IQRO’ yang berarti “bacalah”.  Allah SWT memerintahkan kepada seluruh makhluknya untuk membaca, yang mana “membaca” ini memiliki artian luas dalam kehidupan kita. Kata membaca ini tidak hanya diartikan sebagai membaca kitab atau buku bacaan saja, akan tetapi dalam kata IQRO’ kita di perintahkan untuk membaca segala bentuk macam tulisan yang ada di muka bumi ini dengan menyebut nama tuhan-Mu. Dan kegiatan membaca ini diperbolehkan bagi kita semua selama kita semua tahu batasan yang kita baca. Dengan cara kita mengetahui buku bacaan yang kita baca selama buku bacaan itu sesuai dengan ajaran agama.

Buku bacaan yang dapat kita baca dapat berupa buku-buku islami seperti buku sejarah islam, buku fiqih. Buku bacaan yang di baca santri pun berbeda-beda karena perbedaan tingkat usia mereka, seperti buku yang di baca oleh anak SD berbeda dengan buku bacaan yang di baca oleh anak SMP dan begitu pula buku bacaan yang di baca oleh anak SMA berbeda dengan buku bacaan yang di baca oleh seorang Mahasiswa. Namun, dari adanya semua perbedaan itu, yang paling penting adalah kita semua tahu batasan buku yang kita baca. Secara khusus pada tahap pra kuliah (tahap belajar) di dalam masa tersebut janganlah kita menyibukkan diri dengan hal yang tak berguna seperti melakukan pemikiran-pemikiran dalam berfilsafat, masalah yang berat, dan juga masalah politik yang berada di sekitar kita, karena untuk memikirkan semua itu ada waktunya tersendiri bagi kita. Maka dari itu, untuk saat ini apa yang sedang kita pelajari di sekolah itulah yang perlu kita tekuni mulai saat ini. Tidak perlu kita mempelajari dan membaca buku-buku tambahan yang lain, yang belum saatnya kita baca. Jika pelajaran yang kita pelajari saat ini kita dalami, maka hasilnya pun akan memuaskan. Dan lagi jika kita bandingkan dengan orang-orang dahulu, mereka tetap dapat meraih impian yang mereka inginkan dengan semangat belajar yang mereka miliki meskipun fasilitas pada saat itu kurang mendukung, berbeda halnya dengan saat ini yang kita rasakan. Maka dari itu, kita semua wajib mencontoh akan semangat yang dimiliki oleh santri-santri yang telah lama mendahului kita. Dan lagi fasilitas yang kita milki saat ini harus bisa menjadi penunjang kesuksesan kita dalam belajar.

Melihat dari fenomena kurangnya minat baca santri saat ini, semua itu berawal dari kesadaran diri kita masing-masing. Coba kita perhatikan yang di maksud dengan santri itu adalah  apa dan bagaimana? santri itu adalah seorang pencari ilmu dan dalam mencari ilmu setiap santri membutuhkan yang namanya membaca. Dan lagi kegiatan membaca di kalangan santri ini seharusnya bisa dijadikan hobi. Karena membaca itu juga termasuk dalam kriteria pembuktian identitas santri, apabila ada seorang santri yang enggan membaca berarti bisa dikatakan dia itu bukanlah seorang santri. Apalagi bagi seorang guru, kegiatan membaca haruslah menjadi salah satu dari aktivitas rutin dalam kegiatan sehari-hari, karena guru inilah yang menjadi pedoman bagi santri-santrinya.

Sedangkan di era globalisasi yang sedang carut marut ini, banyak santri yang lebih memilih membeli komik, majalah dewasa dan lain sebagainya. Padahal buku bacaan seperti komik, majalah dewasa, dan lain sebagainya itu sangatlah tidak cocok di kalangan santri. Karena semua itu sama sekali tidak ada manfaatnya bagi kita semua. Jika kita mengaca pada diri kita saat ini sangatlah pantas bagi kita untuk menyayangi diri kita sendiri, karena pada usia remaja saat ini sangatlah kritis, yang di maksud dengan kritis ini adalah jika seorang remaja seperti kita ini sudah terjerumus kepada hal negatif maka cara untuk memperbaikinya luar biasa sulit. Karena butuh perjuangan mati-matian bagi kita untuk dapat membuatnya kembali pulih seperti sedia kala, maka dari itu, bagi remaja yang belum terjerumus ke dalam hal negatif tersebut sebaiknya berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhinya.

Cara untuk mengatasi hal tersebut ialah dengan cara sering-seringlah kita mengunjungi perpustakaan, mengikuti kegiatan pengajian, dan memperbanyak kelompok untuk  diskusi bersama teman-teman yang lainnya. Kegiatan diskusi ini dapat berupa kumpul mandiri mendiskusikan mengenai pelajaran yang dapat membuat ketertarikan teman-teman kalian untuk ikut serta dalam membahas masalah tersebut. Hal yang di diskusikan dapat berupa pelajaran yang kita pelajari di sekolah tidak harus berupa masalah-masalah politik dan lain sebagainya. Karena dengan begitu otak kita tidak terpacu untuk memikirkan hal-hal berat seperti masalah politik dan lain sebagianya.

Mengutamakan kegiatan membaca sejak dini dapat menjadi salah satu dari banyak cara untuk menghindarkan kita dari terjerumusnya pada hal negatif. Kita sebagai seorang santri haruslah memaksimalkan kegiatan membaca, entah itu membaca kitab kuning ataupun buku, tentunya dari salah satu media tersebut haruslah menjadi kebutuhan pokok santri. Dan tidak hanya salah satu dari dua media tersebut (kitab kuning dan buku) yang dapat kita pilih, keduanya pun juga dapat kita jadikan kebutuhan, itu semua tergantung dari apa yang lebih kita butuhkan. Dalam hal memprioritaskan antara kitab kuning dan buku itu semua tergantung dari banyaknya hal contohnya seperti, jika sejak awal kita telah mendalami kitab kuning, maka tidak ada salahnya jika kita juga ikut turut belajar akan pelajaran umum seperti halnya pelajaran fisika, begitu pula sebaliknya. Karena saat ini semua pelajaran wajib untuk kita ketahui walupun hanya sebagian kecil saja seperti halnya saat ini kita tengah belajar bahasa arab maka tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan pelajaran bahasa inggris karena sekarang semuanya bersifat Opsional yang mana  semua itu bukanlah lagi suatu pilihan bagi kita semua, antara  memperdalam pelajaran bahasa arab ataupun pelajaran bahasa inggris. Karena kedua mata pelajaran tersebut sangatlah penting di kehidupan kita saat ini. Karena itulah patutlah bagi kita sebagai remaja penerus bangsa untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang tersedia bagi kita untuk bermain-main melainkan, kita semua harus dapat menggunakan waktu tersebut dengan semaksimal mungkin untuk belajar dengan tekun.

Santri itu adalah seorang pencari ilmu dan dalam mencari ilmu setiap santri membutuhkan yang namanya membaca.

Penulis : K. Imdad Robbani (Wakil Kepala Biro Kepesantrenan, Wakil Direktur LPBA dan Wakil Kepala Madrasah Diniyah Nurul Jadid)

Sumber : Majalah Iqro’ Edisi April 2017arti

Hari Velentine

Valentine Day Dalam Perspektif Pesantren

PADA setiap tanggal 14 Februari disebut “Valentine Day”, hari yang dimaknai spesial bagi para valentinestis di kalangan remaja, baik muda maupun mudi. Akan terjadi beberapa ungkapan melalui ucapan maupun perbuatan-perbuatan. Perbuatan yang seringkali melampaui batas kewajaran membuat perayaan valentine day’s bak pesta kemaksiatan.

Valentine day’s lahir diluar Islam, sebagai salah satu peringatan kepada seorang st. valentine yang meninggal akibat hukuman yang menimpanya. Keteguhan keyakinan dengan kesungguhan iman membuat ia berseberangan dengan pihak gereja, akibatnya terjadi penghukuman padanya. Sebenarnya kurang tepat apabila valentine day’s di jadikan sebagai hari pembuktin kasih sayang terlebih ungkapan asmara. Karena, tidak ada kejadiaan percintaan dua sejoli, dengan mempertahankan asmara antara keduanya. Berbeda dengan qais dan laila majnun.

Para pemuda-pemudi sudah terperprovokasi budaya ini, banyak diantara mereka yang menjadikan perayaan valentine sebagai pengejawantahan asmara yang membelitnya. Cium-ciuman, peluk-pelukan bahkan sampai rela berhubungan layaknya suami istri terjadi diluar pernikahan. Na’udzubillah!

Pada tahun silam, 14 Februari 2015, di Makassar, dalam razia wisma di hari Valentine atau hari kasih sayang, empat pasangan muda mudi yang bukan suami istri diamankan oleh polisi karena terdapat berduaan di kamar wisma.

Jika pada saat itu tidak diamankan oleh polisi bisa terjerumus perzinahan. Atau terjadi perbuatan haram tersebut sebelum polisi menggerebeknya. Beberapa lembaga pendidikan baik sekolah maupun madrasah seringkali lalai mengawasi anak didiknya agar tidak merayakan valentine. Kelalaian akan membuat pembentukan karakter sesuai dengan budaya agama tidak akan terealisasi.

Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas sebagai transfer pengetahuan, namun yang lebih penting mencetak manusia yang mempunyai kepribadian yang utuh sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Guru harus mengantisipasi berkait persoalan ini, upayakan pengawasan dan pengawalan jauh sebelum hari perayaan valentine segera dipersiapkan.

Seharusnya Diknas dan depag mengeluarkan surat edaran terhadap sekolah/madrasah yang menjadi tanggung jawabnya. Dan memberi sanksi bagi sekolah/madrasah yang melanggar. Ini, dimaksudkan agar membuat para pelajar tidak berani merayakan valentine, terlebih merayakan dengan cara berbau kemasiatan.

Saat inipun, sebagian santri yang menjadi masyarakat pesantren harus lebih diberi perhatian khusus, agar budaya valentinan tidan sampai menyisir pesantren. Pesantren sebagai institusi yang mampu mencetak masyarakatnya menjadi masyarakat yang berahlak, bertatakrama, diharapkan terus mengawal budaya yang menjadi karakteristik pesantren, agar tidak raib ditunggangi budaya kebarat-baratan yang merusak budaya pesantren dan kesantrian.

Mereka harus dibekali pengetahuan agama sebai-baiknya, tidak hanya melalui ceramah-ceramah melainkan melarang kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya. Peran kiai sebagai pengendali tempat harus mampu mempertahankan identitas pesantren, meski perubahan zaman dan arus globalisasi semakin hari semakin menantang.

Tantangan zaman semakin besar, pesantren sebagai salah satu institusi yang paling diharapkan dalam menjaga karakter bangsa. Di tengah dekadensi moral anak bangsa, pesantren harus mampu melahirkan output sebagai kontribusi bagi bangsa yang telah mengalami kemorosotan-kemerosotan dalam segala dimensi. Mulailah dari hal yang paling mendasar, pengawasan kiai terhadap santri yang akan menghilangkan citra pesantren, moralitas, etika dengan upaya memberi pembekalan-pembekalan yang mengarah kepada kemaslahatan. Jangan biarkan santri hidup sesuai dengan polanya, agar budaya imitasi tidak meracuni pemikirannya. Jikalau ini terjadi pesantren (kiai) lalai memberi pengawasan, pesantren tak ubahnya seperti kos-kosan.

Pesantren yang terkenal sebagai religious power merupakan bagian penting dalam menjaga karakter dan keutuhan bangsa.

Oleh: Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid)