Nurul Jadid sebagai Agent of Change (Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat)

           Akhir-akhir ini, banyak orang memahami Pesantren adalah wadah yang mengurusi persoalan keagamaan, mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah mereka menilai bahwa pesantren tidak hadir untuk memperjuangkan nasib masyarakat dari ketimpangan ekonomi dan keterpurukan. sehingga Pesantren dipahami sebagai kaum fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang meengabaikan kehidupan dunia. Adalah Kiai Abdul Hamid Wahid, selaku Kepala Pesantren Nurul Jadid, menginginkan agar Pesantren mampu mensejahterakan masyarakat. ia memandang bahwa pesantren tidak hanya institusi yang berkutat pada kegiatan yang berhubungan dengan Allah (vertikal), namun, pesantren harus mampu menjadi jembatan kemakmuran sosial masyarakat (horizontal).

            Pada saat saya mendengarkan keinginan Kepala Pesantren Nurul Jadid, di kediamannya, ia menginginkan bahwa Pesantren harus bergerak ikut memikirkan ekonomi kerakyatan, baik pada masyarakat sekitar pesantren maupun pada Alumni Pesantren Nurul Jadid. Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya, mempersiapkan terhadap kebutuhan-kebutuhan pada zaman ini, menjadi keniscayaan. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya, akibat doktri kemasyarakatan yang menjadi salah satu pembelajaran di Pesantren-Pesantren dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. pesantren mesti membutuhkan masyarakat dan begitu juga masyarakat membutuhkan pesantren. Ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap pesantren tidak bisa di hindarkan, terutama masyarakat sejkitar pesantren.  Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya. Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. (Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat)

            Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.

Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah sosial-budaya.

Menciptakan SDM demi meningkatkant Perekonomian Masyarakat

            Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.  SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.  Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).

            Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam Islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.

Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.

Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.

Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.

Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.

Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.

Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.

Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.

Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala permasalahan yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren juga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya..[1]

[1] Memodifikasi dari Makalah dan buku Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat, serta mengambil dari beberapa tulisan artikel dari Media.

– Tulisan ini, menggambarkan bahwa Pesantren dan Masyarakat merupakn simbiosis mutualisme, antara satu sama olain saling membutuhkan.

Oleh : Ponirin Mika

Sekretaris Biro Kepesantrenan PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *