Gus Fayyadl Usul Darud Difan sebagai Konstribusi Menyusun Konsep Negara Suaka

nuruljadid.net – Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid K. Muhammad Al-Fayyadl mengusulkan Darud Difan sebagai kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka, hal tersebut menjadi perbincangan dalam acara Halaqoh Fikih Peradaban di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid pada Ahad (2/10) siang.

“Mungkin apa bisa darud difan ini dijadikan kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka?”, tanya Gus Fayyadl.

Usulan ini berangkat dari fakta geopolitik yang desawa kini sangat rentan pada terjadinya pengusiran umat manusia. Beliau memberikan contoh beberapa tahun lalu saat tragedi rohingya, umat muslim yang ada di daerah bangladesh, india, dan pakistan terusir dari negaranya.

“Hal ini sampai sekarang belum bisa diatasi oleh konsep negara bangsa yang ada, kenapa? Karena negara bangsa yang ada saat ini sangatlah ekslusif, bisa dibilang untuk masuk ke sebuah teritory harus butuh pasport dan visa. Bagaimana dengan warga negara yang tidak punya pasport dan visa, apakah dihukumi sebagai bughat,” dawuh beliau.

(Potret suasana Halaqoh Fikih Peradaban di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid)

Dalam konteks tersebut, Kyai Muhammad Al-Fayyadl mengusulkan agar kita bisa memahami tatanan dunia hari ini sebagai darud da’wah. Lalu beliau menjelaskan bahwa darud da’wah dibagi menjadi dua, yaitu darud to’at dan darul ma’ashih wal fusuk wal dzulmi. Jadi yang ada sekarang bukanlah kekafiran ansih, tetapi sebenarnya ekspresi paling luar dari kekafiran itu adalah al ma’asi, wal fusuk, wal dzulmi, al jaur atau kesewenang-wenangan.

“Sehingga dari konsepsi seperti ini sebenarnya yang ada mungkin sekarang itu semua negara hari ini adalah darud dakwah bagi umat islam,” imbuhnya.

Memperkuat dasar pemikirannya, beliau juga mengangkat cerita sahabat rasul yang menjadi salah satu al-‘asyaratu al-mubasysyaruna bil jannati atau sepuluh sahabat nabi yang dijamin masuk surga, beliau adalah Abdurrahman bin Auf. Dalam sejarah diceritakan, beliau adalah orang pertama yang rumahnya menjadi tempat kedatangan utusan-utusan nabi bahkan tamu-tamu nabi yang berasal dari luar negeri, sehingga rumah beliau disebut sebagai darud difan.

“Bahkan rumah dari Abdurrahman bin Auf ini juga disebut addarul kubro. Karena saking luasnya, karena beliau kaya raya, rumahnya yang besar itu banyak menerima tamu delegasi dari negara-negara lain yang itu insyaallah rata-rata non-muslim atau musyrik. Jadi kami tertarik, mungkin apa bisa darud difan ini dijadikan kontribusi untuk menyusun konsep negara suaka?,” jelas Gus Fayyadl.

Selain itu, beliau juga mengusulkan bahwa tujuan negara sebenarnya yang telah dimukakan oleh KH. Afifudin Muhajir bisa ditingkatkan pada tataran global, artinya bagaimana Fikih Maqosid yang telah menjadi acuan kita di dalam bermuamalah hari ini bisa ditingkatkan ke dalam tataran global.

“Sebagai contoh, kami mengusulkan adanya istilah hifdzul bi’ah atau menjaga lingkungan yang dimaknai disini hifdzul balad atau hifdzul wathon sebagai salah satu maqosid syariah di dalam konteks tatanan dunia baru, kenapa? Karena semua an nafs, ad din, al mal, an nasl itu tidak akan berguna ketika sebuah negara diinvasi dan dikoloni, maka hifdzul balad, meski itu balad yang mayoritasnya ada kafir, karena dia potensi menjadi darud dakwah maka sangat mungkin untuk dimasukkan kedalam kriteria maqosdu syariah yang baru,” pungkas beliau.

 

 

(Humas Infokom)

Gus Fayyadl Jabarkan Enam Sistem Tatanan Dunia Baru Perspektif Geopolitik

nuruljadid.net – Narasi “Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru” Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid Kyai Muhammad Al-Fayyadl membahas terkait Fikih Siyasah merupakan hasil dari tatanan dunia yang berkembang pada masanya. Dengan itu, beliau mengatakan bahwa topik pembahasan Halaqah Fikih Peradaban yang diadakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid sudah masuk pada perbincangan mengenai maddatul hadorohnya atau materi peradabannya.

Ungkapan itu disampaikan oleh Gus Fayyadl saat menjadi pemateri dalam acara Halaqah Fikih Peradaban menyambut hari lahir 1 Abad Nahdlatul Ulama’ (NU) pada Ahad (2/10) siang.

Lebih lanjut beliau mengkhulasohi atau mereview sub materi Tatanan Dunia Baru yang kompleks dan memiliki cakupan sangat luas. Beliau menyebutkan ada enam segmentasi tatanan dunia baru secara geopolitik yang mencirikan kehidupan peradaban manusia dari waktu ke waktu.

“Secara geopolitik, peradaban dunia itu ada enam sistem. Fase pertama, peradaban suku (Tribal Societies – Mujtama’ Al Qabailiyah) ini yang diisyaratkan dalam kitab suci al-quran ‘inna khalaqnakum syu ubawwaqaba ila’, jadi peradaban suku ini sangat kental jika kita melihat dalam sejarah islam fase awal.”

Kemudian disusul dengan tatanan dunia yang kedua atau fase kedua, yaitu lompatan dari peradaban suku kepada peradaban imperium (Imperial Societies – Mujtama’ Dauliyah). Dalam fase ini, dimana saat itu di zaman Nabi Muhammad SAW ada dua imperium besar, yaitu Romawi dan Persi. Secara umum, terdapat ciri-ciri kehidupan politik dalam kitab-kitab Fikih Siyasah kita, karena di peradaban ini muncul konsep-konsep yang sangat berpengaruh bahkan di dalam praktik, misalnya dalam konsep jihad.

“Yaitu adanya konsep dan praktik futuh (penaklukan) jangan dibayangkan ini penaklukan militer, tapi lebih tepat pada pendirian masyarakat Islami dengan tatanan politik tertentu, yang seringkali juga terkadang melalui proses perdamaian, seperti Fathu Mekkah itu sendiri. Peradaban imperium ini berlangsung sangat lama,” imbuh beliau.

(Potret K. Muhammad Al-Fayyadl sedang memberikan pemaparan materi tentang Fikih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru)

Dilanjukan dengan fase ketiga dan keempat, dimana tatanan dunia memasuki Era Kolonialisme dan Imperialisme (Colonial Estates – Isti’mariyah)  termasuk berkembangnya faham-faham wathoniyah. Era kolonialisme ini melahirkan Era Negara Bangsa (Nation State), dan kita sedang berada di dalamnya.

Fase kelima yaitu tatanan Global Order. Istilah ini sangat kental dengan nuansa perang dingin, bisa dibilang pada era ini muncul blok-blok, misalnya blok barat dan blok timur, yang diistilahkan dengan Musyarokah Syiasiah.

Kemudian selanjutnya, fase keenam adalah Global Governance atau Global Transnational Governance. Fase ini merupakan yang terkini dan paling kontemporer berupa pengaturan dunia melalui skema-skema dan desain politik, ekonomi, dan bidang lainnya yang berbasis kepentingan oleh beragam aktor, baik sipil, militer, swasta, dan negara.

“Secara umum, ini yang menjadi awal pentingnya kita berpikir mengenai fikih siyasah ini. Karena secara umum fikih siyasah yang dipakai di kalangan kita itu merupakan produk era keemasan imperium Islam, atau daulah-daulah islamiyah, dan fikih ini terus relevan dipakai sampai di era kolonialisme,” pungkas beliau.

 

 

(Humas Infokom)

Santri Itu Multitalenta

nuruljadid.net- Santri itu multitalente. Begitu kiai Pengasuh pesantren mengatakannya. Santri adalah seorang pelajar yang bermukim di Pesantren menimba ilmu-ilmu agama, bahkan ilmu-ilmu pengetahuan umum pun ia pelajarinya.

Bahkan hampir tidak ada seorang pelajar yang memiliki kesempatan belajar seperti santri. Ia adalah satu-satunya pelajar yang diberi anugerah oleh Tuhan untuk menjadi pribadi yang paripurna.

Begitu saya bermukim di pesantren, saya merasakannya bahwa memang santri itu multitalenta, belajar bertukar pendapat, belajar menghargai orang lain, belajar menempa diri, belajar mandiri, belajar hidup sederhana dan belajar menjadi kader umat yang produktif.

Puluhan tahun saya melihat dan menikmati dunia santri di pesantren. Ada senda gurau yang sangat indah, bumbu-bumbu gurau adalah ilmu dan joke-joke para kiai-kiai sepuh yang memiliki makna.

Semangat santri tidak pernah punah meskipun zaman telah mengalami perubahan. Santri terus mengejar impiannnya menjadi pribadi saleh dan musleh.

Hebatnya, saat saya menjadi santri dan pulang ke rumah saya di Kepulauan Kangean, banyak orang menyambutnya, seakan saya seorang raja yang patut dibanggakan dan dihormati.

Tibalah akhirnya, saya memberanikan diri bertanya pada sesepuh yang ada di kampung halaman saya.

“Pak kiai, orang-orang kampung kok menyambut kedatangan saya bak seorang raja atau pahlawan yang kembali di medan perang,” begitu tanyaku.

Pak kiai itu menjawab.

“Njenengan kan seorang pelajar yang bermukim di pesantren (santri) disana njenengan belajar banyak ilmu, baik ilmu agama, ilmu umum dan bahkan ilmu hikmah, pokoknya semua ilmu. Kedatangan njenengan ke kampung halaman ini sebuah keberuntungan yang sangat besar bagi masyarakat. Njenengan bisa berbagi pengetahuan dengan mereka terkait banyak ilmu. Saya percaya santri itu mengetahui ilmu segala bidang,” begitu jawabnya.

Seyogyanya santri memahami persepsi masyarakat dengan baik. So, yang terpenting asahlah skill santri melalui berbagai hal, untuk menjadi kader bangsa dan ummat yang produktif. Di Pondok Pesantren Nurul Jadid tempat saya mondok dan mengabdi melakukan pembinaan-pembinaan kepada santrinya agar mampu menjadi insan yang memiliki kualitas, menjadi abdi untuk tercapainya kemaslahatan ammah sesuai dengan ridla Allah SWT.

Pewarta   : PM

Harlah PPNJ Ke 72: Teladan Dakwah Kiai Zaini Mun’im, dari Memberdayakan Ekonomi ke Memperkenalkan Nilai-Nilai Agama

nuruljadid.net- “Saya membuat Pondok ini bukan hanya mencetak Kiai saja, tapi sekaligus ingin mencetak manusia yang siap terjun dan diterima masyarakat”. KH. Zaini Mun’imPondok Pesantren (PP) Nurul Jadid telah memasuki usia yang ke 72. Hal ini sesuai dengan akan digelarnya peringatan hari lahir PP. Nurul Jadid yang ke 72 pada tanggal 13-14 Maret 2021. Dalam kurun waktu yang relatif panjang itu, PP. Nurul Jadid hingga saat ini tetap istiqomah mendidik santri menjadi pribadi yang berkarakter, berdedikasi tinggi dalam semangat nilai-nilai agama. Bahkan, sejak awal berdirinya, pesantren yang didirikan oleh Al Magfurlah KH Zaini Abdul Mun’im atau dikenal KH Zaini Mun’im telah menjadi wahana mempersiapkan generasi bangsa yang berkarakter, berwawasan dan berdedikasi tinggi pada bangsa, masyarakat dan agama.

Begitu juga dalam peran sosialnya, PP. Nurul Jadid masih konsisten melakukan pendampingan dan pemberdayaan kepada masyarakat, baik melalui pesantren, alumni dan santri-santri yang masih aktif. Artinya, PP. Nurul Jadid merupakan pesantren yang aktif melakukan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Terbukti dengan banyak berdirinya lembaga sosial seperti Yayasan Bantuan Sosial Nurul Jadid (YBSNJ) dan Balai Pengobatan Az-Zainiyah (BPANJ) dan Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BP2M) Ponpes Nurul Jadid.
Akan tetapi bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini, namun, yang ingin saya ketengahkan dalam tulisan ini ialah bagaimana teladan dan metode dakwah yang dilakukan oleh Kiai Zaini Mu’im sebagai pendiri PP. Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Dalam momentum Harlah PP. Nurul Jadid yang 72, tentu yang diinginkan oleh khalayak santri, alumni dan masyarakat adalah keteladan Kiai Zaini Mun’im, sehingga menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita para santrinya mengikuti jejak beliau dalam memperjuangkan nilai-nilai agama.
Kiai Zaini Mun’im; Memberdayakan Ekonomi dan Spritualitas Masyarakat
Kiai Zaini Mun’im merupakan sosok Kiai yang punya kepedulian tinggi terhadap masyarakat. Ini bisa dilihat dari metode dakwah yang beliau terapkan. Dalam berdakwah, Kiai Zaini lebih dahulu memberdayakan masyarakat dari aspek ekonominya dan setelah ekonominya baik, barulah kemudian nilai-nilai agama diperkenalkan. Metode dakwah semacam itu ternyata lebih ampu daripada dakwah melalui panggung kepanggung yang bersifat seremonial.
Dalam buku yang ditulis M Masyhur Amin dan M Nasikh Ridwan tentang KH Zaini Mun’im (Pengabdian dan Karya Tulisnya) dijelaskan bahwa KH Zaini Mun’im adalah seorang ulama yang memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Memang kala itu, beliau sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Dalam berdakwah, Kiai Zaini Mun’im lebih mengutamakan dakwah bilisanil hal. Artinya beliau dalam berdakwah tidak melalui pendidikan terlebih dahulu, akan tetapi dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat yaitu membedayakan masyarakat bidang ekonomi dan disertai dengan nilai-nilai agama. Pada awal mula beliau datang ke Tanjung¬¬¬¬¬-sekarang Desa Karanganyar, terlebih dahulu mempelajari situasi dan kondisi ekonomi masyarakat sekitar. Karena Desa Karanganyar dulu merupakan pusatnya Bromocora, penyabung Ayam, Perjudian, Pelacuran dan sebagainya. Sehingga rawan pencurian, perampokan dan lain-lain.
Dalam situasi masyarakat yang demikian itulah, Kiai Zaini Mun’im memperkenalkan cara bercocok tanam yang baik, karena beliau melihat tanah di Desa Tanjung cukup produktif jika digunakan untuk bercocok tanam, hanya saja masyarakatnya tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Tanaman yang pertama kali diperkenalkan oleh Kiai Zaini Mun’im adalah tembakau yang bibitnya diambilkan dari Madura. Awalnya, bibit ini sebagai percobaan di desa Karanganyar.
Walaupun pada awalnya tanaman yang diperkenalkan Kiai Zaini mendapat cemoohan dari masyarakat karena tidak bisa dimakan, tapi beliau jalani dengan sabar. Terbukti, akan seiring berjalannya waktu, tanaman ini memang cocok dengan keadaan tanah di Desa Karanganyar, dan menjadi basis perekonomian masyarakat Paiton.
Dari situlah muncul ungkapan jika ada masyarakat yang akan mengadakan hajatan seperti mantenan, slametan dan lain sebagainya, mereka selalu bilang “tunggulah nanti pada musim tembakau”. Ungkapan ini menunjukkan betapa Kiai Zaini Mu’im telah berhasi merubah paradigma masyarakat, sehingga mereka bisa meninggalkan kebiasan-kebiasaan lama yang kurang baik. Berkat upaya Kiai Zaini Mun’im ini, sekarang tanaman tembakau menjadi andalan dan sandaran hidup masyarakat Paiton, dan saat ini pula banyak berdiri Gudang-Gudang tembakau dan Pabrik Rokok seperti PT. Gudang Garam di Paiton dan PT Sampoerna di Kraksaan.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Kiai Zaini Mun’im setelah perekonomian masyarakat mulai membaik dan meningkat melalui pertanian, disnilah mulai dimasukkan dan diperkenalkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Pihak-pihak yang pertama kali didekati dan disadarkan ialah Kepala Desa Tanjung. Setelah kepala Desanya berhasil didekati dan disadarkan, selanjutnya beliau mengajak masyarakat setempat untuk shalat Jumat bersama di Pendopo rumah kepala Desa yang kala itu merupakan orang paling kaya se desa Tanjung.
Dalam buku Biografi Kiai Zaini Mun’im dijelaskan bahwa pada awalnya, masyarakat hanya diajak untuk melakukan shalat jumat saja. Setelah berjalan beberapa bulan kegiatan shalat Jumat ini dan masyarakat mulai sadar, selanjutnya mereka diajak bersama-sama membangun Masjid Tanjung (sekarang Masjid Baitis Salam) juga diajak untuk mengikuti pengajian, baik yang dilaksanakan di Masjid maupun di rumah-rumah penduduk. Untuk mewadahi masyarakat dalam belajar agama, selanjutnya mulai dirintis Madrasah di luar pesantren yaitu Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA).
Pola dakwah yang digunakan oleh Kiai Zaini Mun’im cukup efektif dalam merubah prilaku dan paradigma masyarakat. Hal ini terbukti dengan pupusnya kepercayaan animisme dan dinamisme juga terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK di wilayah Paiton. Seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan baik dan beradab, sehingga saat ini, masyarakat Karanganyar khususnya dan Paiton pada umumnya telah menjadi masyarakat yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Perubahan-perubahan sosial yang telah dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya pada masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Bahkan, Pesantren yang kini diasuh Kiai Zuhri Zaini ini, nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia).
Demikianlah, sekulumit dari sekian banyak kiprah, keteladanan dan perjuangan KH Zaini Mun’im dalam berdakwah, dan masih banyak lagi pelajaran yang perlu kita petik dari beliau. Atas jasa-jasa beliau, hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni, dan banyak berkontribusi untuk keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara melalui pendidikan yang dikembangkan oleh PP Nurul Jadid. Akhirnya, semoga diusianya yang ke 72 PP Nurul Jadid tetap menjadi cahaya peradaban ilmu agama, ilmu pengetahuan, akhlak di tengah meredupnya nilai-nilai moralitas di masyarakat dan bangsa Indonesia secara umum. Akhirnya saya ucapkan selamat Harlah PP. Nurul Jadid yang ke 72 semoga tetap istiqomah mendidik generasi bangsa yang berkarakter sesuai nilai-nilai “Trilogi dan Panca Kesadaran Santri”. Wallahu A’lam.
Oleh     : Mushafi Miftah
(Santri PP. Nurul Jadid tahun 2005-2012, Sekarang mengabdikan diri sebagai Dosen Tetap Universitas Nurul Jadid)

Empat Langkah Meraih Zuhud, Menurut Kiai Zuhri Zaini

nuruljadid.net-Zuhud adalah ketidakbergantungan hati seseorang kepada dunia. Tapi bukan berarti menolak kehidupan dunia itu sendiri.
“Zuhud itu ketidak bergantungnya hati kita kepada dunia. Biar kita tidak terjebak dengan ketergantungan atau kecintaan kita pada dunia. Tapi bukan berarti tidak punya dunia itu sendiri,” tutur putra kelima, Pendiri PP. Nurul Jadid KH. Zaini Mun’im.

Dijelaskan lebih lanjut, godaan dunia itukan menyenangkan, sementara kita punya nafsu yang inggin selalu senang. Oleh karena itu, ketika kita menyaksikan hirup-pikuk dunia, akan muncul watak harus selalu menyukainya.
Karena pada dasarnya manusia cenderung untuk memiliki kehidupan dunia. Menurut beliau, ke-inginan untuk memilikinya adalah suatu bentuk ujian yang harus dilalui manusia. Sementara, bentuk perlawanan seseorang terhadap dunia adalah jihad.

“Dunia itu ujian. Kita menyenangi dunia, namun dianjurkan untuk meninggalkannya. Jadi seandainya kita tidak mencintai dunia, kita tidak perlu berjuang. Ketika kita melawan dorongan nafsu dunia kita, disitu adalah jihad asalkan karena allah,” jelasnya.

Hal tersebut diungkapkan Pengasuh PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, KH. Moh. Zuhri Zaini dalam kegiatan kajian kitab Kifayat al-Atqiya dan Wa Minhaj al-Ashfiya karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Matan Universitas Nurul Jadid (UNUJA), belum lama ini.

Kalau kita melawan kecintaan terhadap dunia karena Allah, itu bisa dinamakan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, orang yang melawan nafsunya, sesungguhnya masuk dalam jihad dun nafs (melawan hawa nafsu).

“Kita yang melawan kecintaan dunia karena allah itu namanya jihad fi sabilillah. Misalnya, orang senang mabuk atau ingin berzina seumpamanya, tapi kita tahan atau lawan, itu masuk dalam jihad dun nafs,” terang beliau.

Untuk menghilangkan kecintaan seseorang terhadap dunia, beliau mengatakan ada empat cara agar bisa zuhud:

Pertama,memaafkan perbuatan bodoh orang lain terhadap kita. Maksudnya, perbuatan orang bodoh yang tercela, walaupun pada dasarnya ia berpengetahuan atau pintar.

“Tapi merendahkan orang, memaki-maki kita, dan ghibah. Kemudian, kita memaafkan perbuatan orang bodoh itu. Maka masuk dalam bentuk zuhud,” tandasnya.

Kedua,mencegah atau menahan diri untuk tidak berbuat bodoh kepada orang lain. Karena menurut beliau ini bagian dari jihad.

“Begitu juga ketika kita menahan diri, tidak berbuat bodoh kepada orang lain itu termasuk jihad untuk menuju zuhud,” katanya.

Ketiga,tidak berharap balasan baik dari orang lain.

“Jadi kalau ada orang dermawan, dan suka membantu orang. Baik di balas atau tidak, orang lain itu berterimakasih atau pun tidak. Maka kalau dia ikhlas, akan terus berbuat baik kepada orang lain,” tampalnya.

Keempat,ialah membalas atau memberi kepada orang lain. Baik yang bersifat materi atau pun non-materi. Jika kita memberi karena ingin balasan, biasanya sifat seperti itu tidak akan lama.

Hal itu lebih mendahulukan keikhlasan kita memberi untuk orang lain yang akan membawa kepada bentuk zuhud.
“Karena ikhlas mendahulukan orang lain adalah salah satu ciri orang zuhud. Tapi semua itu, dalam ranah urusan dunia,” sambungnya.

Jika dalam ranah amal ibadah lebih mendahulukan orang lain, itu tidak bisa di katakan zuhud.

“Mendahulukan orang lain dalam hal amal ibadah atau amal akhirat bukan masuk dalam zuhud. Mendahulukan orang lain itu baik, kalau dalam urusan dunia. Misalnya, membagikan uang, kemudian kita mendahulukan orang lain,” tuturnya.

 

Penulis : Riadi

Tulisan ini diambil di www.ngopibareng.id.

Kritik Kiai Zaini Mun’im Atas Tafsir Jalalain

nuruljadid.net-Dalam tulisan sebelumnya, hamba sebut bahwa kitab kesukaan Kiai Zaini Mun’im, pendiri Pesantren Nurul Jadid Paiton, sebagaimana dituturkan putra beliau, Kiai Zuhri Zaini, adalah kitab Tafsir Jalalain Dan Kitab Riyadl al-Shalihin. Nama pertama adalah kitab tafsir yang menjadi banyak bacaan di Pesantren di Indonesia. Sementara nama kedua adalah nama kitab yang berisi hadis-hadis nabi yang ditulis oleh al-Imam al-Nawawi. Dua kitab itulah yang menjadi bacaan kesukaan beliau di hadapan santri Nurul Jadid masa-masa awal.

Kiai Zaini Mun’im ini adalah satu dari beberapa kiai yang diakui kealimannya oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, beliau menjadikan Kiai Zaini sebagai protype kiai dalam hal ilmu agamanya, dalam sebuah momen, beliau berdawuh, “Tujuan Ma’had Aly Situbondo bukan politik tetapi ingin cetak ulama seperti Kiai Zaini Mun’im dan Kiai Asnawi Kudus.”  Kiai As’ad mengenal Kiai Zaini dalam waktu yang cukup lama. Keduanya nyantri kepada Syaichona Kholil Bangkalan dalam waktu yang bersamaan. Bedanya; jika Kiai As’ad sering bertugas di dhalem Kiai Kholil, maka Kiai Zaini bertugas di musalla pesantren. Itulah kisah yang penulis sempat dengar dari beberapa sumber.

Sepulang dari Bangkalan, keduanya menjadi kiai terkemuka, Kiai As’ad meneruskan ayahnya, Kiai Syamsul Arifin, mengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, sementara Kiai Zaini Mun’im, mendirikan pesantren Nurul Jadid, di daerah Paiton Probolinggo. Nah, di pesantren yang ia rintis, Kiai Zaini rutin memberikan pengajian Tafsir Jalalain dan Riyadl al-Shalihin.

Kepakaran Kiai Zaini dalam ilmu keagamaan khususnya tafsir dan fikih tidak diragukan. Khusus dalam bidang tafsir, salah seorang kawan saya, Irfan, santri Ma’had Aly Nurul Jadid, bercerita bahwa Kiai Zaini memiliki karya dalam bidang tafsir, hanya saja tidak sampai selesai ditulis beliau sudah menghembuskan nafas terakhir. Keahlian beliau dalam bidang tafsir terbaca juga ketika memberi pengajian di hadapan santri, tak jarang beliau memberikan “keberatan” atas penafsiran dari seorang mufassir. Misal seperti penolakan beliau kepada penafsrian al-Suyuti ketika menafsiri salah satu ayat dalam Surat Yusuf.

Baca juga:  Sabilus Salikin (14): Rabitah (Merabit)

Cerita ini dikisahkan oleh Kiai Zainul Muin Husni, santri Nurul Jadid di masa Kiai Zaini Mun’im, yang saat ini menjadi dosen penulis di Ma’had Aly Situbondo. Dalam sebuah kesempatan, Kiai Zainul bercerita bahwa ketika menafsiri kisah asmara nabi Yusuf dan Zalikha dalam Qs. Yusuf 24, Kiai Zaini tampak tak setuju dengan penafsiran al-Suyuti. Secara lengkap, ayat tersebut berbunyi:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ

“Dan Sungguh, perempuan itu (Imraah aziz) telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf berkehendak kepadanya (Imra’atu Aziz) seandainya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf [12]: 24)

Ketika menjelaskan “tanda” itu al-Suyuti mengutip Ibnu Abbas yang menyebut bahwa saat itu Nabi Ya’qub, ayahanda Nabi Yusuf, tiba-tiba tampak di hadapan putranya itu, lalu beliau menepuk dada anaknya dan seketika hasratnya pudar seperti keluar dari jari-jarinya. Yang membuat Kiai Zaini Mun’im memberi kritik keras adalah tatkala al-Suyuti menafsiri jawab laula (لولا) pada ayat di atas dengan kata “Lajama’aha” (لجامعها), seperti yang ditulis al-Suyuti Tafsir al-Jalalain:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ} قَصَدَتْ مِنْهُ الْجِمَاع {وَهَمَّ بِهَا} قَصَدَ ذَلِكَ {لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَان ربه} قال بن عَبَّاس مُثِّلَ لَهُ يَعْقُوب فَضَرَبَ صَدْره فَخَرَجَتْ شَهْوَته مِنْ أَنَامِله وَجَوَاب لَوْلَا لَجَامَعَهَا

Baca juga:  Bagaimana Imam al-Qusyairi Menafsirkan Nahwu dalam Dunia Tasawuf?

“(Dan dia (perempuan) itu berkehendak kepadanya), artinya perempuan itu hendak bersetubuh dengan Yusuf. (Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya), yakni berkehendak seperti itu. (Seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya) Ibnu Abbas berkata, “Yakqub menampakkan diri di hadapan Yusuf lalu memukul dadanya, maka keluarlah syahwatnya dari jari-jemarinya. Jawab dari kata “laula” adalah “lajama’aha.”  

sehingga secara utuh pemahaman redaksi ayatnya begini, “Seandainya dia (Yusuf) tidak melihat tanda dari Tuhannya niscaya dia telah menyetubuhi perempuan itu.”

Titik kritik Kiai Zaini adalah penafsiran di atas tidak sesuai dengan posisi kenabian yang digaransi dengan sikap ma’shum, yaitu keterjagaan dari melakukan dosa baik sebelum atau sesudah menjadi nabi. Dalam pandangan Kiai Zaini, untuk keluar dari tudingan tidak baik kepada nabi Yusuf, maka jawab dari “Laula” pada ayat di atas adalah disebutkan sebelumnya, yaitu lafaz “Hamma”, berkehendak (dalam ilmu Nahwu ada keterangan boleh mendahulukan jawab atas syarat). Sehingga redaksi penafsiran yang ditawarkan oleh beliau adalah:

“Seandainya dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya dia telah berhasrat pada perempuan itu.” Mafhum dari penafsiran ini adalah, karena tanda itu ada, maka jangankan menyetubuhi, berhasrat saja tidak. Model tafsir ini bisa disebut tafsir yang menghindar dari penafsiran yang agak ngeri-ngeri sedap, yang mengatakan bahwa seandainya tidak ada tanda dari Tuhan, maka nabi Yusuf akan menyetubuhi Zalikha.

Baca juga:  Indonesia: Negara Kesejahteraan

Alur fikir seperti yang diambil Kiai Zaini Mun’im adalah persis seperti sikap penulis Hasyiyah (catatan) pada Tafsir Jalalain, yaitu Syaikh Ahmad al-Shawi dalam Hasyisyah al-Shawi. Beliau menulis ketika menafsiri ayat di atas:

وقيل ان قوله وهم بها هو الجواب والمعنى لولا ان راى برهان ربه لهم بها امتنع همه بها لرؤية برهان ربه فلم يقع  هم اصلا وحينئذ فالوقف على قوله ولقد همت به وهذ هو الاحسن في هذ المقام لخلوه من الكلفة والشبهة.

“Dan dikatakan bahwa firman Allah, “ia (Yusuf) berkehendak adalah jawab. Jadi artinya, sekiranya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya ia akan bermaksud untuk menyetubuhi perempuan itu. Di sini berkehendak dari selingkuh tercegah, karena Yusuf melihat tanda dari Tuhannya. Maka tak ada kehendak untuk itu sama sekali. Dengan demikian pembacaan ayat ini diwaqafkan (berhenti) pada kalimat pada kalimat “Wahamma biha” Pendapat ini merupakan pendapat yang terbaik dalam konteks pembahasan ini karena terhindar dari pemaksaan dan kerancuan.”

Dalam cerita Kiai Zainul Muin, ketika sampai pada pembahasan ayat di atas itu, biasanya Kiai Zaini dengan tegas mengatakan, “Ini penafsiran yang keliru!”

Beliau tak seperti biasanya yang jika menemukan penafsiran yang menurut beliau salah, berkomentar, “Ini salah cetak, yang benar kira-kira begini”.

 

 

*) Penulis : Ahmad Husain Fahabu (Saktri aktif Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo, Jatim)

*) Tulisan ini diambil dari alif.id

*) Publisher : Ponirin Mika

 

Saya Bangga Menjadi Muridnya

nuruljadid.net- Beliau contoh sempurna tentang ikhtiar, doa dan tawakkal. Ya, beliau adalah KH. Zuhri Zaini, Pengasuh PP. Nurul jadid itu. Kiai yang terkenal sebagai sosok yang sederhana, telaten, penyabar dan alim. Mungkin semua orang yang pernah berinteraksi dengan beliau akan terpana dengan akhlaqnya. Semua kategori baik, hampir melekat semuanya pada beliau. Beliau khusu’, beliau wira’i, beliau tawadlu, beliau khumul, beliau tak kemrungsung dan yang paling keren, beliau mengikuti perkembangan zaman. Untuk yang satu ini, kehebatan beliau diapresiasi khusus oleh Prof. Mahfud MD. Menurutnya, hanya KH. Zuhri Zaini dan KH. Afifuddin Muhajir (PP. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo) yang memiliki kemampuan setara, alim dalam ilmu-ilmu agama, namun juga lihai memahami dan menjelaskan perkembangan zaman dalam bahasa tulis yang indah dan konprehensif.

Segala pujian pada beliau tentu tak akan ngefek sama sekali, beliau tak akan terbang karena dipuji, dan tak akan tumbang karena dicaci. Hanya Allah yang menjadi tujuan dan konsentrasinya. Karena itu, jikapun beliau membaca tulisan ini, pasti tak akan membekas.

Namun saya penting menulis, bukan karena saya santrinya, bukan, bukan karena itu saja, yang terpenting adalah ibrah dari sosok beliau. Lebih-lebih di saat pandemi Covid 19 sedang brutal memapar siapa saja.

Saya tahu persis bagaimana protokol kesehatan benar-benar dipraktekkan di PP. Nurul Jadid sejak virus ini menyerang. Protokol pencegahan dan penanganan virus Corona benar-benar dipraktekkan. Tamu yang berkunjung, pengurus yang keluar masuk ke pesantren harus melalui proses pemeriksaan kesehatan dan sterilisasi virus san bakteri super ketat.

Apakah itu cukup? Tidak. Beliau tetap memakai masker dan selalu ditemani handsanitizer setiap morok (ngajar). Foto-foto dibawah menunjukkan keseriusan dan pembelajaran langsung oleh beliau. Beliau tak hanya menyarankan para santri untuk selalu mempraktekkan protokol hidup sehat, tapi lebih dari pada itu, beliau memberi contoh. Contoh ikhtiar dan tawakkal yang sempurna.

Dalam satu sesi pengajian, nampak beliau agak terganggu dengan masker yang beliau kenakan. Kemungkinan ukurannya yang terlalu kecil, hingga mengganggu nafas beliau. “Bek tapeggeh”, ujar beliau. Tapi beliau sama sekali  tak berusaha mencopot dan menanggalkan masker yang dipergunakan dan terus morok hingga selesai. Sekitar 1,5 jam beliau bertahan dengan masker yang kekecilan tadi.

Sekali lagi, saya bangga menjadi santri beliau. Semoga beliau senantiasa sehat dan diberi umur panjang sehingga terus menginspirasi kami, santri-santrinya. amin

 

 

*)Penulis: M saeful bahar.

*) Tulisan Opini ini diambil dari timesindonesia.co.id

*) Publisher : Ponirin Mika

KH. Zuhri Zaini; Bapak Habibie itu Pekerja Keras dalam Belajar dan Mengabdi

Sebuah ‘Pelajaran’ dari Nurul Jadid

nuruljadid.net- SUNGGUH, Kiyai Zuhri – pengasuh Pesantren Nurul Jadid ini tidak hanya sedang membaca kitab Adābu Sulūkil Murīd, kitab tentang akhlak yang disusun oleh Al-Habib Abdullah bin Alawy al-Haddad. Pun tidak cuma sekedar menjelaskan isinya secara panjang lebar, disertai dengan contoh-contoh kasus kekinian yang sangat menginspirasi.

Ya. Tidak hanya itu. Coba, perhatikanlah, bagaimana pemandangan dan suasana pengajian khatmil kutub —yaitu tradisi ngaji kitab sampai khatam menjelang dan selama bulan Ramadhan— yang disiarkan secara live streaming melalui facebook dan channel youtube itu. Ya Allah… Kiyai Zuhri mengenakan masker, dan di mejanya terlihat ada hand sanitizer.

Lihatlah, betapa beliau memberikan teladan yang amat menawan, bagaimana seharusnya kita berikhtiar dan meningkatkan kewaspadaan secara maksimal agar bisa terhindar dari risiko penularan virus yang sedang mewabah. Seolah hendak membantah orang yang mengatakan, “Aku hanya takut kepada Allah, tidak takut pada corona!.”

Lihatlah, betapa beliau memberikan contoh yang amat indah tentang disiplin dan kepatuhan dalam melaksanakan protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Ngaji dengan memakai alat pelindung diri. Lalu disiarkan secara live streaming agar santri yang sudah ‘dirumahkan’ tetap bisa mengaji. Begitupun masyarakat umum, termasuk saya dan sahabat-sahabat saya —para alumni.

Subhanallah. Kyai Zuhri mendidik para santrinya dengan teladan dan contoh konkrit. Sungguh ini sebuah pelajaran dari Nurul Jadid yang nilainya tiada terperi. Inilah salah satu hikmah dari musibah corona yang wajib kita syukuri.

 

* Penulis H Amin Said Husni, Pemerhati sosial keagamaan yang tinggal di Bondowoso

*)Tulisan Opini ini diambil dari timesindonesia.co.id

*) Publisher : Ponirin Mika

KH. Hasyim Zaini Teladan Akhlak dari Nurul Jadid

nuruljadid.net- Dahulu, Desa Karanganyar di Kecamatan Paiton- sekitar 30 meter arah timur Kota Probolinggo, Jawa Timur- dikenal sebagai kawasan yang tak aman. Pertanian tak hidup disana. Masyarakat setempat tinggal dalam kondisi memprihatinkan. Berbagai aksi kejahatan marak terjadi. Orang- orang bahkan menyebut desa tersebut sarang penyamun.

Keadaan berubah sejak 1948, ketika KH. Zaini Mun’im datang ke kawasan itu. Mulanya kiai tersebut tiba disana untuk menghindari kejaran militer belanda. Sembari bersembunyi dari mata-mata kolonial , ia juga berdakwah ditengah masyarakat. Seiring waktu, ia berhasil mendirikan Pesantren Nurul Jadid di Desa Karanganyar. Akhirnya, desa tersebut berubah menjadi lebih aman dan relegius.

Tokoh yang dibahas dalam “Mujadid” kali ini ialah salah satu putra Kiai Zaini Mun’im, Yakni KH. Mohammad Hasyim Zaini. Ia merupakan putra sulung sang pendiri Pesantren Nurul Jadid. Kiai Hasyim mengikuti jejak ayahnya, ia dikenal sebagai ulama yang sangat lemah lembut dan santun. Anak pertama dari tujuh bersaudara itu meneruskan perjuangan sang ayah dalam membesarkan lembaga tersebut. Khususnya, setelah Kiai Zaini wafat pada 26 Juni 1976.

Dari literatur yang ada, tidak diketahui pasti kapan tanggal dan tahun kelahirannya. Yang jelas, KH. M. Hasyim Zaini menjadi Pengasuh Pesantren Nurul Jadid sejak 1976 hingga wafatnya pada 1984. Selama kepemimpinannya, institusi pendidikan itu semakin berkembang pesat.

Tumbuh dalam lingkungan keluarga ahli agama, M Hasyim kecil dididik menjadi pribadi yang saleh dan alim. Selain belajar kepada ayahnya, ia juga memperoleh ilmu dari ibundanya tercinta, Nyai Hj Nafi’ah.

Sebagai putra seorang kiai, Hasyim sangat patuh dan tawadhu terhadap kedua orang tuanya. Adapun sebagai santri, ia memiliki kecerdasan yang tinggi. Selain itu, dirinya juga sangat tekun dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Hal ini dapat dilihat dari catatan pinggir yang dibuatnya pada seluruh kitab yang dibacanya. Catatan-catatan itu berisi penjelasan dari guru-gurunya , termasuk ayahandanya.

Sedari muda, Hasyim berkeyakinan, semua ilmu yang didapatkan dari gurunya harus dicatat. Ikatlah ilmu dengan tulisan agar tidak mudah hilang, demikian kata-kata bijak yang dipegangnya. Baginya, sesuatu yang ditulis akan kekal. Jika hanya didengar, akan mudah hilang.

Menginjak usia dewasa, Hasyim melanjutkan pencarian ilmunya ke Pondok Pesantren Paterongan, Jombang. Lembaga tersebut saat itu diasuh KH. Musta’in Ramli. Sebelum berangkat, ayahandanya berpesan agar selama belajar di pesantren dirinya tidak mengandalkan orang tua, melainkan Allah SWT. Nasehat ini begitu membekas dalam ingatan pemuda tersebut.

Setelah belajar di Pesantren Paterongan, akhirnya M Hasyim kembali ke Paiton. Waktu itu, ia membantu ayahnya dalam mengurus pesantren dan mendidik para santri Nurul Jadid. Akhirnya, ia dapat meneruskan pendidikan tinggi di Akademi Dakwah dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIP-NU). Lulus dari sana, ia berhasil meraih gelar sarjana.

Mengasuh Pesantren

Setelah KH Zaini Mun’im wafat, KH M Hasyim Zaini kemudian meneruskan tugas sebagai pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid. Sebagai pengasuh kedua, Kiai Hasyim mampu memberikan warna terhadap konseppembinaan dan penataan lembaga pendidikan di sana.

Jumlah santri pada masa Kiai Hasyim juga meningkat drastis. Seperti yang dicatat dalam laman resmi Nurul Jadid, pada 1983 jumlah santri setempat mencapai sekitar 2.000 orang. Ini menandakan besarnya minat para orang tua dalam menitipkan buah hatinya dalam bimbingan Nurul Jadid.

Saat menjadi pimpinan pesantren, Kiai Hasyim dibantu adik-adiknya. Selain itu, ia juga didukung KH Hasan Abdul Wafi yang duduk menjadi pimpinan Dewan Pengawan Pondok Pesantren Nurul Jadid pada 1976.

Para santri Nurul Jadid terus diupayakan agar bisa memperdalam ilmu-ilmu agama. Santrinya juga terus ditempa untuk menguatkan khazanah kitab-kitab kuning. Lembaga ini menyelenggarakan beragam jenjang pendidikan. Mulai dari madrasah ibtidaiyah (MI), madasah tsanawiyah (MTs), hingga madrasah aliyah (MA). Antara tahun 1979 dan 1980. Kiai Hasyim merintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah. Dengan begitu, para santri dapat meneruskan pencarian ilmu-ilmu agama di lingkungan Nurul Jadid.

Kiai Hasyim tak berjarak dengan para santri. Ia selalu mendorong semangat mereka agar semangat menuntut ilmu dan hidup mandiri, Maka dari itu, ia mendukung pembekalan keterampilan hidup bagi para santri. Beberapa diantaranya dikirim mengikuti rupa-rupa pelatihan, baik tingkat wilayah maupun nasional.

Di Nurul Jadid, Kiai Hasyim merealisasikan adanya sentra keterampilan santri. Misalnya, keterampilan elektro, percetakan, menjahit, pertanian, serta penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Sosok Teladan

KH M Hasyim Zaini merupakan sosok ulama yang sangat mengutamakan akhlaq al-karimah. Kepada santrinya, ia selalu berpesan agar selalu menjaga etika. Sebab, Rasulullah Muhammad SAW mendapatkan gelar al-Amin (“yang terpercaya”) karena akhlaknya yang baik. Nabi SAW pun disenangi kawan dan disegani lawan.

Kiai Hasyim juga merupakan ulama yang lemah lembut. Meski harus marah, ia tidak pernah menampakkan perasaan amarah. Ini sepertinya yang dialami salah satu santrinya, Hasyim Syamhudi.
Ia menuturkan, ketika bulan Ramadhan, sebagian santri Nurul Jadid pulang ke kampung halaman masing-masing. Syamhudi yang kala itu menjadi pengurus pesantren. Untuk mengisi waktu luang, ia dengan beberapa temannya pergi ke Kraksaan untuk menonton bioskop. Film yang diputar menampilkan kisah perjuangan seorang santri dalam berdakwah di daerah pedalaman.

Seusai menonton bioskop, Syamhudi dipanggil Kiai Hasyim. Mendapat panggilan tersebut, Syamhudi terkejut. Di kediamannya, sang pemuka Pondok Pesantren Nurul Jadid itu bertanya tentang perasaan santrinya tersebut saat menonton film.

Kepada kiainya itu, Syamhudi pun mengaku senang. Sebab, film tadi bercerita tentang kehidupan seorang santri. Bagaimanapun, Kiai Hasyim menasehati, menonton film di bioskop itu bagi seorang santri bisa menimbulkan fitnah. Apalagi, Syamhudi sendiri merupakan pengurus pesantren.
‘Film itu tidak haram, gedung bioskop juga tidak haram, tapi yang perlu dipertimbangkan adalah opini masyarakat bahwa film dan bioskop itu nuansanya jelek. Sementara ananda adalah pimpinan, baik di sini di Tanjung, dan di Kraksaan,” Ujar Kiai Hasyim saat menasehati Syamhudi.

Mendengar teguran tersebut, Syamhudi kemudian memohon maaf. Ia mengaku siap menerima hukuman. Kiai Hasyim pun menyuruhnya untuk berdiri di depan rumahnya sembari membaca istighfar sebanyak seribu kali.
Sebagai pendidik, Kiai Hasyim dikenang sangat sabar dan telaten. Misalnya, saat mengajar ilmu falak di MA Nurul Jadid, ia tidak hanya menjabarkan teori-teori seputar ilmu tersebut. Para murid juga diajaknya untuk praktik langsung tentang bagaimana mengetahui waktu. Ini juga diterapkannya ketika mengajar kitab kuning di Masjid Jami’ Nurul Jadid.
Akhlak mulia Kiai Hasyim juga tampak dari perilaku sehari-hari. Jika ada seorang tamu yang menunduk di hadapannya, sang kiai akan lebih menundukkan kepalanya daripada si tamu. Saat tamunya akan pulang, ia juga selalu mengantarkannya sampai ke gerbang. Setelah tamu hilang dari pandangan mata, barulah dirinya masuk ke rumah.

Dalam tiap perjalanan, misalnya, ketika berpapasan dengan seseorang yang dikenal, Kiai Hasyim akan memilih berhenti. Lantas, ia turun dari kendaraan dan menghampiri orang tersebut untuk berjabat tangan sembari menanyakan kabarnya.
Pengakuan tentang kemuliaan akhlak dan kelembutan Kiai Hasyim telah diakui kalangan ulama. Sebut saja KH Mahrus Ali, Habib al-Imam bin Abdullahal-Alawy, atau KH Hasan Saiful Rijal dari Pesantren Zainul Hasan Genggong.

Di antara nasihat-nasihat sang kiai kepada santrinya ialah,”Orangyang temperamental mungkin akan berhasil, tetapi sedikit temannya. Sementara, orang yang berakhlakul karimah dan lembah lembut akan berhasil dan banyak temannya.

 

Oleh.                       : Muhyiddin
Sumber tulisan : Koran Republika (14 Juni 2020)
Publisher.              : Ponirin Mika

Perlunya Mengenali Diri Bagi Manusia

nuruljadid.net-Manusia sebagai abdullah memiliki derajat paling tinggi daripada mahluk Allah lainnya. Ia disebut sebagai mahluk mulia karena dibekali akal fikiran dan nafsu. Dengan akal dan nafsu manusia memiliki dan tanggung jawab untuk mengagungkan penciptanya. Sebagai mahluk sosial, ia memiliki peran dan tugas untuk melestarikan serta menjaga dunia dan segala isinya. Pada diri manusia ada unsur jasmani dan rohani yang ini sangat membutuhkan asupan nutrisi, agar mampu berjalan beriringan sesuai dengan cita-cita Tuhan pada saat manusia diciptakannya. Disamping itu, tuhan telah mendeklarasikan dalam hadis qudsinya

 انا سر وسري في خلقي

“Aku adalah rahasia, dan rahasiku ada pada makhlukku”

Tentu, dalam perjalanan mengawal tugas suci ini, manusia ada kalanya melakukan pendikotomian tugas dari dua unsur jasmani dan rohani terutama berkait dengan nalar pikirannya sehingga berakibat pada munculnya berbagai aliran sekte keagamaan. Realita yang tak terbantahkan pula pada manusia, karenanya ada yang lebih mengedepankan jasmani, melupakan unsur rohani lebih tepatnya seperti puasanya orang awam atau ahli syari’at yang menurut sebagian orang hanya mengenali agama kulitnya semata. Namun ada pula yang lebih memprioritaskan rohani lalu melupakan unsur jasmani. Dan pada akhirnya orang seperti ini merasa dirinya telah menyatu atau bahasa lain merasa wushul kepada Tuhan. Dengan pengakuan yang berlebihan itu, terkadang merasa dirinya adalah Tuhan. Lalu bagaimana alqur’an menjawab itu semua…?

Ingkarnasi Sebuah Problem

Berawal dari keyakinan bahwa Roh manusia adalah abadi, kekal, tidak hancur berbeda dengan unsur  jasad, mayoritas orang sepakat akan hal itu sebab roh adalah bagian dari unsur ketuhanan yang tercipta dariNya, sesuai firmannya Qs. Ash-shad ayat 72, namun keabadian roh manusia itu bagaimana, berlocus dimana, lalu kemana..?

Tidak ragu melalui tulisan ini saya sampaikan bahwa aqidah Aswaja annahdhiyah berbeda dengan aqidah agama Hindu dan Budha. Konsep Reingkarnasi mereka tidak lebih dari sekedar jelmaan dan jebakan teori evolusi Carles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Ini menjadi problem sampai detik ini masih belum menemukan titik kesimpulan. Allah menyampaikan dalam ayatnya bahwa penciptaan manusia bukan dari proses evolusi tetapi dicipta dari tanah Qs. Al-Hijr:26 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. dari saripati tanah atau nuthfah Qs. At-Thariq:6-7 “Manusia diciptakan dari air mani yang terpancar, keluar dari tulang sulbi dan dada.

Roh yang terbelenggu

Sejatinya Roh manusia memang suci dan kekal berbeda dg makhluk Tuhan selain roh yang akan mengalami kerusakan, hancur dan binasa. Walaupun roh itu kekal tetapi ia bukan Tuhan tidak sama seperti keyakinan sebagian aliran kejawen yang tanpa ragu bahwa Roh adalah Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Allah dalam firman Nya.
واذا سويته ونفخت فيه من روحي ، فقعوا له سجدين
Apabila telah ku sempurnakan proses penciptaannya lalu Aku tiupkan roh buatanku…, Qs. Asshad Ayat 72.

Dalam proses selanjutnya Roh suci itu akhirnya terbelenggu ketika bersemayam pada tubuh dhahir dan tidak menutup kemungkinan akan mengalami mutanajjis apabila ia lalai mengingat Tuhannya. Itulah kemudian dzikir untuk menyucikan hati agar terhindar dari 10 sifat tercela yang diantaranya; gibah, menfitnah, adu domba, takabbur, sum’ah, riya, ujub. Itu semuanya akan jauh dari manusia asalkan ia (manusia) berupaya mengikuti petunjukNya yang telah termaktub dalam alquran dan hadits Nabi.

Perjalanan Roh Manusia

Pada saat manusia meninggal dunia (mati) roh manusia akan keluar menuju kehidupan yang lebih sempurna dari kehidupan dunia, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Addhuha ayat 4.
وللا خرة خير لك من الاولي
“Kehidupan Akhirat (sesudah kehidupan dunia) lebih baik bagimu dr kehidupan dunia hari ini, Qs. Al-A’la ayat 17.
وللاخرة خير وابقي
“Kehidupan Akhirat atau sesudah dunia ini lebih baik dan lebih kekal serta abadi”

Bagi roh manusia yang terbelenggu disebabkan oleh perilakunya. Ia membutuhkan penyuciaan agar lepas dari belenggu tersebut, agama mengajari penyucian ini dengan beberapa cara seperti; puasa, berdzikir, do’a, infaq, shadaqoh, Amal shalih. Pada hakikatnya roh itu tidak mati ia hanya pindah alam, sebagaimana penjelasan Allah dalam surat Al-baqorah Ayat 154, dan Ali Imran ayat 169.

“Kamu jangan mengira/mengatakan bahwa hambaku yang gugur dijalanku adalah mati, tetapi mereka hidup hanya sj mereka tdk menyadarinya, mereka bahkan diberi rizqi oleh Allah” dan pada perjalanan terakhirnya ia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah sebuah konskewensi bahwa Tuhan tdk menciptakan dunia ini ‘abatsa atau main-main, dan Dia sebagai raja hari pembalasan”.

Dengan momentum bulan ramadlan ini, mari kita segarkan kembali unsur jasmani dan rohani kita dengan memperbanyak ibadah, baik berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah, banyak hal yg bs kita lakukan utkagar mampu mengantarkan diri kita menjadi insan ahsanu taqwim atau dengan bahasa lain menjadi manusia paripurna yang tentunya akan membuahkan hasil pada diri kita menjadi insan yang mengerti hak dan kewajiban sebagai hamba Allah yang sholih/sholihah.

 

Penulis : Mohammad Ruslan, SHI

Penyuluh Agama Kec. Kanganyan, Kangean dan Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid tahun 2009

Editor  : Ponirin Mika

Idul Fitri, Panggung Pemaafan Antar Umat

nuruljadid.net- Hari raya idul fitri tahun 1441 kemungkinan besar akan jatuh pada hari Ahad 24 Mei 2020. Dalam hal ini Muhammadiyah telah mengeluarkan edaran berkait tibanya hari raya 1441 jatuh pada hari tersebut. Berbeda dengan NU yang sampai detik ini belum mengeluarkan keputusan. Sebab, dalam tradisi NU untuk menentukan pelaksanaan hari raya biasanya harus menunggu sidang itsbat.

NU dan Muhammadiyah tidak terlalu berdebat terkait methode penetapan hari raya, meskipun pada beberapa tahun sebelumnya kedua organisasi ini seringkali mengalami perbedaan penentuan hari dalam pelaksanaan hari raya (1 syawal). Dua organisasi ini cukup dewasa di dalam menghargai perbedaan satu sama lain.  Kedewasaan muncul tidak lain akibat dari ketinggian ilmu yang dimilikinya. Lebih-lebih soal methode istinbath yang dipakai oleh keduanya. Penulis tidak akan membahas soal ini, biarlah hal tesebut menjadi pembahasan tersendiri oleh kedua organisasi besar yang ada di Indonesia ini.

Pengertian Idul fitri sangat beragam diantaranya, memiliki arti hari kembali pada kesucian dan ada yang menyebutkan hari diperbolehkannya makan. Mayoritas umat umat islam lebih memilih makna Idul fitri hari kembali kepada kesucian. Sebab momentum idul fitri diharapkan tidak menjadi ibadah ritual semata tanpa berimplikasi kepada kebersihan hati dan mental setiap umat muslim. Prof. Dr. Nur Cholis Madjid seorang pemikir modernis islam masih memaknai idul fitri sebatas ranah mental-individual, dengan mengumpamakan puasa ramadhan sebagai momen purgatoria atau pertaubatan dan idul fitri sebagai momen yang lebih tinggi, yakni memasuki paradiso atau surga dengan syarat tetap menjaga kesucian diri (tazkiyatun nafs) yang terisolasi dari problem material kaum muslim.

Tentu idul fitri sebagai hari kemenangan umat islam di dalam melawan nafsu selama sebulan lamanya. Kemenangan yang bisa mengantarkan kepada derajat ketakwaan apabila kemenangan tersebut dialami oleh jasmani dan rohani (lahir dan batin). Derajat ketakwaan tidak akan digapai oleh umat islam apabila kemenangan itu dirasakan oleh salah satu diantara jasmani dan rohani. Kita tetap pada sebuah keyakianan, amal baik yang dilakukan oleh setiap manusia pasti memiliki dampak positif dan akan bernilai di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.  Karena tidak satupun umat manusia yang bisa memastikan amal yang dikerjakannya diterima olehNya.

Melalui hari raya ini, panggung pemaafan antar sesama umat harus dihadirkan dengan punuh ketulusan. Idul fitri momentum dimana manusia harus kembali menjadi fitrah sama seperti tatkala ia baru dilahirkan.

Rasulullah bersabda, Setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Manusia yang baru dilahirkan ibarat kertas putih yang kosong. Artinya, ia tidak memiliki dosa karena terlahir dalam keadaan fitrah. Kesalahan itu datang sejalan dengan perjalanan manusia di dalam bertingkah, berucap baik disengaja maupun tidak. Karena manusia tidak akan terlepas dari kesalahan baik kepada sang pencipta (Allah) maupun kepada sesama manusia. Seyogyanya dalam idul fitri ini (lebaran) permohonan maaf dan pemberian maaf perlu dilakukan. Apabila mampu melakukannya, derajat takwa akan dicapai dengan sempurna.

 

 

Oleh : Ponirin Mika*

*Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) PP. Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.

Pribadi Bersih Baginda Nabi

Kebersihan menjadi barometer terjaga nya kesehatan baik dalam badan maupun lingkungan. apalagi di musim pandemi ini, semua orang di wanti-wanti untuk selalu mencuci tangan, menjaga stamina tubuh, menggunakan masker, menjauh dari keramaian, serta mengurangi sentuhan ke area wajah dan benda-beda di tempat umum sebagai upaya menghindari terjangkit virus covid 19.

Sebagai inspirasi terbesar dalam gerik gerik kehidupan dan sosok suri teladan, Nabi juga sangat memperhatikan kebersihan badan beliau. Indikasi terbesar bahwa baginda merupakan sosok yang sangat menjaga kebersihan ialah keistimewaan beliau, yakni memiliki keharuman badan dan keringat yang melebihi bau minyak wangi dan aroma misik.

Uraian tentang sosok pribadi yang sangat memperhatikan kebersihan anggota badannya ini dapat dibaca dalam kitab berjudul Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam al-Insan al-Kamil karya Sayyid Muhamad bin Sayyid Alawi bin Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani dalam bab كمال إعتنائه بمظهره الشريف Berikut penjelasannya,  

Pertama, Sayyid Alawi al-Maliki memaparkan bahwa Nabi selalu menjalankan aktivitas mencuci tangan baik sebelum maupun sesudah makan, senantiasa bersiwak dalam segala keadaan, memelihara kebersihan sisi-sisi tubuh dengan memotong kuku dan kumis serta mencabut bulu ketiak. Rasulullah juga memerintahkan umatnya untuk selalu menjaga kebersihan, sebab Allah sebagai  zat yang maha bersih mencintai kebersihan. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh imam Thurmudzi,  Rasulullah bersabda:

إن الله طيب يحب الطيب نظيف يحب النظافة وكريم يحب الكرم جواد يحب الجود

(sesungguhnya Allah adalah zat yang maha baik (dan) mencintai kebaikan, maha bersih (dan) mencitai kebersihan, maha mulia (dan) mencintai kemuliaan, maha dermawan( dan) mencintai kedermawanan) (H.R. Thurmudzi)

Kedua, memperhatikan kebersihan rambut dan dan bercelak. Nabi tidak hanya membersihkan rambutnya, tetapi juga melumuri dengan minyak rambut. Sayyid al-Maliki mengutip dari Sebuah riwayat dikisahkan dari sahabat Anas r.a bahwa Nabi sering menggunakan minyak rambut dan mengurai jenggot nya serta menggunakan qana’ (sepotong kain kepala yang melindungi serban ketika menggunakan minyak rambut), beliau juga memakai celak disetiap malam.

Ketiga, memelihara kebersihan gigi. Nabi selalu memastikan kebersihan di sela-sela gigi beliau setelah mengunyah makanan. Sayyid Alawi al-Maliki melanjutkan bahwa Nabi dalam upaya menjaga kebersihan dan wangi nya mulut senantiasa bersiwak di setiap keadaan, seperti ketika hendak melaksanakan sholat dan melantunkan al-Quran, ketika akan dan setelah bangun dari tidur, ketika hendak berangkat atau setelah kembali dari perjalanan, bahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhori Nabi bersabda;

لولا ان اشق على امتي لأمرتهم بالسواك

 “andai saja tidak memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak” (H.R. Bukhori) dalam riwayat lain dari Imam al-Barazi dan al-Tabrani menggunakan redaksi “ Niscaya akan aku wajibkan bersiwak atas mereka ketika hendak menunaikan shalat sebagaimana aku wajibkan atas mereka berwudhu’ ”

 Keempat, perhatian atas pakaian. Sayyid Alawi al-Maliki menuturkan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimpin para nabi, oleh sebab itu beliau merupakan paling bersihnya mahluk Allah dalam segi badan, pakaian, rumah dan majelis nya. Sebuah hadis diriwayatkan oleh Ibnu Sinni bercerita bahwa Nabi memperindah diri dan menganjurkan untuk melakukan hal serupa, beliau bersabda;

ان  االله  الجميل يحب الجمال

“sesungguhnya Allah adalah zat yang maha indah (dan) mencintai keindahan”

 Sayyid Alawi al-Maliki mengutip sebuah kisah ketika ada beberapa utusan datang kepada Nabi, beliau terlebih dahulu memperindah diri dengan pakaiannya sebelum menemui mereka. Ketika hari raya datang beliau memakai pakaian yang khusus sebagaimana juga beliau lakukan pada saat mendirikan shalat jumat, hal itu senada dengan perintah beliau dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Hakim

أحسنوا لباسكم وأصلحوا رحالكم  حتى تكونوا كأنكم شامت في الناس

”Perindahlah pakaian dan perbaikilah tunggangan kalian sehingga kalian seakan-akan terlihat gembira dihadapan orang” (H.R. Ibnu Sinni), tentu hal ini bukan untuk memamerkan diri atau kekayaan, akan tetapi agar menciptakan sebuah kondisi yang menyenangkan satu sama lain.

Akhirnya sebagai diri yang sempurna, Rasulullah juga mengajarkan akan pentingnya aspek-aspek lahiriah untuk dijaga disamping selalu memperbaiki jiwa rohani kita, hal ini adalah upaya terciptanya stabilitas dalam hidup baik dalam aspek lahiriah lebih-lebih dalam aspek batiniah manusia, sebab selama masih hidup didunia manusia tidak akan terlepas dari dua hal tersebut.

 Penulis : Nadzif Fikri Abady

Editor : Ponirin Mika

18 Ramadan 1441 H

Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik

Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik: Andai Kalimat Tauhid tidak Dijadikan Simbol Bendera ISIS dan Hizb al-Tahrīr.

Kalimat “lā ilāha illa Allāh Muhammad rasūl Allāh” merupakan kalimat paling agung dan paling sakral bagi pemeluk agama Islam. Karena salah satu keistimewaannya adalah kandungan dua kalimat tersebut mampu mencakup semua ajaran-ajaran Islam dan menjadi pondasinya. Kalimat ini, menjadi pintu pertama untuk masuk ke dalam agama Islam dan menjadi syarat mutlak untuk diakui keislaman seseorang di dunia ini, terutama di akhirat nanti. Juga, semua umat Islam pastinya mendambakan agar akhir hidupnya membawa bekal dan ditutup dengan dua kalimat di atas.

Tapi entah mengapa, belakangan ini, saya pribadi terkadang merasa risih tidak enak, seperti ada perasaan yang mengganjal dan rasa hawatir, ketika akan menuliskan kalimat ini di publik atau sekadar untuk menyampaikan dalam sebuah pengajian. Ini mungkin karena alam bawah sadar saya mulai terjajah oleh framing yang seolah-olah dua kalimat sakral ini memiliki stigma negatif, -antara lain- akibat dipakai sebagai simbol bendera organisasi Hizb al-Tahrīr yang saat ini menjadi organisasi terlarang di banyak negara di dunia. Juga, menjadi simbol bendera organisasi ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) yang kerap terlihat melakukan penindasan dan kekejamannya sambil mengibarkan panji tauhid dan mengikat kepalanya dengan simbol kalimat tauhid yang sakral itu, sehingga menjadikan trauma masyarakat dunia, bahkan berujung pada phobia terhadap Islam.

Jujur, saya tidak sepakat dengan konsep dan pergerakan ISIS serta khilafah yang diusung oleh Hizbu Al-Tahrīr. Alih-alih, jika akan diterapkan di Indonesia yang faktanya berideologi Pancasila yang notabene adalah ‘mitsāqon ghalīda dan konsensus perjanjian bersama atas seluruh elemen masyarakat Indonesia dengan berbagai latarbelakang yang berbeda-beda. Apakah umat Islam akan menjadi umat yang pertama kali atau paling awal yang akan merusak dan mengkhianati perjanjian dan kesepakatan bersama ini? Tentu jawabannya adalah tidak, karena memang dalam Islam tidak terdapat nash qath’i yang mengatur secara rijit terkait bentuk dan sistem negara. Sementara itu, di Indonesia secara khusus, konsep khilafah ini tidak memiliki landasan historis dan normatif, bahkan bertolak belakang dengan ideologi negara dan konsensus bersama.

Kembali pada pembahasan perasaan tidak enak dan risih pada saat menulis atau melihat dua kalimat sakral di atas. Rasa risih ini, misalnya untuk saya pribadi, juga seringkali muncul ketika melihat tulisan kalimat tauhid tersebut di media-media sosial, pada pigora yang biasanya terpampang di ruang tamu, saat mendengar ceramah-ceramah dan semacamnya. Anehnya, terkadang ketika melihat dua kalimat tersebut, tiba-tiba yang tergambar dan terlintas pertama kali di benak dan alarm pikiran saya adalah langsung mengarah kepada HT dan ISIS, bukan pada keagungan dua kalimat tersebut atau mengingat Allah dan rasul-Nya. Inilah yang saya sesalkan. Andai saja ISIS dan HT tidak menggunakan simbol kalimat sakral itu dalam benderanya, barangkali fenomena perasaan semacam ini tidak akan terjadi dalam diri dan benak saya yang semestinya di saat melihat tulisan ini bisa langsung mengingatkan pada Tuhan, tapi kok malah berubah jadi ingat HT dan ISIS.

Selain itu, perasaan yang sangat mengganggu psikis saya ini, juga kadang timbul karena saya hawatir dituduh atau sekadar dianggap sebagai pengikut atau simpatisan kelompok ekstrim kanan. Ya entahlah, mengapa bisa muncul perasaan seperti ini. Barangkali karena saya gagal faham atau memang akibat framing liar yang terlanjur terbaca saat berseliweran di beranda internet dan media sosial saya sebelum-sebelumnya, yang bisa jadi kontennya tidak komprehensif,  sepotong-sepotong dan tidak mendudukkan terlebih dahulu terkait sudut pandang kalimat sakral ini, apakah dalam konteks ceramah keagamaan, konteks ajaran agama Islam, konteks organisasi, konteks dunia perpolitikan global serta tidak mendudukkan antara agama dan oknum pemeluknya. Dan yang lebih parah adalah berita-berita kekerasan, baik kekerasan wacana maupun kekerasan fisik.

Dari fenomena di atas, saya menjadi sadar bahwa menjadikan simbol-simbol sakral dan kata kunci keagamaan dalam dunia politik, jika tidak tepat dan bijak, maka dapat berefek negatif pada agamanya dan dapat mengotori kesucian dari kalimat sakral dan agama itu sendiri. Itulah mengapa ulama kita dan founding fathers bangsa ini, tidak menjadikan kata kunci dan istilah kunci agama sebagai simbol negara. Karena memang, jika simbol agama tersebut dipakai sebagai ideologi negara dan ternyata di kemudian hari tidak mampu menjaga marwah simbol tersebut dalam realitasnya, maka agama akan terkena imbasnya juga. Itulah salah satu hebatnya mengapa ulama kita tidak memasukkan istilah-istilah kunci agama dalam bernegara demi menjaga kesucian dan kesakralan sebuah agama serta keutuhan bangsa.

Jadi, meskipun ulama kita tidak memakai istilah Islam secara eksplisit dalam bernegara, bukan berarti beliau-beliau itu anti Islam atau tidak islami. Juga sebaliknya, seumpama ada suatu kelompok yang menggunakan simbol-simbol Islam dalam dunia perpolitikan, juga belum tentu kelompok tersebut adalah pro lahir batin pada Islam, contohnya seperti kelompok ISIS yang muncul di Timur Tengah. Ini barangkali yang perlu digaris bawahi agak tebal.

Selanjutnya, selain kalimat sakral di atas, masih ada banyak istilah-istilah kunci yang kerap mengganggu kondisi batin saya. Misalnya di saat menyebut istilah “tauhid”, “syariat Islam”, “syariat Allah”, “jihad”, “hijrah”, “Ikhwan” dan lain sebagainya. Padahal kalimat tersebut merupakan istilah-istilah kunci yang memang terdapat dalam al-Quran, al-Hadits, kitab-kitab klasik dan sumber agama Islam  lainnya. Bahkan juga digunakan dalam praktik keagamaan umat Islam. Salah satu contoh seperti kata “ikhwan”. Istilah ini sering dipakai dalam komunitas tarekat sebagai kata sapaan. Tapi yang membuat saya tidak habis fikir adalah ketika menyebut atau mendengar istilah “ikhwan” tersebut, maka kadang yang terlintas pertama kali di benak saya adalah organisasi Ikhwanul Muslimin wa Akhowatuha. Ini masalah namanya.

Fenomena seperti di atas, juga bisa saja terjadi akibat seringnya istilah-istilah kunci tersebut dibenturkan atau digunakan pada tempat yang tidak semestinya. Semisal, istilah “tauhid” ini sering digaungkan para teroris saat melakukan kejahatannya, istilah “syariat” dipakai untuk menggaungkan slogan “NKRI bersyariah”. Sementara istilah “jihad” dan “hijrah” juga kerap dipakai oleh kelompok jihadis dan para teroris dengan cara mempersempit dan mereduksi makna keduanya untuk kepentingan mereka.

Baik, di sini akan saya coba ulas sedikit terkait masalah jihad di atas sejauh pemahaman saya. Ajaran jihad yang bermakna (perang) dalam agamà Islam  memang benar adanya, tapi kapan ajaran ini boleh diamalkan? apa alasannya sehingga harus berjihad? bolehkah mengobarkan semangat jihad perang sembarangan?. Ajaran jihad memang boleh diamalkan jika waktu, cara dan alasannya jelas dan benar, misalnya seperti saat resolusi jihad pada tahun 1945. Itupun masih tetap dalam batasan etika/moral yang harus tetap dijaga dan tidak boleh serampangan dalam berjihad. Jika suatu negeri dalam kondisi damai, tidak dalam kondisi agama diserang, tidak dalam upaya membela negara, tidak dalam kondisi diusir dari tanah air, tidak dalam kondisi dihalang-halangi dan tidak diganggu dalam menjalankan agama, maka jihad perang tidak boleh diamalkan karena tidak ada sebab dan tidak memenuhi syarat untuk berjihad. Hal ini dapat dianalogikan misalnya dengan ajaran Islam tentang kewajiban melaksanakan salat maktūbah. Contoh, salat dzuhur memang wajib dilaksanakan bagi tiap-tiap muslim yang ‘āqil bāligh. Tapi kapan?, apakah boleh salat dzuhur (adā’an) pada pukul 7 pagi? apakah boleh salat dzuhur tanpa wudu’ dalam kondisi normal? bolehkah salat dzuhur dalam keadaan haid?, Kesemuanya, jawabannya adalah tidak boleh.

Nah, karena itu, dalam upaya menjalankan hukum Islam, tidak cukup hanya memahami hukum taklifi (wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah). Tapi lebih dari itu, harus juga memperhatikan hukum wadh’inya. Terlebih, ketika akan mengamalkan atau menerapkan hukum taklifi tersebut di lapangan. Misalnya, apakah sebabnya sudah ada?, apakah syarat-syaratnya sudah terpenuhi semuanya?, apakah masih ada penghalang (mani’) atau tidak?, dan lain sebagainya.

Barangkali fenomena seperti inilah yang juga perlu direnungkan, terutama bagi saya pribadi, agar perasaan yang cukup mengganggu batin saya ini tidak berubah meningkat dan menjelma ke ranah phobia terhadap istilah-istilah kunci agama Islam yang sebenarnya berpengaruh besar bagi kehidupan dan pandangan hidup umat Islam secara umum. Karena itu, ke depan harus lebih bijak lagi dalam menggunakan simbol-simbol Islam dan sebisa mungkin menempatkannya pada tempat yang semestinya, tidak serta-merta menuduh dan prasangka negatif pada sesama, berusaha hidup rukun, bersatu dan bekerjasama dalam merawat perdamaian dan kebhinekaan.

Selain itu, dalam upaya menjaga kesucian agama Islam adalah berusaha untuk tidak mengunakan dalil-dalil agama sebagai justifikasi teologis pada hal-hal yang nyatanya masih belum jelas benar-salahnya agar tidak terjerumus pada prilaku “cocoklogi” yang tidak jarang sampai memperkosa dalil al-Quran dan al-Hadits dengan penjelasan yang tidak seharusnya dan memasukkan kepentingan-kepentingan kotor yang tidak sejalan dengan makna sesungguhnya.

Efek daŕi yang demikian itu, antara lain dapat meresahkan masyarakat awam, bahkan bisa  membuat mereka bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras karena terlanjur takut menolak doktrin penjelasan mentornya yang kebetulan melegitimasi pendapatnya yang salah dan penuh kepentingan tersebut dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Hal ini terjadi karena kalangan awam menganggap bahwa jika menolak penjelasan mentornya dengan tipe di atas, berarti seolah menolak al-Quran dan al-Hadits. Padahal tidak seperti itu. Karena itu, harus dibedakan, yang mana teks Quran dan teks Hadits, yang mana tafsir, mana produk penjelasan atau ulasan yang disandarkan pada al-Quran dan al-Hadits.

Misalnya, ketika ada muballig menafsirkan ayat اني جاعل فى الارض خليفة dengan memaknai dan menjelaskan makna “khalifah” dalam ayat itu dengan arti “negara khilafah ala Taqiyuddin An-Nabhani”. Maka, saya pasti akan menolak penjelasan tafsir seperti itu. Jadi, dalam konteks penolakan ini, yang saya tolak bukan teks suci al-Quran nya. Tapi, yang saya tolak adalah produk penafsirannya yang salah, karena menerjemahkan kata “khalifah” dalam teks ayat tersebut dengan makna “Negara Khilafah”, yang dalam pandangan saya merupakan salah satu bentuk pemaksaan penafsiran atau distorsi penafsiran. Contoh lain misalnya, yang tidak jauh beda dengan fenomena di atas adalah rumor yang cukup meresahkan masyarakat luas belakangan ini, yakni, isu ramalan tentang bakal terjadinya peristiwa “dukhon” yang katanya akan terjadi pada hari jumat (8/5/2020) pertengahan bulan ramadan 1441 tahun ini.

Barangkali, itulah beberapa “curhatan akademik” suatu pengalaman pribadi yang selama ini sempat mengganggu dan menyerang sisi psikologis saya. Kini, saya sadar bahwa dunia maya di samping memiliki sisi positif tapi juga bisa berdampak negatif. Tergantung bagaimana cara kita menggunakan dan menyikapinya. Karena itu, saring dulu sebelum share, jangan lupa filter dan perkuat anti virusnya. (AHM)

Wa allāhu a’lam bi al-Şawāb.

Penulis : Abdul Hafidz Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid

Editor : Ponirin Mika

Kau yang selalu ku cari dan ku nanti (Lailatul Qadr)

lailatul qadr adalah malam yang sangat diharapkan oleh kalangan umat muslim khususnya yang berpuasa karena malam itu ialah sebuah malam yang misterius adanya tidak mudah untuk ditebak kapan datangnya, maka dari itu pembahasan selanjutnya mencoba memaparkan lailatul qadr, keutamaan serta tanda-tanda akan adanya lailatul qadr.

Lailatul Qadr: merupakan malam yang sangat dianjurkan untuk kita cari, karena malam itu ialah malam mulia, barokah yang sangat agung serta yang paling diutamakan yang mana pada waktu itu sangat diharap istijabahnya doa dan ia merupakan paling utamanya malam, sekalipun juga malam jum’at tetap lebih utama lailatul qadr , sebagaimana firman Allah : {لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ} dalam artian bangun malam serta berbuat baik pada malam itu lebih baik dari pada seribu bulan, lalu rasulullah bersabda : Barang siapa yang melakukan puasa ramadlan dengan dasar iman dan semata-mata karena Allah, maka dosa-dosa yang terdahulu akan diampuni oleh Allah SWT kemudian diriwayatkan dari sayyidah aisyah bahwa rasulullah bangun malam dengan beribadah serta membangunkan keluarganya dan tidak menyetubuhi istri-istrinya pada sepuluh akhir bulan ramadlan , lalu diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Muslim: Ketika masuk pada sepuluh akhir bulan ramadlan rasulullah sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah berbeda dengan sebelumnya.

Lailatul qadr hanya terbatas pada sepuluh akhir bulan ramadlan di tanggal-tanggal ganjil pada waktu itu, berdasarkan hadist rasulullah : “carilah lailatul qadr pada sepuluh akhir bulan ramadlan pada tanggal-tanggal ganjil”, Paling unggulnya beberapa pendapat dari kalangan ulama’ bahwa lailatul qadr itu terjadi pada malam 27 ramadlan, Abu bin Ka’ab berkata: “Allah telah memberitahu Ibnu Mas’ud bahwa lailatul qadr itu terjadi pada malam 27 ramadlan, akan tetapi dimakruhkan bagi dia memberitahu kepada orang lain, maka bertawakkallah, kemudian diriwayatkan dari Mu’awiyah bahwa rasulullah bersabda : “lailatul qadr terjadi pada malam 27 ramadlan” lalu Ibnu mas’ud mengunggulkan pendapat tersebut dengan mengatakan ”surat al-qadr itu ada 30 kalimat, pada urutan kalimat yang ke 27 itu lafadz “هي” yang bermakna lailatul qadr diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang shohih dari Ibnu Umar : “Barang siapa mencari-mencari lailatul qadr maka hendaklah mencarinya pada malam 27 ramadlan” atau beliau berkata: “carilah lailatul qadr pada malam 27 ramadlan”.

Hikmah dirahasiakannya lailatul qadr: Agar para umat muslim bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadr, dan bersungguh-sungguh dalam beribadah dengan sangat menginginkan lailatul qadr sebagaimana dirahasiakannya doa istijabah pada hari jum’at, dan dirahasiakannya asma Allah yang paling agung serta keridlaannya dalam perkara-perkara baik dsb. Perkara yang sangat dianjurkan ketika datang lailatul qadr bagi orang mukmin hendaknya berdoa :

«اللهمّ إنك عفوّ تحب العفو فاعف عني»

sebagaimana yang diriwayatkan oleh sayyidah aisyah, beliau bertanya kepada rasulullah : “wahai rasulullah ketika datang lailatul qadr doa apa yang sunnah saya panjatkan?, kemudian rasulullah menjawabnya : panjatkan lah doa,

اللهمّ إنك عفوّ تحب العفو فاعف عني”

Tanda-tanda akan datangnya lailatul qadr: pendapat yang sangat masyhur sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi bin Ka’ab dari rasulullah SAW: “Sesungguhnya matahari terbit pada pagi hari yang sangat terang tanpa adanya bayangan” kemudian disebagian hadist juga disebutkan “sinar putihnya seperti air” di riwayat lain dijelaskan dari rasulullah SAW “tanda-tanda datangnya lailatul qadr: malam yang sangat terang seperti perak seakan-akan adanya bulan yang bersinar terang serta tenang tidak dingin dan tidak pula panas dan tidak ada satu pun bintang yang muncul pada malam itu, dan termasuk dari tanda-tanda datangnya lailatul qadr bahwa matahari terbit di pagi hari dalam keadaan datar tanpa adanya bayangan sama seperti bulan pada malam perang badar, dan pada waktu itu tidak ada satupun setan yang keluar” kemudian diriwayatkan dari Ibnu Huzaimah dari hadist marfu’ Ibnu Abbas : “pada malam lailatul qadr tidak ada cuaca dingin dan tidak pula panas, pada pagi harinya matahari akan terbit dalam keadaan tidak terlalu merah” kemudian diriwayatkan Imam Ahmad dari ‘Ubadah : “pada malam lailatul qadr tidak akan terasa cuaca panas dan dingin, yang mana pada malam itu terasa tenang dan bulan bersinar terang” dan terdapat pula beberapa hadist yang menerangkan tanda-tanda datangnya lailatul qadr yaitu dari Jabir bin Samrah dari Ibnu Abi Syaibah, dan juga dari Jabir bin Abdullah dari Ibnu Huzaimah, dan dari Abu Hurairoh dari Ibnu Huzaimah, serta dari Ibnu Mas’ud dari Ibnu Abi Syaibah dan dari Selainnya.

Kemudian ada sebagian referensi menyatakan bahwa lailatul qadr bisa diketahui dengan melihat kepada awal mula terjadinya puasa pendapat ini sebagimana yang dikemukakan oleh imam ghazali, apabila awal puasa terjadi pada hari ahad atau hari rabu maka kemungkinan besar lailatul qadr terjadi pada malam 29 ramadlan, atau pada hari senin maka bisa-bisa lailatul qadr terjadi pada malam 21 ramadlan, atau pada hari selasa atau jum’at maka lailatul qadr terjadi pada malam 27 ramadlan, atau pada hari kamis maka lailatul qadr bisa diperkirakan terjadi pada malam 25 ramadlan atau pada hari sabtu maka lailatul qadr kira-kira terjadi pada malam 23 ramadlan, Syeikh Abu Hasan berkata : “semenjak saya baligh tidak pernah saya melewati akan lailatul qadr dengan berlandasan qaidah di atas” kemudian Imam Syihab Qulyubi menadomkan akan hal tersebut.

Waallahu a’lamu
بيد الحقير الفقير ميم راء

Penulis : Mustain Romli santri Mahad Aly Nurul jadid

Menghidupkan Yasin di tengah Puasa dan Wabah Corona

Bulan puasa nampaknya tidak lengkap tanpa aktivitas membaca al-Quran atau tadarusan, keluarga saya dirumahpun meluangkan waktu setelah tarawih untuk membaca minimal 1 juz setiap malam. setiap onggota dari keluarga membaca dan menyimak satu sama lain, kecuali nenek yang hanya menyimak saja, tanpa saya tanya, beliau nyeletuk bahwa penglihatannya sudah mulai terganggu dan sulit untuk membaca walaupun dengan mushaf yang berukuran besar.  Tetapi ketika membaca yasin (yasiinan) setiap malam jumat, tanpa melihat mushafpun beliau dapat melantunkannya dengan baik, ya sebab beliau memang hafal surat tersebut dan saya kira mayoritas para orangtua kita terutama yang hidup di desa mulai dari yang sangat fasih membaca hingga yang sangat minim bacaan al-Qur’annya sangat familiar bahkan hafal surat tersebut. Apa sebab, karena surat yasin adalah surat yang paling sering dibaca dalam ritual-ritual keagamaan ditengah masyarakat, seperti peringatan haul,tahlilan  bahkan yasinan.

Ketika membongkar dan mencari buku bacaan di lemari sembari menunggu buka puasa, saya menemukan kitab karya Syaikh Hammami Zadah berjudul Tafsir Surat Yasin cetakan maktabah al Hidayah Surabaya, di halaman pertama beliau menjelaskan panjang lebar tentang kata يس dari aspek gramatikal bahasa, kategori surat, qiroah, asbabun nuzul dan keutamaan membacanya. Tentang keutamaan surat yasin beliau mengutip hadis nabi أكثروا قراءة هذه السورة فإن فيها خصائص كثيرة “ hendaklah kalian memperbanyak membaca surat ini, sebab didalamnya terkandung banyak kekhususan (keutamaan). Kemudian beliau memaparkan beberapa syarah tentang hadis tersebut yakni siapa yang membaca surat ini akan dipermudah hajatnya, akan dihilangkan kekhawatirannya, akan diamankan hidupnya, bila dibacakan atas orang yang sedang sakaratul maut, maka akan diturunkan malaikat sejumlah huruf surat tersebut yang mendoakan, memohonkan ampun, menyaksikan pemandian hingga mengiringi jenazahnya, jika dihaturkan kepada orang yang meninggal akan diringankan dari siksa kubur.

Kemudian yang lebih menarik lagi jikalau ditarik dalam kondisi hari ini, bagi orang yang sedang lapar kemudain membaca surat ini dengan menghadirkan dalam hati maka akan dianugerahi rasa kenyang, fadilah ini mugkin relevan  bagi teman-teman yang sedang berpuasa apalagi ketika lupa sahur misalnya. Berkat kemuliaan surat ini juga jika dibacakan dalam suatu negeri maka Allah akan menghilangkan dari negeri itu kesulitan, kemarau, bala bahkan wabah penyakit. Oleh sebab itu didalam suasana ramadhan dan terutama ditengah-tengah kondisi wabah covid 19 ini, menurut hemat saya menghidupkan surat yasin merupakan salah doa dan usaha dari beberapa ikhtiar yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi tak menentu ini.  Akhirnya selamat menunaikan ibadah puasa.

Penulis : Nadzif Fikri Abady, Alumni Madrasah Aliyah Nurul Jadid.

9 Ramadan 1441 H