Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik

Korban Framing Kekerasan Wacana dan Kekerasan Fisik: Andai Kalimat Tauhid tidak Dijadikan Simbol Bendera ISIS dan Hizb al-Tahrīr.

Kalimat “lā ilāha illa Allāh Muhammad rasūl Allāh” merupakan kalimat paling agung dan paling sakral bagi pemeluk agama Islam. Karena salah satu keistimewaannya adalah kandungan dua kalimat tersebut mampu mencakup semua ajaran-ajaran Islam dan menjadi pondasinya. Kalimat ini, menjadi pintu pertama untuk masuk ke dalam agama Islam dan menjadi syarat mutlak untuk diakui keislaman seseorang di dunia ini, terutama di akhirat nanti. Juga, semua umat Islam pastinya mendambakan agar akhir hidupnya membawa bekal dan ditutup dengan dua kalimat di atas.

Tapi entah mengapa, belakangan ini, saya pribadi terkadang merasa risih tidak enak, seperti ada perasaan yang mengganjal dan rasa hawatir, ketika akan menuliskan kalimat ini di publik atau sekadar untuk menyampaikan dalam sebuah pengajian. Ini mungkin karena alam bawah sadar saya mulai terjajah oleh framing yang seolah-olah dua kalimat sakral ini memiliki stigma negatif, -antara lain- akibat dipakai sebagai simbol bendera organisasi Hizb al-Tahrīr yang saat ini menjadi organisasi terlarang di banyak negara di dunia. Juga, menjadi simbol bendera organisasi ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) yang kerap terlihat melakukan penindasan dan kekejamannya sambil mengibarkan panji tauhid dan mengikat kepalanya dengan simbol kalimat tauhid yang sakral itu, sehingga menjadikan trauma masyarakat dunia, bahkan berujung pada phobia terhadap Islam.

Jujur, saya tidak sepakat dengan konsep dan pergerakan ISIS serta khilafah yang diusung oleh Hizbu Al-Tahrīr. Alih-alih, jika akan diterapkan di Indonesia yang faktanya berideologi Pancasila yang notabene adalah ‘mitsāqon ghalīda dan konsensus perjanjian bersama atas seluruh elemen masyarakat Indonesia dengan berbagai latarbelakang yang berbeda-beda. Apakah umat Islam akan menjadi umat yang pertama kali atau paling awal yang akan merusak dan mengkhianati perjanjian dan kesepakatan bersama ini? Tentu jawabannya adalah tidak, karena memang dalam Islam tidak terdapat nash qath’i yang mengatur secara rijit terkait bentuk dan sistem negara. Sementara itu, di Indonesia secara khusus, konsep khilafah ini tidak memiliki landasan historis dan normatif, bahkan bertolak belakang dengan ideologi negara dan konsensus bersama.

Kembali pada pembahasan perasaan tidak enak dan risih pada saat menulis atau melihat dua kalimat sakral di atas. Rasa risih ini, misalnya untuk saya pribadi, juga seringkali muncul ketika melihat tulisan kalimat tauhid tersebut di media-media sosial, pada pigora yang biasanya terpampang di ruang tamu, saat mendengar ceramah-ceramah dan semacamnya. Anehnya, terkadang ketika melihat dua kalimat tersebut, tiba-tiba yang tergambar dan terlintas pertama kali di benak dan alarm pikiran saya adalah langsung mengarah kepada HT dan ISIS, bukan pada keagungan dua kalimat tersebut atau mengingat Allah dan rasul-Nya. Inilah yang saya sesalkan. Andai saja ISIS dan HT tidak menggunakan simbol kalimat sakral itu dalam benderanya, barangkali fenomena perasaan semacam ini tidak akan terjadi dalam diri dan benak saya yang semestinya di saat melihat tulisan ini bisa langsung mengingatkan pada Tuhan, tapi kok malah berubah jadi ingat HT dan ISIS.

Selain itu, perasaan yang sangat mengganggu psikis saya ini, juga kadang timbul karena saya hawatir dituduh atau sekadar dianggap sebagai pengikut atau simpatisan kelompok ekstrim kanan. Ya entahlah, mengapa bisa muncul perasaan seperti ini. Barangkali karena saya gagal faham atau memang akibat framing liar yang terlanjur terbaca saat berseliweran di beranda internet dan media sosial saya sebelum-sebelumnya, yang bisa jadi kontennya tidak komprehensif,  sepotong-sepotong dan tidak mendudukkan terlebih dahulu terkait sudut pandang kalimat sakral ini, apakah dalam konteks ceramah keagamaan, konteks ajaran agama Islam, konteks organisasi, konteks dunia perpolitikan global serta tidak mendudukkan antara agama dan oknum pemeluknya. Dan yang lebih parah adalah berita-berita kekerasan, baik kekerasan wacana maupun kekerasan fisik.

Dari fenomena di atas, saya menjadi sadar bahwa menjadikan simbol-simbol sakral dan kata kunci keagamaan dalam dunia politik, jika tidak tepat dan bijak, maka dapat berefek negatif pada agamanya dan dapat mengotori kesucian dari kalimat sakral dan agama itu sendiri. Itulah mengapa ulama kita dan founding fathers bangsa ini, tidak menjadikan kata kunci dan istilah kunci agama sebagai simbol negara. Karena memang, jika simbol agama tersebut dipakai sebagai ideologi negara dan ternyata di kemudian hari tidak mampu menjaga marwah simbol tersebut dalam realitasnya, maka agama akan terkena imbasnya juga. Itulah salah satu hebatnya mengapa ulama kita tidak memasukkan istilah-istilah kunci agama dalam bernegara demi menjaga kesucian dan kesakralan sebuah agama serta keutuhan bangsa.

Jadi, meskipun ulama kita tidak memakai istilah Islam secara eksplisit dalam bernegara, bukan berarti beliau-beliau itu anti Islam atau tidak islami. Juga sebaliknya, seumpama ada suatu kelompok yang menggunakan simbol-simbol Islam dalam dunia perpolitikan, juga belum tentu kelompok tersebut adalah pro lahir batin pada Islam, contohnya seperti kelompok ISIS yang muncul di Timur Tengah. Ini barangkali yang perlu digaris bawahi agak tebal.

Selanjutnya, selain kalimat sakral di atas, masih ada banyak istilah-istilah kunci yang kerap mengganggu kondisi batin saya. Misalnya di saat menyebut istilah “tauhid”, “syariat Islam”, “syariat Allah”, “jihad”, “hijrah”, “Ikhwan” dan lain sebagainya. Padahal kalimat tersebut merupakan istilah-istilah kunci yang memang terdapat dalam al-Quran, al-Hadits, kitab-kitab klasik dan sumber agama Islam  lainnya. Bahkan juga digunakan dalam praktik keagamaan umat Islam. Salah satu contoh seperti kata “ikhwan”. Istilah ini sering dipakai dalam komunitas tarekat sebagai kata sapaan. Tapi yang membuat saya tidak habis fikir adalah ketika menyebut atau mendengar istilah “ikhwan” tersebut, maka kadang yang terlintas pertama kali di benak saya adalah organisasi Ikhwanul Muslimin wa Akhowatuha. Ini masalah namanya.

Fenomena seperti di atas, juga bisa saja terjadi akibat seringnya istilah-istilah kunci tersebut dibenturkan atau digunakan pada tempat yang tidak semestinya. Semisal, istilah “tauhid” ini sering digaungkan para teroris saat melakukan kejahatannya, istilah “syariat” dipakai untuk menggaungkan slogan “NKRI bersyariah”. Sementara istilah “jihad” dan “hijrah” juga kerap dipakai oleh kelompok jihadis dan para teroris dengan cara mempersempit dan mereduksi makna keduanya untuk kepentingan mereka.

Baik, di sini akan saya coba ulas sedikit terkait masalah jihad di atas sejauh pemahaman saya. Ajaran jihad yang bermakna (perang) dalam agamà Islam  memang benar adanya, tapi kapan ajaran ini boleh diamalkan? apa alasannya sehingga harus berjihad? bolehkah mengobarkan semangat jihad perang sembarangan?. Ajaran jihad memang boleh diamalkan jika waktu, cara dan alasannya jelas dan benar, misalnya seperti saat resolusi jihad pada tahun 1945. Itupun masih tetap dalam batasan etika/moral yang harus tetap dijaga dan tidak boleh serampangan dalam berjihad. Jika suatu negeri dalam kondisi damai, tidak dalam kondisi agama diserang, tidak dalam upaya membela negara, tidak dalam kondisi diusir dari tanah air, tidak dalam kondisi dihalang-halangi dan tidak diganggu dalam menjalankan agama, maka jihad perang tidak boleh diamalkan karena tidak ada sebab dan tidak memenuhi syarat untuk berjihad. Hal ini dapat dianalogikan misalnya dengan ajaran Islam tentang kewajiban melaksanakan salat maktūbah. Contoh, salat dzuhur memang wajib dilaksanakan bagi tiap-tiap muslim yang ‘āqil bāligh. Tapi kapan?, apakah boleh salat dzuhur (adā’an) pada pukul 7 pagi? apakah boleh salat dzuhur tanpa wudu’ dalam kondisi normal? bolehkah salat dzuhur dalam keadaan haid?, Kesemuanya, jawabannya adalah tidak boleh.

Nah, karena itu, dalam upaya menjalankan hukum Islam, tidak cukup hanya memahami hukum taklifi (wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah). Tapi lebih dari itu, harus juga memperhatikan hukum wadh’inya. Terlebih, ketika akan mengamalkan atau menerapkan hukum taklifi tersebut di lapangan. Misalnya, apakah sebabnya sudah ada?, apakah syarat-syaratnya sudah terpenuhi semuanya?, apakah masih ada penghalang (mani’) atau tidak?, dan lain sebagainya.

Barangkali fenomena seperti inilah yang juga perlu direnungkan, terutama bagi saya pribadi, agar perasaan yang cukup mengganggu batin saya ini tidak berubah meningkat dan menjelma ke ranah phobia terhadap istilah-istilah kunci agama Islam yang sebenarnya berpengaruh besar bagi kehidupan dan pandangan hidup umat Islam secara umum. Karena itu, ke depan harus lebih bijak lagi dalam menggunakan simbol-simbol Islam dan sebisa mungkin menempatkannya pada tempat yang semestinya, tidak serta-merta menuduh dan prasangka negatif pada sesama, berusaha hidup rukun, bersatu dan bekerjasama dalam merawat perdamaian dan kebhinekaan.

Selain itu, dalam upaya menjaga kesucian agama Islam adalah berusaha untuk tidak mengunakan dalil-dalil agama sebagai justifikasi teologis pada hal-hal yang nyatanya masih belum jelas benar-salahnya agar tidak terjerumus pada prilaku “cocoklogi” yang tidak jarang sampai memperkosa dalil al-Quran dan al-Hadits dengan penjelasan yang tidak seharusnya dan memasukkan kepentingan-kepentingan kotor yang tidak sejalan dengan makna sesungguhnya.

Efek daŕi yang demikian itu, antara lain dapat meresahkan masyarakat awam, bahkan bisa  membuat mereka bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras karena terlanjur takut menolak doktrin penjelasan mentornya yang kebetulan melegitimasi pendapatnya yang salah dan penuh kepentingan tersebut dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran dan Hadits. Hal ini terjadi karena kalangan awam menganggap bahwa jika menolak penjelasan mentornya dengan tipe di atas, berarti seolah menolak al-Quran dan al-Hadits. Padahal tidak seperti itu. Karena itu, harus dibedakan, yang mana teks Quran dan teks Hadits, yang mana tafsir, mana produk penjelasan atau ulasan yang disandarkan pada al-Quran dan al-Hadits.

Misalnya, ketika ada muballig menafsirkan ayat اني جاعل فى الارض خليفة dengan memaknai dan menjelaskan makna “khalifah” dalam ayat itu dengan arti “negara khilafah ala Taqiyuddin An-Nabhani”. Maka, saya pasti akan menolak penjelasan tafsir seperti itu. Jadi, dalam konteks penolakan ini, yang saya tolak bukan teks suci al-Quran nya. Tapi, yang saya tolak adalah produk penafsirannya yang salah, karena menerjemahkan kata “khalifah” dalam teks ayat tersebut dengan makna “Negara Khilafah”, yang dalam pandangan saya merupakan salah satu bentuk pemaksaan penafsiran atau distorsi penafsiran. Contoh lain misalnya, yang tidak jauh beda dengan fenomena di atas adalah rumor yang cukup meresahkan masyarakat luas belakangan ini, yakni, isu ramalan tentang bakal terjadinya peristiwa “dukhon” yang katanya akan terjadi pada hari jumat (8/5/2020) pertengahan bulan ramadan 1441 tahun ini.

Barangkali, itulah beberapa “curhatan akademik” suatu pengalaman pribadi yang selama ini sempat mengganggu dan menyerang sisi psikologis saya. Kini, saya sadar bahwa dunia maya di samping memiliki sisi positif tapi juga bisa berdampak negatif. Tergantung bagaimana cara kita menggunakan dan menyikapinya. Karena itu, saring dulu sebelum share, jangan lupa filter dan perkuat anti virusnya. (AHM)

Wa allāhu a’lam bi al-Şawāb.

Penulis : Abdul Hafidz Muhammad, Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid

Editor : Ponirin Mika

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *