KH. Hasyim Zaini Teladan Akhlak dari Nurul Jadid
nuruljadid.net- Dahulu, Desa Karanganyar di Kecamatan Paiton- sekitar 30 meter arah timur Kota Probolinggo, Jawa Timur- dikenal sebagai kawasan yang tak aman. Pertanian tak hidup disana. Masyarakat setempat tinggal dalam kondisi memprihatinkan. Berbagai aksi kejahatan marak terjadi. Orang- orang bahkan menyebut desa tersebut sarang penyamun.
Keadaan berubah sejak 1948, ketika KH. Zaini Mun’im datang ke kawasan itu. Mulanya kiai tersebut tiba disana untuk menghindari kejaran militer belanda. Sembari bersembunyi dari mata-mata kolonial , ia juga berdakwah ditengah masyarakat. Seiring waktu, ia berhasil mendirikan Pesantren Nurul Jadid di Desa Karanganyar. Akhirnya, desa tersebut berubah menjadi lebih aman dan relegius.
Tokoh yang dibahas dalam “Mujadid” kali ini ialah salah satu putra Kiai Zaini Mun’im, Yakni KH. Mohammad Hasyim Zaini. Ia merupakan putra sulung sang pendiri Pesantren Nurul Jadid. Kiai Hasyim mengikuti jejak ayahnya, ia dikenal sebagai ulama yang sangat lemah lembut dan santun. Anak pertama dari tujuh bersaudara itu meneruskan perjuangan sang ayah dalam membesarkan lembaga tersebut. Khususnya, setelah Kiai Zaini wafat pada 26 Juni 1976.
Dari literatur yang ada, tidak diketahui pasti kapan tanggal dan tahun kelahirannya. Yang jelas, KH. M. Hasyim Zaini menjadi Pengasuh Pesantren Nurul Jadid sejak 1976 hingga wafatnya pada 1984. Selama kepemimpinannya, institusi pendidikan itu semakin berkembang pesat.
Tumbuh dalam lingkungan keluarga ahli agama, M Hasyim kecil dididik menjadi pribadi yang saleh dan alim. Selain belajar kepada ayahnya, ia juga memperoleh ilmu dari ibundanya tercinta, Nyai Hj Nafi’ah.
Sebagai putra seorang kiai, Hasyim sangat patuh dan tawadhu terhadap kedua orang tuanya. Adapun sebagai santri, ia memiliki kecerdasan yang tinggi. Selain itu, dirinya juga sangat tekun dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Hal ini dapat dilihat dari catatan pinggir yang dibuatnya pada seluruh kitab yang dibacanya. Catatan-catatan itu berisi penjelasan dari guru-gurunya , termasuk ayahandanya.
Sedari muda, Hasyim berkeyakinan, semua ilmu yang didapatkan dari gurunya harus dicatat. Ikatlah ilmu dengan tulisan agar tidak mudah hilang, demikian kata-kata bijak yang dipegangnya. Baginya, sesuatu yang ditulis akan kekal. Jika hanya didengar, akan mudah hilang.
Menginjak usia dewasa, Hasyim melanjutkan pencarian ilmunya ke Pondok Pesantren Paterongan, Jombang. Lembaga tersebut saat itu diasuh KH. Musta’in Ramli. Sebelum berangkat, ayahandanya berpesan agar selama belajar di pesantren dirinya tidak mengandalkan orang tua, melainkan Allah SWT. Nasehat ini begitu membekas dalam ingatan pemuda tersebut.
Setelah belajar di Pesantren Paterongan, akhirnya M Hasyim kembali ke Paiton. Waktu itu, ia membantu ayahnya dalam mengurus pesantren dan mendidik para santri Nurul Jadid. Akhirnya, ia dapat meneruskan pendidikan tinggi di Akademi Dakwah dan Ilmu Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIP-NU). Lulus dari sana, ia berhasil meraih gelar sarjana.
Mengasuh Pesantren
Setelah KH Zaini Mun’im wafat, KH M Hasyim Zaini kemudian meneruskan tugas sebagai pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid. Sebagai pengasuh kedua, Kiai Hasyim mampu memberikan warna terhadap konseppembinaan dan penataan lembaga pendidikan di sana.
Jumlah santri pada masa Kiai Hasyim juga meningkat drastis. Seperti yang dicatat dalam laman resmi Nurul Jadid, pada 1983 jumlah santri setempat mencapai sekitar 2.000 orang. Ini menandakan besarnya minat para orang tua dalam menitipkan buah hatinya dalam bimbingan Nurul Jadid.
Saat menjadi pimpinan pesantren, Kiai Hasyim dibantu adik-adiknya. Selain itu, ia juga didukung KH Hasan Abdul Wafi yang duduk menjadi pimpinan Dewan Pengawan Pondok Pesantren Nurul Jadid pada 1976.
Para santri Nurul Jadid terus diupayakan agar bisa memperdalam ilmu-ilmu agama. Santrinya juga terus ditempa untuk menguatkan khazanah kitab-kitab kuning. Lembaga ini menyelenggarakan beragam jenjang pendidikan. Mulai dari madrasah ibtidaiyah (MI), madasah tsanawiyah (MTs), hingga madrasah aliyah (MA). Antara tahun 1979 dan 1980. Kiai Hasyim merintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah. Dengan begitu, para santri dapat meneruskan pencarian ilmu-ilmu agama di lingkungan Nurul Jadid.
Kiai Hasyim tak berjarak dengan para santri. Ia selalu mendorong semangat mereka agar semangat menuntut ilmu dan hidup mandiri, Maka dari itu, ia mendukung pembekalan keterampilan hidup bagi para santri. Beberapa diantaranya dikirim mengikuti rupa-rupa pelatihan, baik tingkat wilayah maupun nasional.
Di Nurul Jadid, Kiai Hasyim merealisasikan adanya sentra keterampilan santri. Misalnya, keterampilan elektro, percetakan, menjahit, pertanian, serta penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Sosok Teladan
KH M Hasyim Zaini merupakan sosok ulama yang sangat mengutamakan akhlaq al-karimah. Kepada santrinya, ia selalu berpesan agar selalu menjaga etika. Sebab, Rasulullah Muhammad SAW mendapatkan gelar al-Amin (“yang terpercaya”) karena akhlaknya yang baik. Nabi SAW pun disenangi kawan dan disegani lawan.
Kiai Hasyim juga merupakan ulama yang lemah lembut. Meski harus marah, ia tidak pernah menampakkan perasaan amarah. Ini sepertinya yang dialami salah satu santrinya, Hasyim Syamhudi.
Ia menuturkan, ketika bulan Ramadhan, sebagian santri Nurul Jadid pulang ke kampung halaman masing-masing. Syamhudi yang kala itu menjadi pengurus pesantren. Untuk mengisi waktu luang, ia dengan beberapa temannya pergi ke Kraksaan untuk menonton bioskop. Film yang diputar menampilkan kisah perjuangan seorang santri dalam berdakwah di daerah pedalaman.
Seusai menonton bioskop, Syamhudi dipanggil Kiai Hasyim. Mendapat panggilan tersebut, Syamhudi terkejut. Di kediamannya, sang pemuka Pondok Pesantren Nurul Jadid itu bertanya tentang perasaan santrinya tersebut saat menonton film.
Kepada kiainya itu, Syamhudi pun mengaku senang. Sebab, film tadi bercerita tentang kehidupan seorang santri. Bagaimanapun, Kiai Hasyim menasehati, menonton film di bioskop itu bagi seorang santri bisa menimbulkan fitnah. Apalagi, Syamhudi sendiri merupakan pengurus pesantren.
‘Film itu tidak haram, gedung bioskop juga tidak haram, tapi yang perlu dipertimbangkan adalah opini masyarakat bahwa film dan bioskop itu nuansanya jelek. Sementara ananda adalah pimpinan, baik di sini di Tanjung, dan di Kraksaan,” Ujar Kiai Hasyim saat menasehati Syamhudi.
Mendengar teguran tersebut, Syamhudi kemudian memohon maaf. Ia mengaku siap menerima hukuman. Kiai Hasyim pun menyuruhnya untuk berdiri di depan rumahnya sembari membaca istighfar sebanyak seribu kali.
Sebagai pendidik, Kiai Hasyim dikenang sangat sabar dan telaten. Misalnya, saat mengajar ilmu falak di MA Nurul Jadid, ia tidak hanya menjabarkan teori-teori seputar ilmu tersebut. Para murid juga diajaknya untuk praktik langsung tentang bagaimana mengetahui waktu. Ini juga diterapkannya ketika mengajar kitab kuning di Masjid Jami’ Nurul Jadid.
Akhlak mulia Kiai Hasyim juga tampak dari perilaku sehari-hari. Jika ada seorang tamu yang menunduk di hadapannya, sang kiai akan lebih menundukkan kepalanya daripada si tamu. Saat tamunya akan pulang, ia juga selalu mengantarkannya sampai ke gerbang. Setelah tamu hilang dari pandangan mata, barulah dirinya masuk ke rumah.
Dalam tiap perjalanan, misalnya, ketika berpapasan dengan seseorang yang dikenal, Kiai Hasyim akan memilih berhenti. Lantas, ia turun dari kendaraan dan menghampiri orang tersebut untuk berjabat tangan sembari menanyakan kabarnya.
Pengakuan tentang kemuliaan akhlak dan kelembutan Kiai Hasyim telah diakui kalangan ulama. Sebut saja KH Mahrus Ali, Habib al-Imam bin Abdullahal-Alawy, atau KH Hasan Saiful Rijal dari Pesantren Zainul Hasan Genggong.
Di antara nasihat-nasihat sang kiai kepada santrinya ialah,”Orangyang temperamental mungkin akan berhasil, tetapi sedikit temannya. Sementara, orang yang berakhlakul karimah dan lembah lembut akan berhasil dan banyak temannya.
Oleh. : Muhyiddin
Sumber tulisan : Koran Republika (14 Juni 2020)
Publisher. : Ponirin Mika
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!