Kaum Sarungan di Era Ultramodern

Kaum Sarungan di Era Ultramodern

Kaum sarungan, sebuah analogi khusus yang disematkan terhadap seseorang yang dalam kesehariannya tak luput dari sarung, mereka adalah para santri yang senantiasa menuntut ilmu, ilmu dan ilmu. Tapi ketika disebutkan kata sarungan, bukan berarti hal itu menafikan peran seorang santriwati yang mereka selalu memakai baju khas seorang perempuan, karena didalam kata sarungan terdapat persekutuan ma’na (isytiroqul ma’na) yaitu arti sarung berarti suatu penutup atau satir dan ma’na itu juga kita temukan dalam diri para santriwati yang senantiasa menutupi auratnya dengan pakaian yang menunjukkan tata budi pekerti dan akhlaqul karimah seperti qomis (gamis), jubah dan sebagainya.

Tak ubahnya mereka adalah manusia biasa sama seperti kebanyakan orang, tapi tak semua orang sama seperti mereka para santri. “Amazing” adalah sebuah mufrodat yang sangat layak diapresiasikan bagi mereka, mengapa demikian?..alasan pertama adalah karena keyakinannya pada seorang syaikh atau kiyai yang kedudukannya sebagai penyalur kemurahan Tuhan sangatlah kuat ; hal ini dibuktikan dari beberapa aspek kehidupan sehari-hari mereka yang tak banyak berbeda dari kehidupan Kiyainya seperti membiasakan hidup sederhana, tawadlu’ dan sebagainya. Oleh karena itu, Zamakhsyari Dzofier dalam bukunya Tradisi Pesantren menyebutkan bahwa “Para santri harus menunjukkan hormat dan kepatuhan mutlak kepada guru/Kiyainya, bukan sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, tetapi karena keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya, baik di dunia maupun di akhirat”. Dari Terminologi inilah dikalangan Kiyai dan santri sudah masyhur kata yang disebut “Barokah”. Selanjutnya, bahwa para santri selalu memperoleh  siraman rohaniyah dari para Kiyai/masyayikh dan juga Asatidz yang hal demikian biasanya didapat melalui pengajian kitab klasik seperti kitab Al-Hikam, Aqidatul Awam,Ta’lim Al-Muta’allim, Kifayatul Atqiya’ dll baik dari tingkat pesantren yang dipimpin langsung oleh Kiyai atau dari kelas-kelas diniyah yang dipimpin oleh para ustadz. Alasan ketiga, adalah bahwa para santri adalah orang yang sering disebut “Thalib al-‘ilm” (seorang pencari ilmu), mencari guru yang paling masyhur dalam berbagai cabang pengetahuan Islam. Dengan demikian pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren dan menyumbangkan terbangunnya kesatuan (homogenitas) sistem pendidikan pesantren, serta merupakan stimulasi bagi kemajuan ilmu.

Era modernitas menjadi tantangan utama bagi mereka, karenanya mereka harus benar-benar siap menghadapi tantangan tersebut. Sesuatu yang dulunya sangat rumit menjadi sangat simpel, seperti halnya kitab kuning klasik yang dulunya berbentuk lembaran-lembaran kertas dan terhimpun menjadi satu kitab, sekarang sangat mudah kita temukan “Copast” nya di internet dengan bentuk PDF dll, begitu pula hukum-hukum fiqh waqi’iyah sudah banyak kita temukan di duniya maya (Internet) tanpa harus repot-repot mencari ibarohnya dalam kitab orisinilnya, lebih-lebih waktu yang sangat berharga yang seharusnya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat sudah terdiskreditkan dengan hadirnya Gadget yang terfasilitasi dengan berbagai macam aplikasi media sosial seperti twitter,WA, facebook, line, BBM tanpa difungsikan dalam hal-hal yang bersifat Ukhrawi. Tentunya hal yang demikian (mendahulukan sesuatu yang kurang bermanfaat) tidak menjadi keiinginan para Kiyai-Kiyai pesantren, karena para Kiyai tetap berkeyakinan bahwa kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi tujuan dari kehidupan itu sendiri, tetapi semata-mata sebagai upaya untuk meninggikan derajat manusia dalam usahanya terus mengabdi kepada Tuhan, sehingga dengan demikian tidak melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan hidup di akhirat. Tujuan ini selaras dengan apa yang didawuhkan oleh Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim Al-Muta’allim:

“Banyak perbuatan manusia yang tampaknya hanya bertalian dengan urusan duniawi, tetapi karena niatnya yang bagus, maka perbuatan tersebut diterima oleh Allah sebagai amal akhirat. Tetapi banyak pula perbuatan manusia yang tampaknya bertalian dengan urusan-urusan akhirat, tetapi karena disertai dengan niat yang buruk, maka Tuhan tidak memberinya pahala yang sama.”

Pungkasnya, modernitas dengan segala fasilitas yang ditawarkan tak bisa dihindari. Sehingga hal itu memantik kita sebagai para santri untuk lebih memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Oleh karena waktu menjadi sesuatu yang sangat “Urgent” untuk dijaga, maka seyogyanya bagi para santri sebagai “Thalibul ‘ilm” hendaknya mempunyai kiat-kiat khusus untuk menjaganya sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh ‘Abdul fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya Qimatuz Zaman ‘inda Al-Ulama’ :

“Sesungguhnya hal yang paling penting dijaga sebagai kontroling untuk menghasilkan waktu yang lebih manfaat yaitu: 1. Mengatur/menyusun pekerjaan (terjadwal) 2. Lari dari majlis (perkumpulan) yang sebatas omong kosong atau tidak bermanfaat 3. Meninggalkan bicara yang berlebihan (tidak bermanfaat) dalam segala sesuatu 4. Bersahabat dengan orang-orang yang cerdas dan mulia yang bersungguh-sungguh dalam menjaga waktunya.” Dll.*

*Penulis Alfan Jamil adalah santri PP. Nurul Jadid wilayah Al-Amiri

Editor : Ponirin

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *