Puji Kepemimpinan Kiai Hamid, Ini Kata Pemerintah Narathiwat Thailand

nuruljadid.net – Spirit melayani adalah kredo hidupnya, dan hal itu sudah pasti adalah gaya kepemimpinan KH. Abdul Hamid Wahid, Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid sekaligus Rektor Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. Ekspresi lugasnya terungkap pada saat menerima kunjungan tamu dari Pemerintah Provinsi Narathiwat Thailand, yang mengisyaratkan keyakinan kuat Kiai Hamid sebagai sosok mukmin pemimpin yang memanusiakan manusia.

25 Juli 2023, UNUJA bersama Pemerintah Provinsi Narathiwat Thailand menggelar Studium Generale dengan tajuk “Bridging the Gap: Managing the Cross-Cultural Education in Thailand and Indonesia.” Bertempat di Aula I Pondok Pesantren Nurul Jadid, dalam forum ini terdapat empat pembicara dalam sesi sambutan (pidato), yaitu Rekor UNUJA KH. Abdul Hamid Wahid, Sekda Kabupaten Probolinggo Ugas Irwanto, Gubernur Provinsi Narathiwat Thailand Sanan Phongaksorn dan Sekretaris Kantor Pendidikan Swasta Thailand Pibyaa Radanawrrachad.

Seperti diketahui, sebagian pembaca tentu sudah sering mendengar gelar “Datuk Guru” yang diberikan kepada Kiai Hamid. Daya kepemimpinannya belakangan ini kembali dipuji oleh Pemerintah Provinsi Narathiwat Thailand untuk menegaskan Kiai Hamid adalah sosok pemimpin yang baik.

Warna kepemimpinan beliau terekspresikan dalam langkah-langkah progresifnya untuk melahirkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkeadaban, hal itu dibuktikan dengan kesuksesannya menjadi pintu pertama penyambung kerja sama Pemerintah Thailand di Indonesia.

Bentuk kerja sama tersebut pada awalnya merujuk pada peningkatan kualitas bidang pendidikan yang secara umum tertuju di Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Probolinggo secara khusus, begitupula di Thailand Selatan. Kerja sama yang semakin luas ini diimpikan sampai pada tingkat nasional, yang sering dikenal sebagai kerja sama bilateral. Pun bidang-bidang dalam kerja samanya diharapkan bisa semakin luas, yang mulanya hanya di bidang pendidikan, diharapkan merambah ke bidang ekonomi, budaya, hingga pariwisata.

Yang menarik digarisbawahi dari kepemimpinan yang melayani ala Kiai Hamid ialah saat menerima kunjungan tamu mancanegaranya itu. Pada momentum tersebut, Gubernur Sanan Pongaksorn mewakili Pemerintah Provinsi, dalam sesi pidatonya menyampaikan rasa bangga terhadap sambutan dan layanan istimewa yang diterima selama di Indonesia.

“Kami mengucapkan terima kasih dan kami merasa terhormat, dengan sambutan, pelayanan dari Kiai Hamid, sehingga kami bisa menjalankan aktivitas di Jawa Timur ini dengan baik dan tenang,” ungkapnya.

Dengan lues, Gubernur Sanan Pongaksorn menceritakan perjalanannya selama di Indonesia. Sejak pertama kali turun dari pesawat, bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur, sampai tiba di Pondok Pesantren Nurul Jadid, jelasnya, Kiai Hamid selalu mendampingi, mengarahkan dan memberikan pelayanan yang baik.

“Saya sangat yakin bahwa Kiai Hamid orang yang begitu baik,” imbuhnya dengan wajah tersenyum haru.

Dengan begitu, lanjut Gubernur, Pemerintah Provinsi Narathiwat Thailand tak kesusahan saat mengunjungi dan menyambung kerja sama dengan beberapa institusi yang berada di Jawa Timur.

Hal menarik lainnya, Kiai Hamid mengekspresikan sosok pemimpin yang toleran: tanpa memandang suku, ras, budaya dan agama, contohnya saat beliau terbuka menerima tamu non-muslim di pesantrennya dalam kegiatan Studium Generale bersama Pemerintah Thailand itu.

Gaya kepemimpinan yang Kiai Hamid miliki ini patut kita contoh, apa yang telah beliau lakukan sebagai seorang pemimpin sama seperti kriteria True Leaders and Leadership menurut Cak Nun, yaitu kepemimpinan yang memberikan energi berupa rasa percaya dan aman. Kepemimpinan yang mendistribusikan kearifan, pengetahuan, solusi, serta harmoni bagi orang di sekelilingnya.

Oleh: Ahmad Zainul Khofi

(Humas Infokom)

KH. Abdul Hamid Wahid

Pendidikan Toleransi Harus Digencarkan

nuruljadid.net-Meningkatnya kasus intoleransi di Indonesia semakin memperihatinkan, pancasila sebagai dasar negara seakan tak lagi memiliki nilai, hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan yang telah ada di negara ini. Berikut hasil wawancara Moch. Fathoni Diya’ Ulhaq R. dan Tri Satria Purnomo dengan KH. Abdul Hamid Wahid Rektor Universitas Nurul Jadid (UNUJA).

  1. Menurut Kiai, apa pengertian intoleransi ?

                Intoleransi itukan berasal dari dua kata yakni In berarti tidak dan Toleransi berarti menghargai. Dalam dunia Islam kita mengenal tasammuh yakni menghargai keyakinan seseorang yang berbeda dari kita, itu dinamakan toleran, jadi intinya iyalah menghargai perbedaan, sedangkan intoleransi sendiri kebalikan dari toleransi.

  1. Dari mana asal pemicu timbulanya sikap intoleransi di Indonesia ?

        Toleran dan tidak toleran itu pada dasarnya pemahaman tentang pengetahuan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki 3 unsur di dalam jiwanya yakni pertama, keinginan-keinginan dasar seperti ingin tumbuh dan berkembang biak. Yang kedua ialah ego, ego sendiri bermakna bagaimana kebutuhan dirinya itu terpenuhi, kemudian sebagai makhluk sosial. Sebetulanya manusia itu punya bakat dasar tidak toleran dan untuk toleran, bagaimana dia bisa memikirkan posisi dirinya di antara orang lain sebagai makhluk sosial, bermoral dan normal.

  1. Bagaimana cara menangggulangi adanya intoleransi?

                Pendidikan di Indonesia haruslah menjunjung nilai toleransi, seperti pendidikan di negara Barat yang menjadikan toleransi sebagai pendidikan mulai tingkat dasar hingga tinggi, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang. Dalam agam Islam, ada yang namanya tasammuh (toleransi), tawassuth (tengah-tengah), tawazzun (seimbang), dan ta’adul (tegak lurus). Toleransi sendiri menjadi salah satu seni dasar yang artinya menengahi.

Jika dia merasa sebagai manusia utuh pasti dia akan toleran, karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Pendidikan di Indonesia juga harus megajarkan tentang toleransi seperti pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah mengajarkan bagaimana kita bisa hidup bersama.

  1. Bagaimana menyadarkan masyarakat agar bisa saling toleran?

                Kembali kepada toleransi dalam bentuk perpolitikan. Event politik itu adalah sesuatu yang sah. Jadi mendukung atau tidak mendukung presiden adalah hak individual yang dimiliki setiap orang. Orang punya dukungan sendiri, punya keyakinan sendiri itu sah-sah saja, tapi tinggal bagaimana agar konflik yang terjadi ini tidak dijadikan sebagai suatu wacana untuk menuju sebuah perpecahan.

Kalau sudah waktunya berakhir kita tinggal memilih siapa calonnya dan siapapun yang terpilih itu tetap sah, karena proses pemilihan tersebut secara bersamaan. Tinggal bagaimana menyadarkan pada peran dan event tahunan itu penting bagi warga negara jadi. Ya silahkan berjuang, silahkan punya keyakinan tapi  bukan dalam rangka perpecahan.

  1. Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi intoleransi ?

Jadi ini bukan hanya problem pemerintah saja melainkan problem kita bersama. Sebagaimana kita semua menyadari bahwa event 5 tahunan ini iyalah proses pembentukan pemimpin yang berbangsa dan bernegara. Dalam artian tidak hanya mementingkan warga yang sosialnya tinggi, namun pemimpin yang mementingkan warga yang sosialnya lebih rendah. Selebihnya setelah terbentuknya pemimpin yang sah, ya kita tinggal tunggu kapan masa jabatannya akan berakhir kalau memang mau mengganti pemimpin tersebut.

  1. Radikalisme di Indonesia merupakan pemicu adanya toleransi, bagaimana menurut kiai ?

                Intoleransi adalah bibit radikalisme. Orang yang bertindak tidak toleran pasti akan menjadi radikal, kemudian akan menjadi teroris. Dengan kata lain, intoleransi adalah bentuk dasar dari radikalisme. Banyak intoleransi yang dilakukan dalam aspek perbedaan, jadi menghargai perbedaan sangatlah penting.

  1. Apakah budaya Barat yang masuk ke Indonesia dapat mempengaruhi budaya kita sehingga menghasilkan intoleransi ?

                Budaya itu bermacam-macam. Orang memliki beragam cara dalam menghadapi intoleransi. Ada yang dengan cara mengikuti, ada yang tidak mengikuti, serta ada juga yang dapat menyeleksi dengan baik. Seharusnya kita bisa menyeleksi budaya tersebut dengan baik. Atau kita bisa meniru bangsa luar. Ketika ada budaya asing yang masuk dalam kehidupannya, mereka mendialogkan tentang budaya tersebut kemudian menerima sisi positifnya dan membuang sisi negatifnya.

  1. Bagaimana menyikapi tahun politik yang sangat sensitif terhadap isu SARA dan intoleransi ?

                Sebetulnya pembicaraan tentang isu SARA itu telah selesai semenjak tahun 1945 setelah merdekanya negara ini. Seharusnya tidak usah diungkit-ungkit lagi, kalau diungkit lagi takutnya akan membawa dampak negatif pada masyarakat, malah kita harus lebih kepada program dimana tawaran kebaikan itu ada. Tinggal bagaimana kesadaran kita kembali kepada posisi pemilu yang sebenarnya.

Kadang-kadang dalam pemilu ada orang yang ingin mencapai tujuannya dengan menggunakan cara apapun, nah inilah yang tidak boleh. Berpemilu sendiri itu positif, bersaing sendiri itu positif. Memilih pemimpin adalah sarana dari berpemilu, tinggal bagaimana kita bisa membawa efek positif dan menjauhi efek negatif yang dapat menghancurkan kebersamaan.

  1. Bagaimana cara menghadapi kelompok yang tidak terima akan hasil pemilu ?

                Sikap dewasa sangatlah penting. Penyadaran akan pentingnya pemilu harus terus dilakukan, apalagi terhadap para pemimpin yang harus membimbing masyarakatnya. Seharusnya masyarakat yang terpelajar seperti pemuda, harus bisa memberikan sumbangsih yang baik, bukan malah ikut-ikutan, dan kita juga harus bisa memilih.

  1. “Yang waras jangan mengalah” bagaimana dengan statemen tersebut di medsos dalam menyikapi intoleransi di tahun politik ini?

                Kita memang harus berbuat, namun perlu diingat juga bahwa kita harus berbuat sesuai kemampuan kita, kemudian sesuai dengan perasaanya. Setidaknya seminimal mungkin kita tidak ikut-ikutan untuk menyebarkan dan menghancurkan bangsa dengan sikap yang tidak benar ini, paling tidak kita mulai dari diri sendiri kemudian mempengaruhi lingkungan jika bisa.

  1. Harapan Kiai untuk pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi kasus intoleransi ?

                Pendidikan dan pemberdayaan terhadap masyarakat harus selalu dilakukan, tinggal bagaimana kita mendorong masyarakat agar bersikap dewasa dalam berpolitik. Memberikan keterwawasan tentang perpolitikan juga harus nampak dilakukan, agar perpolitikan di negara ini aman dan tentram.

Sumber : Majalah Kharisma MANJ