Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Saudaraku

“Ketuhanan macam apa yang tengah diajarkan para pemerintah ini! Aku memang sejak awal risau pada kata “Ketuhanan yang Maha Esa”, Ulo Kamba memekikkan kalimat dengan tegap ditengah perkumpulan golongan yang memiliki pandangan serupa dengannya. Sudah sejak lama ia beserta komplotannya hidup terpisah dari orang kampung dengan hitungan beberapa mil saja.

Mereka adalah sebagian kecil orang yang menolak ketika mengisi kolom agama. Anjuran negara saat pendataan kartu identitas dengan berani mereka tolak mentah. Meski kartu identitas sebagai keabsahan seseorang akan dianggap menjadi bagian dari negara, yang katanya penuh dengan toleransi (tapi tiap tahun politik isu agama paling mudah dipermainkan kesana kemari), tetapi mereka memiliki alasan tersendiri atas penolakan tersebut. Ulo Kamba, akrabnya disapa Bang Ulo merupakan seorang terdidik alumnus Fakultas Agama Islam disalah satu Kampus Swasta, dia menjadi motorik utama gerakan tersebut.

Petugas dinas kependudukan yang bersikukuh menyodorkan pertanyaan untuk mengisi kolom agama sudah kesekian kali mereka tolak, jawaban akhirnya pasti “Kami akan mengisi kalau abang Ulo Kamba sudah memberi instruksi” Ulo Kamba sebagai biangkeladi pemikiran, golong itu memiliki prinsip agar pemerintah menghapus kolom agama pada kartu identitas.

****

 “Ini semua jelas, demi menutaskan peta kekuasaan politik, agar lebih mudah memetakan kekuatan. Hahahha. Kalian mengapa iya iya saja ketika diperbudak korporat! Sejauh ini kalian belum sadar jika keyakinan yang diagungkan itu tak lebih dari keju bagi para tikus berdasi. Segalanya lebih nikmat tatkala terjadi kultus mengkultuskan tentang siapa yang paling beragama, siapa yang paling bertuhan, siapa yang paling benar”, Ucap baru Sawo menegaskan pada seorang petugas dinas kependudukan yang memaksanya beserta beberapa orang lain untuk mengisi kolom agama pada kartu identitas pribadi. Tak tanggung, bahkan petugas itu mengancam mereka tidak akan diakui sebagai bagian dari negaranya.

Pada siang menjelang surup petugas dinas kependudukan kembali bersikukuh pada Ulo Kamba agar bersedia mengisi kolom agama. Rino si petugas mendatangi Baro Sawo lantaran dia merupakan penggagas gerekan anti kolom agama, Rino berharap jika Ulo Kamba telah tunduk, warga lain juga turut tunduk.

“Lalu hendak kami tulis apa agamamu bang? Islam kah?, Kristen kan, Hindukah?, Budha? KongHu Cu? Atau Katolik?” ungkap Rino sembari mensilangkan kakinya meyakinkan Ulo Kamba.

“Hanya sebatas itu? Itu saja yang disediakan dinas kependudukan?”

“Lalu bang?”

“Beritahu pada ketuamu yang memahakan diri itu. Untuk disebut Islam aku bimbang memahami apa yang mereka sebut sebagai sahadat, salat, zakat, puasa, haji. Tapi aku sakit hati saat umat kristiani juga beberapa gereja katolik terancam keamannannya, aku tidak mau menciderai saudaraku yang beragama budha, aku juga sayang pada kawan kawan ku yang hindu, dan aku tak rela bila ada yang membuat onar pada agama yang dibawa Kong Fu Tze (Kong Hu Chu)”,

“Jadi Abang tidak bertuhan?” pertanyaan Rino membuat Ulo Kamba semakin geram untuk memperlua penjelasannya.

“Aku bukan tidak bertuhan, sebab tuhan ku menjelma semesta, terkadang menjadi satu kesatuan denganku! Nampaknya maha ketuamu perlu diberi pembelajaran soal Kapitayan, Banten Girang, Suluk dan beberapa kepercayaan lain yang hadir sebelum adanya agama yang ujug ujug menuhankan yang Satu!” Soal landasan golongan, Ulo Kamba memang sejak lama menggagas, tak heran jika para petugas gonta ganti mendatanginya dengan harapan mendapat kepastian kolom agama.

“Hmm Abang, soal omongan warga dari kampung sebelah yang men cap abang beserta beberapa warga yang tinggal disekitar rumah abang sebagai aliran sesat karena masih mempertahankan bau wangi wangian kemenyan, acap menyeruwat keris, hingga menuhakan pohon beringin, apa itu tidak dipertimbangkan?” Ucap pegawai dinas kependudukan kepada Bang Ulo Kamba. Dengan tatapan sinis, Ulo Kamba yang telah berumur lebih setengah abad kurang dua tahun memberikan klarifikasi. Suaranya yang khas, dengan intonasi cukup membuat orang getar getir, dan postur jangkungnya, cukup membuat Rino sedikit merunduk.

“Hah, kau tak usahlah mengurus urusi soal kepercayaan itu pula. A-gama. Berasal dari bahasa Sansekerta, yang dipahami sebagai A = Tidak, Gama = Kacau. Percuma beragamatapi saling baku hantam, sentil sedikit soal isu agama para ormas (organisasi masyarakat)ramai bergandengan. Memangnya mereka siapa? Memangnya mereka pemilik agama? Sejauhpemahaman saya selama ini Tuhan tidak pernah meminta dirinya untuk dibela!”

“Lalu apa yang abang kehendaki?”

“Bagimu agamamu, bagi ku mereka saudaraku. Sejak detik ini aku kembali menegaskan bahwa kami tetap bersikukuh kolom agama dihilangkan dari identitas diri! Sadari lah bahwa urusan beragama, erat kaitannya dengan Tuhan. Urusan tuhan dan manusianya merupakan urusan esensial yang tidak berhak diumbar umbar banyak orang.”

“Aku memang penganut dinamisme, aku bahkan masih percaya pada animisme. Tapi kau tak tahu bukan demi apa, dan untuk apa aku melakukan hal itu?”

Perjamauan menjelang surup itu terpenggal oleh matahari yang mulai kelindungan untuksegera menuntaskan sinarnya.

“Maaf bang, sebentar lagi gelap. Saya masih tidak bisa menuliskan agama abang, barangkaliesok atau lusa, dari dinas kependudukan akan kembali menemui abang!”

“Baiklah barangkali nanti aku sempat berfikir terkait usulanmu, meski jawaban akhirnya sudahbarang kau tahu, coba fikirkan juga pemikiranku”

“Sampai kapan pun, kau tetap akan menemui jawaban yang sama.”

“Kalau kau tidak sekekar itu sudah kugulingkan kau Ulo Kamba”, Rino membatin sembari meninggalkan gubuk Ulo Kamba, sementara surup mulai redup Ulo Kambasegera memandikan kerisnya bertepatan malam itu Jumat Kliwon.

****

Dua hari berselang, sejak perjamuan diambang “surup”. Kali ini Rino tengah bersama seorangkawan dekatnya kembali ke gubuk Ulo Kamba yang letaknya cukup jauh dari pemukimanwarga. Kawan Rino seorang ustad kondang yang namanya tersohor dimana mana lantaran gayaberpidatonya berapi api sehingga mampu menarik sanjungan banyak penonton.”Assalamualaikum” Ucap keduanya serempak

“Masuk saja”

“Astaghfirullah kenapa tidak menjawab salam Kami” ucap Gus Asin dengan legowo.

“Menjawab salam memang wajib bagi Agamamu bukan? Fardlu Ain katanya. Tapi kita lihat dulu siapa yang tengah memberi salam, dan kepada siapa dia memberi salam. Salam berarti mendoakan, Assalamualaikum hanya bahasa arab saja, kebanyakan seseorang memberi salam bukan niat mendoakan saudaranya, hanya dijadikan sapaan saja, jadi jika niatmu itu bukan doa, aku tidak wajib menjawabnya” Penuturan Ulo Kamba membuat kedua terdiam, lantaran memang benar Assalamualaikum tidak lebih dari serapah tanpa ada niatan untuk saling mendoakan sesama manusia.

“Apa lagi kau datang kesini?” sembari menyalakan kretek yang dipilinnya sendiri Ulo Kamba menatap sinis kedunya.

 “Bagaimana soal kolom agama dalam kartu identitas diri abang” ucap ustad Kondang hasilinstruksi dari Rino.

“Ya tetap saya menolak segala macam legitimasi dengan kendaraan agama, camkan!”

“Tapi ini hanya sekedar kolom agama bang, apa susahnya” ketus Rino

“Susah sekali, karena Tuhanku tidak sebatas tulisan “Islam” di KTP saja, lebih dari itu kewajiban yang masyarakat anggap sebagai animisme dinamisme aku kerjakan untuk meruwat alam. Bumi sudah tua kawan, berdoa menghadap pohon, sembari memegang keris, lalu menyeruap bau kemenyan bukan mengharap segala sesuatu darinya sebab segala sesuatu tetap saya nisbatkan kepada Allah, Tuhan saya yang Esa, yang saya ragukan bahwa kamu mengEsakan Nya.” dengan nada yakin, Ulo Kamba kembali menolak ajakan petugas dinas kependudukan.

“Tetapi ini sudah kewajiban seluruh warga negara bang, untuk mengisi kolom agama”

“Sekarang aku tanya, kau paham tujuan kolom agama itu apa”

“Tidak bang” keduanya serempak menjawab.

“Dinas begok, Ustad bodoh!” suara Ulo Kamba terdengar merendah, meski bahasa yang dipakainya sarkas.

“Sampeyan hati hati bang bicaranya” ucap ustad Kondang sembari menaikkan tempo pembicaraan.

“Memang begitu adanya. Kolom agama itu huru hara saja, bertujuan untuk mengkotak kotakan saudara kita. Sehingga jangan heran jika isu agama dengan mudah dimainkan hanya demi kepentingan elektoral, kepentingan golongan, hingga kepentingan politik. Bayangkan saja kolom agama itu hapus, kelinduran semua oknum penjaring agama agama”.

“Abang inikan alumni Fakultas Agama, bukankah sudah jelas dalam Al-Qur’an surah Al-Kafirun lakumdinukum waliyyadin” ungkap ustad membelagak kekuatan spiritualitasnya.

“Hahahah. Kamu melegitimasi ayat al-Qur’an, apakah kamu tidak miris melihat umat islam dengan fanatismenya seolah agama mereka yang paling benar, sama sepertimu, yang acap kali ikut campur itu, iya agama”, Ulo Kamba kembali memperkuat pendapatnya soal penghapusan kolom agama pada identitas kependudukan. Si ustad kondang yang tadinya membelagak, tertunduk lesu diamini Rino yang mulai tidak berkutik dengan penjalasan akhir Ulo Kamba.

“Sudahlah mau apa pun kalian berdua, tetap tidak bisa memaksa saya dan beberapa orangdi desa ini, karena satu hal yang haru kalian tau puncak dari agama adalah toleransi, dankemanusiaan. Sebab kita tidak bisa membenarkan seolah agama kita yang paling benar, dankita yang akan masuk surga. Bagimu agamamu bagi ku mereka saudaraku.”

Waalahua’lam bis showab

penulis : Muhammad Afnani Alifian, mahasiswa Aktif  Universitas Islam Malang (Unisma), jurusan Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia

(Alumni Siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid, Anggkatan 2018)

 

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *