Hari Santri ; Interkoneksi Pesantren dan Kemerdekaan Indonesia
Tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998 menjadi titik musnahnya polarisasi sosial kaum santri dan abangan. Islamisasi pada masa sebelumnya, polarisasi sosial dan politis yang kini muncul bukan lagi antara abangan dan santri, sebab sudah tidak ada lagi tentangan yang serius terhadap Islamisasi lebih dalam.
Namun, sepertinya santri kemudian akan menjadi kelompok yang dicurigai akan merusak bangsa karena terlalu banyak kasus gembong teroris yang berkedok pesantren dan Islam.
Sebagai Negeri yang berhaluan demokrasi dan kemajemukan, Indonesia tentu sama sekali tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menjadi negeri khilafah yang diangkat oleh HTI and so on. Karena pesantren Ahlu sunnah wal jama’ah Indonesia tetap akan sesuai dengan model penerapan para pendahulu dalam konteks akidah dan tradisi. (Dhofier, 1982)
Pesantren dalam makna istilah dimaknai beragam, tentang sebuah tempat yang menjadi poros spiritual. (Faruq, 2015)
Terlepas dari beragamnya makna pesantren, Sejak awal berdirinya, kehadiran Pesantren di tengah-tengah masyarakat nusantara ini hanya diproyeksikan sebagai sebuah sarana dakwah dan pendidikan Islam. Dengan tujuan supaya para santri mengetahui dan memahami apa saja yang telah diturunkan Allah pada Muhammad Rasulullah Saw. Dengan demikian, para santri diharapkan mempunyai kesadaran yang tinggi dalam memaksimalkan dua tugas utamanya sebagai manusia. Pertama, sebagai ‘abdu Allah (penyembah Allah). Kedua sebagai khalifatu fi al-ardl (wakil Allah di bumi, sebagai pengelola semesta).
Sebagai hamba, mereka diharapkan menjadi pribadi mukmin sejati yang ‘hanya’ menyembah, mengabdi dan menuju kepada Allah saja. Bukan mengabdi pada hawa nafsu, keinginan individu dan ambisi yang akan menjatuhkan derajat dirinya sebagai manusia menjadi pribadi binatang yang rakus.
Sebagai wakil Allah di bumi ini, mereka diharapkan mampu berpartipasi aktif mengelola dan memberdayakan keluarga, masyarakat, lingkungan dan Negara bahkan semesta. Tentunya hal ini harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, keikhlasan dan keadilan. Bukan malah menjual, membohongi dan mengorbankan masyarakatnya.
Baik sebagai hamba atau sebagai wakil Allah di bumi, manusia sudah selayaknya melakukan yang tebaik untuk masyarakat sekitarnya. Indonesia sebagai negeri yang demokrasi sudah bukan hal aneh jika negara kita menginginkan kemerdekaan bagi setiap individu yang berada di bawah naungannya.
Dalam Al-Quran surat An- Nisa’ ayat 49 dijelaskan, manusia sebagai seorang hamba harus mengabdi kepada Allah, patuh kepada Rasulullah dan ulul amri, dimana ulul amri disini diartikan sebagai penguasa atau pemimpin. Di Indonesia, sebagai negeri yang menganut sistem pemerintahan yang berasaskan demokrasi, patuh kepada UUD sebagai kepanjangan tangan dari Presiden adalah sebuah kewajiban.
Pemerintahan dan sistem yang telah ada di depan mata kita, tidak serta merta hadir untuk kita begitu saja melainkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Dalam sekian buku sejarah kemerdekaan Indonesia, dikatakan bahwa Indonesia dijajah selama dua abad sebelum akhirnya merdeka.
Dalam kisah perjuangan memerdekakan diri, Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pasukan santri yang dikawal oleh beberapa kyai yang menjadi pelopor kemerdekaan. Seperti petikan pidato KH. Hasyim Asy’ari “Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacaukan barisannya. Maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapapun orangnnya.” (Ricklefs, 2013)
14 oktober 1944, setelah adanya usulan sepuluh orang ulama kepada Heiko Shikikan untuk dibentuk barisan sukarela dari kelompok Islam, terbentuklah laskar Hizbullah “tentara Allah” dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan Pembela Tanah Air (PETA). Lalu terbentuknya laskar Hizbullah dipublikasikan dalam majalah suara muslimin Indonesia. Para kyai yang tercatat sebagai perwira PETA mendapatkan tugas untuk melatih dasar-dasar latihan dan kemampuan militer terhadap para anggota Hizbullah, setelah sebelumnya jepang melalui beberapa pejabat di Jawa Hookokai meminta K.H. Wahid Hasyim untuk membantu dalam pengerahan tenaga muda pesantren untuk masuk Heiho. (Ricklefs, 2013)
Januari 1945 kepengurusan Hizbullah pusat tebentuk berdasarkan hasil rapat pleno masyumi ketika membicarakan kedudukan Hizbullah dihadapan peta.
Dalam perjalanannya, Hizbullah melakukan dua kali resolusi jihad. Yang pertama, resolusi jihad sebagai seruan membela NKRI. Menelurkan fatwa yang berisi tiga poin penting dalam perjuangan, yang kemudian dikukuhkan dalam sebuah rapat para kiai pada tanggal 21-22 oktober 1945.
Resolusi jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 oktober 1945 menjadi pegangan spiritual bagi sebagian besar pemuda dan pejuang di Surabaya dalam mengobarkan semngat perlawanan. Selain itu resolusi jihad ini juga mempunyai dua misi penting, yakni sebagai bahan untuk mempengaruhi pemerintah dan agar segera menentukan sikap melawan kekuatan-kekuatan asing yang terindikasi hendak menggagalkan kemerdekaan. Kedua, jika himbauan yang ditujukan kepada pemerintah itu tidak terwujud maka resolusi akan bisa dijadikan pegangan moral bagi Hizbullah dalam menentukan sikap melawan kekuatan asing
Resolusi jihad yang kedua adalah sebagai bentuk menjaga semangat juang. Para kyai NU tetap semangat menyampaikan pesan-pesan dan dorongan mooral guna membakar semangat juang yang ditujukan kepada badan-badan perjuangan pembela Islam ditengah keprihatinan dan muncunlnya rasa ketidak puasan terhadap orientasi perjuangan yang telah berubah. (Ricklefs, 2013)
Pada tanggal 26-29 Maret 1946, diselenggarakan muktamar NU yang ke 16 di Purwokerto, Jawa Tengah. Dan kembali menelurkan sebuah resolusi yang ditujukan kepada upaya perjuangan dan pembelaan terhadap kemerdekaan bangsa. Muktamar yang diselenggarakan sebab rasa ketidakpuasan para pasukan Hizbullah dan pergeseran orientasi perjuangan serta keprihatinan atas timbulnya perpecahan-perpecahan sesama anak bangsa. Ungkapan pidato yang disampaikan K.H. Hasyim asy’ari juga menyiratkan sikap keprihatinan beliau. Selain itu, beliau juga mengingatkan tentang cara dan pola baru yang digunakan oleh kaum penjajah dalam upaya menggagalkan kemerdekaan Indonesia, serta mulai munculnya kegamangan dikalangan pemimpin Indonesia untuk menempuh perjuangan melalui perjuangan fisik.
Dengan mewakili Hizbullah Kyai Wahid Hasyim menjadi negarawan yang sangat berpengaruh dalam perumusan undang-undang dan perumusan pancasila yang sebelumnya tercatat sebagai piagam jakarta dengan merumuskan sila pertama “ ketuhanan yang maha esa” sebagai ganti dari kalimat “ketuhanan dengan kewajiban syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Karena kalimat “ketuhanan yang maha esa” dinilai lebih memenuhi kepentingan semua pihak dan sesuai dengan konsep tasamuh dalam Islam. (Suismanto, 2004)
Dalam perjuangan yang mayoritas perjuangan dengan pertempuran, tentu tidak bisa terlepaskan begitu saja dari senjata yang digunakan para anggota Hizbullah. Senjata yang paling ampuh kala itu hanya sebatas bambu runcing. Tentu jika dipikirkan dengan menggunakan nalar tanpa menggunakan mistisme tidak akan sesuai dengan kenyataan yang ada. Mana mungkin para pejuang yang hanya bersenjatakan bambu runcing dapat mengalahkan tentara dengan senjata lengkap bahkan bersenjatakan meriam.
Terkait dengan dunia mistifikasi. Ada banyak metode mistis yang dilakukan oleh para kyai sebelum berangkat ke medan pertempuran, mulai dari penyepuhan bambu runcing sebelum digunakan ke medan pertempuran, bambu runcingnya diberkahi, dijaza’ do’a mengsma’i nasi manis, mengasma’i air wani hingga meminta doa dan wejangan kepada para kyai tentunya dengan kyai yang berbeda sesuai dengan ilmu yang beliau miliki. (Wahid, 2001)
Simbol perjuangan yang disertai adanya mistifikasi perjuangan telah menggerakkan pasukan dengan gagah berani maju ke medan pertempuran. Dalam hampir semua perjuangan senjata, para ulama, santri dan senjata bambu runcing hadir dan menjadi pengawal perjuangan.
Tak sampai disitu, setelah Indonesia merdeka, para kyai menciptakan beberapa karya yang tak lain untuk tetap merawat kemerdekaan dengan ilmu. Baik dengan karya berupa kitab atau buku, KH. Hasyim Asy’ari dengan kitab Adab Al Alim wa Al Muta’allim, Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi Tremas (w. 1920 M, menulis Ghaniyyah at-Thalabah fi Syarhit-Thayyibah fil-Qira’at as-Sab’ah), lalu KH Arwani Amin al-Qudsi Kudus (w. 1994, yaitu kitab yang sedang dibicarakan ini, Faidhul-Barakat), dan ulama kontemporer KH Prof. DR. Ahsin Sakho Muhammad Cirebon (Manba’ul-Barakat fi Sab’il-Qira’at).
Selain karya berupa kitab-kitab tersebut di atas, Kiai Zaini Mun’im, pendiri dan pengasuh pertama PP. Nurul Jadid juga menciptakan sebuah pijakan, dimana segala kegiatan, proses pedidikan dan program pesantren di masa depan harus berorentasi pada Panca Kesadaran Santri. Sebuah pemikiran lepas yang mempunyai arti mendalam bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Konsep tentang lima kesadaran (Panca Kesadaran) yakni : 1) Kesadaran Beragama, 2) Kesadaran Berilmu, 3) Kesadaran Bermasyarakat, 4) Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5) Kesadaran Berorganisasi.
Selain lima kesadaran itu, Kiai Zaini Mun’im memberi kriteria (Trilogi Santri) khususnya bagi para santri Nurul Jadid, yang layak pula jadi pegangan bagi para santri pada umumnya, yaitu: 1) Memperhatikan perbuatan-perbuatan fardlu ain, 2) Memperhatikan untuk meninggalkan dosa-dosa besar, 3) Berbudi luhur kepada Allah dan kepada sesama makhluk. (Ridwan, 1996)
Dari berbagai bukti sejarah keterlibatan elemen pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan dan perjuangan mengisi kemerdekaan dengan berbagai macam karya mampu menjadi garis penghubung atau jalur koneksi antara pesantren dan kemerdekaan Indonesia. Bahwa di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang elemen pesantren tidak mungkin menyuarakan pengkhianatan atas kemerdekaan yang telah diraih, akan tetapi elemen pesantren akan terus menyuarakan bagaimana mengisi kemerdekaan ala santri dengan penuh cinta dan tanggung jawab.
Hari Santri Nasional (HSN) yang selalu diperingati pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, sudah selayaknya mampu menjadi alarm pengingat untuk para tenaga edukasi, parlemen, politikus, tokoh agama, dan ulama’ nusantara, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa terlepaskan dari antusias dan pasrtisipasi kaum sarungan. Jadi, tidak mungkin ada istilah Negara Khalifah yang keluar dari elemen pesantren. Karena pesantren adalah bagian dari kemerdekaan dan demokrasi Indonesia. Pesantren hari ini juga berupaya untuk tetap ikut andil dalam mengisi kemerdekaan, hal tersebut terlihat dari banyaknya elemen pesantren yang ikut terlibat dalam politik, sosial dan budaya tidak lagi hanya diam di pondok dan mengkaji kitab kuning.
Upaya tersebut diharapkan pada akhirnya, output yang dihasilkan adalah santri yang mengisi kemerdekan dengan semangat juang tinggi dan menjadi pribadi kuat yang mampu mencegah diri dan lingkungannya dari beragam hal tidak baik yang dapat merugikan diri, lingkungan dan negar. Sebab waktu yang dihabiskan santri di pesantren tentu lebih banyak.
Santri yang pulang ke rumah setelah beberapa tahun mondok di pesantren akan selalu mengingat dan mengatakan bahwa kami tidak hanya diajari kitab klasik tapi juga diajari mengisi dan merawat penuh cinta kemerdekaan negeri. Di pesantren, kami tidak hanya di ajari berdo’a tapi juga diajari melakukan yang terbaik untuk negeri. Di pesantren kami tidak hanya diajari taat pada kyai tapi juga pada peraturan negeri. Pesantren kami adalah Indonesia. Kami adalah merah putih yang menyatu saling menjahit asa meerekatkan keberagaman karena pesantren, Islam dan Indonesia salah satu.
Syafiqiyah Adhimiy
(Mahasiswa Pasca Sarjana IAI Nurul Jadid sekaligus Khadimah di PP. Nurul Jadid)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!