Tabheg Bukti Santri Membela Kaum Pinggiran
Tabheg dan santri tidak bisa dipisahkan, berbicara santri tentu akan ada cerita Tabheg di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Penyebutan Tabheg itu digunakan pada nasi yang dibungkus memakai daun pisang dan diikat memakai tali. Sepintas asumsi saya memaknai filosofi daun, adalah simbol bendera NU, meski di ikat memakai tali, sebagai bukti satu ikatan ideologi pancasila, ikatan selajutnya adalah berpegang teguh untuk menjaga NKRI.
Sebuah kebahagiaan yang tak terhingga, apabila santri dikirim oleh orang tuanya, karena dipastikan ada thabek yang dibawa. Santri yang setiap hari makan nasi dan lauk pauk seadanya, akan makan menu nasi Tabheg bersama dengan santri lainnya.
Tabheg adalah simbol kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian. Mentradisikan kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian adalah sebuah ajaran nilai yang selalu di gaungkan oleh Pondok Pesantren. Kesederhanaan, kebersamaan dan kemandirian upaya mewujudkan mental sejati seorang santri, dalam memaknai prilaku keagamaan yang baik.
Karena seorang santri tidak hanya belajar nahwu, shorrof, tafsir dan kitab kuning yang lain. Namun, ia belajar bagaimana menjadi manusia paripurna dalam segala sektor. Pengetahuan yang dimiliki tanpa diwujudkan dalam sikap dan mentality yang baik, maka tidak akan berarti.
Makan Tabheg bersama santri 10 ribu di Nurul Jadid, sebagai langkah memberikan gambaran, bahwa kemenangan tidak akan di dapatkan kecuali dengan kebersamaan. Kita ingat kemenangan anak bangsa dari penjajah karena semangat kebersamaan terpatri didalam dadanya. Kini, bangsa kita tercerai oleh kepentingan kelompok, kepentinhan yang tanpa memberikan kontribusi nyata pada bangsa. Resolusi jihad mampu membakar semangat para pejuang negeri, hingga tak ada satu langkah pun, mundur dari memperjuangkan kemerdekaan. Karena kebersamaan menjadi kekuatan yang luar biasa
Tabheg, reaktualisasi kebersamaan, kesederhanaan serta kemandirian
Santri akan teruji kesetiakawanannya, apabila makan Tabheg bersama temannya, tidak hanya sendirian. Mengapa demikian? Keseruan akan tercipta meskipun terkadang satu Tabheg tidak cukup untuk beberapa santri, kekenyangan perut bukan orientasi dari makan Tabheg bersama. Sifat bakhil sangat tidak disukai oleh agama, lebih lebih jika ada sesuatu yang bisa untuk berbagi dengan yang lain. Biasanya, santri yang pelit akan sedikit mempunyai teman bahkan bisa juga selalu di permainkan oleh temannya sendiri dengan barang barangnya sering hilang. Santri harus jauh dari kekikiran, sebab dia adalah pencari ilmu dan ilmu akan mudah di dapat apabila cahaya Allah diberikan padanya.
Sangat tidak elok sikap kikir ini dipelihara, karena identitas santri akan terganggu dengan hal tersebut
Tabheg sekarang mulai luntur, sejalan dengan arus globalisasi, padahal wali santri apabila mengirim santri dengan Tabheg adalah bukti keberpihakan pada rakyat kecil. Di beberapa pasar baik pasar tanjung, pasar paiton juga pasar lainnya, penjual daun mulai tidak laku. Kapitalisme sudah merongrong keakar akar rusaha rakyat kecil. Pengusaha plastik sudah menguasai ekonomi dan penjual daun sering tertindas. Santri harus cermat pada setiap langkah para penjajah ekonomi rakyat kecil. Karena keberadaan santri akan tampak jika keberpihakannya pada pada rakyat benar benar kuat. Dulu, kiai abdul wahid zaini, membela petani tembakau dan rela mempertarukan segalanya demi kesejahteraan rakyat.
Oleh : Ponirin Mika (Sekretaris Biro Kepesantrenan, Anggota Social Community of Research)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!