Rekor Muri Santri Makan Nasi Tabhek 10.000 Ala Nurul Jadid

nuruljadid.net- Pondok Pesantren Nurul Jadid akan memecahkan rekor 10.000 santri makan tabheg pada puncak peringatan Hari Santri Nasional, Minggu (22/10/2017). Tapi ada hal yang tak biasa dalam usaha memecahkan rekor muri itu.

Makan nasi tabheg tentu terdengar asing bagi siapapun yang tidak mengenal dunia pesantren. Lain halnya dengan santri Pondok Pesantren Nurul Jadid, istilah itu bukanlah sesuatu yang baru. Malahan mendengan teriakan tabheg, secara spontan santri akan merasa girang dan berkumpul mengerumuni orang tersebut, khawatir tidak mendapatkan bagian.

Entah sejak kapan nama tabheg akrab di telinga para santri Nurul Jadid. Yang jelas tabheg berasal dari Bahasa Madura yang berkembang di pesantren berlatar kultur Madura. Istilah tabheg berarti kegiatan makan bersama yang menjadi kebiasaan santri, khususnya santri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Dilihat dari bentuknya, nasi tabheg sama dengan sajian nasi pada umumnya. Tapi yang membuat beda dan khas adalah penyajiannya menggunakan gulungan daun pisang muda dan digelar sepanjang-panjangnya ketika akan dimakan bersama.

Jamaknya wali santri saat menyambangi anak-anaknya di pondok pesantren akan membawa bingkisan buat oleh-oleh. Di Pondok Pesantren Nurul Jadid, seperti ada “kewajiban tertulis” bagi wali santri membawa nasi buatan sendiri dari rumah atau tabheg lengkap dengan lauk-pauknya.

Umumnya para orang tua membawa nasi dalam keadaan panas. Nah kalau menggunakan plastik atau kertas pembungkus nasi dapat dipastikan isinya tidak akan bertahan lama, disamping juga mengurangi cita rasa. Demi menjaga keawetan nasi ketika perjalanan jauh dan tetap enak, caranya masukkan kedalam daun pisang muda setelah itu gulung dengan rapi, dijamin tetap maknyus.

Selain dibawa oleh wali santri, kepada siapapun santri yang pulang ke rumahnya kemudian balik ke pesantren “wajib” membawa tabheg. Berbeda dengan masakan santri di pondok pesantren yang menggunakan wadah dari daun pisang, tabheg lebih spesifik pada nasi gulung daun pisang bawaan orang tua atau santri dari rumah. Bisa juga masakan santri kemudian di makan bersama-sama.

Makan bersama menjadi hal lumrah di semua pondok pesantren. Cara, tempat dan sajian panganan yang disuguhkan bisa berbeda-beda. Di Sunda, Jawa Barat ada istilah adrahi. Hanya saja istilah adrahi lebih umum yakni bungkus atau wadah nasi bawaan santri bisa menggunakan daun pisang, plastik pembungkus nasi, talam atau semacamnya.

Sementara santri di daerah Jawa Tengah terkenal istilah mayoran yaitu aktifitas makan bersama menggunakan satu wadah besar, berupa pelepah daun pisang maupun nampan atau baki. Lain wadah beda pula namanya. Di Kediri, lebih dikenal istilah talaman karena menggunakan talam.

Kebiasaan santri makan bersama selain bermaksud untuk menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, juga menjadi sarana perekat persaudaraan santri yang berasal dari berbagai daerah, suku, adat-istiadat dan bahasa. Dengan kata lain, di pesantren persaudaraan dan kesedehanaan bisa lahir dan tumbuh dari nasi.

Penulis : Yazid

Editor : Co

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *