nuruljadid.net – Lora Moh. Imdad Robbani sebagai inspektur upacara Hari Santri Nasional (HSN) ke-6 tahun 2021 di Pondok Pesantren Nurul Jadid (22/10/2021) menyampaikan poin penting tentang menjadi santri seutuhnya dengan internalisasi nilai-nilai yang diwariskan oleh kiai dan santri pejuang kemerdekaan terdahulu.
Mengawali amanat upacara beliau mengungkapkan rasa syukur karena dapat mengikuti upacara memperingati resolusi jihad kaum sarungan di masa lalu yang diprakarsai oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari yang kemudian berlanjut sampai pada puncaknya yaitu peristiwa 10 November ditandai sebagai hari Pahlawan.
Dari kisah ini sebenarnya menceritakan suatu hal pada kita bahwa untuk menjadi pahlawan kita harus terlebih dahulu menjadi santri dan belajar, untuk menjadi orang yang bersedia berkorban untuk orang lain, kita harus terlebih dahulu belajar mencari ilmu.
Ra Amak (panggilan akrab Lora Moh. Imdad Robbani) juga menambahkan bahwa pahlawan itu adalah orang yang tidak memikirkan dirinya sendiri sebagaimana kita semua telah diingatkan oleh pendiri KH. Zaini Mun’im, bahwa “saya tidak ridho kalau ada santri saya yang hanya memikirkan urusan dirinya sendiri, tidak ridho kalau tidak berjuang di tengah-tengah masyarakat” dan itu adalah definisi pahlawan.
Santri Nurul Jadid harus bersedia belajar ketika sedang di pondok, belajar untuk mengalahkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan yang lebih besar. Karena tanpa usaha untuk mengalahkan hawa nafsu, maka tidak akan pernah ada kemerdekaan negara kita ini dan tidak akan pernah terlahir pahlawan. Tidak ada ceritanya pahlawan yang memikirkan diri sendiri, sampai bersedia berkorban harta bahkan nyawa untuk kemerdekaan.
Menjadi pahlawan bukan berarti harus menonjolkan diri bahkan kita sudah diingatkan oleh Pengasuh Kedua KH. Hasyim Zaini “Jadilah orang berguna tapi jangan menonjolkan diri.” Itu salah satu ciri penting Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid yaitu tidak ada keinginan untuk menonjolkan diri, walaupun ketika oleh Allah SWT ditakdirkan untuk menjadi orang yang menonjol namun bukan atas dasar keinginan pribadi. Tidak menonjolkan diri bukan berarti tidak melakukan yang terbaik, namun lebih kepada makna tetap tawadu’ atau rendah hati serta tidak memaksakan diri untuk selalu tampil dan terlihat orang ketika melakukan kebaikan.
Dalam amanatnya, Ra Amak juga dawuh dalam memperingati hari santri ini atau resolusi jihad yang dicanangkan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari perlu kita konversi. Resolusi jihad pada masa Fathul Qashar adalah kewajiban fardhu ain untuk berjuang datang ke Surabaya berperang mempertaruhkan nyawa demi membela negeri ini. Saat ini, jihad kita adalah jihad belajar dalam pengertian seluas-luasnya.
Mengikuti upacara bendera merupakan bentuk jihad sederhana yang dapat kita lakukan saat ini selain juga sebuah proses pendidikan dan pembelajaran. Karena dalam upacara ini kita melakukan hal-hal, yang dalam kondisi normal, tidak kita sukai. Kita harus bersabar berjemur dan berpanas-panasan sampai upacara selesai. Dari sini, kita belajar menghilangkan ego yang merupakan bagian dari riyadhoh untuk tidak mengeluh, sebagaimana riyadhoh adalah ciri khas santri.
Merayakan hari santri, bukan hanya sebagai hari yang gebyar dan hura-hura, tapi lebih untuk menginternalisasi nilai-nilai yang diwariskan oleh para guru-guru dan para santri zaman dahulu, sehingga kita bisa menjadi santri seutuhnya, santri yang di dalamnya sudah terinternalisasi Trilogi dan Panca Kesadaran Santri.
Di akhir amanat beliau, Ra Amak mengingatkan jangan sampai kita hanya merayakan hari santri tapi kemudian tidak perhatian pada Furudhul Ainiyah, Tarqil Al-Kabair dan Husnul Adab ma’a Allah wa ma’a Al Khalqi. Beliau juga mengajak kita semua menjadikan momentum tahunan ini untuk meningkatkan ghirrah kesantrian kita yaitu dengan mempraktikkan nilai yang terkandung dalam Trilogi dan Panca Kesadaran Santri.
(Humas Infokom)