“Metani” Wajah dan Makna Peran Perempuan

Satu makhluk Tuhan ini memang selalu unik, seksi dan menggairahkan untuk diperbincangkan. Tak habis-habisnya kata dimuntahkan dan tulisan ditorehkan untuk mengungkap misteri dari makhluk Tuhan yang paling seksi ini. Mulai dari berbentuk buku serius dan njlimet milik para pemikir yang tulisannya sulit diparkir sampai tulisan santai yang terus berantai di tembok sekolah, gudang beras, tembok terminal, tiang listrik, atau di pasir pantai. Rasa-rasanya saya sendiri kehabisan kata-kata untuk metani perempuan dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, bahkan sampai ke perok tetetnya, dimana perempuan masih terus mengeluarkan aura-aura misteri yang tak kunjung mati.

Selagi saya masih terkagum-kagum dan terseok-seok memahami sosok yang aduhai ini, paling tidak ini adalah curahan hati dan imajinasi penulis tentang perempuan. Mari kita mulai dengan metani sisi perwajahan perempuan. Oh iya…..bagi yang tidak faham metani; ini adalah ungkapan yang berasal dari bahasa jawa dari kata petan. Sederhananya adalah kegiatan yang dilakukan oleh—biasanya—ibu-ibu untuk mencari kutu di rambut. Kalau tidak salah bahasa maduranya alek-selek. Sekarang kembali lagi ke masalah metani sisi perwajahan perempuan hasil dari imajinasi saya selama njagongi dan “mengintip” perempuan . Pertama, sebagian besar asumsi akan membenarkan walaupun terkadang tidak jujur atau bersembunyi dibalik motif “melihat perempuan dengan tidak sebelah mata”, bahwa ketika perempuan tampil ke ranah publik sebagian besar yang dipandang adalah relasinya dengan penampilan. Apalagi kalau sudah menyentuh dunia entertain, pasti ukuran awalnya adalah perwajahan atau penampilan. Hanya untuk kepentingan tertentu saja menggunakan ukuran sebaliknya. Inilah yang biasa gamblang disebut dengan mitos kecantikan.

Begitupun pada ranah publik yang lain, banyak pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut PBQ (A Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan Professional, perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut, maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Bahkan pula, hal yang paling gampang-gampang sulit; persoalan pasangan. Disinilah kejujuran kaum adam dipertanyakan; tentang kesepakatan terselubung mereka untuk memilih tampilan. Well, saat itulah perempuan menjadi tersihir untuk tampil selalu cantik. Anda boleh sepakat atau tidak, percaya atau tidak saya kira begitulah kenyataannya.

Kedua, Secara otomatis pula, ketika perempuan mengejar untuk menjadi yang tercantik, saat itulah dia akan menjadi orang yang menderita, karena hidupnya dibayang-bayangi hantu keriput, jerawat, kegemukan, kulit hitam dan mitos-mitos lain tentang ciri-ciri perempuan yang mudah dipandang sebelah mata. Dengan begitu, masuklah kemudian kepentingan pasar global—yang memang sengaja diciptakan agar memiliki konsumen yang fanatis—terhadap image perempuan yang bisa menarik segala keberuntungan dengan membuat kriteria cantik menurut mereka, melalui iklan-iklan dan bualan-bualan di televisi maupaun di pasar-pasar.

Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Dengan malakukan operasi plastik mereka berusaha memenuhi tuntutan standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan terjadinya kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan. Mengutip tulisan Naomi Wolf, “Setelah melampaui mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di atas mitos kecantikan.” Wal hasil asumsi ketiga, perempuan dijadikan sasaran dari eksploitasi produksi pasar kapitalis dengan terus menciptakan produk dan mempromosikan tentang perempuan idaman yang memiliki daya tarik. Kalau sudah demikian, ketika kaum adam disuguhi tentang citra perempuan yang dapat mendongkrak gengsinya, dengan kriteria yang telah dibuat sedemikian apik oleh kepentingan pasar, munculah asumsi yang keempat, perempuan akan selalu dipandang sebagai objek seksualitas; bukan kapasitas, hanya untuk memuaskan nafsu birahi; bukan iner beauty yang memancar dari keanggunan akal dan mental, jiwa dan kesopanan. Yang dimaksud dengan objek adalah pengeksploitasian tubuh secara berlebih, bukan untuk menjadi fokus utama, tetapi hanya sebagai pelengkap, produk sekunder saja. Ironisnya lagi, jika kita lihat media massa; termasuk obrolan di restoran, cafe bahkan warteg, menjadikan wanita sebagai pribadi sekunder, sebagai objek dari media itu. Hal ini jelas berimplikasi pada semakin menguatnya stigma yang melekat pada kesucian wanita. Superioritas pria semakin ditekankan, dan mempersuasi publik secara latent melalui media tersebut. Sekarang kembali kepada perempuan sendiri; mau terus menderita dihantui dengan menjadi cantik sebagaimana kategori dalam objek seksualitas, atau bangkit dan menjadi orang yang merdeka dengan menentukan cantiknya sendiri. Hmm…. Gampang-gampang sulit kayaknya ya…. Tapi saya yakin pembaca tulisan ini adalah perempuan kuat yang tampil dengan keanggunan fikir dan kemapanan akhlaknya. semoga!

Masih belum selesai….. monggo kita metani makna peran perempuan. Kekasih-kekasihku sebangsa dan setanah air; para kaum hawa, mengutip sedikit dari hadits nabi yang sudah tidak asing bunyinya لنساء عماد البلاد ان صلحت صلح البلاد وان فسدت فسد البلادا (perempuan adalah tiang negara apabila perempuan baik maka negara akan menjadi baik, jika perempuan jelek (akhlaqnya) maka negara akan menjadi jelek). Dengan demikian betapa mulya dan luar biasanya kedudukan perempuan sehingga bisa menjadi barometer bagi baik buruknya sebuah negara. Isi negara terdiri dari kumpulan masyarakat dengan satuan terkecil adalah keluarga. Lebih sederhananya, keluarga adalah ujung tombak negara dalam menciptakan kondisi yang adil, makmur, aman dan sentosa. Setiap keluarga menjadi tonggak negara dengan peran yang sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan. Lalu, setiap keluarga tentunya memiliki anggota keluarga dimana peran ibu menjadi sangat penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai luhur tersebut. Maka, tidaklah berlebihan bunyi hadits diatas dengan mengatakan perempuan sebagai tiang Negara, karena masa depan generasi bangsa ada dalam genggamannya dan bagaimana seorang perempuan yang menyandang gelar “ibu” mengarahkan masa depan anak-anaknya. Sehingga menjadi hal yang wajar dan keharusan jika pendampingan yang ekstra kepada generasi bangsa dilakukan dengan intens. Sentuhan perempuan yang bergelar ibu tak bisa tergantikan dengan seribu tangan baby sister dengan alasan kesibukan apapun, apalagi hanya alasan mengejar karir dan tambahan pundi-pundi kekayaan keluarga. Sekarang pilihannya karir yang dikorbankan atau anak dan keluarga yang terlantar?!. Lebih memilih sukses sendiri atau menahan diri dengan mempersiapkan sepuluh (jika mau punya anak sepuluh hehehe) kader-kader bangsa yang dibimbing oleh perempuan sejati?!. Maka kembalilah wahai perempuan ke pangkuan nilai-nilai islami. Sebuah syiir melantun….الأم مدرسة إذا أعددتها أعدت جيلا طيب الأعراق  (Ibu adalah madrasah jika kamu menyiapkannya, maka dia menyiapkan generasi berkarakter baik) وإذا النساء نشأن فى أمية رضع الرجال جهالة وخمولا  (Apabila para ibu tumbuh dalam ketidaktahuan, maka anak-anak akan menyusu kebodohan dan keterbelakangan). Syiir yang terakhir ini mengingatkan pada setiap perempuan: siapkanlah ilmumu. Bagi perempuan yang belum bergelar “ibu”, carilah ilmu sehebat mungkin. Isilah kantong-kantong fikiranmu dan akhlakmu dengan pengalaman yang seluas-luasnya. Lalu satu hal yang harus engkau janjikan: “semua itu adalah untuk anak-anakku!”

Sekarang pilihan ada ditanganmu wahai perempuan. Apakah engkau akan membiarkan anak-anakmu tidak mengenalmu atau sebaliknya bangga dengan memilikimu. Sehingga dalam setiap soal yang diajukan kepada anak-anakmu; siapakah pahlawan yang paling berjasa? dengan sigap, tegas dan lantang mereka menjawab: ibuku!

Rojabi Azharghany

(santri dan khodim Pesantren Nurul Jadid)
Dimuat pada majalah ALHASYIMY edisi kedua 2017.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *