Etika Pergaulan Laki-Laki dan Perempuan dalam Islam (Sebuah Ringkasan)

Islam memberikan perhatian yang besar terkait etika (akhlak) pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Berikut saya coba merangkum topik dimaksud dari buku Nilai Wanita karya KH Moenawwar Chalil (1977):

  1. Pandang-Memandang

Firman Allah yang artinya:

“Katakanlah olehmu (Muhammad), kepada orang-orang lelaki yang beriman: hendaklah mereka itu memejamkan setengah daripada pandangan mata mereka…” (QS An-Nur Ayat 30)

“Dan katakanlah olehmu (Muhammad), kepada orang-orang perempuan yang beriman: hendaklah mereka itu memejamkan setengah dari pandangan mata mereka…” (QS An-Nur Ayat 30)

Berhubungan dengan hal ini, dalam banyak hadis disebutkan:

  • Sahabat Jarir RA berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw dari hal melihat wanita yang tidak disengaja. Beliau bersabda, “Palingkan mukamu!”.” [Hadis Riwayat Imam Muslim, Ahmad, dsb]
  • Sahabat Buraidah RA berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Hai Ali, jangan kamu ikutkan satu pandangan dengan satu pandangan yang kedua, karena sesungguhnya bagi kamu pandangan yang pertama dan tidak bagi kamu pandangan yang kedua.” [HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dsb]
  • …Rasulullah Saw bersabda, “…aku melihat seorang pemuda dan pemudi pandang-memandang, maka aku tidak menjamin keamanan kedua-duanya dari godaan setan.” [HR Bukhari, Muslim, dsb]
  • Dalam sebuah hadis Qudsy, Rasulullah Saw bersabda, “Pandangan itu semacam anak panah yang berbisa dari anak-anak panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya lantaran takut kepada-Ku (Allah), maka Aku akan menggantinya dengan manisnya iman di hatinya.” [HR Tabrani]
  • Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang lelaki Muslim yang melihat kepada kecantikan seorang perempuan-sekali pandangan-kemudian ia memejamkan pandangan matanya, melainkan Allah pasti mengganti padanya satu ibadah yang ia akan dapati rasa manisnya di dalam hatinya.” [HR Imam Ahmad dan Tabrani]
  1. Bertatap Muka atau Berjumpa (Ketemuan)

Kalau pandang memandang antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya saja sudah dilarang, apalagi ketemuan. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, maka janganlah ia bertemu sendirian-di satu tempat-dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan.” [HR Ahmad]

Nabi juga bersabda: “Janganlah seorang wanita pergi melainkan dengan disertai mahram: dan janganlah seorang lelaki masuk ke tempat wanita, melainkan jika dia dengan seorang mahram.” [HR Bukhari, Muslim, Ahmad]

  1. Bercakap-cakap (Berbicara)

Kalau memandang dan bertemu muka antara lelaki dan perempuan saja tidak boleh, demikian juga dengan berbicara atau bercakap-cakap di antara keduanya. Sahabat Amir RA bercerita, “Rasulullah Saw melarang orang-orang perempuan diajak bercakap-cakap, kecuali dengan izin suami-suami mereka.” [HR Tabrani]

Larangan ini bagi wanita yang sudah bersuami, kalau masih belum bersuami harus dengan izin atau di dampingi walinya atau mahramnya. Ajaran Islam ini tentu bukan hendak mempersulit urusan, melainkan dalam angka menjaga peristiwa yang tidak diinginkan bagi kedua belah pihak, terutama bagi wanita agar tidak ada fitnah yang bukan-bukan.

  1. Berjabat Tangan (Salaman)

Tentang berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, di antara hadis yang menjelaskannya sebagai berikut:

“Sesungguhnya aku tidak pernah bejabatan tangan dengan orang-orang perempuan.” [HR Imam Malik,Tumudzi, dll]

Aisyah RA bercerita, “Rasulullah Saw tidak pernah sekali-kali menyentuh (berjabatan) dengan tangan seorang wanita yang bukan haknya.” [HR Bukhari, Muslim, dst]

Larangan yang demikian tersebut tidak lain bertujuan untuk menjaga kesopanan dan kesucian (kemuliaan) seorang Muslim.

  1. Bersentuh Badan

Kalau bersalaman saja sudah dilarang, apalagi sentuh menyentuh, peluk memeluk, dan seterusnya.

Nabi bersabda:

“Sungguh jika sekiranya kepala seseorang di antara kalian ditikam dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh orang wanita yang tidak halal baginya.” [HR Imam Baihaqi dan Tabrani]

“Sungguh sekiranya seorang lelaki menyentuh dengan seekor babi yang berlumuran darah atau lumpur yang amat busuk baunya, itu lebih baik daripada menyentuhkan bahunya pada bahu seorang perempuan yang tidak halal baginya.” [HR Tabrani]

Dua hadis ini menunjukkan tercelanya orang lelaki yang menyentuh badan atau tubuh perempuan yang tidak halal baginya. Kalau “menyentuh” saja sudah dilarang, apalagi perbuatan yang melampauinya.

Karena itu, Nabi bersabda, “Mata zinanya adalah memandang. Telinga zinanya adalah mendengarkan. Lidah (mulut) zinanya adalah berbicara. Tangan zinanya adalah menyerang atau menyentuh. Kaki zinanya adalah berjalan. Adapun hati (zinanya) adalah berhasrat dan berangan-angan. Dan (zinanya) kemaluan adalah membenarkan atau mendustakan itu semua.” [HR Muslim]

Jadi,  zina kemaluan merupakan puncak atau benteng terakhir  dari “kesucian” seseorang yang akan membenarkan atau menolak perbuatan yang dilarang tersebut.

Seorang penyair kebanggaan Islam, Ahmad Syauqi Bek, merangkum jalan-jalan setan tersebut dalam sebuah syair: Sekali pandang, sekali senyuman, kemudian kirim salam, lalu berbincang-bincang, kemudian janjian, lalu pertemuan.

Selain hal-hal penting di atas, masih banyak etika yang diajarkan Islam terkait hubungan laki-laki dan perempuan, seperti larangan berdesak-desakan atau campur baur (misalnya, ketika berjalan perempuan hendaknya menepi di pinggir jalan alias tidak melewati jalan lelaki, tidak keluar rumah/keluyuran, ada jalan khusus/pintu khusus bagi perempuan, adanya hijab atau satir, dsb), pengaturan dalam shaf shalat (perempuan di berada di shaf paling belakang, laki-laki di depan), dan adanya pemisahan tempat bagi laki-laki dan perempuan yang sedang belajar, larangan bagi perempuan memakai mewangian (farfum) di tempat umum,  dan sebagainya.

Demikianlah, agama kita telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan sangat baik dan aman. Islam masih membolehkan jika interaksi keduanya dilakukan dalam tiga hal, yakni khitbah atau tunangan (hanya melihat wajah dan tangan, tidak lebih), mu’amalah (seperti bisnis jual beli, mengajar, politik), dan berobat. Hal dilakukan semata untuk kebaikan dan masa depan kedua belah pihak mengingat keduanya memiliki tanggungjawab yang besar di Bumi.

Semoga ringkasan ini bermanfaat bagi semuanya dan penulis senantiasa mendapatkan ampunan dan pintu maaf-Nya.

*Mantan Ubudiyah Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Salah satu karyanya yang telah diterbitkan: Jejak Spiritual Nyai Pesantren: Obsesi dan Keteladanan Nyai Mukarromah dari Cangkring (Pustaka Ilmu, 2016).

 

1 reply
  1. SalwaAndFaqih
    SalwaAndFaqih says:

    Misalnya berkumpul dong min? Misalnya nih ya ada 5 orang cewek dan 3 orang cowok lagi main habsy di sebuah taman terus sambil ngobrolan?

    Balas

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *