KH. Moh. Zuhri Zaini; NU dan Politik
Oleh: KH. Moh Zuhri Zaini
( Penulis Adalah Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo)
Jika berpolitik dimaknai keterlibatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ia (berpolitik) adalah suatu keniscayaan yang tak terhindarkan dari peran dan khidmah NU (Nahdhatul Ulama). Ini sesuai dengan pernyataan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar NU yang berbunyi: “Menyadari bahwa cita-cita bangsa Indonesia hanya bisa diwujudkan secara utuh apabila potensi nasional dimamfaatkan secara baik, maka NU berkeyakinan bahwa keterlibatannya (NU) secara penuh dalam proses perjuangan dan pembangunan nasional merupakan keharusan yang mesti dilakukan’.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Peran politik apakah yang harus dilakukan NU dan bagaiman NU harus melakukan peran politik itu? Karena dalam realitas dan prakteknya, kegiatan politik dapat dibedakan berdasarkan tujuan, target, dan cara (proses) nya, sehingga timbul istilah politik kebangsaan, politik golongan, politik kekuasaan, politik kotor dan lain-lain. Dan masing-masing jenis politik tersebut mempunyai dampak yang berbeda, baik positif maupun negatif, bagi masyarakat atau bangsa.
Memang kegiatan politik seyogyanya ditujukan untuk memberikan sebesar-besar mamfaat dan menghindarkan se-kecil-kecil madlarat (bahaya) terhadap masyarakat atau rakyat atau bangsa. Namun realitasnya tidak selalu sesuai dengan yang di idealkan (seharusnya). Banyak faktor yang dapat mendistorsi atau bahkan membelokkan tindakan politik dari tujuan idealnya. Misalnya, kepentingan pribadi atau kelompok yang—baik disadari atau tidak—sering ikut menentukan target dan cara (proses) kegiatan politik tersebut. Dan kemudian dikemas dengan kemasan “kepentingan umum”. Adanya kepentingan-kepentingan, baik pribadi maupun kelompok, sering menjadi pemicu terjadinya konflik antara pelaku politik, baik secara internal (dalam satu partai) maupun dengan pelaku politik dari kelompok atau partai yang lain. Dan yang tak kalah besar perannya, sebagai pemicu konflik adalah cara atau proses melakukan tindakan politik tersebut. Tak jarang karena didorong oleh ambisi dan emosi, sering tindakan politik dilakukan secara tidak terkontrol, sehingga melanggar rambu-rambu baik etik maupun hukum. Dalam kondisi seperti ini, aktivitas politik yang semestinya bermamfaat untuk masyarakat atau rakyat, justru berbalik merugikan dan—bahkan—menghancurkan mereka. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, bukan hanya dalam kubu-kubu atau golongan politik, tetapi juga akan terjadi kerenggangan dan ketegangan dalam kehidupan keseharian. Silaturrahmi menjadi tersendat bahkan bisa terputus. Terjadi hilangnya rasa hormat dan kepercayaan kepada tokoh dan pemimpin masyarakat, baik individual maupun kolektif atau institusional (termasuk terhadap NU dan pemimpinnya). Dan kalau ini terus terjadi, pada gilirannya akan membikin umat atau masyarakat akan kehilangan pegangan, orientasi dan tauladan.
Dengan adanya beberapa kenyataan tersebut, sudah seharusnya bila NU kembali atau setidak-tidaknya lebih menekankan dan menseriusi pokok inti perjuangannya seperti telah digariskan para muassis (founding father) nya. Yaitu mengembangkan nilai Islam Ahl assunnah Wa aljama’ah dan melakukan upaya-upaya kemaslahatan umat dan bangsa termasuk didalamnya gerakan bela negara, memperkokoh persatuan bangsa dan bersama komponen bangsa yang lain, ikut melakukan pembangunan bangsa disegala bidang, baik agama (ahlaq dan moral bangsa) ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Terutama usaha-usaha yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat atau umat, misalnya pemberdayaan ekonomi umat, penanggulangan bencana dan kegiatan sosial lainnya.
Dalam ranah politik praktis, seyogyanya NU cukup melakukan gerakan moral dengan melakukan taushiyah dan contoh-contoh keteladanan yang baik bagi semua pihak terutama bagi kalangan warga NU sendiri. Menghindari kegiatan politik praktis yang secara langsung berorientasi kepada kekuasaan adalah agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan dengan warga NU yang berbeda aspirasi politiknya yang mestinya, mereka harus diayomi oleh NU. Sehingga NU menjadi pengayom dan sekaligus wasit atau penengah bila terjadi konflik politik antar warga NU. Dalam hubungan dengan kekuatan politik yang ada, seyogyanya NU menjaga jarak yang sama dengan mereka serta menghindari keterlibatan pengurus (khususnya pengurus inti) dalam politik kekuasan, misalnya dengan melakukan aksi dukung mendukung terhadap orang atau kelompok tertentu. Sebagai gantinya, NU hendaknya melakukan pengayoman terhadap semua kelompok dan golongan, khususnya kader-kader NU yang ada diberbagai kekuatan politik, terutama terhadap orang-orang yang selama ini merasa dipinggirkan oleh elit NU. Sehingga mereka akan tetap merasa bagian dari NU dan memberikan kontribusi pada perjuangan NU untuk umat dan bangsa.
Tugas NU yang terpenting saat ini adalah mempersiapkan kader-kader umat atau bangsa dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang politik, NU mempersiapkan kader-kader politisi dan calon-calon pemimpin bangsa yang handal, bermoral dan mempunyai integritas serta mempunyai komitmen keumatan dan kebangsaan yang kuat. Dalam bidang keilmuan dengan menyiapkan ilmuwan dan teknolog maupun teknokrat yang kompeten dan bermoral. Dalam bidang ekonomi, dengan menyiapkan ekonom, baik praktisi maupun teoritisi, yang bermoral dan mempunya komitmen kerakyatan dan kepedulian sosial yang tinggi. Dalam bidang da’wah dan pendidikan dengan menyiapkan da’i-da’i dan pendidik yang mempunyai integritas dan kemampuan teknis dan sosial yang tinggi serta memahami kondisi riil umat atau masyarakat. Demikian pula di bidang-bidan lain seperti seni budaya, kesehatan, hankam (pertahanan dan keamanan) dan lain-lain, NU hendaknya juga melakukan pengkaderan sehingga misi NU sebagai rahmatan lil ‘alamin betul-betul menjadi kenyataan. Semoga. Amin
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!