Halaqah Alumni Nasional: Merajut Kebersamaan dan Menguatkan Sanad Perjuangan

berita.nuruljadid.net– Dalam upaya mempererat tali silaturahmi dan memperkuat sanad perjuangan, Pengurus Pembantu Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) menggelar Halaqah Alumni Nasional di Aula 1 PPNJ pada Jumat (14/03). Acara yang dihadiri lebih dari 150 alumni ini tidak hanya menjadi ajang temu kangen, tetapi juga menjadi forum strategis untuk membahas berbagai persoalan yang tengah dihadapi para alumni, terutama yang bergerak di bidang politik.

Ketua P4NJ Pusat, Kiai Junaidi Mu’ti, dalam sambutannya menyoroti fenomena perpecahan di kalangan alumni akibat perbedaan pandangan, khususnya di dunia politik. Ia menilai bahwa konflik yang kerap terjadi harus segera diselesaikan agar tetap terjalin ukhuwah Islamiyah di antara sesama alumni.

“Kami ingin membentuk komunitas alumni, terutama bagi mereka yang bergerak di dunia politik, agar tidak lagi terjadi perpecahan akibat perbedaan pandangan. Setiap tahun, kita menyaksikan konflik yang berulang di kalangan alumni, dan ini harus kita akhiri dengan kebersamaan,” ujarnya.

Menurutnya, musibah terbesar bagi umat Islam bukanlah kebencian dari kaum non-Muslim, melainkan permusuhan di antara sesama Muslim. Oleh karena itu, ia mendorong terbentuknya komunitas alumni berbasis profesi yang saat ini telah memiliki delapan asosiasi. Komunitas tersebut diharapkan dapat menjadi kekuatan besar dalam memajukan pesantren dan memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat.

Kiai Zuhri Zaini: Dakwah Harus Ditegakkan dengan Akhlakul Karimah

Dalam kesempatan yang sama, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Zuhri Zaini, menyampaikan arahan kepada para alumni yang hadir. Ia menegaskan pentingnya silaturahmi sebagai jalan untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup.

“Silaturahmi adalah kunci keberkahan. Jika ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya terus menjalin silaturahmi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Kiai Zuhri menyoroti citra Islam yang kerap mendapat stigma negatif di mata dunia. Menurutnya, Islam adalah agama yang mulia, namun pandangan buruk yang berkembang di Barat muncul akibat perilaku sebagian umat Islam yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri.

“Tugas kita adalah mengamalkan Islam dengan benar, khususnya dalam menjunjung tinggi akhlakul karimah. Keindahan Islam harus tercermin dalam perilaku kita, bukan hanya dalam ucapan,” tegasnya.

Kiai Zuhri juga mengingatkan alumni bahwa tugas dakwah tidak hanya menjadi kewajiban para kiai atau muballigh, tetapi juga dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.

“Dakwah bukan hanya dengan lisan, tetapi juga melalui tindakan dan keteladanan. Seorang santri harus mampu melanjutkan perjuangan para masyayikh dengan menyebarkan ilmu dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya.

Halaqah Alumni Nasional ini diharapkan menjadi momentum bagi para alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid untuk merajut kembali kebersamaan, memperkuat peran di masyarakat, serta melanjutkan perjuangan para ulama dengan semangat persatuan dan persaudaraan.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Sebut Akhlak Sebagai Tolak Ukur Derajat Manusia

berita.nuruljadid.net- Di waktu senja, para santri tampak berjalan menuju Masjid Jami’ Nurul Jadid untuk mengikuti pengajian sore pada hari Jum’at (07/03), dengan menenteng kitab dan berbincang bersama teman-teman seperjuangan. Dalam kesempatan tersebut, Kiai Imdad memulai tausiyahnya dengan menekankan bahwa akhlak adalah tolak ukur utama dalam menilai derajat seseorang.

“Keagungan manusia tergantung pada akhlaknya,” ujar Kiai Imdad di hadapan para santri.

Kiai Imdad menjelaskan bahwa tujuan manusia diberikan akal adalah untuk mengenal dan menyembah Allah, serta memahami sifat-Nya. Ia juga menyampaikan pentingnya menyerahkan segala urusan kepada Allah, karena dengan begitu Allah akan selalu menemani hamba-Nya.

Kiai Imdad mengingatkan agar tidak menyalahkan takdir dalam menghadapi setiap peristiwa hidup. “Jika belum terjadi, maka maksimalkan waktu dengan berusaha menjadi lebih baik dan jangan lupa untuk bertawakal kepada Allah,” tuturnya.

Dalam pengajian tersebut, Kiai Imdad juga mengingatkan kepada para santri untuk tidak berbangga dengan amal yang telah dikerjakan.

“Sebetulnya, meskipun kita beribadah dan berbuat baik sepanjang hidup, itu bukanlah sebab utama kita masuk surga. Sebab utama adalah kasih sayang dan anugerah Allah yang tiada tara,” lanjutnya.

Lebih jauh, Kiai Imdad mengungkapkan bahwa ada amal yang pahalanya tidak terukur, seperti orang yang memaafkan, bersabar, dan berpuasa. Menurut beliau, semakin baik amal seseorang, semakin banyak pula fasilitas yang diberikan oleh Allah.

Sebagai penutup, Kiai Imdad berpesan kepada para santri untuk terus menggali ilmu yang mereka tekuni. “Semakin dalam kita menggali ilmu, maka kita akan semakin yakin bahwa semua ilmu itu berasal dari Allah dan memiliki hikmahnya masing-masing,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Najib: Kalimat Syahadat, Kunci Masuk Islam

berita.nuruljadid.net- Kunci untuk menjadi umat Islam adalah dengan mengucapkan syahadat. Hal ini disampaikan oleh Kiai Najiburrahman Wahid saat memberikan pengajian kepada santri di Masjid Jami’ Nurul Jadid, Jum’at (07/03).

“Kunci umat Islam itu adalah syahadat yang harus dipahami dan diyakini. Jika seseorang belum meyakini syahadat, maka dia belum dikatakan masuk Islam,” ujar Kiai Najib di hadapan para santri.

Kiai Najib menjelaskan bahwa sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, seluruh keyakinan yang diajarkan adalah satu, yaitu agama tauhid (mengesakan Allah). Perbedaan yang ada terletak pada tatanan ajarannya.

Beliau juga menguraikan dua macam hadis. Pertama, hadis Tauqifi, yaitu isi yang diterima oleh Rasulullah melalui wahyu yang kemudian beliau sampaikan kepada umat dengan menggunakan bahasa beliau sendiri. Meskipun isinya disandarkan kepada Allah, perkataan tersebut lebih tepat dinisbatkan kepada Rasulullah.

Kedua, hadis Taufiqi, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah berdasarkan pemahaman terhadap Al-Quran. Rasulullah memiliki tugas untuk menjelaskan dan menerangkan isi Al-Quran melalui perenungan dan ijtihad. Wahyu akan membenarkan pemahaman yang benar, namun jika ada kesalahan, wahyu akan turun untuk membenarkannya.

Mengutip Imam Ghazali, Kiai Najib menjelaskan bahwa wahyu dan akal akan terus berkaitan selama keduanya sama-sama benar dan tidak menyimpang. Wahyu dan akal bekerja sama dalam mencari kebenaran.

“Wahyu bagaikan sinar matahari, sedangkan akal adalah mata manusia. Mata tidak akan dapat melihat sekitarnya tanpa adanya seberkas sinar yang membantu penglihatannya,” tutur beliau.

Imam Ghazali juga pernah mengatakan bahwa agama dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. Kekuasaan dapat mendukung ajaran agama, sementara agama membimbing kekuasaan menuju jalan kebenaran.

Terakhir, Kiai Najib menegaskan bahwa merupakan kewajiban seorang Muslim untuk mempersiapkan kekuatan guna melawan orang kafir.

“Setelah kita menjadi kuat, kita akan memiliki kesempatan untuk berjihad di jalan Allah. Dalam menyusun kekuatan, para santri cukup dengan belajar dengan tekun,” tegasnya kepada seluruh santri.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Imdad Ajarkan Logika dalam Pengajian Khataman Kitab

penasantri.nuruljadid.net- menjelang senja, para santri berkumpul di Masjid Jami’ Nurul Jadid untuk mengikuti pengajian khataman kitab bersama Kiai Imdad. Dalam kesempatan itu, beliau mengajarkan logika sebagai dasar dalam memahami ilmu, terutama dalam konteks keimanan.

Dalam pengajiannya, Kiai Imdad menjelaskan dua jenis logika, yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif adalah metode penalaran yang menghasilkan kesimpulan berdasarkan data atau premis spesifik yang diberikan. Metode ini sering digunakan dalam sains dan penelitian untuk menemukan hukum-hukum yang absah secara empiris.

Sedangkan logika deduktif merupakan sistem berpikir yang sistematis dan pasti, di mana kesimpulan diambil tanpa perlu observasi atau eksperimen karena maknanya bersifat mutlak dan bebas dari kontradiksi.

“Tanpa berpikir pun, akal kita tidak akan menyangkal jika separuh dari angka dua adalah satu,” ujar Kiai Imdad, memberikan contoh sederhana dalam pengajian tersebut.

Lebih lanjut, beliau memaparkan tiga jenis hukum dalam kajian logika:

Hukum Syar’i, yaitu hukum yang bersumber dari syariat Islam. Ilmu yang memuat hukum ini mencakup panduan agama seperti Furudhul Ainiyah (FA) dan aturan-aturan syariat lainnya. Hukum Syar’i terbagi menjadi lima: wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram.

Hukum Aqli, yaitu hukum yang berdasarkan akal sehat dan rasionalitas. Ilmu yang masuk dalam kategori ini meliputi akidah, nahwu, ushul fiqh, fisika, dan lainnya. Hukum Aqli terbagi menjadi tiga bentuk: wajib (pasti ada), mustahil (tidak mungkin ada), dan jaiz (bisa ada atau tidak ada).

Hukum Adi, yaitu hukum yang berdasar pada kebiasaan atau pengamatan empiris. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum ini meliputi sains, fiqh, dan bahasa. Hukum Adi ditetapkan melalui eksperimen, observasi, dan pengalaman berulang.

Syarat Ilmu dan Keimanan kepada Allah

Dalam pengajian khataman kitab ini, Kiai Imdad juga menjelaskan bahwa suatu ilmu harus memenuhi empat kriteria utama:

1. Berada dalam pikiran (terkonsep dengan jelas).
2. Keyakinan terhadap ilmu harus matang.
3. Sesuai dengan kenyataan atau realita.
4. Didasarkan pada dalil dan bukti.

Menurut beliau, ilmu adalah bentuk keyakinan yang diperoleh melalui argumentasi. Dalam hal ini, ada dua sifat utama dalam logika: sifat niscaya, yaitu kebenaran yang absolut dan tidak perlu pembuktian, serta sifat nadhari, yaitu keyakinan yang berdasarkan argumentasi dan membutuhkan penalaran.

Saat menjawab pertanyaan santri tentang memahami Allah, Kiai Imdad menegaskan bahwa mengenal Allah tidak berarti memahami hakikat-Nya secara langsung, melainkan mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya (wajib), sifat yang mustahil ada pada-Nya (muhal), dan sifat yang mungkin ada pada-Nya (jaiz).

“Mengenal Allah adalah kewajiban utama. Sebab, semua kewajiban dalam agama bergantung pada keyakinan terhadap-Nya,” jelasnya.

Beliau juga mengingatkan pentingnya meningkatkan kualitas iman melalui dua cara: dzikir kepada Allah dan merenungi ciptaan-Nya. Dalam kajian akidah, beliau menekankan bahwa keyakinan harus didasarkan pada hukum aqli atau argumentasi rasional sebelum menerima wahyu.

Sebagai penutup, Kiai Imdad merekomendasikan buku “Logika Keimanan” karya Ahmad Ataka, yang membahas bukti logis kebenaran akidah Islam dalam perspektif sains modern.

Melalui pengajian khataman kitab ini, beliau mengajak santri untuk menguatkan keimanan dengan pemahaman logika yang benar.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Najib Wahid: Ibadah Adalah Ketundukan Batin kepada Allah

berita.nuruljadid.net- suasana pesantren kembali hidup setelah istirahat siang dengan lantunan nadham yang mengiringi para santri menuju pengajian. Dalam kesempatan itu, Kiai Najiburrahman Wahid menyampaikan bahwa ibadah sejatinya adalah bentuk ketundukan batin kepada Allah.

“Ibadah merupakan ketundukan yang muncul karena perasaan batin bahwa yang disembah adalah dzat yang maha agung, memiliki kekuasaan yang tidak bisa dicapai akal seluruh makhluk,” tutur Kiai Najib di hadapan para santri.

Menurutnya, manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakikat Tuhan. Bahkan, untuk mengetahui batas alam semesta pun hingga kini masih menjadi misteri. Karena itu, beliau berpesan agar santri tidak berusaha menggambarkan Tuhan secara fisik, melainkan cukup meyakini keberadaan-Nya.

“Dalam aspek dimensi ruang, kita tidak pernah tahu ujung alam semesta ini di mana. Apalagi dalam aspek waktu, apakah kita tahu apa yang terjadi miliaran tahun yang lalu? Oleh karena itu, kita jangan sok memahami Tuhan seperti apa. Makhluk-Nya saja tidak bisa kita pahami sepenuhnya, apalagi Pencipta-Nya. Kita cukup meyakini saja,” pesannya.

Lebih lanjut, Kiai Najib menjelaskan bahwa manusia secara naluriah membutuhkan agama karena menyadari keterbatasannya. Banyak hal terjadi di luar kendali manusia, seperti turunnya hujan, yang membuat mereka meyakini adanya dzat yang mengatur semuanya.

Dalam ceramahnya, beliau juga membagi hukum agama menjadi dua kategori berdasarkan logika manusia. Pertama, hukum yang mudah dipahami akal, seperti larangan mencuri dan berbuat kerusakan. Kedua, hukum yang sulit dipahami akal, seperti jumlah rakaat dalam sholat dan jumlah putaran thawaf.

“Ada hukum yang bisa diterima akal dan ada yang tidak. Namun, kita harus tetap tunduk dan menjalankannya sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah,” tegasnya.

Melalui ceramahnya, Kiai Najib mengajak para santri untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang penuh kesadaran dan ketundukan.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Mengenal Ahlul Fatrah dan Keindahan Ilmu Bersama Kiai Imdad

berita.nuruljadid.net- Setelah membaca nadham dalam kitab Kharidatul Bahiyah bersama para santri, Kiai Imdad Rabbani mengawali tausiahnya dengan menjelaskan tentang sekelompok kaum yang hidup di daerah terpencil dan tidak pernah mengenal Islam karena dakwah tidak sampai kepada mereka. Pengajian sore yang digelar di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Rabu (05/03) itu berlangsung penuh perhatian dari para santri.

“Cara kita menanggapi orang seperti itu adalah dengan menyamakannya dengan Ahlul Fatrah, yaitu mereka yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah. Mereka tidak langsung masuk surga atau neraka, melainkan akan diuji oleh Allah di akhirat,” jelasnya.

Kiai Imdad juga menerangkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta telah diatur dan ditetapkan ukurannya oleh Allah. Semua benda, mulai dari tubuh makhluk hingga pergerakan di alam semesta, memiliki keseimbangan yang presisi.

“Posisi bumi ini sudah sangat pas. Jika sedikit saja mendekat ke matahari, bumi akan terbakar. Sebaliknya, jika sedikit menjauh, bumi akan membeku,” ujarnya memberikan perumpamaan.

Lebih lanjut, Kiai Imdad menuturkan bahwa semakin dalam seseorang memahami ilmu, maka semakin kuat pula imannya. Salah satu cara melatih kesabaran dalam menuntut ilmu adalah dengan menghadapi segala kesulitan dan tantangan, hingga sifat sabar tersebut menjadi karakter yang melekat dalam diri.

Dalam pengajian itu, Kiai Imdad juga menjelaskan pengertian hukum, yaitu meletakkan atau meniadakan sesuatu dalam kaitannya dengan hal lain. Salah satu konsep dalam hukum Islam adalah hukum ‘adi, di mana penerapannya didasarkan pada kebiasaan, pancaindra, serta eksperimen yang telah dilakukan.

Menutup tausiah, Kiai Imdad menekankan bahwa setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu akan merasakan kenikmatan dari ilmu itu sendiri.

“Ilmu itu berat saat awal mencarinya. Namun, ketika kita sudah memahami bahkan menguasainya, kita akan merasakan lezatnya ilmu tersebut, hingga tanpa sadar bisa terlena di dalamnya,” pungkasnya, diselingi canda tawa yang membuat suasana pengajian semakin hangat.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Najib Tegaskan: Tidak Seorang pun Boleh Membuat Aturan Agama

berita.nuruljadid.net- Teriknya matahari yang menyengat tak menyurutkan semangat para santri untuk mengaji kepada para masyayikh di Masjid Jami’ Nurul Jadid. Meski berhalangan hadir, Kiai Najiburrahman Wahid tetap memberikan tausiahnya melalui rekaman. Dalam kesempatan itu, beliau menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh membuat aturan-aturan agama, Rabu (05/03).

“Yang membuat aturan agama hanyalah Allah. Tidak ada seorang pun yang boleh membuat aturan, bahkan agama itu sendiri, selain Allah,” tegasnya.

Dalam ayat ke-4 Surah Al-Fatihah, مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ (mâliki yaumid-dîn), yang berarti Pemilik Hari Pembalasan, Kiai Najib menjelaskan bahwa pada hari pembalasan, tidak ada satu pun makhluk yang dapat mengubah ketetapan Allah. Allah akan membalas setiap perbuatan, sekecil apa pun, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7 dan 8:

“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia juga akan melihat balasannya.”

Lebih lanjut, Kiai Najib menuturkan bahwa Allah memberikan karunia kepada makhluk-Nya bukan semata karena keinginan mereka, melainkan sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas masing-masing. Sebagai seorang muslim, beliau mengajak para santri untuk selalu mengharap rahmat (kasih sayang) Allah.

“Dibarengi dengan usaha, kita harus senantiasa mengharap rahmat Allah yang tiada batas. Oleh karena itu, kita tidak boleh putus asa atau kehilangan harapan untuk meraihnya,” ujar beliau.

Kiai Najib juga menekankan bahwa balasan di dunia hanyalah simbol dari balasan di akhirat. Karena akhirat adalah tempat makhluk menerima balasan yang sesungguhnya, maka ganjaran di dunia hanya bersifat peringatan.

“Balasan di dunia tidak bisa dikatakan setimpal, karena terkadang bisa dimanipulasi. Namun, berbeda dengan di Padang Mahsyar, di mana Allah akan menghakimi makhluk dengan seadil-adilnya dan memberikan ganjaran yang setara,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Awali Pengajian dengan Menjawab Pertanyaan Santri

berita.nuruljadid.net- Dalam pengajian sore di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Selasa (4/3), Kiai Imdad Rabbani mengawali kajiannya dengan menjawab pertanyaan seorang santri terkait akidah. Pertanyaan tersebut membahas tentang seseorang yang beribadah bukan semata-mata karena Allah, tetapi juga karena mengharapkan surga atau ingin terhindar dari siksa neraka.

“Tak masalah jika seseorang beramal dengan harapan mendapatkan surga, karena hal itu menunjukkan keimanannya terhadap janji Allah. Namun, idealnya ibadah dilakukan semata-mata untuk meraih kecintaan Allah,” ujar Kiai Imdad.

Beliau menambahkan bahwa setiap kebaikan yang dilakukan manusia dengan hati yang tulus menghadap kepada Allah tidak akan sia-sia. Selain itu, ia juga menjelaskan ciri-ciri orang yang sulit menerima nasihat, yakni mereka yang telah mengetahui kesalahan suatu perbuatan tetapi tetap melakukannya.

Lebih lanjut, Kiai Imdad menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa menandingi kekuasaan Allah.

“Andai seluruh makhluk memiliki ketakwaan yang tinggi, hal itu tidak akan menambah kekuasaan Allah sedikit pun. Begitu pula sebaliknya, jika semua makhluk durhaka, itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya,” tuturnya.

Beliau juga menyampaikan bahwa seseorang yang mengamalkan ilmu yang dimilikinya akan mendapatkan tambahan ilmu dari Allah. Menurutnya, banyak orang yang menjadi mualaf karena mencari kebenaran Islam melalui kajian akidah.

Selain itu, Kiai Imdad menyoroti keistimewaan Al-Qur’an yang tidak dapat ditiru atau dibuat tandingannya. Ia menjelaskan bahwa Allah bahkan menantang manusia untuk membuat satu ayat yang menyerupai Al-Qur’an, namun hingga kini tidak ada yang mampu melakukannya karena kebenaran Al-Qur’an sangat rasional dan masuk akal.

Di akhir pengajian, Kiai Imdad mengingatkan para santri untuk mensyukuri nikmat Islam yang telah mereka anut sejak lahir.

“Syukurilah anugerah terlahir sebagai seorang Muslim dengan cara memperkuat akidah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. wildan Dhulfahmi
editor : Ahmad Zainul Khofi

 

Basmalah dan Keikhlasan: Pelajaran dari Tafsir Surah Al-Fatihah oleh Kiai Najiburrahman Wahid

penasantri.nuruljadid.net- Lafadz Basmalah yang tercantum dalam Surah Al-Fatihah mengajarkan manusia tentang arti keikhlasan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Najiburrahman Wahid, saat mengampu kitab Tafsirul Fatihah di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Selasa (04/03).

“Basmalah mengajarkan kita tentang keikhlasan. Segala sesuatu yang kita lakukan harus diniatkan untuk mengharap rida Allah, bukan selain-Nya. Lafadz Basmalah juga menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang murni, bukan karangan Nabi Muhammad,” tutur Kiai Najib.

Dalam ayat kedua Surah Al-Fatihah, الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Ar-Rahmânir-Rahîm), disebutkan bahwa salah satu bukti rahmat Allah kepada seluruh makhluk-Nya adalah pemberian kehidupan dan kesehatan tanpa mereka memintanya.

Pada kesempatan tersebut, Kiai Najib juga menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an tidak boleh sembarangan. Para ulama yang menyusun kitab tafsir memiliki dasar keilmuan yang kuat dan metodologi yang jelas. Oleh karena itu, santri diingatkan agar tidak mengarang tafsir sendiri tanpa ilmu yang cukup.

Selain itu, Nabi Muhammad menganjurkan umatnya untuk mengucapkan Basmalah sebelum memulai pekerjaan baik, agar setiap amal yang dilakukan bernilai ibadah. Kiai Najib juga mengajarkan kepada para santri tentang anjuran dalam shalat Tarawih.

“Karena surah pertama yang diturunkan adalah Al-‘Alaq, dalam Syarah Fathul Mu’in, kita dianjurkan membaca surah tersebut pada rakaat pertama shalat Tarawih,” jelasnya.

Dalam ceramahnya, Kiai Najib juga membahas perbedaan pandangan antara Muslim dan non-Muslim terhadap Al-Qur’an. Umat Islam meyakini bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, sementara sebagian orang kafir menganggapnya sebagai karya Nabi Muhammad. Karena itulah, banyak pemikir Barat mengakui Nabi Muhammad sebagai sosok jenius.

Lebih lanjut, Kiai Najib menjelaskan bahwa makna khalifah bukan sekadar pemimpin dalam arti politik, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan alam semesta. Manusia diberikan akal dan wahyu sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya di bumi.

“Allah memberikan manusia potensi akal dan wahyu agar mereka dapat menjaga harmoni dalam kehidupan. Jika salah satu diabaikan—baik akal tanpa wahyu maupun wahyu tanpa akal—maka keseimbangan akan terganggu,” tegasnya.

Dalam konteks ini, Kiai Najib mengingatkan santri bahwa menjalani hidup dengan ikhlas bukan berarti pasif dan menerima keadaan tanpa usaha. Sebaliknya, keikhlasan yang diajarkan dalam Basmalah adalah motivasi untuk terus berbuat baik tanpa mengharapkan pujian atau balasan duniawi.

Ia juga menekankan pentingnya meneladani Rasulullah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam cara berdakwah. Menurutnya, salah satu faktor utama keberhasilan dakwah Nabi Muhammad adalah kelembutan dan kasih sayang yang sejalan dengan sifat Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm yang terkandung dalam Basmalah.

“Islam tersebar bukan karena paksaan, tetapi karena keteladanan Rasulullah dalam bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ini pelajaran besar bagi kita semua dalam berdakwah dan berinteraksi dengan sesama,” jelasnya.

Di akhir ceramahnya, Kiai Najib kembali mengingatkan para santri bahwa setiap aktivitas yang dimulai dengan Basmalah memiliki dimensi ibadah. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya selalu mengaitkan setiap perbuatannya dengan niat karena Allah.

“Jika kita benar-benar memahami makna Basmalah, maka kita akan selalu merasa diawasi oleh Allah dan berusaha menjalani hidup dengan penuh keikhlasan serta tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Imdad Tegaskan Tugas Santri di Pesantren: Pahami dan Amalkan Agama

berita.nuruljadid.net- Kepala Biro Pengembangan sekaligus pengampu pengajian sore, Kiai Imdad Rabbani, menegaskan bahwa tugas seorang santri adalah memahami ilmu agama dengan akurat dan mengamalkannya dengan cara mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain.

Pernyataan ini disampaikan Kiai Imdad saat mengajarkan ilmu tauhid menggunakan kitab Kharidatul Bahiyah di Masjid Jami’ Nurul Jadid, Senin (03/03).

“Tugas santri adalah memahami agama dengan baik hingga benar-benar mengerti, dan setelah itu wajib menyampaikannya kepada orang lain dengan bahasa yang mudah dipahami agar orang lain juga dapat memahami apa yang disampaikan,” ungkap Kiai Imdad.

Lebih lanjut, Kiai Imdad mengingatkan bahwa mengikuti tren tanpa pertimbangan dapat menjadikan seseorang terperangkap dalam perbudakan tren tersebut. Hingga membuat dirinya mengeluarkan banyak hal tanpa disadari.

“Ketika kita terjebak mengikuti tren, kita telah menyia-nyiakan nikmat besar yang membedakan manusia dengan binatang, yaitu akal dan kemampuan berpikir,” kata beliau.

Dalam pengajian tersebut, Kiai Imdad juga menjelaskan bahwa tujuan seseorang mempelajari ilmu tauhid adalah untuk menumbuhkan keyakinan yang benar ketika membaca kalimat syahadat, bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah selain Allah, yang telah menciptakan segalanya.

Untuk menunjukkan sifat “wujud” Allah, Kiai Imdad mengutip contoh dari alam semesta yang mengalami permulaan, yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Menurut beliau, bukti adanya Tuhan dapat dilihat dari alam semesta yang ada.

“Bukti adanya Tuhan bisa kita lihat dari adanya alam semesta ini, yang mengalami permulaan, dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada,” jelas Kiai Imdad.

Di era modern ini, banyak ilmuwan Barat yang memeluk agama Islam setelah menemukan kebenaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Berbagai penemuan ilmiah baru kini telah membuktikan kebenaran Al-Qur’an yang sudah dijelaskan lebih dari 1400 tahun yang lalu.

Di akhir pengajian, Kiai Imdad mengingatkan bahwa seseorang yang merasa sudah tahu akan cenderung berhenti belajar.

“Bahkan seorang yang sangat alim pun, jika berhenti belajar, maka seketika itu dia akan menjadi bodoh,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

Kiai Najib Jabarkan Keterkaitan Ayat-ayat dalam Surah Al-Fatihah

berita.nuruljadid.net- Di tengah teriknya matahari, suara pengajian menggema dari Masjid Jami’ Nurul Jadid, menyebar ke segala penjuru. Dalam pengajian tersebut, Kiai Najiburrahman Wahid mengajarkan keterkaitan ayat 5 hingga 7 dari Surah Al-Fatihah kepada para santri pada Senin (03/03).

Kiai Najib menjelaskan makna petikan lafaz اِيَّاكَ نَعْبُدُ (iyyâka na‘budu), bahwa Allah mengajarkan manusia cara memohon yang benar. Dalam kitab Fathul Mun‘in dijelaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengulang-ulang bacaan surah Al-Fatihah agar doanya semakin khusyuk.

“Gus Mus pernah memberi ijazah, salah satu cara agar doa dikabulkan adalah dengan membaca ayat kelima Surah Al-Fatihah. Lisan mengucapkan lafaznya, sementara hati meminta pertolongan sesuai dengan hajat masing-masing,” tuturnya.

Pada ayat ke-6, اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (ihdinash-shirâthal-mustaqîm), Allah mengajarkan manusia cara meminta pertolongan terbaik, yakni dengan menjalankan ibadah yang lurus. Kiai Najib menekankan bahwa semua pekerjaan yang dilakukan dengan kepatuhan kepada Allah akan bernilai ibadah.

“Tak hanya sholat, mencari nafkah yang halal untuk keluarga juga merupakan ibadah di sisi Allah,” ucap beliau.

Lebih lanjut, Kiai Najib mengingatkan jamaah agar tidak mengubah tata cara ibadah mahdhah (ibadah murni) seperti sholat agar terhindar dari kebid‘ahan.

“Kita harus mengikuti petunjuk yang telah diajarkan Nabi. Jangan sampai mengarang sendiri,” tegasnya.

Dalam suasana siang menjelang sore itu, Kiai Najib juga menjelaskan pengertian ijtihad sebagai upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh para pakar untuk menemukan kebenaran.

“Seorang mujtahid yang hasil ijtihadnya benar akan mendapatkan dua pahala, sedangkan jika salah tetap mendapatkan satu pahala,” jelasnya.

Terakhir, Kiai Najib menguraikan maksud dari petikan ayat ke-7, غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ (ghairil-maghdlûbi).

“Ayat ini merujuk pada mereka yang telah mengetahui kebenaran tetapi menolak untuk mengakuinya, seperti bangsa Yahudi yang menolak Nabi akhir zaman meskipun sudah diberikan petunjuk. Oleh karena itu, Allah murka kepada mereka,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Makna Sholawat dalam Kitab Kharidatul Bahiyah Karangan Syekh Ahmad Ad-Dardiri

berita.nuruljadid.net- Seusai salat Asar, terdengar lantunan nadhom dikumandangkan dari masjid, menandakan bahwa pengajian kitab sore akan segera dimulai. Dalam pengajian tersebut, Gus Imdad Rabbani yang mengampu kitab Kharidatul Bahiyah karangan Syekh Ahmad Ad-Dardiri menjelaskan makna sholawat, pada Minggu (02/03).

Gus Imdad menjelaskan bahwa definisi kata sholawat akan berubah sesuai dengan kepada siapa kata tersebut disandarkan.

“Jika sholawat disandarkan kepada Allah, maka bermakna dzikir. Jika disandarkan kepada manusia, maka bermakna doa. Sedangkan jika disandarkan kepada malaikat, maka bermakna istighfar,” ungkapnya.

Beliau juga memaparkan empat jenis pujian, yaitu:
Pujian Allah untuk diri-Nya sendiri,
Pujian Allah kepada makhluk-Nya,
Pujian makhluk kepada Allah, dan
Pujian antarsesama makhluk.

Gus Imdad menegaskan pentingnya menghormati para sahabat Nabi yang telah banyak berkorban demi Islam.

“Jangan menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Penghormatan kita kepada para sahabat Nabi adalah bentuk kesadaran bahwa kita berutang budi kepada mereka atas jasa-jasa yang telah mereka berikan,” tegasnya.

Dalam sesi tanya jawab, seorang santriwati menanyakan tentang takdir yang telah ditetapkan Allah.

Gus Imdad menjawab, “Segala sesuatu terjadi karena kekuasaan Allah. Namun, manusia yang sadar dan berakal memiliki pilihan dalam menjalani hidupnya. Orang yang sudah mukalaf akan bertanggung jawab atas semua pilihannya yang berada dalam kendalinya,” ucap beliau.

Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban seseorang di luar batas kemampuannya. Hal ini telah Allah pertegas dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Gus Imdad juga menyampaikan bahwa seseorang yang sepanjang hidupnya rajin beribadah tetapi meninggal dalam keadaan su’ul khotimah biasanya memiliki niat yang tidak tulus dalam beramal.

Terakhir, beliau menuturkan bahwa tujuan utama dalam menuntut ilmu agama adalah membentuk diri menjadi seorang Muslim yang sejati.

“Belajar agama tidak boleh melompat-lompat. Harus bertahap, dan itu sangat penting. Karena belajar bertahap, maka kita harus bersabar,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Ampu Kitab Karangan Kiai Zaini Mun’im, Kiai Najib Jelaskan Keagungan Ayat Al-Fatihah

berita.nuruljadid.net- Dalam pengajian siang di Masjid Jami’ Nurul Jadid pada Minggu (02/03), Kiai Najiburrahman Wahid menguraikan setiap penggalan kalimat dalam kitab Tafsirul Fatihah karangan Kiai Zaini Mun’im. Pada kesempatan itu, beliau membahas tentang keagungan ayat pertama dalam surah Al-Fatihah.

Menurut Kiai Najib, makna dari ayat pertama Al-Fatihah, yaitu اَلْحَمْدُ (Alhamdu), menunjukkan bahwa segala bentuk pujian pada hakikatnya adalah milik Allah.

“Ketika kita mengagumi seseorang atau sesuatu, kita harus menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan segala hal yang kita kagumi itu. Oleh karena itu, selain memuji ciptaan-Nya, kita tidak boleh lupa kepada Sang Pencipta,” ujar beliau.

Selama di dunia, makhluk mukalaf—yakni manusia dan jin—dibebani dengan perintah dan larangan Allah sebagai ujian hidup. Jika seseorang senantiasa melaksanakan perintah-Nya, maka ia akan selamat. Sebaliknya, jika ia terus-menerus melanggar larangan-Nya, maka ia akan celaka. Agar tidak tersesat, Allah memberikan petunjuk kepada makhluk mukalaf agar mereka dapat berjalan di jalan yang benar menuju keselamatan dan kebahagiaan.

Kiai Najib juga menjelaskan bahwa Allah mendidik manusia baik secara fisik maupun rohani.

“Dari segi jasmani, manusia dirawat melalui mekanisme tubuhnya, seperti antibodi dan sistem pertahanan lainnya. Sedangkan dari segi rohani, Allah merawat manusia dengan menganugerahkan akal sehat, mengutus para rasul, serta menurunkan kitab-kitab suci,” jelasnya.

Lebih lanjut, Kiai Najib menegaskan bahwa hal terpenting dalam kehidupan adalah iman, karena iman merupakan kunci keselamatan di dunia maupun di akhirat.

“Iman seseorang akan bertambah jika ia sering mengkaji ilmu dan berbuat amal saleh. Namun, jika kebodohan dibiarkan, dikhawatirkan imannya akan goyah,” tutur beliau.

Sebagai seorang Muslim, seseorang harus memiliki visi yang jauh ke depan, bukan hanya untuk kehidupan dunia, tetapi juga kehidupan setelah kematian.

Terakhir, Kiai Najib mengungkapkan bahwa puncak kesempurnaan iman adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala sesuatu. Orang beriman yang diberi nikmat akan bersyukur, sedangkan ketika diuji dengan cobaan, ia akan bersabar dalam menghadapinya.

“Orang yang imannya kuat akan terbebas dari rasa waswas. Namun, jika imannya lemah, ia akan menjadi penakut,” pungkasnya.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika

Kiai Zuhri Zaini Berikan Wejangan Menjelang Kegiatan Semarak Ramadhan

berita.nuruljadid.net- Sebelum dimulai detik-detik pembukaan kegiatan semarak Ramadhan, panitia memberikan kesempatan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Kiai Zuhri Zaini, untuk memberikan wejangan terkait bulan Ramadhan. Acara tersebut berlangsung di Aula 2 PPNJ, Selasa (25/02).

Dalam tausiyahnya, Kiai Zuhri menyampaikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh kemuliaan. Pasalnya, di bulan yang suci ini, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat manusia. Al-Qur’an yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, diharapkan menjadi petunjuk hidup agar umat manusia tidak kebingungan dalam menjalani kehidupan.

“Al-Qur’an turun sebagai pedoman hidup. Tidak hanya sekadar dibaca, tetapi juga harus dikaji, dipahami, dan diamalkan,” ujar Kiai Zuhri.

Dengan diturunkannya Al-Qur’an, Allah memerintahkan umat manusia untuk mensyukuri anugerah besar tersebut dengan cara berpuasa. Menurut Kiai Zuhri, bersyukur tidak selalu harus dilakukan dengan makan bersama, melainkan melalui puasa sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta.

“Puasa merupakan bentuk syukur kepada Allah. Dengan berpuasa, kita melatih diri untuk mengendalikan nafsu, sehingga mampu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,” tambahnya.

Kiai Zuhri menjelaskan, untuk mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, manusia harus mampu melawan hawa nafsu. Oleh karena itu, puasa di bulan Ramadhan menjadi sarana untuk melatih diri agar mampu mengendalikan nafsu dan menahan diri dari hal-hal yang dapat merugikan.

“Jika kita dapat mengendalikan nafsu, kita akan mudah untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,” tegasnya.

Lebih lanjut, dalam kesempatan tersebut, Kiai Zuhri mengingatkan kepada para santri untuk membiasakan diri melakukan hal-hal yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Ia menekankan bahwa apapun yang dilakukan secara rutin, akan menjadi kebiasaan.

“Tentu saja kebiasaan itu tidak selalu baik. Ada kebiasaan baik dan buruk. Maka, jika ingin terbiasa dengan sesuatu, biasakanlah hal-hal yang baik,” tuturnya.

Kiai Zuhri juga menegaskan bahwa salah satu tanda diterimanya ibadah adalah rasa semangat yang muncul untuk melaksanakan ibadah tersebut dengan lebih baik lagi. Oleh karena itu, ia mengajak para santri untuk menjalankan puasa dengan sehat agar bisa mendapatkan hikmah dari ibadah puasa.

Terakhir, Kiai Zuhri mengingatkan agar para santri tidak menganggap puasa sebagai beban yang berat.

“Puasa itu menyehatkan, baik secara fisik maupun mental, asalkan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Jadi, jangan melihat puasa sebagai hal yang berat, tetapi sambutlah dengan kegembiraan karena ini kesempatan untuk meningkatkan kesehatan dan keilmuan kita,” pungkas Kiai Zuhri.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ahmad Zainul Khofi

 

Semarak Ramadhan di Pesantren Nurul Jadid: Berkah Ibadah dan Kreativitas Santri

berita.nuruljadid.net- Pondok Pesantren Nurul Jadid (PPNJ) kembali menggelar kegiatan Semarak Ramadhan sebagai bagian dari tradisi tahunan dalam menyambut bulan suci. Acara ini resmi dibuka pada Selasa (25/02) di Aula 1 PPNJ dan akan berlangsung hingga 15 Ramadhan, dua hari sebelum kepulangan santri.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas ibadah dan memperkaya pengalaman spiritual santri. Sebelum acara utama dimulai, panitia menampilkan berbagai kreasi seni dari perwakilan lembaga guna menambah semarak dan menghilangkan kejenuhan santri.

Sekretaris Pondok Pesantren Nurul Jadid, Tahiruddin, dalam sambutannya menjelaskan bahwa Semarak Ramadhan akan diisi dengan berbagai program utama, seperti pengajian kitab yang dilaksanakan pagi, siang, dan sore hari sesuai jadwal pengampu.

“Selain pengajian, kami juga menggelar bazar ta’jil menjelang berbuka puasa, iftar bersama, patroli sahur, serta santunan untuk anak yatim,” ujar Tahiruddin.

Tak hanya berfokus pada ibadah, Semarak Ramadhan juga menghadirkan program pengembangan keterampilan bagi santri, seperti jurnalistik, desain grafis, dan public speaking. Selain itu, kelas intensif penguatan bahasa Arab, ilmu alat, serta pembinaan Al-Qur’an turut menjadi bagian dari rangkaian acara. Sebagai puncak kegiatan, acara akan ditutup dengan majelis sholawat bersama Majelis Ahbabul Musthofa.

Tahiruddin berharap kegiatan ini dapat membentuk santri yang lebih terampil dan berkembang, baik dalam aspek spiritual maupun keterampilan praktis, sehingga mereka siap menghadapi tantangan di masa depan.

Pewarta : Moh. Wildan Dhulfahmi
Editor     : Ponirin Mika