Wali Tanpa Nama, Tanpa Gelar
Suatu hari, aku bertemu dengan orang gila. ia berbecira tidak jelas seperti sedang bicara dengan seseorang, dia berbicara dengan lantang. Andaikan mereka tahu bahwa ada wali ‘tanpa nama tanpa gelar’ yang memiliki kemampuan seperti Wali Quthb niscaya mereka akan datang berbondong-bondong mencium tangannya.
Mengais Do’a akan semua masalah dan hajat. Jika Wali tanpa nama tanpa gelar itu telah wafat niscaya mereka akan berlama-lama di makbarohnya, berdzikir, berdo’a dan bermuhasabah diri meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosa mereka selama ini. Andaikan mereka tahu jika mereka sami’na wa atho’na kepada wali tanpa nama tanpa gelar niscaya Allah SWT akan angkat derajatnya. Namun sayang sekali, karena wali tersebut tanpa nama dan tanpa gelar kewalian, ia seringkali dilupakan dan diabaikan.
Aku yang dengar suaranya kaget dan bergumam “hahhh? Memang ada ya, wali tanpa nama tanpa gelar yang kemampuannya seperti Wali Quthb? Siapakah wali tersebut? Dengan sedikit rasa takut aku dekati orang tersebut.
Maaf mbah, tadi saya dengar mbah sedang berbicara panjang lebar dan berbicara tentang wali tanpa nama tanpa gelar, siapakah sebenarnya wali tersebut mbah? Mengapa sedemikian hebatnya wali tanpa nama tanpa gelar tersebut hingga kemampuan dan derajatnya hampir menyamai Wali Quthb? Tanyaku kepadanya.
Orang gila tersebut menoleh kearahku dengan mata sedikit melotot lalu berkata, kamu siapa? kamu mendengar perkataanku? Apa pentingnya buatmu tau tentang wali tanpa nama? Jawabnya dengan nada sedikit membentak.
Mendengar suaranya yang bernada tinggi, membuat aku sedikit takut dan gemetar. Maaf mbah, bukan maksud saya menyinggung mbah, nama saya Rizky Firdaus saya seorang muhibbun pecinta para wali-wali Allah. Aku ingin mengetahui siapa wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah sebut tadi. Ungkapku dengan sopan dan santun.
Orang gila itu tertawa terbahak-bahak, “ hahahaha dasar bocah dungu, namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, tentu saja aku tidak tahu nama wali itu dan apa gelar kewaliannya. Kamu ini hanya tampangnya saja kelihatan pintar”. Sindirnya dengan nada mengejek.
JLEEB, terasa menusuk sekali perkataannya dia menyebut aku anak dungu, wajahku merah padam menahan sedikit emosi. Sepertinya aku salah sangka, kukira orang gila tersebut orang yang bisa diajak bicara. Tapi nyatanya dia sebut aku bocah dungu. Lagian siapa yang tahu gelar wali tersebut. Sedangkan wali tersebut tanpa gelar? Sudahlah, sebaiknya kutinggalkan saja dia, akupun mulai membalikkan badan dan membuang muka dengan wajah masam hendak meninggalkan orang gila tersebut.
“Hey Rizky Firdaus” mau kemana?, kamu ini, sudah datang tidak mengucapkan salam, malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Baru diejek begitu saja sudah bermuka masam, apakah gurumu tidak mengajarkanmu untuk mengucapkan salam saat datang dan pergi? apakah orang tuamu tidak mengajarkanmu untuk bisa bersabar menahan celaan dan hinaan?”
Langkahku terhenti, astaghfirullah betul sekali, aku tadi lupa mengucapkan salam sebelum memulai obrolan dan aku juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Kemudian aku kembali menghampirinya kembali, “Assalammu’ alaikum wr.wb. mbah, mohon maaf mbah atas kelancangan saya karena datang dan pergi tanpa mengucapkan salam, sekali lagi saya mohon maaf” (sambil mencoba meraih tangannya untuk menyalami dan mencium tangannya)”, orang gila itu menepis tanganku seraya berkata “wiss sudah, cukup bilang minta maaf dan tak perlu cium tangan segala”.
Aku hanya ingin tau siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah katakan mbah tadi? Orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata, Sebenarnya wali tersebut begitu dekat denganmu. Aku mulai kebingungan, apaaa?? Aku mengenal wali tersebut? Ia dekat denganku? Lantas siapa dia?
Orang gila tersebut menjawab, wali tanpa nama dan tanpa gelar itu adalah orangtuamu sendiri. Nah sekarang aku tanya kamu memangnya aku kenal siapa nama orangtuamu dan gelar orangtuamu? yah mana ku tau. aku jadi tambah bingung lalu semakin bertanya-tanya, Orangtuaku? maksud mbah orangtuaku adalah wali tanpa nama dan tanpa gelar? mengapa bisa begitu mbah?. Tanyaku dengan heran.
Oang gila itu mulai menatap mataku dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya lalu menjawab, Apakah kau tidak tahu tentang Uwaisy al Qorni? Salah satu sahabat yang tidak pernah bertemu nabi secara fisik? apa yang menyebabkan dia memiliki derajat yang begitu agung hingga namanya terkenal di langit walau dibumi tak ada seorangpun mengenalnya? kau tahu??!!
Sahabat Uwaisy al Qorni berkata bahwa ibunya pernah berkata dan mendo’akannya seperti ini. Anakku Uwaisy, aku tahu hatimu begitu sangat mencintai dan menginginkan bertemu Nabi Muhammad SAW. Namun kini kau datang padaku dengan wajah dirundung sedih karena tak berhasil menemuinya dan kau memilih segera pulang karena memikirkan dan mengkhawatirkan aku ibumu ini nak, dan aku ridho padamu. “Ya Allah kau maha tahu, saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah ridho pada anakku, maka terimalah ridho ku ya Allah dan ridhoilah anakku Uwaisy“.
Dan apa kau tidak tahu bahwa Shultonul Auliya’ Syeikh Abdul Qodir A–Jailani? Dimasa kecilnya ketika dirampok. Ia berkata jujur tentang kantung emas yang ia bawa, perampok itu heran mengapa ia malah jujur mengatakan kantung emas yang dibawanya padahal setiap orang yang mereka rampok selalu berbohong tentang bawaannya dan berusaha menyembunyikannya dari dari mereka. lalu kau tahu apa kata Syeikh Abdul Qodir Jailani katakan?
Ketika aku hendak bepergian menuntut ilmu, ibuku berpesan “Wahai anakku. Bila engkau bertemu dengan siapapun maka jujurlah jangan berbohong, sungguh ibu lebih ridho bila engkau jujur sekalipun engkau harus kehilangan harta dan perbekalanmu daripada kau harus kehilangan kejujuranmu.
Lihatlah ibumu, berapa lama dia mengandung dirimu dalam rahimnya? apakah kau sanggup menahan perih dan pedih seperti dirinya. Hanya karena menginginkan kau lahir di dunia, ia rela bertaruh nyawa agar kau terlahir sehat dan selamat?? apakah kau pernah memikirkan hal ini ?? Itu kuasa Allah SWT yang dianugerahkan kepada ibumu
Sontak diriku terdiam seribu bahasa. Rasanya hati ini ingin menangis sejadi-jadinya. Lalu orang gila itu melanjutkan, kau bangga dan takjub dengan karomah para wali yang kau ketahui tapi, pernakah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang telah Allah SWT anugerahkan kepadanya? Dan pernakah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang sebagai madrasah pertama dalam hidupmu? Bahkan ia rela meluangkan waktu tidurnya karena kau selalu menangis dan rewel sebagaimana para Auliya’ yang tidurnya sedikit karena memikirkan ummat Nabi Muhammad SAW yang banyak berkeluh kesah.
Apakah kau tak tahu kalau itu adalah bukti karomah ibumu? Tidakkah kau pernah mendengar sabda nabi kita? “Ridho orangtua adalah ridho nya Allah SWT, dan murka mereka adalah murkanya Allah”. Para auliya’, mereka menjadi Wali Quthb dikarenakan ridho dari orangtua mereka, tidakkah kau sadar bahwa do’a dan harapan kedua orangtuamu hampir setara dengan Wali Quthb?”
Astaghfirullooh, mendengar penjelasan orang gila tersebut, tubuhku seakan disambar petir, batinku seakan hancur dan seketika itu aku ingin bertiak sekuat-kuatnya. Orang gila itu berdiri lalu berkata sambil menunjuk kearahku. Lihat dirimu, kelak kau akan jadi seorang bapak, apakah kau tahu karomah bapakmu selama ini? lihat tangannya, lihat punggungnya lihat kulitnya, setiap hari ia membanting tulang agar kau tetap bisa makan, tetap bisa tertawa, tetap tersenyum, ia bekerja siang dan malam hanya untuk mengabulkan segala macam pinta dan rengekmu.
Ketika dirimu kecil sering melakukan kesalahan, dialah orang pertama yang membelamu, ketika kau dalam bahaya dia rela menghadapi bahaya itu untuk menyelamatkanmu. Dia tanggung semua bebanmu dan ibumu dipundaknya. Tidakkah kau sadari bahwa bapakmu itu seorang mujahid fli sablllllah? yang setiap hari dia berjuang menafkahi kehidupanmu bertahun-tahun lamanya, dia bapakmu merupakan sang mujahid kebanggaanmu.
Ya Robb, aku seperti hancur lebur mendengar perkataan orang gila tersebut. Ternyata selama ini aku yang gila bukan dia, aku melupakan siapa sesungguhnya orangtuaku sendiri, aku melupakan semua yang mereka berikan padaku. Bahkan, aku sering takjub akan pesona dan karomah wali tapi aku tak pernah sadar dengan orangtuaku sendiri yang merupakan wali tanpa nama dan tanpa gelar kewalian.
Sesaat kemudian orang gila itu berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun aku mengikuti dia dari belakang ingin tahu kemana dia pergi ternyata dia mendatangi 2 gundukan tanah. Dia duduk disana, seperti orang yang berdialog dan berbicara, namun karena dia menggunakan bahasa daerah yang tidak kumengerti aku tidak tahu apa yang dia ucapkan.
Sesaat kemudian dia tertawa kebahak-bahak sambil senyam senyum dihadapan 2 gundukan tanah yang ternyata itu tanah kuburan, tapi aku tidak tau kuburan siapa itu namun aku berhusnudzon mungkin itu kuburan seorang wali besar, karena dari celoteh orang gila itu sepertinya dia tahu betul tentang wali jadi aku pikir itu kuburan seorang wali.
Begitu mengharukan, sehingga membuatku turut menangis. Aku tak tahu apa yang diucapkannya dalam logat daerah, sambil tangannya mengelus elus kuburan itu, tangisan kian jadi menjadi. Aku sedih bercampur bingung karena tak mengerti dengan bahasa yang diucapkannya. Namun akhirnya aku mengerti mengapa dia menangis dikuburan yang kusangkakan seorang wali, ditengah isak tangisnya aku mendengar dia mengucapkan kalimat “mbok”, lalu pada kuburan yang sebelahnya dia berkata “mbah”, aku jadi ingin menangis sejadi-jadinya ternyata itu kuburan orangtuanya, ternyata itu kuburan seorang wali tanpa nama tanpa gelar.
Kini aku baru faham mengapa orang-orang mulai menganggap gila, sebab dia sering tertawa, menangis meraung, dan bercakap cakap sendiri di kuburan seandainya aku jadi dia mungkin aku akan sama dengannya menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kedua orang tunya yang paling ia sayangi.
Aku membalikkan badanku bergegas ingin pulang kerumah untuk menemui kedua orangtuaku yang masih hidup. Dan merasa beruntung masih memiliki wali tanpa nama tanpa gelar yang masih hidup. Sepanjang jalan aku berdoa, “robbighfirlii waliwaalidayya warhamhuma kamaa robbayaanii shoghiroo..“
Muhassabah diri dari : RIZKY FIRDAUS, SJ
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!