Santri dan Kaidah Na’at Man’ut Dalam Nahwu

Tepat pada malam senin kemarin (22/06/2018), Pondok Pesantren Nurul Jadid mengadakan agenda yang dilaksanakan tiap tahun dalam rangka menyambut kedatangan Santri baru atau yang biasa kita kenal dengan OSABAR (Orientasi Santri Baru), pada acara tersebut dihadiri oleh beberapa dewan pengasuh dan jajaran pengurus pondok pesantren Nurul Jadid.

Acara tersebut berjalan sangat khidmat dan tertib mulai dari penampilan keempat MC nya yang  memadukan 4 bahasa yang menjadi keunggulan pondok pesantren Nurul Jadid yaitu Arab, Inggris, Mandarin dan juga Indonesia. Begitulah Nurul Jadid dari tahun ke tahun selalu berbenah dan selalu memunculkan inovasi-inovasi baru sehingga menambah daya tarik para calon Santri yang ingin mondok.

Ada beberapa inti dari acara OSABAR tersebut salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh KH Najiburrahman Wahid yang merupakan perwakilan dari Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadidi, Beliau berdawuh bahwa “adanya OSABAR sebagai wujud dari upaya pondok pesantren Nurul jadid yang ingin memberikan karakter selayaknya orang tua kepada anaknya sesuai dengan tuntunan Trilogi Santri, panca kesadaran Santri, yang intinya adalah mengaji dan membina akhlakul karimah.”

Menjadi Santri tentunya menjadi pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi penyandang gelar tersebut, setiap Santri tentu memiliki kesan dan pesan selama ia mondok, lebih-lebih bagi Santri baru tentunya akan merasa asing bahkan tidak nyaman pada kesan pertamanya di pesantren. Ada yang masih belum kerasan karena biasanya hidup dengan orang tuanya kini sendiri dan harus mampu hidup mandiri, disatu sisi ada yang merasa senang karena memiliki teman baru yang datang dari berbagai daerah.

Mondok adalah suatu tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur kita, para kyai, walisongo dan para ulama. Dimana mereka menuntut ilmu dengan pergi ke berbagai daerah yang jauh, bahkan ada yang sampai berjalan kaki. Hal itu tiada lain karena sebatas ghirah untuk tafaqquh fi ddin (memperdalam ilmu agama). Bagaimana dengan kita?

Di salah satu ungkapan Rais Am syuriah NU KH Ma’ruf Amin  beliau mengungkapkan bahwa “Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut pada kiai, itu dianggap sebagai Santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para Santri”. Dengan kata lain bahwa seorang Santri adalah penerus perjuangan para Kyai, Masyaikh, dan Guru serta orang-orang yang berjasa dalam mendakwahkan agama Islam.

Dalam salah satu bait alfiyah dikatakan yang namanya na’at adalah pengikut yang menyempurnakan lafaz sebelumnya.

فالنَّعْتُ تَابعٌ مُتِمٌّ مَا سَبَقْ  ¤ بِوَسْمِهِ أوْ وَسْمِ مَا بِهِ اعْتَلَقْ

Artinya: Adapun Na’at adalah Tabi’ penyempurna lafazh sebelumnya dengan sebab menyifatinya (Na’at Haqiqi) atau menyifati lafazh hubungannya (Na’at Sababi). 

Begitupun seorang Santri Ia adalah orang-orang yang ikut sebagai penerus yang menyempurnakan perjuangan para leluhur  dalam mendakwahkan ajaran Islam. Tidak habis sampai disitu seorang Santri harusnya memiliki sifat dan kesamaan dengan para Kyai baik dari aqidah, akhlak, dan pengetahuannya dalam hal ini Kyai adalah man’utnya (yang harus diikuti).

Bagaimana dakwah yang selayaknya untuk diterapkan dan dipraktikkan oleh seorang Santri, dalam salah satu artikel yang dikuip dari website NU Online Ketua umum PBNU Kiai Said Aqil Siradj mengatakan bahwa dakwah yang bagus adalah dakwah yang seperti diajarkan oleh walisongo dengan jalan akulturasi budaya.

“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Wali Songo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh dan efektif,” tegas Kiai Said Aqil Siradj.  Dakwah dengan cara seperti itu terbukti di dalam sejarah berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Bahkan raja-raja Nusantara itu menjadi Islam.

“Kita saksikan sekarang, dakwah yang manfaat, dakwah yang lestari, masuk sampai dalam hati, adalah dakwah yang dilakukan secara budaya, bukan dengan teror dan menakut-nakuti. Islam diajarkan dengan menakut-nakuti tidak akan masuk ke dalam hati. Imannya hanya pengakuan bibir belaka sehingga menjadikan potensi munafik, tapi kalau berdakwah dengan budaya, iman masuk ke dalam hati, sehingga akan menjadi mukmin kholis (ikhlas),” pungkasnya.

Begitulah peran Santri yang harus selalu tertanam dalam dirinya (pemilik gelar tersebut), agar gelar bukan hanya sebatas gelar yang sifatnya temporal dan mengedepankan formalitas saja, melainkan gelar yang harusnya berada pada tempat dan koridor yang sesuai, yaitu harus mampu menjadi calon pemimpin, penerus, dan penyempurna para leluhur kita dan tentunya dalam tujuan untuk dakwah ajaran Islam yang digariskan dari al-Quran maupun Hadis Nabi Muhammad SAW.

Terakhir penulis mengucapkan ahlan wasahlan, welcome, dan selamat datang bagi para santri baru dan sudah menjadi bagian keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Jadid, semoga mendapatkan ilmu yang barakah fi ad-din, wa ad-dunya, wa al-akhirah,  dan tentunya bermanfaat bagi diri sendiri lebih-lebih bagi orang lain.

Aku Bangga Menjadi Santri!!!

Oleh: Andy Rosyidin
Penulis adalah alumni MAPK Nurul Jadid yang masih menempuh pendidikan S1 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *