Hantu Covid-19 Bisa Dihilangkan Dengan Dzikir

nuruljadid.net- Virus korona atau Covid-19 terus mewabah di Indonesia. Hingga detik ini mengalami peningkatan berkait orang yang terkena covid-19.

Melihat perkembangan itu KH Moh Zuhri Zaini Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo pada pengajian kitab Ibadatul Islam (al-Sholat), Selasa sore (22/09) menyinggung bahwa manusia saat ini telah dihantui oleh covid-19 sehingga tidak merasa tenang dan untuk menghilangkannya harus berdzikir kepada Allah karena dengan dzikir bisa mendatangkan ketenangan.

” Kalau kita banyak berdzikir kepada Allah, maka kita akan tenang meski dihantui virus korona atau covid-19,” Dawuh beliau.

banyak dokter yang terkena virus corona meskipun memakai alat pelindung diri (APD) dan alat ini dipakai ber-jam-jam dan mengalami tekanan mental sehingga imunnya menurun. Oleh karenanya menurut beliau tidak hanya kesehatan fisik yang dijaga tapi juga kesehatan mental.

“Dengan hati yang tenang, maka fisik kita akan bertambah imunnya,” Imbuh Kiai Zuhri.

Kiai Zuhri menambahkan, kekuatan rohani bisa menopang kekuatan jasmani. Jadi perlu kekuatan mental supaya mental kuat harus nyambung kepada Allah.

 

Pewarta     : Ibnu Abdillah

Editor       : Ponirin Mika

 

 

 

 

 

Tugas Seorang Guru Menurut Imam al-Ghazali

nuruljadid.net- Setiap malam selasa, KH Moh Zuhri Zaini Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur mengajar kitab Mukhtasor Ihya’. Sebuah ringkasan dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (21/09) di Aula Mini Pesantren.

Pembahasan pada malam itu berkait tugas-tugas pembimbing-pengajar. Imam ghazali menyebutnya, المرشد المعلم. Kiai Zuhri menjelaskannya bila kata مرشد itu cakupannya lebih luas, bukan sekadar menyampaikan informasi/mengajar seperti biasanya. Sedang kata المعلم orang yang mengajar seperti pada umumnya. Namun dikepalanya sudah berisi materi-materi yang ia persiapkan sebelum proses mengajar.

Di halaman 16 (cet. DKI), Imam Ghazali menerangkan bahwasanya tugas guru (المرشد المعلم) itu ada empat. Sebelum menginjak pembagian tugas itu, Imam Ghazali memberikan mukaddimah pada alinea pertama yang bagi saya cukup menarik. Beliau menulis demikian :
“Paling baiknya keadaan guru ialah (sebagaimana) sesuatu yang dikatakan berikut ini, adalah orang yang berilmu, mengamalkan ilmu dan mengajarkannya.

Oleh karena itu, orang tersebut disebut sebagai orang yang mulia di kerajaan langit.” hendaknya seorang guru itu tidak seperi jarum. Ia memakaikan baju pada selainnya sedang dirinya sendiri telanjang atau tidak seperti sumbu lampu, ia menerangi sekitarnya sedang dirinya sendiri terbakar.

Barangsiapa menyandang (mendapat pangkat) untuk mengajar, maka sungguh ia menyandang perkara yang besar. Oleh karen itu, bagi sang guru menjaga adab & tugas-tugas nya, yakni :
Pertama, Berbelas kasih pada santri/pelajar dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Hal ini didasarkan pada hadits nabi Muhammad Saw. :
انما انا لكم كالوالد لولده
(Hanya saja aku pada kalian itu seperti seorang ayah (orang tua) pada anaknya.
Disini Imam Ghazali menyebut guru sebagai orang tua hakiki, karena ayah adalah sebab / orang yang mengatarkan kita hidup di dunia fana ini. Sedang guru (معلم) adalah sebab /perantara untuk kehidupan yang kekal. maka hak guru didahulukan daripada haknya orang tua.

Kedua, yakni mengikuti Nabi Muhammad Saw. (الاقتداء به صلى الله عليه وسلم). Imam Ghazali tanpa basa-basi langsung memberikan penekanan, “maka janganlah kamu mencari upah dari mengajar.”
Allah berfirman dalam surat Al-Insan ayat 76 :
لا نريد منكم جزاء ولا شكورا
Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terimakasih.

Kendati seorang pengajar itu berjasa bagi para santri/murid, tapi para santri memiliki jasa pada dirinya. Karena merekalah menjadi sebab bagi para guru untuk mendekat pada Allah dengan cara menanam ilmu dan keimanan dalam hati para murid.
Ketiga, seorang guru jangan menyimpan nasehat untuk hari esok. Seperti guru melarang muridnya mencari kedudukan sebelum mereka layak mendapatkannya. Juga melarang mereka untuk menekuni ilmu batin sebelum mengokohkan ilmu yang nyata (zhahir).
Keempat, menasehati para murid dan melarang mereka dari akhlak buruk. Hal ini tidak boleh dilakukan dengan cara terang-terangan, akan tetapi dengan cara yang bijak. Sebab menasehati secara terang-terangan dapat membuka aib dan merusak kewibaan.
Hendaknya, bagi guru harus berperilaku lurus terlebih dahulu, lalu ia menuntun para murid nya untuk berperilaku lurus pula. Bila prinsip ini dilanggar maka nasehatnya tidak berguna.

Imam Ghazali mengungkapkannya dengan seperti ini :
لأن الاقتداء بالافعال اكد من الاقتداء بالاقوال
Karena, memberikan keteladanan dengn sikap itu lebih baik dari pada dengan menggunakan kalimat / bahasa lisan.
Hal ini senada dengan yang di dawuh kan beliau, kalau orang yang diatas pandai menyuruh – menyuruh, maka jangan heran apabila rakyatnya memberontak.
Sekian.

 

Pewarta   : Alfin Haidar Ali

Editor      : Ponirin Mika

Laziskaf Santuni 100 Yatim di Probolinggo

nuruljadid.net- Laziskaf Azzainiyah PP Nurul Jadid terus melakukan kegiatan sosial. Kali ini, lembaga zakat infaq dan sadaqah PP Nurul Jadid tersebut menyantuni 100 anak yatim piatu di Kecamatan Gending, Maron dan Banyuanyar.

Kegiatan tersebut dilaksanakan atas kerjasama dengan pembantu pengurus pondok pesantren Nurul Jadid (P4NJ) Probolinggo. 100 anak yatim tersebut mendapatkan beras 10 kg, snack dan sejumlah uang.

Ketua Laziskaf Azzainiyah, Kiai Muhammad Alfayyadl menyatakan bahwa santunan tersebut merupakan bentuk kasih sayang dan kepedulian.

“Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian. Biasanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Pada tahun ini kita laksanakan pada akhir bulan”, terang kiai Fayyadl panggilan akrabnya. Menurutnya santunan anak yatim-piatu mutlak diperlukan untuk mendapatkan ridlo dan rahmat dari Allah SWT. Dalam hadis dikatakan bahwa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi oleh Allah.

Inilah muatan moral dari kegiatan santunan anak yatim. “Laa yarham, laa yurham”, demikian Kiai Fayyadl menyitir sebuah hadis. Anjuran tersebut memang singkat namun mengandung makna yang mendalam.

Di tempat yang sama, Ketua P4NJ Probolinggo, Muhammad Sa’dun mengajak semua kalangan untuk meningkatkan kepedylian terhadap anak yatim-piatu. Menurutnya santunan terhadap anak yatim tidak hanya diperlukan saat bulan Muharram, kalau bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. “Kepedulian terhadap yatama harus terus digalakkan. Ini kegiatan yang sangat positif dan dianjurkan”, kata H. Sa’dun.

Kegiatan santunan dihadiri oleh ratusan orang yang terdiri dari pengurus Laziskaf Azzainiyah, P4NJ Probolinggo dan masyarakat sekitar. Santunan anak yatim dilakukan di rumah H Mushalli Jannah, Blado Wetan Banyuanyar. “Semoga berkah”, harap H. Musholly singkat.

 

Pewarta : P4NJ Gemar

Editor.    : Ponirin Mika

Pelanggar Protokol Kesehatan Covid-19 Harus Diberi Sanksi Tegas

nuruljadid.net- Kita harus tegas memberi sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan covid-19 kepada seluruh warga pesantren terutama santri. Hal itu disampaikan Direktur Klinik Az-zainiyah sekaligus penanggung jawab Gugus Tugas Pencegahan Covid-19 Nyai Hj.  Khodijatul Qodriyah saat memberikan pengarahan pada rapat koordinasi, Kamis siang (17/09) di ruang rapat Pesantren Nurul Jadid.

Lebih lanjut Ning Iah sapaan akrab beliau menyampaikan, beberapa hari kebelakang kita telah menerapkan protokol kesehatan covid-19 namun masih belum maksimal.

Sehingga saat ini butuh aturan yang tegas agar protokol kesehatan bisa diterapkan dengan maksimal. Keinginan ini melihat perkembangan covid-19 yang telah terjadi diluar pesantren. Dan perlu membuat aturan yang ketat dan sanksi yang tegas pula,” Imbuhnya.

Kita berharap semua unsur terlibat dalam pengawalan protokol kesehatan,” Tambahnya.

Senada dengan Ning Iah, salah satu dokter klinik az-Zainiyah dr. Ninah menegaskan, protokol kesehatan yang diterapkan Pesantren Nurul Jadid sudah bagus. Hanya saja perlu dimaksimalkan.

Jika ada santri yang sakit segera menghubungi gugus tugas atau langsung dibawa ke klinik az-Zainiyah. Jika langsung tanggap dan ditangani setiap santri yang sakit maka akan segera ditangani dan bisa cepat sembuh. Sebab usia remaja itu sangat cepat dalam proses penyembuhannya.

Pada rapat koordinasi itu dihadiri seluruh perwakilan satuan kerja yang ada dibawah naungan pesantren.

 

Pewarta : PM

 

Santri Antusias Membaca dan Menghafal Pesan Almarhumin

nuruljadid.net- Pesan almarhimun yang terpasang disepanjang tembok asrama i’dadiyah Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur dibaca dan dihafalkan oleh santri. Mereka sangat antusias dan termotivasi untuk melaksanakan pesan itu, baik saat mereka masih berada di pondok dan setelah nanti menjadi alumni. Hal ini disampaikan Ustadz Mahfudz salah satu pembina i’dadiyah.

lebih lanjut Ustadz Mahfudz mengatakan, adanya quote pengasuh yang dipajang disepanjang tembok asrama i’dadiyah sangat bagus sekali. Dengan itu semuanya santri i’dadiyah akan membacanya setiap jam.

Jika santri i’dadiyah terus menerus membaca maka akan cepat hafal. setelah menghafal mereka akan terdorong untuk berbuat sesuai dengan isi pesan almarhumin,” Imbuhnya.

Salah santu santri i’dadiyah sangat bersyukur dengan adanya quote almarhumin yang terpasang lewat Tbanner.

” Alhamdulillah saya bisa tau pesan-pesan almarhumin (pendiri dan pengasuh) Pondok Pesantren Nurul Jadid. Sebagai santri saya harus melaksanakannya dengan penuh kesungguhan,” Ujar Maulana santri baru asal Medan.

Senada dengan Ustadz Mahfudz, Kepala Bidang Penataan Wilayah Ustadz Fathullatif mengatakan, adanya pemasangan Tbanner yang berisi quote almarhumin itu sangat bagus. Sebab lambat laun santri akan terdorong untuk berbuat sesuai keinginan almarhumin.

Sementara Kabag Humas dan Infokom Ponirin Mika menegaskan, pemasangan Tbanner yang berisi quote almarhumin terutama di asrama santri itu kita ingin santri dapat mengetahui dan juga memahami keinginan almarhumin melalui pesan-pesannya.

Banyak sekali pesan almarhumin kepada santri Pondok Pesantren Nurul Jadid yang harus diketahui dan diamalkannya. Salah satunya yang ada di Tbanner tersebut,” Tambahnya.

 

Pewarta   : Ibnu Abdillah

Editor     : Ponirin Mika

KH Moh Zuhri Zaini: Sabar Bukan Berarti Diam

nuruljadid.net- “Manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan hanya bergantung kepada Allah SWT. Namun, kelemahan manusia tak perlu ditampakkan kepada orang lain. Karena hal itu adalah kurang benar. Kelemahan manusia hanya digantungkan dan dipasrahkan kepada Allah.”

Pesan inilah yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, KH Moh Zuhri Zaini,  dalam pengajian rutin kitab Al Hikam, Senin (23/1/2017).

Terkait

Menurut Kiai Zuhri, begitu populer disapa, dengan menyadari kelemahan, posisi manusia yang tidak punya kekuasaan apa-apa di dunia, tidak serta merta berbuat sombong.

“Kalau kita pasrah dan bergantung hanya pada Allah, pasti Allah akan mendampingi dan melindungi kita. Tapi, jangan hanya cuma pasrah, kalau hanya pasrah begitu saja, itu malas namanya. Namun, harus disertai dengan mengikuti segala perintah Allah,” jelasnya di depan para santri yang mengikuti pengajian rutin di pondok yang diasuhnya.

Untuk menghamba pada Allah jelasnya, tidak cukup hanya menghadap secara dhahir. Akan tetapi juga batin. Dan doa sebetulnya mustajab.

“Siapa yang sadar sebagai hamba dan berdoa secara bersungguh-sungguh pasti doannya dikabulkan oleh Allah,” jelas kiai yang juga menjabat Pengurus Syuriah NU Jawa Timur ini.

 

Tulisan ini diambil dari https://www.timesindonesia.com/
KH. Moh. Zuhri Zaini; Dalam Keprihatinan ini Kita Perlu Memperkuat Sambungan Kita Pada Allah Swt

Ini Pesan KH Moh Zuhri Zaini untuk Generasi Milenial

Dalam bekerja atau bisnis, apalagi sudah ada ditengah-tengah masyarakat, para alumni Nurul Jadid harus memilik etos kerja yang baik dan profesional. Profesional itu katanya dalam bekerja itu harus didasari ilmu, tidak hanya ikut-ikutan.

“Dalam bekerja, beramal dan berjuang, harus didasarkan pada ilmu. Kemampuannya dimana dan seperti apa. Lalu dijalani dengan profesional dan etos kerja yang baik,” katanya.

Namun, jangan sampai lupa, apapun yang dilakukan manusia, tanpa pertolong Allah, tak akan pernah berhasil dan sukses serta baik. Oleh karena itu, sambungan kepada Allah, tak boleh putus. Baik doa dan ikhtiar.

“Jangan sampai lupa untuk terus menyambungkan diri kepada Allah SWT, sebagai sandaran dalam menata hidup dan kehidupan,” pesan Kiai Zuhri.

Diketahui, dalam acara Samba dan Temu Alumni Nurul Jadid itu, KH Zuhri Zaini juga mengukuhkan pengurus Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ) Malang Raya periode 2017-2022. Hadir juga dalam acara itu, Rektor Universitas Nurul Jadid, KH Abdul Hamid Wahid.

 

Pewarta        : Imadudin Muhammad

Editor           : Yatimul Ainun

Publisher     : Ponirin Mika

Tulisan ini diambil dari https://www.timesindonesia.com

Produk Nurul Jadid Go Public

nuruljadid.net- Produk Pondok Pesantren Nurul Jadid go public. eNJe mart telah melakukan pemasaran produk tidak hanya kepada santri, alumni tapi pemasaran produk dilakukan kepada masyarakat umum. Hal itu dinyatakan Ustadz Agus Fanani Kepala Bidang Usaha Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Lebih lanjut Ustadz Agus menyampaikan, produk yang di produksi Pesantren Nurul Jadid harus go public. Bidang usaha telah membuat branding kotak nasi, kotak kue dan menerima pesanan lainnya dari masyarakat.
Saat ini juga pesantren telah memasarkan baju koko, songkok nasional, sarung semuanya branding Nurul Jadid. Setelah iklannya kami publish melalui akun resmi pesantren pemesan sudah mulai banyak yang menghubungi kita untuk melakukan pemesanan,” Imbuhnya.
Kita menerima pesanan melalui media online damn offline. Kalau online bisa memesan melalui nomer HP yang dicantumkan di iklan sedangkan yang mau melakukan pesanan lewat offline bisa mendatangi eNJe Mart 2 dibelakang POS I jalan menuju kampus Universitas Nurul Jadid ini untuk masyarakat luar (alumni, wali santri dan masyarakat) untuk santri kita sediakan di eNJe Mart 1 berada di dalam pesantren,” Tambahnya.
Pewarta    : Ibnu Abdillah
Editor       : Ponirin Mika

Nurul Jadid

nuruljadid.net- Novi lahir di lereng Gunung Argopuro, Situbondo. Ia anak tunggal dari petani tidak tamat SD di desa Sumber Malang itu. Sejak tamat SD Novi sudah ingin masuk Pondok Pesantren Nurul Jadid. Pondok ini memang sangat terkenal. Namun Novi dianggap masih terlalu kecil untuk pisah dari orang tua. Letak desa itu jauh di pedalaman. Perlu waktu naik motor 1,5 jam untuk sampai di Nurul Jadid –tidak jauh dari ‘kota PLTU’ Paiton. Pondok ini memiliki SD, ibtidaiah, SMP, sanawiah, SMA, aliah, pun perguruan tinggi. SMA-nya pun ada dua: yang unggulan dan yang biasa.

Yang SMA unggulan itu muridnya harus bisa tiga bahasa sekaligus: Arab, Inggris, Mandarin. Begitu tamat SMP Novi masuk SMA unggulan itu. Kalau siang sekolah bahasa. Kalau malam ngaji kitab-kitab agama dalam bahasa Arab. Novi angkatan keempat di SMA unggulan itu. Guru bahasa Mandarinnya asli dari Tiongkok. Atas bantuan pemerintah sana lewat Konsulat Tiongkok di Surabaya. Waktu kelas 2 SMA Novi ikut lomba pidato bahasa Mandarin di Surabaya. Peserta non-Tionghoanya hanya tiga: Novi, satu rekannya dari Nurul Jadid, dan satu lagi dari pondok pesantren di Lirboyo Kediri. Selebihnya anak-anak Tionghoa.

Novi juara pertama. Ia dikirim ke Jakarta. Untuk lomba tingkat nasional. Yang tiga besarnya akan dikirim ke Xiamen, kota terbesar di Provinsi Fujian. Di Jakarta, Novi juara favorit. Ia pun mendapat beasiswa kuliah di Xiamen. Jurusan bahasa Mandarin pula. “Juara pertamanya anak Tionghoa dari Pontianak. Sekarang jadi biksu Buddha,” ujar Novi.

Ia belum tahu kapan bisa kembali ke Guangzhou. Namun profesor pembimbingnya di sana membuat target bahwa tahun depan Novi sudah harus maju disertasi. Kelihatannya ia akan menulis desertasi tentang Tionghoa Islam di Asia Tenggara. Selama libur Covid-19 ini Novi pulang ke Situbondo. Ia memanfaatkan waktu untuk menanam sengon di tanah milik ayahnya. Ia juga mulai menanam porang seluas 3 hektare di lereng gunung itu. “Kalau bisa saya ingin jadi pengusaha,” katanya. “Dapat pacar di Xiamen? Atau di Guangzhou?” tanya saya.

“Pacar saya di dekat Situbondo. Alumnus Nurul Jadid dan Pondok Modern Gontor,” jawab Novi. Kemarin Novi ke Surabaya. Itu karena diminta Bu Risma, wali kota Surabaya untuk menjadi penerjemah tamu dari Tiongkok. Namun tamu itu ternyata batal datang. Saat kuliah, Novi memang pernah menjadi penerjemah Risma waktu berkunjung ke Xiamen. Waktu itu Pemkot Surabaya minta agar Pemda Xiamen menyediakan penerjemah. Ternyata Pemda Xiamen menunjuk Novi. Sejak itu setiap ada rombongan dari Surabaya Novi lah yang diminta menjadi penerjemah.

Di antara pondok pesantren yang punya minat jurusan Mandarin, Nurul Jadid jawaranya. Sekarang ini sudah lebih 200 alumni Nurul Jadid yang lulus universitas di berbagai kota di Tiongkok. Kebetulan guru Mandarin pertama yang diperbantukan ke Nurul Jadid berasal dari suku Hui. Dari kota Chongqing. Berarti ia Islam –semua suku Hui adalah Islam. Maka guru Mandarin itu tiap hari berkopiah dan bersarung. Setelah masa tugasnya habis ia diganti guru dari suku Han yang tentu saja komunis. “Tetapi ia sering kami ajak bercanda untuk juga memakai sarung. Mau juga,” ujar Novi.

Kini SMA unggulan tiga bahasa di Nurul Jadid itu sampai menolak-nolak murid baru. Saking favoritnya. Saya pun ingin bermalam lagi di pondok itu.

 

Penulis : Dahlan Iskan

KH Hasan Abdul Wafie, Sang Penggubah Syair Shalawat Nadhliyah

nuruljadid.net- Lagu shalawat Nadhliyah saat ini booming. Di berbagai acara NU, Badan Otonom dan sejenisnya, shalawat Nahdliyah yang dilantunkan oleh Veve Zulfikar tersebut seolah menjadi lagu wajib dalam pembukaan dan penutupan acara. Lagu shalawat berdurasi 04,32 detik itupun melejit di blantika musik islami tanah air. Tapi tahukah anda, siapa pencipta shalawat Nahdliyah tersebut? Beliau adalah KH Hasan Abdul Wafie.
Beliau mungkin tidak pernah menyangka bahwa shalawat yang diciptakannya sekian puluh tahun yang silam itu akan populer sebegitu rupa. “Aba menciptakan shalawat itu ketika saya masih anak-anak, masih (sekolah) SD,” kenang salah seorang puterinya, Nyai Hj. Ja’faroh Wafie, kepada NU Online di Jember, Selasa (12/3). Menurut anggota Komisi E DPRD Jember itu, shalawat Nahdliyah tersebut sebagai bentuk rasa cinta sang ayah kepada NU. Awalnya shalawat itu menjadi ‘wiridan’ keluarga besar KH Hasan Abdul Wafie. Lalu diperkenalkan kepada MWCNU setempat, dan berlanjut hingga ke PCNU Kraksaan, Probolinggo. “Saat itu aba menjadi pengurus PCNU Kraksaan.
Setelah itu saya tidak tahu, mungkin ‘dibawa’ ke PWNU Jawa Timur,” lanjutnya. Di Jember sendiri, shalawat tersebut cukup populer, jauh sebelum Veve Zulfikar melantunkannya. Adalah KH Muhyiddin Abdusshomad, sosok yang selalu memperkenalkan shalawat Nahdliyah dalam setiap acara NU. “Beliau juga yang memberi tahu saya bahwa shalawat itu akan direkam (dinyanyikan),” jelas Nyai Hj. Ja’faroh. KH Hasan Abdul Wafie merupakan salah satu ulama kharismatik yang cukup alim. Ia lahir di Desa Sumberayar, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura (1923). Sejak kecil ia mendapat bimbingan agama dari ayahnya, KH Miftahul Arifin. Ketika berusia 6 tahun Abdul Wafie kehilangan ibunya, disusul ayahnya lima tahun kemudian. Jadilah ia yatim piatu.
Kendati demikian, Abdul Wafi muda tak pernah patah semangat. Ia justru semakin tertantang untuk menekuni limu agama di berbagai pesantren, hingga benar-benar alim. Beberapa diantaranya adalah Pesantren Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan, Pesantren Paterongan, Jombang yang diasuh KH Mustain Ramli, Pesantren Krapyak, Yogyakarta yang disauh KH Munawir, bahkan pernah nyantri di Mekah. Dan terakhir mondok di Pesantren Nurul Jadid yang diasuh KH Zaini Mun’im. Di situlah ia akhirnya ia mendapatkan jodoh yang tak lain puteri kiainya. Namanya Aisyah Zaini. Saat itu, Abdul Wafie berumur 35 tahun. Sejak menikah, kealiman KH Hasan Abdul Wafie semakin tampak. Beliau dikenal sangat dekat dengan Gus Dur. Di mata Gus Dur, beliau merupakan salah satu dari 4 ulama kharismatik Jawa Timur yang tidak kuasa ditolak perintahnya. Keempat ulama itu adalah KH Imam Zarkasyi, Banyuwangi (wafat 2001), KH Ahmad Sofyan Miftahul Arifin, Situbondo (wafat 2012), KH Khotib Umar, Sumberwringin, Jember (wafat 2014) dan KH Hasan Abdul Wafie (wafat 2000).
Kecintaan KH Hasan Abdul Wafie kepada NU memang luar biasa. Kepada santrinya, beliau sering menganjurkan untuk tak bosan-bosannya berjuang demi NU, dan jangan sekali-kali menyimpang dari NU. Salah satu bentuk kecintaannya itu dituangkan dalam sebuah syair Arab yang diberi nama shalawat nahdliyah. Shalawat itu intiya doa kepada Allah agar warga NU tetap bersemangat dan berjuang menghidupkan dan meninggikan agama Islam serta menampakkan syi’arnya menurut cara Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Doa agar Allah memberikan kemenangan bagi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk meninggikan kalimatillah (agama Islam dan seluruh ajarannya). “Semoga aba mendapat pahalanya, dan NU semakin jaya dan kuat,” harap Nyai Hj. Ja’faroh, puteri keempat KH Hasan Abdul Wafie dari 12 bersaudara.
Pewarta        : Aryudi AR

YPM Ngaji di Pesantren Nurul Jadid

nuruljadid.net- Semua yayasan punya kreatifitas sendiri, temasuk di Pesantren Nurul Jadid. oleh karenanya kami ingin ngaji di Pesantren ini. Di yayasan kami berbeda dengan yayasan di Pesantren Nurul Jadid, kalau yayasan kami tidak ada pesantrennya hanya lembaga pendidikan formal mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Hal ini disampaikan Dr. Isa Madjid Ketua Rombongan Yayasan Pendidikan dan Sosial Ma’arif Kabupaten Sidoarjo, Jatim, Senin pagi (14/09) di Ruang Tamu Pesntren Nurul Jadid.

Dr. Isa melanjutkan, kami ingin belajar (ngaji) bagaimana agar lembaga yang ada di yayasan kami tidak terjadi konflik tapi berjalan beriringan.

Setelah Dr. Isa Madjid menyampaikan tujuan study banding kelembagaan, Kepala Pesantren Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Abdul Hamid Wahid menyambut dengan baik keinginan tersebut. Dalam pernyataannya Kiai Hamid mengatakan, kita lebih saling tukar informasi, kita saling belajar.

Lebih lanjut Rektor Universitas Nurul Jadid ini menyampaikan, basis Nurul Jadid adalah pesantren dan kerangka organisasinya juga pesantren.

selain dari itu, Kiai Hamid menjelaskan profil singkat Pondok Pesantren Nurul Jadid, struktur organisasi pesantren dan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) secara makro.

 

Turut hadir pada acara itu Kepala Pesantren KH. Abdul Hamid Wahid, Sekretaris Pesantren, Kepala BKOS KH. Makki Maimun Wafie, Ustadz H. Faizin Syamwil, Kepala Bidang Perencanaan, Kepegawaian dan Advokasi Ustadz H. Thohiruddin, Kepala Bidang Humas dan Protokoler Ustadz Ernawiyadi Munsy,  Wakil Rektor I Universitas Nurul Jadid Ustadz H. Hambali, Wakil Biro Umum Ustadz Foni Yusanda, Kasubbag Humas dan Infokom Ponirin Mika, Kasubbag Protokoler Ustadz Bashori Alwi, Kasubbag Umum Ustadz Muslehuddin Jauhari, Staf Yayasan Ustadz Moh. Jasrin Ahya serta Dr. Isa Madjid bersama 7 orang anggotanya.

 

Pewarta   : Ibnu Abdillah

Editor     : Ponirin Mika

KH Nur Chotim Zaini, Menghibahkan Diri pada Pesantren dan Masyarakat

nuruljadid.net – KH. Nur Chotim Zaini merupakan Putra terakhir dari tujuh bersaudara dari pasangan KH. Zaini Mun’im dan Nyai Hj. Nafi’ah. Sejak kecil, Lora Nur Chotim dikenal sebagai orang yang tekun belajar.

Di bangku sekolah maupun pada pengajian-pengajian kitab, hampir tidak pernah absen. Sebagai Putra Kiai Beliau tidak merasa ‘berada di atas angin’. “Walaupun putra kiai kalau tidak belajar ya tidak tahu,” kata KH. Zainul Mu’in menirukan ucapan Lora Chotim.

Kiai Chotim tidak merasa sungkan untuk belajar bersama kawan-kawannya. Di antara kawan-kawannya itu, Lora Chotim sering menjadi rujukan kala ada pelajaran yang dirasa sulit. Hal ini terbawa sampai ke bangku kuliah.

Pengabdian di Pesantren

Selama mengabdi di Pondok Pesantren, KH. Nur Chotim Zaini dikenal sebagai sosok yang aktif. Sebagaimana yang diutarakan KH. Najiburrahman, Putra (Alm) KH. Wahid Zaini, jika diundang untuk menghadiri acara, baik sebagai pembicara atau lainnya, beliau selalu menyanggupi jika tidak berbenturan dengan kegiatan lain.

Oleh karenanya, KH. Nur Chotim Zaini tidak hanya mengajar kitab maupun di lembaga formal, tapi juga menduduki beberapa jabatan. Mulai Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Paiton, Dekan Fakultas Tarbiyah, Ketua Yayasan Bantuan Sosial (YBS) Az-zainiyah dan lainnya. Bahkan dalam waktu yang bersamaan Beliau menduduki dua jabatan strategis: Rektor Institut Agama Islam (IAI) Nurul Jadid dan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Nurul Jadid

Beberapa jabatan yang menuntut kerja keras tidak membuat beliau mengeluh. Tapi sebaliknya, selalu semangat menyelesaikan persoalan dan memajukan lembaga yang dipimpimnnya. Namun sayang, keaktifan KH. Nur Chotim Zaini dalam mengabdi dan membantu saudara-saudaranya mengembangkan Pesantren mulai menurun. Ini seiring dengan penyakit stroke yang menjangkit sejak tahun 2003.

Setelah KH. Abdul Haq Zaini wafat, KH. Nur Chotim Zaini ditunjuk sebagai ketua yayasan mendampingi kakak beliau, KH. Moh. Zuhri Zaini yang menjabat Pengasuh. Di bawah kepemimpinan beliau banyak perubahan yang telah dilakukan demi berkembangnya Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Salah satu hasil usaha beliau yang saat ini sudah bisa dinikmati, baik oleh santri, alumni dan masyarakat di antaranya adalah pendirian STT Nurul Jadid, YBS Az-Zainiyah, dan Lembaga Bantuan Hukum.

Sebagai ketua yayasan, untuk mengembangkan pondok pesantren, beliau begitu bersemangat meskipun kondisi kesehatannya kurang baik. Pada rapat-rapat pesantren, sangat jarang beliau absen, bahkan pada hari-hari sebelum wafat masih menyempatkan diri menghadir rapat pesantren.

Selain itu, beliau juga tidak segan-segan menegur para pengurus yang kinerjanya dinilai tidak maksimal. Tidak peduli apakah pengurus tersebut masih ada ikatan darah maupun sudah alumni.

Berjuang di Nahdlatul Ulama’

Pada Organisasi yang berdiri sejak tahun 1926 ini, KH. Nur Chotim Zaini menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang (MWC) Paiton selama dua Periode. Pada rentang waktu yang cukup lama ini, kehadiran dan kepemimpinan KH. Nur Chotim Zainidi MWC banyak membawa perubahan.

Hal tersebut disebabkan oleh sikap dan gaya kepemimpinannya yang egaliter dan demokratis. Sehingga, para pengurus tidak merasa sungkan berkoordinasi atau mengusulkan gagasan maupun program kerja. Dalam memimpin MWC selama dua Periode, KH. Nur Chotim Zaini juga banyak mendidik para pengurus secara praksis.

Seperti memberikan kesempatan kepada Pengurus lain untuk memimpin rapat. Walaupun hal yang demikian merupakan hak KH. Nur Chotim Zaini sebagai Ketua. Dengan demikian, tidak heran jika KH. Nur Chotim Zaini dipercaya memimpin MWC selama dua periode berturut-turut.

Kisah Terakhir KH. Nur Chotim Zaini

KH Nur Chotim Zaini dikenal sebagi sosok yang menjunjung tinggi profesionalisme. “Pada suatu saat al-marhum pernah marah kepada pengurus Nurja Muamalah karena memberikan pinjaman kepada nasabah tidak sesuai prosedur. Al-Marhum berkata meskipun yang meminjam adalah orang dalam pesantren, prosedur tetap harus dijalankan,” kata KH Najiburrahman.

Almarhum juga dikenal sabar dalam menjalani cobaan. Penyakit yang telah beliau terima sejak tahun 2003 mampu dijalani dengan ikhlas. “Al-Marhum begitu tabah dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup termasuk ikhlas menerima penyakit yang telah di alami selama sepuluh tahun” kata KH Zainul Mun’im, Lc., adik kelas semasa MA di PP Nurul Jadid.

Tidak ada orang di dunia ini yang ingin menjadi beban hidup bagi orang lain. Begitu jua dengan al-marhum yang tidak ingin kehadirannya menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada 2003, beliau mengundurkan diri dari jabatan kepala Kemenag Probolinggo karena merasa dirinya sudah tidak sanggup menjalankan amanah dengan baik.

“Pada tahun 2003 Al-Marhum didera penyakit stroke. Padahal, pada saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Kemenag Probolinggo. Penyakit yang diyakini sulit untuk sembuh sehingga al-marhum memutuskan untuk mengundurkan diri meskipun belum genap satu priode,” kenang adik kelas beliau.

Hal itu diyakini oleh Majidi, al-marhum merupakan tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain. Al-Marhum tidak pernah meminta bantuan selama mampu untuk mengerjakan. Bahkan pada saat sakit, al-marhum melarang untuk mengabarkan kepada keluarga, alumni, dan santri karena tidak ingin merepotkan.

Hal yang menjadi alat untuk menutupi kesusahan al-marhum adalah dengan tersenyum kepada semua orang. Al-Marhum tersenyum meski dalam keadaan susah karena tidak ingin merepotkan orang lain. Selalu menampakkan wajah bisyaroh (berseri-seri, Red) setiap bertemu dengan orang.

Dalam niat memajukan pesantren, al-marhum menggagas untuk memberikan HR kepada pengurus pesantren agar pengurus profesional dan merasa memiliki tanggung jawab. Sehingga tidak ada lagi hal yang terabaikan. Selain itu, tak jarang beliau turun langsung dalam menyelesaikan masalah dengan mengadakan rapat. Tak jarang pula pengurus mengeluh karena seringnya rapat.

Perhatian almarhum terhadap pesantren begitu besar hal ini dapat dilihat dari semangatnya. Saat beliau sakit dan sebelum di bawa ke RS Waloyo Jati Kraksaan, al-marhum menyempatkan diri mengikuti rapat yayasan dan mengantarkan proposal untuk Lembaga Bantuan Hukum. Meskipun hal tersebut telah dilarang oleh sang istri.

Sebagai salah satu pengurus dan majelis keluarga pesantren Nurul Jadid, al-marhum turut memberi warna terhadap karakter Pesantren. Saat menjabat ketua yayasan, beliau menjadikan PP.Nurul Jadid tidak eksklusif. Pesantren yang terbuka dengan dunia luar. “Saat ini Pesantren harus terbuka terhadap orang luar Pesantren, baik itu Pengusaha ataupun politisi yang agamanya Islam atau tidak,”  ujar almarhum seperti diceritakan Ra Najib.

Sebagai seorang yang terbuka, tidak salah beliau banyak memiliki kawan, baik pengusaha maupun politisi. Semasa hidup, al-marhum menghibahkan dirinya kepada pesantren dan masyarakat. Penghibahan tersebut dilakukan melalui aktif dalam beberapa organisasi. (*)

 

Pewarta     : Muhammad Iqbal

Editor        : Yatimul Ainun

tulisan ini diambil dari website //www.timesindonesia.co.id

Ijazah Sarjana Ma’had Aly Diakui Negara

Nuruljadid.net- Pada kamis (10/09), melalui website resminya, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) Bapak Waryono memastikan ijazah sarjana Ma’had Aly diakui negara. Statusnya ijazahnya disamakan sehingga bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

“Ijazah yang dikeluarkan penyelenggara Pendidikan Ma’had Aly diakui secara resmi,” tegas Bapak Waryono dalam Webinar dan Halaqoh Nasional yang digelar Asosiasi Ma’had Aly se-Indonesia (AMALI), Jakarta, Rabu (09/09).

Pada webinar yang mengangkat tema “Menyongsong Lulusan Ma’had Aly sebagai Kader Ulama yang Sarjana untuk Kesejahteraan, Kemakmuran, dan Keberkahan Bangsa” mempersilahkan pada sarjana Ma’had Aly yang ingin menempuh pendidikan pascasarjana diberbagai perguruan tinggi keislaman.

“Silahkan jika sarjana Ma’had Aly ingin menempuh sekolah pascasarjana di berbagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,” lanjutnya.

Tak hanya itu, pada laman tersebut juga disebutkan Ketua Amali, Kyai Abdul Jalal menyampaikan bahwa hingga saat ini sudah ada 60 Ma’had Aly di berbagai pesantren di Indonesia. Ia berharap, Ma’had Aly fokus pada peningkatan mutu.

“Tujuan utama Ma’had Aly adalah kualitas bukan kuantitas atau formalitas,” ungkap Kyai Jalal.

 

Kontributor : Alfin Haidar Ali

Editor.           : Ponirin Mika

KH Abdul Haq Zaini, Kiai Moderat yang Merakyat

nuruljadid.net- KH Abdul Haq Zaini merupakan kiai yang sangat pandai bergaul dengan orang lain. Beliau mudah akrab, dan tidak membeda-bedakan masyarakat berdasarkan golongan, kelas ekonomi dan lainnya dalam bermasyarakat.

Sikap itu terlihat sejak beliau kecil. Dalam pendidikan, beliau acapkali tidak masuk sekolah dan lebih senang bermain bersama kawan-kawannya. Meski demikian, nilai ujiannya senantiasa baik mulai hingga MA.

Kiai AbduL Haq juga dikenal sebagai anak yang memiliki budi pekerti yang baik, selalu memperhatikan materi yang diberikan guru dengan seksama, dan selalu hormat pada guru.

Saat kuliah di beberapa perguruan tinggi di Surabaya, Kiai Abdul Haq sering menyamar sebagai kernit atau sopir waktu kuliah, serta bekerja sembari menghafalkan Al-Quran sampai 30 juz. Itu beliau lakukan untuk menyelami seluk beluk masyarakat.

Sebagaimana dikutip dalam buku Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH Abd Haq adalah sosok pria yang sehat dan senang olah raga. Hampir setiap hari selepas subuh, beliau bersama istri tercinta menyempatkan diri berolahraga ringan.

Berjalan-jalan menghirup segarnya embun pagi di sekitar pesantren, sambil menyapa petani yang mencangkul sawah di pinggiran pesantren.

Alumnus Ummul Quro, Mekkah ini memiliki perhatian tinggi terhadap Akhlak, yang terinspirasi dari kakak kandung beliau, KH. Moh. Hasyim Zaini. Oleh karena itu, KH. Abdul Haq Zaini selalu mengatakan, setinggi apa pun kitab (ilmu) seseorang, ujungnya adalah tingkah laku.

Beliau merupakan sosok yang tegas dalam bertindak. Prinsip beliau, kalau sudah salah ya harus dilawan. Di samping itu, beliau juga moderat. Tidak pernah memaksa orang lain agar sesuai dengan keinginan beliau. Baik kepada putra-putrinya atau pun kepada santri dan masyarakat. Ia juga sederhana, tidak mementingkan gengsi atau gaya.

Kepala Biro Kepesantrenan

Pada tahun 1986, beliau terpilih menjadi Kepala Biro Kepesantrenan Nurul Jadid. Dalam kepemimpinannya, beliau lebih senang menempatkan diri sebagai mitra kerja dengan para pengurus pesantren.

Dengan sikap tersebut, roda organisasi berjalan dinamis. Pengurus jadi lebih leluasa berdiskusi dengan pemimpinnya, dan lebih bersemangat dalam bekerja.

Suasana  akrab membuat beliau merasa senang. Pengurus bisa berterus terang saat menyampaikan sesuatu. Namun pada saat tertentu di mana beliau dituntut untuk menjadi salah seorang dari jajaran pengasuh, beliau pun menjadi sosok kiai yang sangat disegani para pengurus pesantren.

Sebagai Kepala Biro Kepesantrenan, beliau tak jemu-jemu melakukan kaderisasi. Misalkan, bila muncul persoalan, beliau tak langsung menanganinya. Biasanya persoalan itu diberikan terlebih dahulu kepada pengurus. Selain untuk menjalankan job discription masing-masing bagian, juga untuk melihat sejauh mana kemampuan pengurus dalam meredakan persoalan.

Kiai Abdul Haq juga tak jarang beliau terjun langsung di lapangan. Saat menerima laporan bahwa debit air yang mengaliri kamar mandi para santri menurun, misalnya. Kiai segera melakukan cek kebenaran laporan tersebut.

Setelah mengetahui bahwa laporan itu benar, beliau mengumpulkan para pengurus dan memberikan arahan tentang bagaimana menyelesaikannya.
Hal lain yang mengagumkan para pengurus, adalah cara beliau menghadapi santri nakal yang telah direkomendasikan para pengurus untuk dikembalikan pada orang tuanya.

Tak jarang beliau menolak rekomendasi itu, dan memilih untuk melakukan pembinaan secara langsung. Biasanya santri nakal itu beliau beri berbagai macam kegiatan seperti menjadi sopir atau hadam beliau.

Dengan kegiatan yang bisa dipantau langsung, Kiai Abdul Haq bisa melakukan komunikasi lebih dalam dengan santri nakal tersebut. Lewat pendekatan ini, perlahan-lahan tingkat kenakalan santri nakal itu mereda.

Pendekatan yang beliau lakukan kepada para santri nakal itu, selain diilhami pendidikan dari ayahanda beliau, juga berangkat dari pengalaman Kiai Abdul Haq saat berkenalan dan berteman dengan pelbagai golongan masyarakat saat kuliah di Surabaya.

Ketua Yayasan Nurul Jadid

Setelah KH Abd Wahid Zaini wafat pada tahun 2000, Kiai Abdul Haq dipercaya sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Nurul Jadid. Selama kurang lebih delapan tahun, tak sedikit hasil usaha beliau yang saat ini sudah bisa dinikmati, baik oleh santri, alumni dan masyarakat.

Antara lain pendirian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), penertiban keuangan pesantren, mekanisme pengangkatan guru dan dosen, pembangunan bank mu’amalat, pendirian Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid (P4NJ), dan lainnya.

Sebagai ketua Yayasan, beliau sangat bersemangat. Terakhir adalah pembelian tanah yayasan seluas 1,3 hektar sebelah timur pesantren dan 2,3 hektar sebelah selatan KUA yang menurut rencana akan dijadikan pusat pendidikan.

Dalam bidang kemasyarakatan, Kiai Abdul Haq tidak senang membeda-bedakan masyarakat karena golongan atau partai politik. Hal ini seperti tausyiah beliau yang disampaikan pada acara Istighosah, Jum’at 15 Mei 2009 di Masjid Jami’ Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Saat itu beliau sangat prihatin terhadap perilaku sebagian santri yang menganggap ‘liyan’ santri dari pesantren lain. Menurut beliau, tak patut santri Nurul Jadid menganggap beda santri dari pesantren lain.

Santri Nurul Jadid jangan mengkotak-kotakan masyarakat. Bersatulah dengan santri dari pesantren lainnya. Karena kitab yang diajarkan sama, Sulam Taufiq ya Sulam Taufiqnya sama. Pesan beliau di hadapan para jama’ah Istighosah yang diselenggarakan setiap Sabtu Wage.

Tahun 2002, Kiai Abdul Haq menjadi Ketua Dewan Syura Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa Probolinggo. Alasan beliau bersedia masuk dalam politik antara lain karena banyak kalangan yang meminta beliau untuk meneruskan tongkat estafet kakak kandungnya, KH. Abd Wahid Zaini yang terbukti memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Beliau menjabat ketua Dewan Syura DPC PKB sebanyak dua kali. Pada tahap terakhir, sebenarnya beliau enggan. Tapi desakan dari kader partai tak jua mereda. Akhirnya beliau memberikan syarat, bila ada satu kader partai yang tidak sepakat beliau menjadi ketua dewan syura, beliau akan mengundurkan diri. Saat pemilihan digelar, ternyata Kiai Abdul Haq terpilih secara aklamasi. Karir terakhir politik Kiai Abdul Haq berada di Partai Kebangkitan Nahdlatul Ulama (PKNU).

Meski Kiai Abdul Haq terjun dalam dunia politik, beliau tak pernah sekali pun memaksa santri-santrinya untuk memilih salah satu partai politik. Beliau senantiasa membebaskan para santrinya menentukan pilihan mereka berdasarkan ukuran rasional dan hati nurani masing-masing.

Kiai Abdul Haq adalah kiai yang mudah bergaul dengan semua golongan. Baik warga kecil sampai pada pejabat.

Pribadinya cukup akomodatif dan selalu hadir kalau diundang siapa saja yang mengundangnya. Karena prinsip beliau adalah demi kepentingan umat. Hidup adalah untuk berjuang. Berbuat baik kepada sesama. Jangan pilah-pilih orang. Hal itu pesan beliau.

Belaiu mempunyai pengertian dalam fungsi dan perannya sebagai pendidik. Tidak jarang bahasa yang disampaikan terkait perkembangan, yang bakal terjadi di zaman yang akan datang. Beliau mempunyai toleransi dan kelenturan luar biasa. Artinya memang tidak pernah menekan harus ikut siapa dan wadah apa. Itu pendidikan yang cukup berharga dari beliau itu.

Sebagai tokoh pesantren, Kiai Abdul Haq cukup dekat dengan mantan Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Terlebih setelah Gus Dur tahu bahwa Kiai Abdul Haq merupakan adik kandung sahabat kentalnya, KH. Abdul Wahid Zaini.

Secara pemikiran, ada benang merah atau keselarasan antara Kiai Abdul Haq dengan Gus Dur. Salah satunya adalah usaha Kiai Abdul Haq menjaga ukhuwah islamiyah dan ukhuwwah wathoniah, yang senantiasa tergambar dalam petuah-petuah beliau, baik kepada para santrinya maupun sikap beliau kepada orang lain.

Ketika hari wafatnya, ucapan ikut berbelasungkawa atas nama PBNU disampaikan oleh KH. Muchid Muzadi. KH. Muchid mengatakan bahwa saat ini banyak ulama besar yang dipanggil oleh Allah. Dan saya ucapakan banyak terima kasih kepada Kiai Abdul Haq, telah rela berjuang untuk agama dan umat. (*)

 

Pewarta   : Muhammad Iqbal

Editor      : Yatimul Ainun

Tulisan ini diambil dari website : www.timesindonesia.co.id

KH Wahid Zaini, Sosok Ulama Intelektual Pesantren dan NU

nuruljadid.net- Sang Mutiara dari Timur”. Begitulah para sahabat, kerabat dan orang-orang dilingkungan Nahdlatul Ulama (NU) menjuluki KH Abdul Wahid Zaini, Pengasuh PP Nurul Jadid yang ke tiga.
Julukan ini tentu saja bukan tanpa alasan. Tapi julukan mutiara dari timur ini sebagai adegium untuk menggambarkan sosok Kiai Wahid Zaini yang memiliki kapasitas yang sangat mumpuni sebagai ulama intelektual dan moderat.

Dalam kancah nasional, KH Wahid Zaini memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki intelektual tinggi dan pengalaman yang luas. Atas kapasitasnya sebagai intelektual pesantren dan NU, ia beberapa kali didorong untuk menempati jabatan tinggi.

Namun, dengan kearifannya beliau selalu menolak, karena beliau masih mempunyai tanggung jawab yang masih belum terselesaikan yakni mengurus dan memimpin Pesantren Nurul Jadid dan NU.

Hingga akhirnya, dengan sifat istiqomahnya, beliau mampu menempati posisi-posisi strategis dalam berabagai organisasi khususnya di NU.

Dalam majalah ALFIKR edisi ke 7 ditulis bahwa, Kiai Wahid Zaini adalah tokoh yang sangat low Profile, gigih dan tetap netral ini, hampir jarang dimiliki dalam sejarah NU yang kental dengan “Nuansa Politis” dan dunia retorisnya.

Kiai Wahid semangat profesional dengan mengacu kepada  kekuatan sistem dan kekompakan Team Work, dengan keyakinan tinggi (Husnudzan) menciptakan pola kerja sistematis dan mendorong kader-kader potensial untuk segera tampil di permukaan.

Hal itu untuk berbuat nyata pada pengembangan kemasyarakatan. Demikian adalah karakter dan naluri Kiai Wahid dalam menjalankan amanah organisasi.

Tiba-tiba muncul kiai muda seperti Tolkhah Hasan dalam jaringan intelektual NU, Abdullah Sarnawi dan tokoh muda kreatif seperti Arifin Junaidi dan Rosi Munir untuk di perkenalkan di masyarakat NU dan pesantren, yang sebelumnya mereka tak pernah mengenal nama-nama kader potensial tersebut.

Anwar Hudijono wartawan Kompas dalam feature-nya, Sabtu 18 November 2000 silam, pernah menulis bahwa, ketika Gus Dur mendapat giliran jadi presiden RI keempat, KH Tolkhah Hasan juga mendapat giliran Mentri Agama, dan kader-kader kreatif tersebut ada pada poros barunya yang bergantung pada arus utama “stuktural” dan juga yang masih memilih di jalur kultural.

KH Wahid Zaini “bersembunyi” di balik semua itu, di jalan tengah, dengan ikhlas tetap di NU dan pesantren hingga akhir hayatnya. “Kiai moderat atau kiai jalan tengah seperti sikapnya yang lembut dan tutur katanya yang halus dan datar mengesankan seperti orang Solo Jateng, walaupun beliau keturunan Madura, inilah yang melekat pada diri Kiai Wahid Zaini.

Kiai Abd Wahid Zaini adalah salah satu putra dari KH Zaini Mun’im yang cukup dikenal dikancah Nasional bahkan Internasional. Wahid kecil lahir pada Jumat, 17 Juli tahun 1942.

Ia lahir di tenggah suasana pergejolakan bangsa menuju kemerdekaan, ayahnya KH Zaini Mun’in adalah seorang pejuang kemerdekaan. Kiai Wahid dididik langsung oleh ayahnya, khususnya dalam mengaji AL-Quran sebagai pendidikan awal.

Sejak usia dini, ia diajari memetakan persoalan, mana yang semestinya dilakukan dan mana yang tidak boleh di lakukan. Prilaku keseharianya pun dikantrol. Sebagai putra orang yang terpandang dalam masyarakat, ia tidak di perkenankan membut jarak dengan satri dan masyarakat.

Pendidikan awal tersebut yang kelak membekas pada diri Kiai Wahid. Sehingga tak heran jika beliau tumbuh menjadi tokoh dan ulama yang sangat mumpuni.

Tokoh dan Ulama Organisatoris

Selain sebagai ulama intelektual, Kiai Wahid juga dikenal sebagai ulama organisatoris. Karirnya di organisasi dimulai sejak beliau mondok di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang.

Kala itu, beliau pernah menggagas berdirinya IKDU (Ikatan Keluarga Darul Ulum) dengan tujuan untuk mengakomodir santri dari berbagai daerah, yang selanjutnya diharapkan bisa memberikan sumbangan, baik pemikiran atau lainnya, demi kemajuan pesantren.

Dalam perkembangannya, IKDU berubah menjadi IKAPPDAR (Ikatan Keluaga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum). Gagasan ini menunjukkan bahwa jiwa organisasi Kiai Wahid Zaini sudah tumbuh sejak beliau berada di Pesantren.

Bakatnya dalam berorganisasi terus berlanjut tatakala beliau menempuh jenjang pendidikan di Institut Agama Islan Negeri Sunan Ampel Surabaya (IAIN Sunan Ampel).

Tepatnya tahun 1962, Kiai Wahid Zaini melanjutkan proses studinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi  yakni di Fakultas Syariah Jurusan Akhwal As-Shakhsyiah IIAIN Sunan Ampel Surabaya.

Karena saking hausnya akan ilmu, dalam waktu yang bersamaan beliau menyempatkan diri kuliah di Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

Di IAIN Sunan Ampel, kualitas beliau dalam dunia organisasi mulai diasah. Kala itu, beliau tercatat sebagai salah satu perintis berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Di organisasi ini, beliau dipercaya menjabat sebagai Ketua Komisariat untuk lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Daerah Surabaya Selatan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai sekeretaris dan ketua satu untuk Wilayah Jawa Timur (sekarang Koordinator Cabang).

Selain aktif di PMII, pada awal tahun 1960-an, beliau juga menempa bakat keorganisasiannya di Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) Wilayah Jawa Timur, dan pada tahun 1964 dan dipercaya sebagai Koordinator Departemen Mahasiswa dan perguruan tinggi wilayah Jawa Timur.

Selanjutnya, aktivitas Kiai Wahid Zaini bertambah padat. Karena saat itu, selain beliau menjadi Rektor Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) di Paiton Probolinggo, beliau juga dipercaya menjadi anggota DPRD tingkat I Provinsi Jawa Timur melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Karena padatnya kesibukan beliau, maka kewajiban akademis (skripsi) beliau di IAIN Sunan Ampel sempat terbengkalai. Meski demikian, berkat dorongan dari sahabat karibnya, Prof Dr Syaichul Hadi Purnomo, SH, akhirnya beliau bisa menyelesaikan tugas akhir tersebut.

Selesai ujian dengan nilai summa cum laude (sempurna), beliau kemudian langsung di wisuda dan meraih gelar Doktorandus (S1) pada periode akademik 1990-1991. Setelah sebelumnya, pada tahun 1984 beliau berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

Sedangkan kiprah Kiai Wahid di NU, diawali dengan ajakan kakak kandungnya, KH Muhammad Hasyim Zaini dan adik iparnya, KH Hasan Abdul Wafi, untuk ikut aktif mengikuti kegiatan di organisasi NU.

Mulanya, beliau mengawali aktivitas keorganisasian di Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paiton. Selanjutnya, pada tahun 1971 Kiai Wahid dipercaya menjadi ketua tanfidziyah PC NU selama satu periode (1971-1975).

Sementara pada periode 1978-1980, 1980-1984 dan 1984-1988, beliau dipercaya sebagai Wakil Khatib Syuriyah di Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur. Kemudian pada periode 1988-1992 s/d 1992-1996 beliau dipercaya menempati posisi Wakil Rais Syuriyah PW NU Jawa Timur.

Sebelum masa jabatan beliau di PW NU berakhir, beliau dipercaya menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar (PB) NU periode 1994-1999, melalui Muktamar NU ke 29 di Cipasung Jawa Barat tahun 1994.

Pada tahun 1984, selain tercatat sebagai perintis berdirinya Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM), Kiai Wahid juga dipercaya sebagai Direkturnya untuk Wilayah Timur, yang meliputi seluruh daerah Jawa Timur hingga NTT.

Selama menjadi Direktur LAKPESDAM, acapkali beliau menyelenggarakan pelatihan peningkatan kualitas SDM terhadap para pengurus cabang NU se-Jawa Timur. Meski menjadi penyelenggara kegiatan pelatihan, Kiai Wahid tidak kemudian menjaga jarak dengan para peserta pelatihan. Tanpa harus merasa gengsi, beliau ikut aktif mendampingi atau lebur dengan mereka sampai tuntas.

Pada tahun 1990, demi kaderisasi, akhirnya Kiai Wahid mengakhiri masa jabatannya di LAKPESDAM dan berlabuh di Rabhitah Ma’ahidi al-Islamiyyah (RMI), kehadiran Kiai Wahid di lembaga otonom NU ini disambut baik oleh banyak kalangan.

Di lembaga ini, beliau dipercaya sebagai Ketua Umum selama dua periode. Ketika menggantikan posisi Kiai Najib. Setelah menang dalam pemilihan ketua RMI yang diselenggarakan pada muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta (periode 1988-1993).

Mantan Sekretaris RMI periode 1988/1993, Suhaimi Syakur menuturkan bahwa kiai Wahid adalah tokoh dan sekaligus pengasuh pondok pesantren besar yang selalu muncul ide kreatif, sehingga menjadi harapan dan keinginan warga NU untuk aktif di RMI.

Program yang menjadi aktivitas kiai Wahid di RMI tentunya dari tingkat bawah, (lihat ALFIKR edis 11). Menurut M Nasikh Ridwan, di pengantar buku “Dunia pemikiran kaum santri”, bahwa aktivitas kiai Wahid di RMI dimulai dari tingkat cabang, wilayah hingga ke pusat”. Sampai diakhir kepengurusan.

Sosok Ulama Intelektual Pesantren dan NU

Kiai Wahid Zaini telah tercatat dalam momentum sejarah NU, adalah tokoh berkarisma tinggi, bewawasan luas dan berpikiran cemerlang yang pernah dimiliki oleh jagad NU dan pesantren.

Kharisma dan kecemerlangan pikirnnya, tidak lahir mendadak begitu saja di lingkungan NU dan di lingkup Nasional. Bersama KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Kiai Wahid banyak melakukan terobosan-terobosan intelektual.

Sejak tahun 70-an, beliau melakukan aktivitas pengembangan pesantren dan masyarakat bersama Gur Dur, Dawam Raharjo, Aswab Mahasin Ison Basuni, Johan Effendi.

Aktifitas tersebut untuk pengembangan keterampilan santri dan mengentaskan kemiskinan melalui pesantren. Terobosan-terobosan pembaharuan pemahaman fiqhiyah kedalam konteks pengembangan wawasan kemasyarakatan di NU dan pesantren-pesantren, beliau melakukan dalam masa yang tidak pendek.

Diantaranya melalui traveling halaqoh di pesantren-pesantren NU, melibatkan simpul-simpul ulama dan santri-santri senior bersama perhimpunan pesantren dan pengembangan masyarakat (P3M) Jakarta.

Gerakan wacana kebangsaan Gus Dur di NU secara kultural dibarengi dengan kerja-kerja serius Kiai Wahid Zaini di RMI bersama Nasihin Hasan (saat itu masih menjabat direktur P3M ) dan kader muda potensial Masdar Farid Masudi yang juga di P3M. Keempat organisator tersebut, bahu-membahu melakukan organisir “mengusung” wacana pembaharuan di bumi NU.

Karena itu, Kiai Wahid Zaini dikenal sebagai ulama intelektual NU dan pesantren. Ketika Kiai Wahid Zaini menjadi pengasuh pesantren, pada saat itu pula beliau menjadi salah seoarang jajaran Ketua PWNU Jatim.

Bagi Kiai Wahid Zaini, NU dan pesantren adalah dua sisi atau dua mata pisau yang tidak boleh cerai-beraikan. Sering kali dalam ceramah-ceramahnya, beliau mengatakan “NU adalah pesantren besar, maka pesantren adalah NU kecil” adalah kata mutiara, yang menjadi pegangan dan ukuran semangat juangnya.

Bahkan, ketika Kiai Wahid Zaini aktif sebagai pengurus PW NU Jawa Timur mulai tahun 1978 sampai dengan tahun 1996, beliau banyak mengeluarkan beberapa gagasan-gagasan brilian demi kemajuan NU.

Pemikiran-pemikiran beliau tidak seluruhnya beliau kemukakan dalam rapat kepengurusan formal. Bahkan lebih sering beliau lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil atau saat ngobrol santai dengan para pengurus lainnya. Dalam diskusi tersebut, biasanya beliau ditemani dengan patner beliau, KH. Imron Hamzah.

Sebagai buah dari kegigihan sepak terjangnya dan kecemerlangan ide-idenya di NU, dan setiap Halaqoh setiap alim ulama baik dalam acara NU dan pesantren, tokoh yang selalu tampil sederhana dan mempesona ini, tepatnya di pertemuan Ulama pesantren, Pondok Pesantren Watu Congol, Muntilan Jawa Tengah menggiring nama beliau untuk terpilih aklamasi sebagai ketua Pengurus Pusat Asosiasi Pondok Pesntren NU se-Indonesia: Rabitahtul-Maahidil-Islamiyah (RMI).

Melalui jabatan sebagai orang nomor satu di jagat pesantren NU inilah, nama Wahid Zaini pelan-pelan menjelajahi akses jaringan manca negara. Hampir lengkap poros pemimpin cemerlang yang mengitari bumi NU, saat itu KH Abdurrahman Wahid yang sangat populer dengan NU (pesantren besarnya), KH Abd Wahid Zaini dengan RMI-nya.

Kepemimpinan Abdurrahman Wahid di NU, cukup membawa harum NU ke dunia internasional dan membawa bangsa pada pergulatan demokrasi. Lebih dari itu, dilengkapi kecemerlangan kiai muda dari timur yang memiliki wawasan luas dan pemikiran cemerlang dan sukses memimpin RMI sepanjang dua periode”. (baca; NU dan Relasi Kuasa DR. Martien Van Bruineessen, LkiS).

Selama menjadi Ketua RMI, banyak akses jaringan yang telah beliau bangun, banyak pula kolega dan mitra-kancah-nasional dan kancah internasionalnya, adalah kekayan khazanah tersendiri yang diwariskan bagi generasi berikutnya.

Ini karena sikap netral beliau yang cukup diterima oleh berbagai kalangan, tanpa sama sekali berubah visi dan komitmen kepesantrenan dan ke-NU-anya yang cukup kental, sebagai pandang beliau dalam menyikapi situasi kenegaraan yang juga sedang begulat dari waktu ke waktu.

Kiai Wahid Zaini adalah tokoh sekaligus Ulama sosok luar biasa dan mumpuni yang pernah dimiliki NU. Betapa pun dahsyat dan derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial yang tengah berlangsung, beliau gambaran sosok yang punya pendirian tegar dan tak pernah risau dengan segala gelombang perubahan itu.

Justru dengan derasnya perubahan tersebut, NU dan pesantren kian tertantang untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan ke dalam (introspeksi membenahi kelemahan untuk sebuah percepatan).

Bagi Kiai Wahid Zaini, perjuangan kultural adalah jauh lebih berat dari pada perjuangan struktural, fatwa ini sering kali ucapkan setiap memberikan materi (makalah) pada seminar-seminar dan Halaqoh-halaqoh pesantren.

Tentu hal tersebut bukan sekedar ungkapan teoritis beliau lebih dari itu mencerminkan krakter dan sikapnya untuk tinggal di lokal (di pesantren) paiton itu.

Harus diakui, pergulatan pemikiran Kiai Wahid Zaini di NU dan pesantren cukup memberikan ruang leluasa tersendiri bagi kalangan intelektual-intelektual muda NU yang sedang bergulat juga karena kaderisasi profesional di NU adalah semangat dan cita-citanya yang tak pernah pudar tak henti-hentinya semangat dan dorongannya terhadap anak-anak muda NU.

Baik yang aktif di level wacana kelompok-kelompok kajian di organisasi intra kampus maupun di ektra, seperti PMII dan IPNU/ IPPNU untuk segera melakukan percepatan (akselerasi) menjadi kader yang profesioal agar tidak ketinggalan gerbong.

Hal tersebut harus dipahami bahwa pemberdayaan terhadap generasi NU mutlak harus dilakukan untuk menjaga keberlansungan organisasi NU. Karena berbicara perkembangan di NU secara riil merupakan upaya peroses percepatan generasi itu sendiri.

Atas dasar tersebut, Kiai Wahid Zaini, secapek dan sesibuk apapun ketika ada urusan dengan NU dan terutama berurusan dengan anak-anak mudanya beliau selalu meluangkan waktu untuk menerima dan memberikan arahan dan bimbingan.

Begitulah sekelumit gambaran sosok Kiai Wahid Zaini. Sebenarnya tidaklah cukup hanya satu lembar hingga dua lembar kertas untuk menggambarkan sosok Kiai Wahid Zaini, tapi butuh kajian yang lebih komprehensif dalam mengingat begitu komplitnya sepak terjang dan pemikiran Kiai Wahid Zaini di NU, Pesantren dan masyarakat.

Akhirnya, kita semua para santrinya, semoga bisa meneladani keistiqomahan Kiai Wahid Zaini dalam berjuang, mengabdi pada umat, NU dan Pesantren.

Selanjutnya, semoga pada momentum Harlah PP. Nurul Jadid yang ke 68 ini kita para santri bisa mengambil ibroh dan hikmah dari keteladanan para masyaikh PP Nurul Jadid sehingga bisa hidup manfaat dan barokah di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.(*)

 

*Penulis, Mushafi Miftah, Alumni PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo, saat ini aktif sebagai Dosen di IAI Nurul Jadid dan Peneliti Hukum dan Kebijakan Publik di BEDUG INSTITUTE

tulisan ini diambil di wibsite :www.timesindonesia.co.id