20190506_cerita-elok-sang-hafidzoh-antara-terpaksa-orang-tua-serta-hidayah-1

Cerita Elok Sang Hafidzoh; Antara Terpaksa, Orang Tua serta Hidayah

nuruljadid.net – Elok Mar’atil Khatimah, gadis berusia 17 tahun asal Singaraja Bali, rela menghafal Al Qur’an hanya untuk menggapai keinginan Sang Abah memiliki buah hati seorang penghafal Al Qur’an (Hafidz). Walapun diawali dengan keterpaksaan.

“Yang memotivasi untuk menghafal Al Qur’an itu abah saya. Karena harapan beliau adalah memiliki anak yang hafal Al Qur’an. Diam-diam tanpa sepengetahuan saya, Abah memasukkan saya di Lembaga Tahfidz di Wilayah Al Mawaddah PP. Nurul Jadid Paiton, Probolinggo” ujar Elok (sapaan akrab Elok Mar’atil Khatimah).

“Karena terpaksa, saya menghafal Al Qur’an dengan setengah hati, hanya bermain-main saja, punya setoran ya setoran, kalau nggak ya nggak” tambah Elok.

Selain itu, motivasi lain Elok putri dari pasangan Alm. Irawan Sutirto dan Emmy Ratna Wahyuni untuk menghafal Al Qur’an adalah cerita dari sang guru tentang mahkota dan jubah kemuliaan di akhirat untuk orang tua yang memiliki seorang anak Hafidz.

“Selain Abah, hal yang memotivasi adalah cerita dari guru saya. Yaitu kelak diakhirat seorang yang hafal Al Qur’an itu akan dipanggil namanya dan maju kedepan bersama orang tuanya. Tidak cukup itu, kedua orang tuanya akan diberikan mahkota serta jubah kemuliaan yang belum pernah ada di dunia. Setelah itu sang anak membaca hafalannya, semakin banyak yang ia baca, maka semakin tinggi pula derajat yang ia gapai sampai hafalan terakhir dia dimana. Maka beruntunglah orang yang menghafal Al Qur’an 30 juz” Ujar Elok, gadis kelahiran Singaraja Bali, 05 Juli 2001 dengan mata yang berkaca-kaca.

Mengambil hikmah dari cerita tersebut, dengan penuh pertimbangan serta pemikiran yang matang Elok akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti sekolah selama setahun lamanya tepatnya pada tahun 2017 hanya untuk menghafal Al Qur’an demi mewujudkan keinginan sang Abah. Dan keputusan Elok pun diterima dengan hati yang berbunga-bunga oleh Abahnya, Alm. Irawan Sutirto.

“Abah, saya mau menghafal Al Qur’an dalam waktu satu tahun tapi saya nggak mau sekolah bah” Saya nggak mau pulang saya nggak mau dikirm sampai saya sampai 30 juz” ujar Elok.

“Ya Allah nak, nggak usah menghafal 30 juz, 10 juz saja engkau menghafal itu sudah merupakan surga dunia bagi Abah. Itu bahagianya sudah melebihi punya pesawat, punya mobil dll, sudah lebih dari itu, kata Abah” tambah Elok dengan kucuran air mata yang tak terbendung lagi.

Singkat cerita, ketika Elok sudah mencapai hafalannya 10 Juz, ujian dari Sang Pencipta menguji keimanan dan ketulusannya dalam menghafal Al Qur’an. Sang Abah berpulang keharibaanNya dengan tersenyum.

“Ketika hafalan saya telah mencapai 10 juz dan akan mengikuti ujian akbar, tiba-tiba saya disuruh pulang. Ketika sampai di halaman rumah, saya melihat sudah banyak orang dan disitu juga ada terop. Awal saya kira ada pernikahan namun ternyata, Abah saya sudah terbaring kaku dengan senyuman diwajah beliau” cerita Elok dengan tangisan air mata yang semakin deras dan tak terbendung.

“Abah meninggal dalam keadaan tersenyum dan itulah yang menjadi alasan saya kenapa saya tidak menangis. Karena saya yakin insyaAllah Abah tenang dialam sana. Ketika beliau wafat, saya masih sempat mencium jenazah Abah dan sangat wangi padahal masih belum dimandikan. Dan itu yang membuat saya semakin yakin insyaAllah Abah tenang dialam sana” tambah gadis asal Singaraja Bali.

Selepas kepergiaan sang Abah, ketika Elok kembali beraktifitas seperti santri lainnya di Pesantren, Elok sempat terpuruk selama satu minggu lamanya dan tidak melakukan aktifitas apapun selain hanya memegang Al Qur’an. Hingga pada suatu malam, Elok memimpikan Sang Abah.

“Dan pada akhirnya dimalam itu saya tertidur dan bermimpi, Abah saya sedang ada di masjid dan mengaji juz 2 Surat Al Baqarah ayat 154. Kemudian saya terbangun dan mencari makna ayat dari surat tersebut. Dan akhirnya saya pun sadar dan ikhlas akan kepergiaan Abah” cakapnya dengan mata merah akibat menangis.

Akhirnya, dengan penuh perjuangan, rintangan serta suka duka, Elok berhasil menyelesaikan hafalan 30 juznya dengan menjadi Wisudawati Tahfidz Ekselensia Wilayah Al Mawaddah PP. Nurul Jadid (01/05/2019) lalu. Dengan dinobatkannya sebagai Hafidzah, Elok bukan malah merasakan kebahagiaan melainkan sebuah ratapan hidup karena baginya menghafal Al Qur’an adalan sebuah tamparan baginya.

20190506_cerita-elok-sang-hafidzoh-antara-terpaksa-orang-tua-serta-hidayah-2

Elok (paling kiri) menangis saat dilantunkannya Do’a Khotmil Qur’an pada acara Wisuda Perdana Tahfidz Ekselensia Wilayah Al Mawaddah. Foto: Zaky/nuruljadid.net

“Target kedepan adalah saya bisa melancarkan hafalan saya dan saya tidak hanya sekedar hafal, tapi saya paham maknanya dan yang terpenting dalah saya mengamalkan isinya karena saya menghafal Al Qur’an itu tamparan buat saya. Akhlak yang ada didalam Al Qur’an itu sangat bertolak belakang dengan akhlak saya. Tapi saya jadikan menghafal Al Qur’an itu sebagai wasilah untuk mengejar hidayah Allah” ujar Elok dengan suara terpatah-patah.

“Karena saya kalau hanya menuggu hidayah, hidayah itu nggak akan datang kalau bukan saya sendiri mengejarnya. Dan saya menghafal Al Qur’an sebagai proses hijrah saya. Saya ingin benar-benar hijarah, jadi Muslimah saja tidak cukup tapi butuh hafal Al Qur’an. Karena Al Qur’an itu adalah pedoman hidup kita” tambah Elok.

Tangisan kembali pecah ketika Elok menyampaikan ucapan terima kasih serta kerinduannya kepada Sang Abah.

“Ucapan terimakasih untuk Abah karena sudah maksa saya hafal Al Qur’an dan sudah memaksa saya untuk berada dijalan yang benar. Kalau rindu itu pasti, untuk didunia ini saja, saya tidak bisa bertemu kembali dengan abah. Tapi itu tidak membuat saya sedih, karena hidup didunia itu hanya sementara. Saat ini saya hanya bisa berjuang untuk bisa berkumpul bersama orang tua, guru dan dengan orang-orang yang saya sayang terutama bisa berkumpul dengan Rosulullah SAW kelak di akhirat” ujar Elok dengan penuh tangis.

“Setiap waktu kosong saya, saya berusaha mengisinya dengan Al Qur’an. Saya selalu memohon supaya orang tua saya, guru dan keluarga berkumpul di syurga tanpa hisab. Dan saya berharap agar setiap saya mengaji pahala bisa mengalir ke Abah agar makam Abah lebih bercahaya dan agar ada yang menemani abah disana, agar abah nggak disiksa terutama pertanggung jawaban memiliki anak perempuan. Saya ingin meringankan hisab Abah” tambahnya.

20190506_cerita-elok-sang-hafidzoh-antara-terpaksa-orang-tua-serta-hidayah-3

Elok, gadis 17 tahun asal Singaraja Bali menuntut ilmu di Wilayah Al Mawaddah. Foto: Baihaki/nuruljadid.net

Akhir, Elok akan berjuang untuk kebahagiaan sang Ummi, orang tua Elok yang ada saat ini.

“Orang tua saya yang ada saat ini adalah Ummi, bagaimana saya berjuang agar saya tidak menyusakhan Ummi. Biar saya selalu berusaha untuk membahagiakan Ummi. Saya nggak mau menyesal kedua kalinya” ujar Elok sambal mengusap air mata yang bercucuran di pipinya.

Pewarta: JN

Editor: Ponirin Mika

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *