Mengenal Lebih Dekat Sosok Mimi, Wisudawati Terbaik Asal Thailand
nuruljadid.net – Jauhnya jarak yang membentang Tak pernah sedikitpun membuatnya patah arang. Sebagai seorang anak rantau dia dapat membuktikan bahwa dia juga mempunyai kesempatan untuk menjadi juara. Nun Jauh di seberang sana sosok seorang ayah yang hebat bernama Abdulloh Pohchiseng selalu berharap yang terbaik bagi anaknya. Malam itu, sang putri kebangganya terpanggil menjadi yang terbaik memenuhi harapan dan cita-cita sang ayah.
Paras wajah ayunya terlihat berbinar. Semburat ekspresi bahagianya tak dapat dibendung. Sangat kentara wajah khas berketurunan etnis Thailand. Riasan make up-nya masih melekat rapi di atas wajahnya. Sederhana saja tak terlalu tampak norak dan menor. Tidak seperti biasanya ia berdandan dengan demikian. Guna mengikuti acara perhelatan wisuda Purna Madrasah Awwaliyah III, sengaja ia tampil dengan performa yang lebih. Acara wisuda yang ia ikuti pada Rabu malam kemarin (10/05) merupakan momen yang luar biasa dalam Hidupnya.
“Menimbang dan seterusnya memutuskan bahwa nama yang tercantum dibawah ini adalah wisudawati terbaik Madrasah Diniyah Awwaliyah III,” begitulah detik-detik mendebarkan ketika Surat Keputusan (SK) mulai dibacakan oleh Ustadzah Imroatul Husna ketika penentuan Wisudawati terbaik dalam acara wisuda yang dilaksanakan oleh Madrasah. Semua jerih payah belajar jelas terbayarkan punah melihat megah tropi berada di pangkuan tangan.
Namanya Fateehah Pohchiseng. Satu-satunya siswi dari Thailand yang mendapat penghargaan wisudawati terbaik dalam acara Wisuda Purna Awwaliyah III. Sangat tak menduga awalnya bila pada ujungnya ketika pembacaan Surat Keputusan (SK) oleh panitia namanya terpanggil menjadi wisudawati terbaik.“Saya sangat tidak menyangka bisa jadi seperti ini,” tuturnya dalam bahasa indonesia dengan logat Thailand yang khas.
Momen itu merupakan peristiwa yang tidak akan pernah bisa dilupakanya. Menjelang satu minggu lagi kepulanganya ke kampung halaman. Ia dinobatkan sebagai wisudawati terbaik. “Saya mondok di sini sejak kelas satu SMA. Sekarang udah kelas tiga, bentar lagi juga mau berhenti. Insya allah 17 mei ini saya udah pulang ke Thailand,” terangnya.
Tidak terasa sudah tiga tahun ia menetap dan menyandang status santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid. Tepatnya, ia memulai semua kehidupan barunya sebagai santri di pondok sedari tiga tahun silam sejak ia dari kelas satu di SMA Nurul Jadid. Ketika ditanya perihal kesan pengalamanya selama ia menimba ilmu di pondok ia berterus terang sangat senang sekali bisa belajar di pondok.
“Enak belajar di sini seneng. Ustadzahnya baik-baik, gurunya baik-baik juga perhatian sama orang Thailand. Tapi, yang paling baik Ustadz. Ustadz Nasrul Mukmin namanya. Seneng Banget bisa diajar beliau, kebetulan beliau ngajar tauhid,” kelakarnya sembari sesekali tersungging senyum dari bibirya.
Kemudian ia berkisah ketika kedatanganya pertama kali menginjakan kaki di Pondok Pesantren Nurul Jadid. ada banyak kesullitan yang ia alami. Terlebih persoalan komunikasi dengan teman sebayanya. Sebab, tak sedikitpun bekal bahasa indonesia yang ia punya. “Saya hanya bisa cakap Malaysia dan Thailand aja. Dua bahasa itu saja yang saya ketahui,” imbuhnya.
Untungnya ia tidak sendiri. Dari Thailand ia bersama dengan lima orang temanya. Sama-sama bersekolah di SMA Nurul Jadid. tidak hanya itu, perasaan tidak betah juga sesekali ia rasakan. Bersama kelima orang temanya mereka berusaha dengan gigih mencoba untuk bertahan dan belajar beradaptasi dengan lingkungan. Namun, persoalan itu ia coba untuk atasi dan sama sekali tak membuatnya berkecil hati. Satu tahun lamanya ia mencoba belajar berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia.
“ Melalui beasiswa pertukaran pelajar dari Thailand. Kemudian saya bisa sampai ke sini. Nggak paham sekali dulu ketika awal kali mondok di sini. Awalnya memang sulit banget sih untuk berkomunikasi terbiasa akhirnya bisa juga,” kisah perempuan yang kerap disapa mimi tersebut.
Baginya hal ini bukan pengalaman pertama kali ia mondok. Sebelum kedatanganya ke Indonesia ia juga sempat nyalaf dulu ketika di Thailand. “Sempet nyalaf juga dulu ketika di Thailand. Tapi, beda sama di sana. Di sini banyak kiyainya banyak pondoknya juga jadi enak,” ucapnya.
Berpegang teguh pada satu prinsip yang ia jadikan sebagai motivasi hidupnya. Ia terus melangkah. Ia percaya bahwa semua pertanyaan pasti ada jawabnya, setiap persoalah pasti ada jalan keluarnya. Selama kita punya keberanian untuk bertanya. “Yang penting jangan malu untuk bertanya,” paparnya. (DL)

Fateehah Pohchiseng (memakai toga) bersama walinya yang berasal dari Negara Thailand. (Foto : Zaky)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!