nuruljadid.net-Meningkatnya kasus intoleransi di Indonesia semakin memperihatinkan, pancasila sebagai dasar negara seakan tak lagi memiliki nilai, hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan yang telah ada di negara ini. Berikut hasil wawancara Moch. Fathoni Diya’ Ulhaq R. dan Tri Satria Purnomo dengan KH. Abdul Hamid Wahid Rektor Universitas Nurul Jadid (UNUJA).
- Menurut Kiai, apa pengertian intoleransi ?
Intoleransi itukan berasal dari dua kata yakni In berarti tidak dan Toleransi berarti menghargai. Dalam dunia Islam kita mengenal tasammuh yakni menghargai keyakinan seseorang yang berbeda dari kita, itu dinamakan toleran, jadi intinya iyalah menghargai perbedaan, sedangkan intoleransi sendiri kebalikan dari toleransi.
- Dari mana asal pemicu timbulanya sikap intoleransi di Indonesia ?
Toleran dan tidak toleran itu pada dasarnya pemahaman tentang pengetahuan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki 3 unsur di dalam jiwanya yakni pertama, keinginan-keinginan dasar seperti ingin tumbuh dan berkembang biak. Yang kedua ialah ego, ego sendiri bermakna bagaimana kebutuhan dirinya itu terpenuhi, kemudian sebagai makhluk sosial. Sebetulanya manusia itu punya bakat dasar tidak toleran dan untuk toleran, bagaimana dia bisa memikirkan posisi dirinya di antara orang lain sebagai makhluk sosial, bermoral dan normal.
- Bagaimana cara menangggulangi adanya intoleransi?
Pendidikan di Indonesia haruslah menjunjung nilai toleransi, seperti pendidikan di negara Barat yang menjadikan toleransi sebagai pendidikan mulai tingkat dasar hingga tinggi, karena akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang. Dalam agam Islam, ada yang namanya tasammuh (toleransi), tawassuth (tengah-tengah), tawazzun (seimbang), dan ta’adul (tegak lurus). Toleransi sendiri menjadi salah satu seni dasar yang artinya menengahi.
Jika dia merasa sebagai manusia utuh pasti dia akan toleran, karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Pendidikan di Indonesia juga harus megajarkan tentang toleransi seperti pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang telah mengajarkan bagaimana kita bisa hidup bersama.
- Bagaimana menyadarkan masyarakat agar bisa saling toleran?
Kembali kepada toleransi dalam bentuk perpolitikan. Event politik itu adalah sesuatu yang sah. Jadi mendukung atau tidak mendukung presiden adalah hak individual yang dimiliki setiap orang. Orang punya dukungan sendiri, punya keyakinan sendiri itu sah-sah saja, tapi tinggal bagaimana agar konflik yang terjadi ini tidak dijadikan sebagai suatu wacana untuk menuju sebuah perpecahan.
Kalau sudah waktunya berakhir kita tinggal memilih siapa calonnya dan siapapun yang terpilih itu tetap sah, karena proses pemilihan tersebut secara bersamaan. Tinggal bagaimana menyadarkan pada peran dan event tahunan itu penting bagi warga negara jadi. Ya silahkan berjuang, silahkan punya keyakinan tapi bukan dalam rangka perpecahan.
- Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menanggulangi intoleransi ?
Jadi ini bukan hanya problem pemerintah saja melainkan problem kita bersama. Sebagaimana kita semua menyadari bahwa event 5 tahunan ini iyalah proses pembentukan pemimpin yang berbangsa dan bernegara. Dalam artian tidak hanya mementingkan warga yang sosialnya tinggi, namun pemimpin yang mementingkan warga yang sosialnya lebih rendah. Selebihnya setelah terbentuknya pemimpin yang sah, ya kita tinggal tunggu kapan masa jabatannya akan berakhir kalau memang mau mengganti pemimpin tersebut.
- Radikalisme di Indonesia merupakan pemicu adanya toleransi, bagaimana menurut kiai ?
Intoleransi adalah bibit radikalisme. Orang yang bertindak tidak toleran pasti akan menjadi radikal, kemudian akan menjadi teroris. Dengan kata lain, intoleransi adalah bentuk dasar dari radikalisme. Banyak intoleransi yang dilakukan dalam aspek perbedaan, jadi menghargai perbedaan sangatlah penting.
- Apakah budaya Barat yang masuk ke Indonesia dapat mempengaruhi budaya kita sehingga menghasilkan intoleransi ?
Budaya itu bermacam-macam. Orang memliki beragam cara dalam menghadapi intoleransi. Ada yang dengan cara mengikuti, ada yang tidak mengikuti, serta ada juga yang dapat menyeleksi dengan baik. Seharusnya kita bisa menyeleksi budaya tersebut dengan baik. Atau kita bisa meniru bangsa luar. Ketika ada budaya asing yang masuk dalam kehidupannya, mereka mendialogkan tentang budaya tersebut kemudian menerima sisi positifnya dan membuang sisi negatifnya.
- Bagaimana menyikapi tahun politik yang sangat sensitif terhadap isu SARA dan intoleransi ?
Sebetulnya pembicaraan tentang isu SARA itu telah selesai semenjak tahun 1945 setelah merdekanya negara ini. Seharusnya tidak usah diungkit-ungkit lagi, kalau diungkit lagi takutnya akan membawa dampak negatif pada masyarakat, malah kita harus lebih kepada program dimana tawaran kebaikan itu ada. Tinggal bagaimana kesadaran kita kembali kepada posisi pemilu yang sebenarnya.
Kadang-kadang dalam pemilu ada orang yang ingin mencapai tujuannya dengan menggunakan cara apapun, nah inilah yang tidak boleh. Berpemilu sendiri itu positif, bersaing sendiri itu positif. Memilih pemimpin adalah sarana dari berpemilu, tinggal bagaimana kita bisa membawa efek positif dan menjauhi efek negatif yang dapat menghancurkan kebersamaan.
- Bagaimana cara menghadapi kelompok yang tidak terima akan hasil pemilu ?
Sikap dewasa sangatlah penting. Penyadaran akan pentingnya pemilu harus terus dilakukan, apalagi terhadap para pemimpin yang harus membimbing masyarakatnya. Seharusnya masyarakat yang terpelajar seperti pemuda, harus bisa memberikan sumbangsih yang baik, bukan malah ikut-ikutan, dan kita juga harus bisa memilih.
- “Yang waras jangan mengalah” bagaimana dengan statemen tersebut di medsos dalam menyikapi intoleransi di tahun politik ini?
Kita memang harus berbuat, namun perlu diingat juga bahwa kita harus berbuat sesuai kemampuan kita, kemudian sesuai dengan perasaanya. Setidaknya seminimal mungkin kita tidak ikut-ikutan untuk menyebarkan dan menghancurkan bangsa dengan sikap yang tidak benar ini, paling tidak kita mulai dari diri sendiri kemudian mempengaruhi lingkungan jika bisa.
- Harapan Kiai untuk pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi kasus intoleransi ?
Pendidikan dan pemberdayaan terhadap masyarakat harus selalu dilakukan, tinggal bagaimana kita mendorong masyarakat agar bersikap dewasa dalam berpolitik. Memberikan keterwawasan tentang perpolitikan juga harus nampak dilakukan, agar perpolitikan di negara ini aman dan tentram.
Sumber : Majalah Kharisma MANJ