Di Acara Haul dan Silaturahmi Bani Hadu-Bani Ruham, Kiai Muhyiddin Abdusshomad Ceritakan Biografi Bersejarah Kiai Zaini Mun’im
nuruljadid.net – “Inda dzikris sholihin tanzilur rohmah, apabila orang-orang soleh disebut, diceritakan, dikenang, maka Rahmat Allah akan turun menyertainya,” dawuh KH. Muhyiddin Abdusshomad Pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Jember mengutip perkataan Imam Sufyan bin Uyainah, saat menyampaikan sambutan dalam Acara Haul dan Silaturahmi Bani Hadu-Bani Ruham di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Ahad (19/11/23).
Pada momentum itu, Kiai Muhyiddin menyebut Kiai Zaini Mun’im adalah ulama yang wushul (sampai) kepada Allah, sebagaimana yang dikategorikan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani bahwa tandanya orang wushul ila Allah (sampai kepada Allah) ada tiga: al-karom (mulia), at-tawadhu’ (rendah hati), dan as-salamatus-sadr (kelapangan/keselamatan hati).
“Saya teringat kepada kisah almaghfurlah Kiai Zaini Mun’im. Dulu ada tiga orang yang sering kumpul membicarakan masalah perjuangan kemerdekaan Indonesia, perjuangan Nahdatul Ulama dan perjuangan keumatan. Ketiganya sama-sama alim dan saling menghormati, beliau adalah Kiai Toha Bherkejhem, Kiai Zaini Mun’im, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin,” dawuhnya.
Saat itu, lanjut beliau, ketika Kiai Zaini sedang mengungsi di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Kiai Syamsul Arifin memerintahkan kepada saudara dan anak cucunya untuk mengaji ke Kiai Zaini. Kiai Syamsul Arifin berdawuh “Mara ajek kabbhi tan-taretanna been, aria bede oreng allamah kalaben alim, tang ponakan Kiai Zaini, kesempatan emas kaangguy been kabbhi ngajih, Ajak saudara-saudara kalian semua, di sini ada orang alim (ahli ilmu/pintar), keponakan saya Kiai Zaini, ini adalah kesempatan emas bagi kalian semua untuk ngaji (belajar) ke beliau.”
“Dari cerita tersebut dapat ditarik hikmah, bahwasanya Kiai Zaini memiliki sifat as-salamatus-sadr (kelapangan hati) untuk mengajar, sehingga Kiai Muhammad Toha Bindung, almaghfurlah Kiai Abdul Hamid Bakir, termasuk aba (ayah) saya Kiai Abdusshomad, serta keponakan dan saudara-saudara yang lain dapat berkumpul di Sukorejo untuk belajar bersama,” tutur beliau.
Di samping itu, Kiai Muhyiddin juga menceritakan kealiman dan ke-tawaduk-an Kiai Zaini saat menghadiri perkumpulan ulama di Malang pada tahun 1963. Saat itu, Kiai Zaini diminta untuk menyampaikan pesan-pesan atas wafatnya Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih, Tokoh Ulama Ahli Hadis terkemuka yang menetap di Malang. Kiai Zaini menyampaikan pesan dalam bentuk syiir “Qosidah Ritsaiyah” yang membuat pendengarnya tertegun waktu itu.
“Dilansir dari kitab Sadarotun Tarikhiyah yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang, bahwa Kiai Zaini menyampaikan pesan dalam bentuk syiir dengan gramatikal bahasa Arab yang sempurna itu secara spontan. Sampai disebutkan dalam kitab itu, qosidah ucapan belasungkawa ini disampaikan oleh Ahli Sastra Arab yang sangat alimnya, yaitu Kiai Zaini Abdul Mun’im,” imbuh beliau.
Kisah perjuangan Kiai Zaini selama mengusir penjajah, memperjuangkan umat dan Nahdlatul Ulama sebetulnya sudah banyak diulas oleh sejumlah artikel dan karya ilmiah. Hal ini juga terpatri dari kegigihan beliau mencetak para santrinya agar berjuang di masyarakat, sebagaimana yang didawuhkannya: “Saya tidak rela kalau santri saya tidak berjuang di masyarakat,” dan “Orang yang hidup di Indonesia, kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat, kita semua harus memikirkan perjuangan masyarakat.”
Reporter: Ahmad Zainul Khofi
(Humas Infokom)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!