Gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk merealisasikan hak asasinya dan sama-sama berpotensi menyumbang kemajuan pembangunan. Kesetaraan gender muncul dikarenakan ketidakpuasaan perlakuan terhadap perempuan. Hal ini bukan tanpa alasan, perempuan yang merupakan sumber daya yang jumlahnya cukup besar bahkan melebihi jumlah laki-laki berada sangat jauh dari laki-laki dalam hal partisipasinya di sektor public.
Jauh sebelum islam datang pandangan terhadap perempuan sangatlah negative bahkan mereka dianggap hina pada waktu itu. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Yunani Kuno, ketika hidup filosof-filosof kenamaan semacam Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), dan Demosthenes (384-322 SM), martabat perempuan dalam pandangan mereka sungguh rendah. Perempuan hanya di pandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki sehingga perzinaan sangat merajalela. socrates ( 470-399 SM) berpendapat bahwa dua sahabat setia harus mampu meminjamkan istrinya kepada sahabatnya, sedangkan Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, filosof Aristoteles menganggap perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato menilai kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah dan “kehormatan” perempuan menurutnya adalah pada kemampuannya melakukan pekerjaan-pekerjaan sederhana/ hina sambil terdiam tanpa bicara.
Sejarah telah mencatat betapa perempuan ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Dalam masyarakat Yunani perempuan diposisikan sebagai makhluk yang rendah, yakni sebagi budak dan pemuas nafsu syahwat semata. Sehingga tidak heran pada zaman tersebut banyak perempuan yang menjadi pelacur. Bahkan perempuan pezina (pelacur) justru di anggap memiliki kedudukan yang tinggi, dan para pemimpin Yunani pada waktu itu berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Tak jauh berbeda dengan pandangan masyarakat Yunani terhadap perempuan, masyarakat Romawi pun juga menempatkan posisi perempuan sangat rendah dan hina. Kaumlelaki pada masa itu memiliki hak mutlak terhadap keluarganya, ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan boleh membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Masyarakat Romawi memiliki tradisi yang justru tidak menempatkan posisi perempuan pada posisi yang terhormat yani; pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita dan tradisi mandi bersama antara laki-laki dan perempuan di muka umum. Bahkan dalam tradisi masyarakat India seorang istri harus di bakar hidup-hidup dengan mayat suaminya.
Namun saat islam datang, derajat dan martabat perempuan ditempatkan pada posisi yang terhormat oleh Rosulullah SAW. Perempuan harus dihormati dan dicintai. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan bahwa diciptakan untuk beliau apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian dan shalat menjadi buah mata kesukaannya (HR an-Nasa’i melalui Anas Ibnu Malik). Yang perlu digaris bawahi adalah antar laki-laki dan perempuan keduanya adalah manusia yang sama karena keduanya bersumber dari ayah dan ibu yang sama (Adam & Hawa). Keduanya berhak memperoleh penghormatan yang sama sebagai manusia. Akan tetapi akibat adanya perbedaan, persamaan dalam bidang tertentu tidak menjadikan keduanya sepenuhnya sama. Namun, ketidaksamaan ini tidak mengurangi kedudukan satu pihak dan melebihkan yang lain. persamaan itu harus di artikan kesetaran, dan bila kesetaraan dalam hal tersebut telah terpenuhi keadilan pun telah tegak, karena keadilan tidak tidak selalu berarti persamaan. Contoh anda telah berlaku adil terhadap dua anak yang berbeda umur-misalnya-jika anda memberikan baju yang sama dalam hal kualitasnya, walaupun ukurannya berbeda akibat perbedaan badan mereka. Di sisi lain, tidak adil bila anda menugaskan anak yang masih kecil untuk menyelesaikan pekerjaan orang dewasa. Tidak adil juga bila anda menuntut seorang dokter untuk membangun jembatan, dan seorang petani menangani pasien. Yang adil adalah menugaskan masing-masing sesuai kemampuannya.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an, masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum, ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Hujurât ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status sama di mata Allah. Mulia dan tidak mulia mereka di mata Allah ditentukan oleh ketaqwaan, yaitu prestasi yang dapat diusahakan. Begitu pula pahala yang mereka raih dari usaha mereka tidaklah dibeda-bedakan, bahkan kesetaraan tersebut ditegaskan secara khusus sebagaimana yang tersurat dalam surat al-Ahzâb ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ
وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Begitu pula dalam surat al-Nisâ’ ayat pertama Allah menyatakan bahwa perempuan adalah salah satu unsur di antara dua unsur yang mengembangbiakkan manusia.Ayat ini juga menunjukkan adanya persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal-hal yang termasuk kekhususan umat manusia.
Namun demikian, dalam beberapa ayatnya, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tertentu. Dalam surat ini ada beberapa tema yang sering diperdebatkan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan feminis. Salah satu tema tersebut adalah tentang penciptaan perempuan dalam al-Nisâ ayat 1, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sebagian besar ulama menafsirkan kata nafs wâhidah dengan Adam, sedangkan kata zawj diartikan dengan Hawa, yakni isteri Adam yang diciptakan dari tulang rusuknya.[1][3]
Sedangkan Muhammad ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ, dalam Tafsîr al-Manâr, menolak penafsiran tersebut di atas. Karena menurut mereka, surat al-Nisâ ayat 1 secara lahir tidak menyatakan bahwa kata nafs wâhidah adalah Adam, dan juga tidak ada dalam al-Qur’an nash yang mendukung pemaknaan tersebut. Untuk itu, mereka cenderung memaknai kata nafs wâhidah sebagai materi yang dengannya diciptakan Adam dan isterinya (Hawa).Tampaknya ‘Abduh dan Ridhâ ingin memperjuangkan hak-hak perempuan.
Namun berbeda dengan Quraish Shihab, di dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, terkesan tidak ingin ikut campur dalam perdebatan antara kedua belah pihak di atas. Di dalam tafsirnya, Shihab memaparkan penafsiran kedua belah pihak tentang frase min nafs wâhidah wa khalaqa minhâ, serta menunjukkan inti dari polemik tersebut. Kemudian ia berusaha mendialogkan pendapat kedua belah pihak dengan titik tekan pada keserasian al-Qur’an (munâsabah). Shihab menulis:
Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagaimana bunyi surah al-Hujurât di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya, “Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain”(Q.S. Ali ‘Imrân [3]:195). Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita.Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah lembutan wanita didambakan oleh pria.
Melihat tulisannya, dapat dipahami bahwa Shihab tidak mengakui adanya perbedaan dari segi kemanusiaan, namun perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut bersifat given.Dari perbedaan inilah timbul komunikasi positif (hubungan saling menyempurnakan) antara keduanya dalam bingkai kemitraan. Bisa jadi, asumsi peneliti, kesetaraan yang ia maksud adalah kemitraan.
Islam sangat mendukung adanya kesetaraan gender, namun hanya dalam beberapa aspek contohnya saja kewajiban perempuan untuk menuntut ilmu. Hal ini berdasarkan apresiasi al-qur’an terhadap ilmu pengetahuan.hal ini dimulai dari betapa seringnya al-qurn menyebut kata ‘ilm ( yang berarti pengetahuan) dengan segala derivasinya yang mencapai lebih dari 800-an kali. Hal ini pun berdasarkan firman Allah dalam al-Quran surah al-‘alaq ayat 1-5 dan beberapa kontek ayat lainnya dalam al-Qur’an. Begitu pula dengan aktivitas lainnya, semisal olahraga, tentunya harus tetap mempeerhatikan norma-norma agama; khususnya dari segi pakaian dan penampilannya, juga jenis olahraga yang diminatinya. Kemudian perempuan dengan kesenian, memang terdapat khilafiyah mengenai aktivitas perempuan dalam bidang kesenian khususnya seni suara, hanya saja dalam konteks ini dapat kita nyatakan bahwa pada dasarnya islam tidak melarang seseorang-termasuk perempuan-untuk mengekspresikan talenta seninya seperti menyanyi, sepanjang dengan tujuan dan cara yang tidak melanggar syariat. Misalnya tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa cinta kepada Rosulullah, yang mendorong orang semakin seakin semangat beramal shaleh dan sebagainya.
Begitu pula dalam hal kepemimpinan, seorang perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya. Bukannya Islam membatasi terhadap kepemimpinan seorang perempuan hanya pad lingkup keluarganya saja akan tetapi Islam sebagai agama kasih sayang menginginkan kemaslahatan bagi para pemeluknya dengan menjadikan seorang laki-laki sebagai pemimpin tertinggi seperti halnya presiden. Karena akan lebih maslahat bagi suatu bangsa/ Negara apabila kepala Negara/ kepala daerahnya adalah seorang laki-laki yang memiliki kesehatan jasmani yang prima, dan didukung dengan kejujuran, keadilan, berpihak kepada kepentingan masyarakat, visioner, dan memiliki keluasan ilmu pengetahuan. Bukannya seorang perempuan yang kekuatan jasmaninya lemah. Oleh karea itu kepemimpinan perempuan hanya sebatas pada harta dan anak-anak suaminya saja. Sebagaimana hadis Nabi SAW:
“Ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang Amir (kepala Negara) adalah pemimpin, dan dia akan dimintai petanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, ia akan dimintaipertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga dan anak-anak, dan ia kan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang budak (hamba sahaya) adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka ingatlah, bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar).
Kesimpulan :
Kesetaraan gender adalah dimana laki-laki dan perempuan berada dalam kondisi dan status yang sama untuk memperjuangkan hak asasinya dan juga sama- sama berpotensi menyumbangkan kemajuan pembangunan.
Pandangan islam terhadap kesetaraan gender adalah menempatkan posisi dan kedudukan seorang perempuan pada derajat yang mulia,tidak seperti yang terjadi pada masa kejayaan para filosof-filosof dan pandangan masyarakat non islam seperti Yunani, Romawi, India dan lainnya, yang justru menempatkan posisi perempuan hanya sebagai the second creation dan the second sex saja, bahkan mereka tak segan-segan membunuh perempuan pada waktu tertentu sebagaimana yang terjadi pada tradisi masyarakat Rusia tempo dulu sebelum datangnya islam.
Dengan adanya islam, maka apa yang selama ini permpuan inginkan akan terpenuhi, namun tetap harus sesuai dengan syariat islam, semisal dalam hal pekerjaan. Perempuan di perkenankan bekerja di luar rumah dengan catatan telah mendapat izin suami untuk membantunya dalam mencari nafkah keluarga, menutup aurat dan lain sebagainya. Namun namun peran perempuan dalam ranah public sangatlah terbatas karena demi kemaslahatan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu islam tidak menganjurkan suatu Negara/ bangsa dipimpin oleh seorang perempuan.
Penulis : Sulusiyah (Pengurus Asrama Program Keagamaan MAN 1 Probolinggo, Wilayah Az Zainiyah