Catatan Kuliah Tasawuf Ke-9: Mengenal Maqomat dan Ahwal (1)
Artikel ini merupakan hasil catatan Kuliah Tasawuf ke-9 tentang “Mengenal Maqomat dan Ahwal” yang diampu oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid KH. Moh. Zuhri Zaini di Musala Riyadlus Shalihin pada Kamis (30/05/24). Menyoal kegiatan, Lembaga Pembinaan Pondok Mahasiswa Universitas Nurul Jadid rutin menyelenggarakan Kuliah Tasawuf sebanyak sekali di setiap bulannya. Diikuti secara tatap muka oleh Mahasantri Putra di Musala Riyadlus Shalihin dan Putri secara paralel di wilayah masing-masing. Sementara peserta umum dapat mengikuti melalui daring di kanal YouTube Universitas Nurul Jadid.
Adapun tulisan ini, yang pertama berisi prolog, hakikat kesabaran, dan motif-motif kesabaran. Sedangkan yang kedua, berisi macam dan tingkatan kesabaran, serta cara melatih diri untuk mencapai kesabaran. Demikian, mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam artikel ini yang datangnya dari penulis semata, sebagaimana semua kebenaran dalam artikel ini hanyalah milik Allah ﷻ.
Prolog
Manusia diciptakan oleh Allah ﷻ ke muka bumi dan akan kembali kepada-Nya. Hal ini termaktub dalam firman Allah ﷻ surat Al-Baqarah ayat 29: هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا artinya: “Dia (Allah ﷻ) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian …”.
Kembalinya manusia kepada Allah ﷻ dapat berupa kebaikan atau keburukan. Kembalinya manusia yang baik adalah ketika kita kembali sesuai dengan tuntunan Allah ﷻ. Jalan kembali yang baik itu dapat dilalui dengan jalan ibadah, yakni melaksanakan perintah Allah ﷻ berupa perbuatan dzohir, seperti shalat dan puasa; dan juga berupa perilaku batin atau sifat-sifat hati.
Jalan kembali yang baik kepada Allah ﷻ memiliki beberapa tahapan. Ulama’ tasawuf berpendapat terkait tahapan-tahapan tersebut, yakni dimulai dengan ilmu dan kesadaran, dilanjut taubah, kemudian wara’ dan zuhud, dan sebagai suatu usaha maka ada roja’ (harapan), kemudian juga ada khauf dalam beramal.
Ada dua sikap yang perlu diamalkan untuk keberhasilan ibadah sebagai perjalanan menuju Allah ﷻ. Dua sikap ini merupakan perintah Allah ﷻ, dan keduanya saling berpasangan, yaitu “sabar dan syukur”. Pengamalan ini merupakan perjalanan lanjut dan hampir sampai pada tujuan. Sekalipun orang yang mengamalkan hal itu belum meninggal – sebab ‘kematian’ adalah bentuk kembali pada Allah ﷻ. Tentu perjalanan orang itu belum selesai, tapi sebagai tangga atau tahapan, ia sudah termasuk pada tahapan yang tinggi.
Hakikat Kesabaran
Orang seringkali memaknai sabar secara sederhana. Dalam bahasa Arab, kesabaran biasanya disebut dengan dua istilah, yaitu صَبْرٌ (shabrun) dan حلم (hilm). Hilm sering dimaknai “tidak mudah marah” (sabar) atau terkadang dimaknai sebagai “santun”. Misalnya, ketika kita diganggu orang, namun kita tidak membalasnya. Ini adalah bentuk sabar, begitu juga disebut sebagai “hilm”. Oleh karena itu Allah ﷻ disebut Al-Halim, Dzat yang Maha Halim. Artinya tidak segera menindak atau mengazab.
Sabar itu bukan lemah atau ketidakberdayaan. Menurut orang Kristen, katanya ada ajaran Nabi Isa tentang kesabaran, yaitu “jika kamu ditempeleng pipi kananmu maka berikanlah pipi kirimu”. Sebetulnya, hal seperti itu bukan bentuk kesabaran, akan tetapi bentuk kelemahan. Hal ini sama seperti ketika hak kita dilanggar, barang kita diambil oleh perampok misalnya, lalu kita diam saja, bahkan kita merelakan barang kita untuk diambil. Ini adalah bentuk kelemahan, bukan kesabaran.
Orang sabar bukan berarti orang yang tidak bisa marah atau pemarah. Orang sabar tetap bisa marah, tapi dapat mengendalikan kemarahannya. Contoh yang paling jelas adalah Nabi Muhammad ﷺ, beliau bukan tidak marah ketika melihat sesuatu yang tidak disukainya, ketika itu wajah beliau me-merah padam, tapi beliau tidak sampai memaki orang atau hal yang tidak disukainya, apalagi melakukan kekerasan fisik kepadanya.
Maka dengan itu, hakikat kesabaran adalah kemampuan untuk mengendalikan diri kita (nafsu) terutama ketika bergejolaknya emosi. Dalam suatu hadits dikatakan: لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ, hadits tersebut menjelaskan bahwa orang kuat itu bukan suro’ah (pegulat yang bisa merobohkan lawan tandingnya), akan tetapi orang kuat sesungguhnya adalah orang yang bisa menguasai dan mengendalikan nafsunya ketika marah/emosi.
Emosi sendiri terbagi menjadi dua garis besar. Pertama adalah emosi dalam bentuk ketidaksukaan atau kebencian. Kemudian yang kedua adalah emosi atau perasaan dalam bentuk kesenangan. Seperti mencintai seseorang, cinta adalah perasaan, sama halnya dengan kebencian. Manusia dengan nafsunya memiliki dua hal itu yang terkadang mencintai sesuatu dan terkadang pula membenci sesuatu. Saat kita mencintai sesuatu, pasti kita menginginkan bahkan berusaha untuk mendapatkan sesuatu itu. Begitu juga sebaliknya, ketika kita benci sesuatu, maka kita ingin menjauhi bahkan menghabisi sesuatu itu.
Perasaan tersebut adalah manusiawi, terdapat pada siapapun. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola dan mengendalikan perasaan suka dan tidak suka itu, agar kita tidak terjerumus pada suatu pelanggaran.
Kesabaran termasuk pada “hal”. Sebagian ulama membedakan antara ahwal dan maqam, sebagian yang lain menganggap sama saja. Hal yang membedakan adalah kalau maqam itu bisa direncanakan, artinya masih dalam kendali kita. Seperti misalnya melaksanakan kewajiban shalat. Sedangkan hal adalah suatu keadaan yang terjadi pada diri kita tanpa bisa kita kendalikan, seperti marah atau emosi. Di sisi lain, kesabaran bisa disebut sebagai maqam karena suatu tingkatan atau pencapaian di dalam olah batin.
Motif-motif Kesabaran
Kesabaran sendiri memiliki berbagai motif. Beberapa di antaranya adalah motif yang didasarkan pada nafsu. Seperti misalnya ketika kita dihina oleh orang kuat, kita memilih diam saja karena kita takut pada dirinya yang kuat, padahal andaikan kita berani, maka kita mampu untuk membalasnya.
Ada juga kesabaran dengan motif duniawi. Seperti momentum menjelang Pemilu, banyak orang tiba-tiba menjadi dermawan berdatangan ke desa-desa pelosok untuk memberikan sumbangan pada pembangunan masjid, sosial, dan sebagainya. Namun saat Pemilu usai, orang itu tidak berkunjung lagi, barangkali mungkin sibuk dengan tugas-tugasnya. Namun apabila ia melakukan sesuatu karena Allah ﷻ, biasanya tidak musim-musiman. Artinya, kapanpun dan dimanapun orang dermawan itu tetap saja akan memberi.
Selanjutnya ada kesabaran yang bermotif ibadah, yaitu sabar untuk menjalankan perintah Allah ﷻ. Seperti Nabi Muhammad ﷺ saat berdakwah kepada masyarakat Mekkah di masa itu, dakwah beliau bertujuan baik, yaitu melaksanakan perintah Allah ﷻ dan sebagai bentuk kasih sayang rasul kepada mereka. Namun di tengah dakwahnya, rasul tak sedikit ditentang bahkan diancam oleh penduduk Mekkah yang menolak. Meski demikian rasul tetap melanjutkan dakwahnya dengan sabar.
Sebagai manusia, motif-motif tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi internal keluarga, lingkungan masyarakat, atau alam sekitar. Salah satunya contoh pengaruh lingkungan alam sekitar, yaitu orang yang hidup di daerah pesisir pantai. Orang tersebut cenderung keras karena alam pesisir yang menuntutnya untuk keras, seperti kerja ke laut. Maka apabila ada orang pesisir berbicara dengan lantang, itu bukan marah, namun sudah biasa. Berbeda lagi orang pegunungan yang biasa hidup dengan alam tenang, biasanya orang pegunungan lebih kalem. Hal-hal itu tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada pengaruh kondisi internal keluarga dan masyarakat terhadap motif-motif kesabaran.
Akan tetapi, bagi orang yang sudah beragama dengan ilmu, maka pengaruh motif-motif kesabaran tersebut dapat dikendalikan dengan ilmu agamanya.
(Bersambung…)
Oleh: Ahmad Zainul Khofi
Editor: Ponirin Mika
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!